Oleh: Muhammad Sadji
Harian Kompas edisi 31 Januari 2020 memberitakan tentang rencana dibangunnya Kilang Minyak di Bontang Kalimantan Timur. Kilang tersebut akan dibangun atas kerjasama antara PT. Pertamina (Persero) dengan saham 10 % dan OOG (Overseas Oil and Gas) perusahaan minyak asal Oman dan COI (Cosmo Oil Indonesia) yang merupakan unit usaha Cosmo Energy Group yang bergerak di bidang pengolahan minyak asal Jepang. Kilang tersebut direncanakan berkapasitas 300.000 barrel per hari dengan nilai investasi sebesar US $ 10 milyar setara Rp 130,5 trilyun dan ditargetkan bisa beroperasi mulai tahun 2025. Diperoleh kepastian, bahwa pasokan minyak mentah untuk kilang tersebut berasal dari pemerintah Oman.
Dulu, sewaktu Presiden Habibie, pemerintah Kuwait dikabarkan berencana menyewa P. Selayar untuk invest industri petrokimia dan membangun Istana Kerajaan. Alasannya, P. Selayar berada di tengah-tengah belahan dunia dan akan memudahkan untuk tempat mengungsi apabila terjadi sesuatu. Maklum, Kuwait waktu itu baru saja menjadi ajang peperangan dengan Iraq dan adanya campurtangan Amerika Serikat dan sekutunya yang mengatasnamakan pasukan perdamaian PBB. Waktu itu penulis sempat survei ke P. Selayar untuk penjajagan kemungkinan peran serta PT. Pertamina (Persero) dalam proyek tersebut, dan tertnyata tidak pernah terwujud alias batal. Termasuk, rencana pembangunan kilang minyak di Pare-pare Sulawesi Selatan juga tidak terdengar lagi kelanjutannya.
Juga terbetik berita mengenai rencana pembangunan pengembangan kilang minyak di Cilacap dan Balikpapan yang merupakan kerjasama antara PT. Pertamina (Persero) dengan Saudi Aramco yang terancam batal. Kerjasama kedua perusahaan tersebut sudah digagas sejak 2014 tetapi belum terwujud karena terhambat perbedaan valuasi proyek dan skema kerjasamanya (Indopos 2 Desember 2019).
Berdasarkan data di atas, tampak bahwa rencana pembangunan kilang minyak memang sudah digagas sejak lama. Ini bisa dimaklumi, karena dari kilang yang ada, yaitu di Dumai, Plaju, Cilacap, Balikpapan, Balongan dan Kasim, kapasitas terpasang hanya sebesar 1,05 juta barrel per hari, ternyata hanya mampu memproduksi BBM sebesar 800 – 950 ribu barrel per hari. Sementara itu, kebutuhan BBM di dalam negeri mencapai 72 juta kiloliter per tahun, sedangkan pasokan dari Kilang Pertamina hanya sekitar 39 juta kiloliter per tahun. Oleh karena itu, untuk memenuhi kebutuhan BBM di dalam negeri PT. Pertamina (Persero) harus mengimpor minyak mentah dan produk BBM dari luar negeri. Tetapi yang disayangkan, selama ini rencana pembangunan dan pengembangan kilang minyak hanya terpusat di Indonesia bagian Barat dan Tengah saja, belum mengarah ke pengembangan Kawasan Indonesia bagian Timur.
Sekedar Sumbang Saran
Beberapa waktu yang lalu, penulis mendapat undangan mengikuti seminar atau diskusi tentang kemandirian energi yang diselenggarakan oleh Ditjen Migas bersama BPH Migas di Jakarta. Pada kesempatan tersebut, penulis sempat menyampaikan usul berikut ini.
Pertama, pembangunan baru kilang minyak sebaiknya diprioritaskan ke Indonesia Timur, khususnya Papua bagian Selatan, di kawasan yang dapat dipilih antara Kab. Nabire sampai Kab. Asmat. Alasannya antaralain, untuk tercapainya satu harga BBM dari Sabang sampai Merauke. Juga dalam rangka memajukan Kawasan Indonesia Timur lebih cepat dan lebih adil, dengan merekrut dan mendidik anak asli Papua yang berprestasi sebagai prioritas karyawan agar tidak timbul kecemburuan sosial, tercapainya pemerataan kesejahteraan dan untuk meredam intrik separatisme. Di samping itu, juga untuk meramaikan kawasan perairan Indotim melalui ramainya lalulintas tanker pengangkut minyak mentah dan BBM agar dapat memperkecil peluang pencurian ikan di laut dan pembalakan hutan secara liar (illegal logging) serta berbagai bentuk pencurian lain di laut kita yang luas ini. Adanya kilang minyak di Papua bagian Selatan, diharapkan akan memperbesar peluang ekspor produk minyak bumi ke Papua Nugini, negara-negara di kawasan Pasifik dan Timor Leste.
Kedua, pembangunan kilang minyak baru memang tetap diperlukan karena laju pembangunan dan pertambahan penduduk, sementara ketergantungan terhadap energi fosil masih tetap ada. Bauran energi sebagaimana ditargetkan Pemerintah Indonesia melalui PP. nomor 79 tahun 2014 tentang Kebijaksanaan Energi Nasional perlu segera terealisir. Target tahun 2025 dengan komposisi bauran energi terbarukan 23 persen, batubara 30 persen, minyak bumi 25 persen dan gas 22 persen, dan akan ditingkatkan pada tahun 2050 menjadi 31 persen untuk energi terbarukan, batubara 25 persen, minyak bumi 20 persen dan gas 24 persen, diharapkan bisa menjadi perhatian yang serius.
