Entri yang Diunggulkan

GENERASI PENDOBRAK JILID III

 Harian Rakyat Merdeka terbitan 20 April  2010,memuat artikel dengan judul “Bodoh Permanen” yang ditulis oleh Arif Gunawan. Tulisan tersebut...

Tampilkan postingan dengan label Soekarno. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Soekarno. Tampilkan semua postingan

Rabu, 14 Oktober 2020

BU INGGIT LAYAK PAHLAWAN NASIONAL

 

Bangsa Indonesia mengenal Ir.Soekarno sebagai Pahlawan Proklamator, Pahlawan Nasional dan sebagai Presiden pertama NKRI.

Ternyata, di balik perjalanan hidup dan penapakan karir perjuangannya ditopang oleh sosok wanita yang bernama Inggit Garnasih. Beliau menjadi isteri Bung Karno sejak Bung Karno masih mahasiswa di THS Bandung pada tahun 1923. Beliau bersama orangtuanya mengikuti Bung Karno ketika diasingkan oleh penjajah Belanda ke Ende (P. Flores) pada tahun 1934-1938, kemudian dipindah ke Bengkulu (P. Sumatera) pada tahun 1938-1942. Pengorbanan yang ikhlas atas harta, tenaga, pikiran, do’a dan ibadah seorang isteri yang setia selama lebih-kurang dua-puluh tahun memungkinkan Bung Karno mampu berprestasi dalam hidupnya. Dan puncaknya adalah berhasil memproklamasikan kemerdekaan dan meletakkan dasar-dasar Indonesia merdeka bersama para perintis kemerdekaan yang lain.

Dari pengorbanannya yang besar, cukup lama dan tanpa pamrih itulah, kiranya Pemerintah Republik Indonesia layak memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada Ibu Inggit Garnasih. Apalagi selama dalam pengasingan tersebut Ibu Inggit kehilangan orangtuanya yang berpulang kerahmatullah ketika di Ende.

Semoga usulan saya ini bisa menjadi perhatian dan pertimbangan Pemerintah Republik Indonesia serta mengamankan semua situs yang menyangkut Ibu Inggit Garnasih.*****

(Tulisan ini sudah dimuat di Surat Kabar Jawapos tanggal 8 Oktober 2020 dan Kompas tanggal 14 Oktober 2020)

Kamis, 06 Agustus 2020

SEKTOR PERTANIAN UNTUK MASA DEPAN INDONESIA

Oleh : Muhammad Sadji

 

     Sebuah lagu diciptakan pasti ada tujuannya. Ada motif dan kesan tertentu waktu digubah oleh penciptanya. Ada motif gembira, sedih, patah hati, bersyukur dan penyemangat. Ada banyak latar belakang kenapa sebuah lagu dibuat.

     Ada lagu anak yang diciptakan oleh Ibu Sud yang berjudul “Menanam Jagung” dan  lagu anak berirama keroncong ciptaan Poniman yang berjudul  “Waktu Potong Padi”

Makna kedua lagu merdu dan ceria tersebut adalah mengingatkan kita untuk bertani dan bekerja bergotong-royong saling bantu-membantu dan tolong-menolong antar tetangga sesama petani. Ajakan bertani sudah ditanamkan sejak kanak-kanak melalui kedua lagu tersebut, yang sekarang ini jarang terdengar lagi di sekolah-sekolah. Pelajaran dari Jepang, lain lagi. Seorang teman yang anaknya bertugas di Jepang bercerita, bahwa cucunya yang sekolah TK di sana, pernah diajarkan praktek langsung bertanam dan memanen ubi jalar di kebun sekolah.

     Tujuh tahun setelah Proklamasi Kemerdekaan, tepatnya pada tahun 1952, Presiden Soekarno  meresmikan  kampus Fakultas Pertanian Universitas Indonesia di Bogor yang di kemudian hari menjadi Institut Pertanian Bogor (sekarang IPB University). Dalam pidato peresmian tersebut, beliau antaralain menyatakan, bahwa pertanian adalah soal hidup matinya sebuah bangsa

Perkembangannya, banyak Universitas membentuk Fakultas Pertanian dan ada juga Sekolah Menengah Pertanian di beberapa daerah. Lalu bagaimana hasilnya? Nyatanya, kita masih jauh dari swa sembada pangan. Karena swa sembada yang sebenarnya, seharusnya berhasil secara terus-menerus karena keunggulan rekayasa teknologi dan pembenahan prasarana sektor pertanian. Pembenahan sungai sehingga tetap menjadi sahabat di waktu musim hujan maupun musim kemarau adalah salah satu bentuk upaya memajukan sektor pertanian yang sesungguhnya. Karena belum adanya upaya yang maksimal dan bersungguh-sungguh, maka yang selalu terjadi setiap tahun adalah dialaminya kasus gagal panen karena air yang meluap ketika musim hujan dan kekeringan ketika kemarau panjang serta masih adanya serangan hama.

