Pada
hari Selasa 31 Maret 2020 setahun yang lalu, telah berpulang ke rahmatullah,
Mohamad Bob Hasan. Dia dikenal sebagai Ketua Umum Persatuan Atletik Seluruh
Indonesia dan mantan Menteri Perindustrian dan Perdagangan dalam kabinet Orde Baru yang terakhir.
Ada
yang menarik, karena dalam ucapan bela sungkawa yang dimuat di media massa
disebut nama lengkap Mohamad Hasan Gatot Soebroto dan dimakamkan di dekat
almarhum Jenderal Gatot Soebroto. Karena ketertarikan itu, penulis mencoba
membuka-buka kembali catatan dan beberapa buku yang memuat tentang ketokohan
Bob Hasan.
Dalam
buku “ Politik Huru Hara Mei 1998 “ oleh Fadli Zon, penerbit Fadli Zon Library
cet. XI Mei 2013 pada hal. 18, Bob Hasan disebut sebagai pengusaha hutan dan
orang dekat Soeharto.
Sementara
itu, dalam suatu acara Indonesia Lawyer Club yang dipandu oleh Karni Ilyas
tanggal 4 Oktober 2020 di TV One, ketika membahas peristiwa G30S 1965
antaralain pernah disebut-sebut nama Bob Hasan. Fadli Zon sebagai nara sumber
mengaku pernah menanyakan langsung kepada mantan presiden Soeharto pada tahun
2007, apakah benar bahwa Kolonel Latief melapor dulu ke Soeharto sebelum
menculik para Jenderal TNI-AD pada tanggal 1 Otober 1965. Yang konon dijawab,
bahwa Latief tidak melapor kepadanya
karena bukan atasannya. Malah dia melapor ke Bob Hasan, coba tanya saja ke Bob
Hasan. Anehnya, Kivlan Zen dalam forum yang sama justru memberikan keterangan
yang berbeda, tetapi tidak ada seorang pun yang mempermasalahkan. Kivlan
mengetahui, konon dari Jenderal Soeharto, bahwa malam itu Latief memang ke
RSPAD mungkin juga mau menculik Soeharto tetapi karena banyak orang maka dia
hanya melihat saja dari jauh dan pergi. Malam itu Soeharto sedang menunggui
Tommy, anaknya yang sedang dirawat di RSPAD karena tersiram sop panas.
Fakta
lain terdapat dalam buku “Profil Seorang Prajurit TNI” yang ditulis Amelia
Yani, putri Jenderal A. Yani, Cet.I Pustaka Sinar Harapan 1988, diuraikan bahwa
pada tanggal 30 September 1965 itu Jenderal Yani main golf bersama Bob Hasan,
dari tengah hari sampai jam 18.00.
Juga
dalam buku Amelia Yani yang terbit pada bulan Juli 2002 terungkap, bahwa dalam
kehidupan A.Yani muncul orang ketiga yang mengganggu ketenteraman rumah tangga keluarga
A.Yani. Mungkinkah ada hubungannya antara peran Bob Hasan dengan kasus asmara
itu, sehingga mampu berakrab-ria bermain golf segala ?. Disamping itu, ada
fakta lain lagi yang perlu dikaji secara mendalam sebagaimana yang tertuang
dalam buku Kronik ’65 oleh Kuncoro Hadi dkk. penerbit Media Pressindo cetakan
pertama 2017. Pada halaman 165 disebutkan bahwa pada Juni 1965, perusahaan Amerika
Rockwell Standard mengadakan satu kontrak pengiriman 200 pesawat ringan untuk
Angkatan Darat RI dan yang menjadi Komisi Keagenan dalam kontrak adalah Bob
Hasan teman dekat Soeharto. Dilukiskan, bahwa pihak AS dekat dengan beberapa
perwira AD seperti Nasution, Sarwo Edhie dan Soeharto.
Sebuah
literatur juga ada yang menyebut, Bob Hasan muncul ketika penggalian para
korban Pahlawan Revolusi di lokasi Lubang Buaya. Kedekatan Soeharto dengan Bob
Hasan juga nampak dalam buku Salim Haji Said (Mizan cet. III Januari 2016)
berjudul Gestapu 65, PKI, Aidit, Sukarno dan Soeharto hal. 122 yang menyebutkan
bahwa Soeharto sebagai Panglima Kodam Diponegoro Semarang, pernah menjadi
sasaran pemeriksaan Inspektur Jenderal Angkatan Darat karena terlibat
penyelewengan barter liar, monopoli cengkeh dan penjualan besi tua bersama Liem
Sioe Liong, Oei Tek Young dan Bob Hasan.
Dan
dalam buku “Liem Sioe Liong dan Salim Group : Pilar Bisnis Soeharto” oleh
Richard Borsuk dan Nancy CHNG terbitan Kompas Media Nusantara 2016 diuraikan
secara panjang lebar mengenai peran Bob Hasan bersama Soeharto , bahkan Liem
Sioe Liong bersama Bob Hasan mengaku dengan gamblang sebagai kroni terdekat
Soeharto sampai akhir. Bob Hasan adalah kawan memancing dan bermain golf
Soeharto seumur hidup (hal. 4-6).