Ketiga, adalah karunia Tuhan yang Mahakuasa karena letak Indonesia berada di garis khatulistiwa. Dua pertiga wilayah berupa laut dan memiliki pantai terpanjang di dunia, bergunung-gunung dan merupakan negeri air karena banyak sungainya, memungkinkan banyaknya alternatif energi baru dan terbarukan yang bisa dikembangkan. Data pemerintah menggambarkan, bahwa kita memiliki potensi tenaga hidro sebesar 75.000 megawatt (MW), panas bumi 25.400 MW, tenaga angin (bayu) 60.600 MW, bioenergi 32.600 MW, tenaga surya bisa 207.800 MW, belum lagi tenaga gelombang atau arus laut dan bahkan sampah yang dihasilkan oleh penduduk yang banyak dan padat bisa diolah menjadi energi listrik per kawasan permukiman. Semua potensi itu perlu segera dikembangkan dan dimanfaatkan pada prioritas pertama.
Keempat, berdasarkan data Kementerian ESDM, kebutuhan BBM Solar nasional mencapai 31,19 juta kiloliter per tahun, tetapi produksi dalam negeri hanya sebesar 20,8 juta kiloliter. Sehingga Indonesia harus impor sebesar 10,89 juta kiloliter. Oleh karena itu program biodiesel B20 yang ingin ditingkatkan menjadi B30 segera bisa terwujud dengan baik dan mendapatkan dukungan dari para pengguna dan yang berkepentingan melalui penyesuaian sarana dan prasarana serta modifikasi permesinan yang sesuai dengan segera.
Kelima, upaya pengembangan energi terbarukan juga dilakukan oleh Kementerian Pertanian. Bahan bakar nabati biodiesel 100 persen (B100) telah dilakukan penelitian selama dua tahun oleh Badan Penelitian Kementan (Balitbangtan). Hasilnya, pada tanggal 15 April 2019 telah dilakukan uji coba perdana produk B100 di kantor pusat Kementan terhadap 50 kendaraan bermotor dan diklaim berhasil dengan baik. Uji coba tersebut dipimpin langsung oleh Menteri Pertanian pada waktu itu, Andi Amran Sulaiman, dan dinyatakan bahwa pengembangan B100 bisa menghemat nilai impor BBM Solar sebesar 16 juta kiloliter atau setara Rp 150 trilyun. Upaya inovatif tersebut perlu mendapat dukungan semua pihak dengan melakukan penelitian bersama antara Kementerian Pertanian, Industri Migas terutama PT. Pertamina (Persero), Lemigas, industri otomotif dan permesinan, perguruan tinggi serta pemangku kepentingan (stake holder) lainnya yang terkait dengan pengembangan B100.
Keenam, produksi crude palm oil (CPO) nasional saat ini mencapai 41,6 juta ton per tahun dan sebanyak 34 juta ton diekspor ke luar negeri. Apabila program biodiesel B20, lalu meningkat menjadi B30 dan kemudian B100 berhasil dengan baik, maka dihadapkan pada pilihan meningkatkan produksi CPO, mengurangi ekspor CPO untuk dialihkan ke biodiesel dan berarti akan berakibat mengurangi impor BBM Solar. Tetapi yang menarik lagi, bahwa dari kelapa sawit selain menghasilkan CPO yang bisa diolah antaralain menjadi biodiesel, cangkang kelapa sawit dari perkebunan di Provinsi Bangka Belitung ternyata berhasil diekspor ke Jepang. Cangkang kelapa sawit tersebut bisa diolah sebagai energi alternatif pengganti BBM untuk bahan bakar pada Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Kelak kita sebaiknya bisa juga meniru langkah tersebut sebagai salah satu bauran energi yang lain. Di samping itu, lidi dari daun kelapa sawit asal Sumatera Utara berhasil diekspor ke Pakistan, Malaysia, Nepal dan Thailand. Lidi tersebut digunakan untuk peralatan kebersihan rumah tangga dan juga dimanfaatkan sebagai penyapu gandum. Pada semester pertama 2020 saja sebagaimana dikabarkan harian Rakyat Merdeka baru-baru ini, kita berhasil mengekspor sebanyak 8,5 ribu ton dengan frekuensi 119 kali pengiriman. Ini artinya, kalau program biodiesel berhasil dengan baik, maka disamping akan mengurangi polusi udara, juga akan meningkatkan peluang pekerja padat karya dan meningkatkan perolehan devisa negara.
Ketujuh, perlunya dikembangkan energi nuklir untuk pembangkit listrik khususnya di wilayah Kalimantan yang kelak menjadi pusat ibukota baru NKRI. Untuk pemerataan pembangunan yang sejak Presiden Soekarno sudah sering dipermasalahkan, maka pemindahan ibukota ke Kalimantan Timur adalah jawaban yang sangat tepat dan berwawasan ke depan. Oleh karena itu, seluruh wilayah Kalimantan harus dipersiapkan maju bersama di segala bidang. Indah dan tidak kumuh sebagai pintu gerbang NKRI, tidak terganggu oleh byar-pet aliran listrik, maka Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) adalah salah satu jawabannya.
Wal hasil, dalam rangka pencapaian kemandirian energi di tanah air, semoga pandangan di atas bisa menjadi masukan yang berharga dan bermanfaat.*****