Banyaknya TKI lari ke luar negeri, adalah salah satu bukti belum berhasilnya sektor pertanian memancing kemajuan alam pikiran mereka. Pertanian masih dipandang identik dengan kemiskinan. Untuk mengubah alam pikiran bahwa pertanian bisa mendatangkan kesejahteraan, adalah dengan penyediaan dan pembenahan prasarana yang memadai sesuai kebutuhan pertanian sepanjang tahun.

Harta Karun Komoditas Ekspor

Terlepas dari ketersediaan sarana dan prasarana pertanian yang memadai, sebenarnya kita memiliki berbagai jenis komoditas pertanian yang sudah berhasil diekspor. Kemampuan ini harus tetap dipertahankan, dikembangkan mutu produksi dan pemasarannya sehingga semakin luas cakupannya. Sebagaimana diberitakan oleh harian Rakyat Merdeka dalam rubrik harta karun, dapat dikemukakan beberapa fakta berikut ini.

Aceh, mampu mengekspor bambu batangan ke Turki untuk bahan pembuatan perabot rumah-tangga dan dekorasi rumah. Juga serat batang pisang dari Aceh Timur, diekspor ke Filipina dan Australia sebagai bahan campuran material sintetis dalam pembuatan papan komposit dan lapisan rompi anti peluru.

Dari Sumatera Utara, kita sudah berhasil mengekspor cengkeh ke sejumlah negara dari Pelabuhan Belawan. Juga bunga kecombrang untuk penyedap masakan, dan gula kelapa yang diekspor ke Brasil dan Yunani. Bahkan paha kodok Sumut juga laris di pasar Belgia, Singapura dan Tiongkok. Di samping itu ada produk lidi kelapa sawit untuk peralatan kebersihan rumah-tangga dan penyapu gandum yang diekspor ke Pakistan, Malaysia, Nepal dan Thailand.

Riau menyumbang babi ternak asal masyarakat Tanjungpinang yang diekspor ke Singapura dan Taiwan. Juga ikan kerapu Anambas Riau Kepulauan, mampu menembus pasar Tiongkok dan Hong Kong

Bengkulu, yang memiliki dataran tinggi antara Rimbo Penghadang dan Tapus yang berhawa sejuk, menghasilkan jeruk Gerga Lebong yang diekspor ke Malaysia.

Lampung, menghasilkan ikan asin jenis teri yang diekspor ke Malaysia dan Jepang yang merupakan hasil olahan masyarakat Pulau Pasaran Bandar Lampung secara turun-temurun. Bahkan  Lampung juga mampu mengekspor kotoran kelelawar ke Tiongkok dan Amerika Serikat yang merupakan pengganti pupuk kimia seperti urea dan NPK. Selain itu juga mengekspor ampas kulit nanas ke Jepang sebagai bahan campuran pakan ternak dan sebagai bahan untuk obat luka karena ampas kulit nanas ini mengandung zat aktif  yang dapat mempercepat penyembuhan luka. 

Sumatera Selatan, mampu mengolah pohon akasia menjadi bubur kertas yang diekspor ke Tiongkok, Korea Selatan, India, Bangladesh dan Jepang.

Bangka Belitung, ekspor cangkang kelapa sawit ke Jepang dalam jumlah cukup besar untuk diolah sebagai energi alternatf pengganti fosil pada Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU).

Banten, antaralain menyumbang ekspor dedak gandum asal Cilegon sebagai bahan baku pakan ternak, rutin diekspor ke Tiongkok, Vietnam, Filipina dan Papua Nugini.

Jakarta yang terkenal dengan dodol Betawi-nya, juga mampu mengekspor ke pasar Arab Saudi.