Ada lagi fakta menarik yang perlu diungkap sebagaimana
dimuat dalam tabloid Detik edisi 29 September – 5 Oktober 1993, no. 030 tahun
ke 17. Bahwa ketika kemelut politik sesudah peristiwa G30S 1965, pada
pertengahan Oktober 1965 dan 20 Maret 1966, isteri Bung Karno keturunan Jepang
Ratna Sari Dewi bermain golf dengan Jenderal Soeharto di Padang Golf Rawamangun, konon dalam rangka
menjembatani untuk menurunkan ketegangan antara Bung Karno dengan pihak
militer. Yang mengatur pertemuan di padang golf itu disebutnya Bob Hasan.
Fakta
lain, terdapat dalam buku “ Chaerul Saleh Tokoh Kontroversial “ karya Dra. Irna
H.N, Hadi Soewito (cetakan pertama, 1993). Nama Bob Hasan dinyatakan dalam
index terdapat di halaman 301, tetapi halaman tersebut dan halaman sebelumnya
ternyata kosong atau tidak tercetak. Tetapi nama itu muncul di halaman 285
dalam tulisan kesan oleh Hasyim Ning. Disebutkan, bahwa dalam situasi kemelut
1965/1966, atas inisiatif Bob Hasan, Chaerul Saleh akan dipertemukan dengan
Soeharto di rumahnya, Namun, Hasyim Ning dan Bob Hasan sangat kecewa karena
ternyata Chaerul Saleh tidak muncul. Chaerul Saleh ternyata kemudian ditangkap
rezim Soeharto setelah Supersemar 1966, dan meninggal dunia secara misterius di
Rumah Tahanan Militer Jl, Budi Utomo Jakarta tanggal 8 Februari 1967.
Nah,
sampai saat ini peristiwa G30S 1965 itu masih suatu misteri siapa dalangnya
yang sebenarnya. Bahkan Prof. Dr. Salim Haji Said saja dalam acara ILC (Indonesia
Lawyers Club) juga merasa mengalami kesulitan untuk menyimpulkan siapa dalang
yang sesungguhnya karena para saksi kunci semuanya sudah meninggal dunia. Juga
misteri hilangnya Surat Perintah 11 Maret 1966 yang anehnya tanpa nomor. Ketika
orang ramai mempergunjingkan, ternyata Soeharto diam saja sampai meninggalnya, dan
kita bangsa Indonesia disuguhi informasi yang simpang siur dari Sudharmono,
Murdiono, Sudomo, Amir Machmud, M.Yusuf dan banyak lagi yang semuanya dibuat
mengambang. Suatu pertanda mungkin ada bentuk manipulasi secara terstruktur,
sistematis dan massif?.
Tidak
semua nara sumber yang berkompeten pernah
ditanyai oleh para peneliti seputar perubahan kekuasaan 1965/1966 itu. Mungkin
karena banyak yang menghindar. atau takut-takut karena masih banyak yang tidak
ingin terbuka terang benderang dan masih banyak yang ingin terus menutup-nutupi.
Tetapi satu hal yang sangat disayangkan, sepertinya tak ada satu pun yang pernah
mewawancarai dan mengorek dari Bob Hasan yang ternyata ada indikasi tahu
rahasia semuanya itu.
Seperti yang tertuang dalam buku “Celotehan
Linda” karya Linda Djalil, wartawan senior yang pernah bertugas di Istana
Kepresidenan pada masa Presiden Soeharto dan BJ Habibie, terdapat uraian
tentang Bob Hasan. Buku edisi I tahun 2012 pada halaman 253 mengungkap
kata-kata Jacky, teman akrab Bob Hasan yang berdinas di lingkungan intel.
Begini ucapannya dalam acara peluncuran buku Bob Hasan :” Waaah, dia banyak
menyimpan rahasia . Bagaimana saya bisa lawan bicara ya, zaman Achmad Yani, dia
sudah di lingkungan itu, dia anak angkat Gatot Soebroto, dia dekat Soeharto,
jadi ya dia tahu persis semua deh”. Lalu pada halaman 135 menyebut, bahwa Bob
Hasan, Liem Sioe Liong, Antoni Salim atau beberapa orang India produsen tekstil
raksasa adalah orang-orang yang kerap kali datang ke Cendana (kediaman Soeharto)
pada sore hari.
Juga
ada fakta menarik lagi sebagaimana pernah ditulis oleh wartawan senior Rosihan
Anwar di harian Kompas beberapa tahun yang lalu. Ketika korannya dibreidel pada
waktu Menteri Penerangan Mashuri SH, dia mempertanyakan langsung kepadanya.
Konon dia mengaku bahwa sebenarnya dia tidak mau membreidel, tetapi Presiden
Soeharto bilang :” Wis pateni ae”. (Sudah, dimatiin saja). Beberapa tahun
setelah kejatuhannya, dia dihubungi Bob Hasan. Konon Soeharto mempertanyakan
bagaimana kondisi ekonomi wartawan yang pernah menemani ketika menjemput
Jenderal Sudirman dari lokasi gerilya. Kalau ingin ketemu Soeharto, dia
bersedia memfasilitasi. Agaknya, Bob Hasan juga kaki-tangan ketika menekuk para
pengritiknya dan juga sebagai penghubung ketika
menebus dosa kekejamannya selama berkuasa.
Sayang
dia sudah pergi bersama semua rahasia penting yang disimpannya itu untuk
selama-lamanya. Selamat jalan Bob Hasan !. ***** Penulis, pemerhati masalah sosial,
politik dan ekonomi, lulusan S-2 FISIP Universitas Indonesia.