Jawa Barat, ternyata banyak menghasilkan harta karun pertanian yang beragam untuk diekspor. Jambu biji merah dari Kabupaten Bandung diekspor ke Singapura dan Uni Emirat Arab. Manggis Purwakarta masuk pasar ekspor ke negara-negara Asean, Eropa dan Timur Tengah. Telur asin Karawang yang  diekspor ke Hong Kong, Brunei Darusalam dan Singapura. Lalu, sale pisang organik dari Kabupaten Ciamis diekspor ke Malaysia. Bahkan Bogor mengekspor larva kering jenis black soldiers flies (BSF) ke Inggris sebagai campuran pakan hewan.

Jawa Tengah, juga kaya dengan harta karun pertanian untuk ekspor. Sawo asal Blora masuk pasar Amerika Serikat, dan ubijalar asal Tawangmangu yang diolah menjadi kripik diekspor ke Korea Selatan. Sisik ikan dari limbah buangan penjualan ikan atau perusahaan pengolahan ikan di Jateng, diekspor ke Jepang sebagai bahan pembuatan kolagen untuk industri obat dan kosmetik. Rotan Sukoharjo berupa kerajinan, mampu tembus pasar Perancis, Italia dan Eropa Timur. Nanas madu Pemalang, mampu menembus pasar Arab Saudi dalam bentuk jelly nanas, cocktail nanas, kripik dan dodol nanas.

Kayu mahoni Wonosari-Yogyakarta untuk bahan baku mebel, berhasil diekspor ke Canada.

Jawa Timur, dari Banyuwangi saja bisa mengekspor serangga kaki enam dan belalang stik warna hijau terang ke Jepang, Taiwan, Korea Selatan, Malaysia, Thailand, Perancis, Inggris, Spanyol dan beberapa negara Eropa lainnya  untuk bahan pembuatan souvenir. Labu kuning Banyuwangi juga sudah berhasil diekspor ke Belanda. Kunyit kering Ponorogo masuk pasar India untuk bahan suplemen makanan. Sementara itu, tembakau asal Bojonegoro, Jember, Madura, juga dari Deli Sumut diekspor ke Amerika Serikat, Rusia, Belgia dan Jerman antaralain sebagai bahan baku obat flu maupun parfum jenis tertentu. Makanan ringan rempeyek kacang asal Malang mampu masuk pasar Korea Selatan dan Hong Kong.

Bali, selain mengekspor seni ukir Bali ke beberapa negara maju, juga mengekspor produk cokelat Tabanan ke Singapura dan Malaysia.

Itu adalah sekedar contoh, betapa banyak harta karun sektor pertanian yang berhasil kita ekspor. Jenis produk itu umumnya rutin dibutuhkan, maka perlu dijaga kesinambungannya, ditingkatkan mutu dan sebaran pemasarannya, serta perlindungan agar tidak sekedar diperas oleh para tengkulak, pengepul dan para eksportir. Semangat membangun bersama dengan kejujuran, diperlukan untuk memajukan sektor pertanian di Indonesia.*****

 

 

 


Minggu, 03 Maret 2019

Proxy War Sebagai Ancaman Bangsa Indonesia

Jenderal Gatot Nurmantyo sewaktu menjabat sebagai Panglima TNI, dalam berbagai kesempatan telah mengidentifikasi isu proxy war yang merupakan ancaman utama bagi bangsa Indonesia pada abad ke 21 ini. Proxy war adalah perang dimana pihak yang berkepentingan tidak ikut terlibat langsung pada saat perang tersebut terjadi, tahu-tahu mendapatkan keuntungan dan manfaat dari hasil peperangan itu. Pada hal, perang adalah upaya suatu bangsa atau negara untuk melumpuhkan bangsa atau negara lain. Tujuannya bermacam-macam, antara lain karena ingin menguasai bangsa lain untuk mengangkangi kekayaan alamnya atau akan mengangkangi pasar potensialnya. Juga, untuk menguasai geopolitik maupun geostrategisnya serta membuat suatu bangsa atau negara lain tetap dalam keadaan tak berdaya, merana, walau pun sebernarnya kaya raya. Dalam proxy war, negara yang berkepentingan, memanfaatkan potensi konflik di negara sasaran, misalnya isu sara, melumpuhkan otak dan raga melalui penyebaran narkoba, miras, dan pornografi serta maraknya perilaku KKN sehingga terciptanya ketidak adilan yang menyebabkan timbulnya kerawanan kesenjangan dan konflik sosial yang berkepanjangan. Apabila ditelaah lebih dalam dan jujur, agaknya tidak usah menunggu abad 21, sekarang pun, dan bahkan sebelumnya, sebenarnya bangsa Indonesia sudah merupakan korban proxy war. Perang dingin antara Blok Barat dan Blok Timur yang timbul setelah berakhirnya Perang Dunia II telah membuat Indonesia menjadi sasaran perebutan kedua kubu tersebut karena kekayaan alamnya yang beraneka ragam serta letak geografisnya yang sangat strategis. Berbagai pemberontakan yang terjadi setelah proklamasi kemerdekaan tanggal 17 agustus 1945, bukan mustahil merupakan ulah proxy war kedua kubu tersebut. Pemberontakan DI/TII di Jawa Barat/Aceh/Sulawesi Selatan, PKI Madiun, PRRI/ Permesta dan berbagai gerakan seperatisme telah berhasil diatasi dengan pengorbanan yang tidak sedikit. Tetapi puncaknya, pemberontakan G30S yang terjadi pada tahun 1965 telah merubah segala tatanan bernegara dan berbangsa. Menurut Presiden Soekarno sebagaimana yang disampaikan dalam pidato pertanggung jawaban kepada MPRS, bahwa peristiwa G30S bisa terjadi karena tiga sebab, yaitu keblingernya orang-orang PKI, adanya oknum yang tidak bertanggung jawab dan karena kelihaian neokolonialisme. Padahal pada waktu itu, Presiden Soekarno sedang mencanangkan Ganyang Malaysia dengan membantu kelompok di Kalimantan Utara yang ingin merdeka, tidak mau bergabung dengan Malaysia yang dibentuk Inggris ketika proses dekolonisasi. Boleh jadi, Presiden Soekarno ingin memanfaatkan momentum dekolonisasi itu untuk mencaplok Kalimantan Utara sehingga tercapai dan terwujudnya keutuhan pulau Kalimantan. Apalagi Presiden Soekarno pada tahun 1957 telah menggagas menetapkan Palangkaraya di pulau Kalimantan sebagai ibukota RI pengganti Jakarta. Pasca peristiwa G30S, keadaan dan situasi Indonesia berubah demikian cepat. Kehidupan perekonomian demikian sulit dan bunuh-membunuh sesama anak bangsa di berbagai tempat menjadi biasa dan tidak tersentuh hukum. Kesulitan ekonomi ini boleh jadi karena pergulatan yang panjang dalam rangka mengatasi berbagai pemberontakan di dalam negeri dan perjuangan merebut Irian Barat (Irian Jaya) serta bukan mustahil merupakan rangkaian sabotase nasional oleh sindikat yang bermaksud merebut kekuasaan secara merangkak. Demonstrasi massa terjadi dimana-mana disertai pengrusakan. Dalam keadaan terpaksa atau dipaksa, Presiden Soekarno mengeluarkan Surat Perintah tanggal 11 Maret 1966 (tetapi tidak bernomor) yang memerintahkan Jenderal Suharto untuk memulihkan keadaan dan ketertiban serta kewibawaan pemerintah. Ironisnya, dengan SP 11 Maret lah pemerintahan Presiden Soekarno terguling dan semuanya kemudian berubah dengan drastis. Munculah rezim baru yang menyebut dirinya sebagai Orde Baru. Mereka menyebut rezim sebelumnya (Presiden Soekarno) sebagai rezim Orde Lama, padahal mereka juga ada dalam struktur pemerintahan sehingga dalam kasus ini bisa dikatagorikan sebagai menggunting dalam lipatan alias berkhianat. Rezim baru ini dimotori oleh militer dan kelompok ekonom yang sering disebut sebagai mafia Berkeley. Diantara kelompok ini ada Prof.Dr.Ali Wardhana yang telah meninggal dunia beberapa waktu lalu. Di tangan mereka inilah Indonesia memasuki zaman neoliberal dan neokapitalisme sebagai antitesa berdikarinya Bung Karno dan Pembangunan Nasional Semesta Berencana tahap I yang sedang berjalan dari tanggal 1 Januari 1961 sampai dengan 31 Desember 1969. Puja-puji disampaikan dari berbagai kalangan untuk Prof. Ali Wardhana bahkan Mari Pangestu dalam tulisan abituarinya yang dimuat sebuah harian ibukota melontarkan kata-kata: “..... apa jadinya Indonesia tanpa dia”. Agaknya banyak orang mendustakan keadaan yang sebenarnya. Padahal buah karya mereka sudah jelas, butuh waktu lebih dari tiga dekade dengan kekayaan alam terkuras oleh bangsa asing, KKN merajalela di berbagai sektor, hutang dan besarnya dana yang dikorbankan serta ribuan gedung sekolah yang dibangun mutunya tidak memenuhi syarat dari segi mutu bangunan dan bahan bangunan, luas lahan serta tata ruangnya, dan mudah rusak yang terkadang mencelakai anak murid yang sedang belajar. Ironisnya lagi, dalam kurun waktu selama itu Indonesia masih berada di landasan (bukan tinggal landas seperti yang selalu dikhayalkan), ekspor TKI/TKW yang sering dilecehkan bangsa lain, dan ekspor asap yang terjadi secara rutin sejak tahun 1997 sampai sekarang. Asap itu sebagai akibat kebakaran hutan yang telah dibabat secara membabi buta karena pembangunan yang indah dalam konsep tetapi ngawur dalam pelaksanaannya. Asap itu meracuni anak bangsa kita yang akan berpengaruh terhadap kesehatan serta kemampuan berpikirnya. Alhasil, itulah nasib suatu bangsa korban proxy war melalui kaki tangannya yang ada di dalam negeri yang secara tidak sadar justru sering kita puja-puji setinggi langit.. Kondisi bangsa Indonesia saat ini sebagaimana dinyatakan oleh Menteri Koordiantor Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (MENKO PMK) baru-baru ini bahwa penduduk Indonesia diperkirakan mencapai 255 juta orang tetapi menghadapi masalah yang sangat memprihatinkan dalam berbagai hal. Kesenjangan sosial adalah merupakan masalah yang utama karena 20% kelas atas menguasai hampir 50% konsumsi perekonomian Indonesia, sedangkan penduduk kelas terbawah yang jumlahnya mencapai 40% hanya menguasai 20% konsumsi perekonomian. Pada saat ini 45% penduduk Indonesia memiliki kemampuan pengeluaran hanya Rp 500.000 per bulan. Menko Puan juga menyebutkan, jumlah penduduk yang menganggur atau sama sekali tidak bekerja saat ini diperkirakan berjumalah 7,2 juta jiwa dan lebih kurang 40 juta lainnya masih harus berjuang untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih layak. Apalagi laju pertumbuhan penduduk Indonesia masih sulit dikendalikan dengan angka kelahiran bayi mencapai 4,5 juta bayi per tahun (Rakyat Merdeka 22/09/2015). Sementara itu Wakil Preiden Yusuf Kalla dalam penutupan Rakernas dan konsolidasi pemenangan pilkada partai Nasdem di Jakarta pada tanggal 22 September 2015 mengingatkan bahwa berpolitik, termasuk mengikuti pemilihan kepala daerah adalah bertujuan untuk membayar utang kepada masyarakat dengan melayani rakyat apabila memenangi pemilihan. Bagi seseorang yang merasa sudah banyak menerima dari Indonesia, maka berpolitik adalah untuk membayar utang kepada masyarakat, berpolitik dan memimpin itu untuk memajukan rakyat, bukan menggunakan perhitungan untung rugi. Menurut Wapres, bangsa Indonesia terlalu besar untuk tidak mengalami kemajuan. Berpartai dan berpolitiklah dengan kesadaran tidak untuk diri pribadi. Berpolitiklah untuk mengurus daerah, generasi muda dan masyarakat kita di kampung-kampung. Berpolitik untuk mendapatkan rahmat Tuhan (Kompas, 23/09/2015). Dalam hal ini berpolitik tidak dalam rangka berbuat penyelewengan dan berbuat dosa karena seluruh bangsa yang juga terkena azab, bencana, dan kutukan. Sementara itu, anggota majelis tinggi partai Nasdem Lestari Moerdijat mengatakan, bahwa Nasdem tetap berpegang pada komitmen sejak didirikan, yaitu sebagai gerakan perubahan, restorasi Indonesia, yang menjunjung tinggi molaritas, integritas, dan kejujuran serta mewujudkan tegaknya hukum di Indonesia. Sikap partai Nasdem yang terbuka, transparan, dan konsisten dalam setiap menegakkan hukum (Jawa Pos, 26/09/215). Agaknya, pesan Wapres Jusuf Kalla, data yang pernah disampaikan oleh Menko Puan Maharani, serta sikap tokoh partai Nasdem di atas, bisa diadopsi oleh semua Parpol dan Ormas yang hidup di Indonesia dan diterapkan secara konsisten serta bertanggungjawab dalam rangka kewaspadaan dan menangkal ancaman proxy war yang terus mengintai dan membayangi bangsa Indonesia.***** . . tulisan ini dimuat di Koran Sindo tanggal 9 Januari 2019.

Jumat, 24 Agustus 2012

nasib monumen pembebasan irian barat

Salah satu peninggalan Presiden I RI Soekarno adalah Monumen Pembebasan Irian Barat yang terdapat di Lapangan Banteng dan diresmikan pada tanggal 18 Agustus 1963.  Monumen itu dibangun dalam rangka memperingati kembalinya Irian Barat kepangkuan Ibu Pertiwi setelah melalui perjuangan yang panjang.
Wartawan kawakan Rosihan Anwar (alm), menyebut bahwa kembalinya Irian Barat ke pangkuan Ibu Pertiwi adalah berkat perjuangan Bung Karno yang konsisten dari awal sampai berhasil dengan mencanangkan Tri Komando Rakyat (Trikora) yang dikomandokan di Jogjakarta pada tanggal 19 desember 1961.
Ketika Irian Barat resmi diserahkan ke pangkuan RI oleh PBB pada tanggal 1 Mei 1963, banyak perubahan yang dilakukan oleh  Pemerintah RI yang sah pada waktu itu. Sebagai contoh,         ibu kota Irian Barat yang pada masa kekuasaan Belanda bernama Hollandia,sempat diubah menjadi Kota Baru, lalu diubah lagi menjadi Sukarnapura sebagai penghormatan atas perjuangan Bung Karno mengutuhkan wilayah Republik Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Demikian juga puncak tertinggi di Irian Barat dinamakan Puncak Sukarno.
Tetapi ketika Suharto berkuasa,semua itu diganti; mungkin dalam rangka desukarnoisasi yang dilakukan secara sistematis selama rezim ORBA tersebut. Sukarnapura kemudian diubah menjadi Jayapura, sementara Puncak Sukarno juga diubah menjadi Puncak Jaya Wijaya. Bukan itu saja, kekayaan alam (pertambangan dan hutan)  yang terdapat di Irian Barat hanya menjadi jarahan PMA (Penanaman Modal  Asing) selama rezim ORBA berkuasa sampai sekarang, sementara rakyat Papua sebagian besar masih terbelakang hingga saat ini.
Yang memprihatinkan lagi, monumen pembebasan Irian Barat yang dulu tentunya dibuat dengan bahan yang mahal dan mutunya patut mendapat pujian, sekarang rusak parah. Monumen yang  dulunya  penuh dengan pagar dan pintu dari bahan stainless steel, sudah banyak yang  hilang. Lampu – lampunya di setiap sudut sudah hilang semua dan tidak  terawat. Menurut hemat penulis yang telah masuk Jakarta pada tahun 1976, kerusakan terjadi setelah kepindahan Terminal Lapangan Banteng dan setelah kawasan itu diubah menjadi tempat pameran tetap tahunan flora dan fauna. Lalu,siapa yang harus bertanggung jawab terhadap monumen yang seharusnya bisa menjadi salah satu ikon ibukota RI selain Monas itu?. Gubernur DKI Jakarta,  Menteri Pariwisata & Ekonomi Kreatif, Menteri Pendidikan & Kebudayaan, Sekretariat Negara atau siapa yang harus menjaga kekayaan seni , budaya, dan karya intelektual  yang bernilai sejarah itu?.
Oleh karena itu jangan heran apabila saat ini Papua terus bergejolak. Salah satu sebabnya barangkali   mungkin karena generasi penerus telah lalai dan menyalahgunakan kekuasaan yang sudah disandangnya. Wahai bangsa  Indonesia  terutama yang menjadi pemimpin, sadar dan amanahlah sebagai generasi penerus yang mewarisi pusaka dari para pendahulu, jangan sampai kita mendapat predikat hanya pandai merusaknya!. ****