Entri yang Diunggulkan

GENERASI PENDOBRAK JILID III

 Harian Rakyat Merdeka terbitan 20 April  2010,memuat artikel dengan judul “Bodoh Permanen” yang ditulis oleh Arif Gunawan. Tulisan tersebut...

Kamis, 10 Maret 2016

Celoteh Prof. Yusril Ihza Mahendra


Pada tanggal 15 Februari 2016 di TVOne, entah dalam rangka pra kampanye karena ingin jadi Gubernur DKI Jakarta atau ada motif lain. Prof.Yusril Ihza Mahendra tiba-tiba memuji Soeharto, yang menurutnya hebat, karena mau mundur ketika mendapat perlawanan dari rakyat. Hal  ini berbeda dengan yang terjadi di Timur Tengah yang terus  bertahan memerintah ketika menghadapi protes rakyatnya,  sehingga sampai sekarang di kawasan itu masih kacau balau entah sampai kapan. Sebenarnya sih, bukan masalah mau mundur atau tidak mau mundur, tetapi yang harus dipahami adalah latar belakangnya kenapa ia/seorang pemimpin dipaksa mundur. Itulah yang perlu diingat dan jangan dikaburkan seolah-olah hebat. Sebab, kenyataan sejarah menunjukkan, bahwa sebenarnya Soeharto sudah beberapa kali diminta mundur atau tidak dicalonkan lagi sebagai presiden. Ingat peristiwa Malari 1974, aksi mahasiswa 1978/1979  dan 1984/1985, tetapi tetap bertahan dengan selalu menjadi Capres calon tunggal karena Panggabean, Benny Moerdani, Soedomo pandai mengawal dengan ganas dan mematikan. Rupanya tahun 1997/1998 sudah titi mangsane, Allah sudah tidak meridhoi sehingga terjadilah peristiwa yang seolah-olah konstitusional dan seakan-akan berjiwa besar. Padahal, mundurnya Soeharto dan tanpa gejolak di Indonesia, itu karena fakta sebagai berikut:
·         ABRI sudah tidak represif  lagi seperti masa-masa yang lalu.
·         Demokrasi yang sudah lama kita idamkan memang sudah bergulir dan tidak terbendung.
·         Kegiatan demonstrasi murni menuntut perubahan, bukan kudeta, sehingga tidak ada tokoh yang dielu-elukan yang kemudian mengambil- alih kekuasaan seperti yang terjadi pada tahun 1966 dari Presiden Soekarno kepada Jenderal Soeharto.
·         Bangsa Indonesia bukan bangsa Arab yang sepanjang sejarahnya memang suka bertengkar. Oleh karena itu para Nabi dan Rasul selalu diturunkan oleh Allah di tanah Arab. Sehingga jangan heran, ketika Soeharto mau mundur semua tenang-tenang saja, tidak ada kegaduhan.
·         Yang hebat sebenarnya para tokoh reformasi, yang berhasil menurunkan seorang diktator dengan cara-cara damai. Belum lagi bicara tentang keberhasilan pembangunan yang selalu mereka dengung-dengungkan, pertumbuhan 7% per tahun terutama selama PJPT I dan katanya menuju saat tinggal landas. Nyatanya, masih tinggal di landasan, padahal  kekayaan alam habis dikuras bangsa asing (emas, tembaga, nikel, minyak bumi, batubara) dan hutan digunduli dalam waktu 32 tahun. Belum lagi hutang dan bantuan asing yang dihambur-hamburkan, pada hal hasil akhirnya, ekonomi ringsek dan marak KKN sehingga ia dituntut mundur oleh masyarakat yang memahami keadaan yang sebenarnya.
·         Pada dasarnya bangsa Indonesia itu cinta damai,.hanya para elite dan para cecunguknyalah yang membuat gaduh. Sebagai contoh, Soeharto mungkin sudah tenang di alam baka sana, tetapi kenapa sejak menjelang Pemilu 2014 beredar gambar/ stiker sosok Soeharto yang seolah-olah berkata,”piye kabare, enak jamanku to?” atau ada yang berdalil, seolah Soeharto berjiwa besar karena mau mundur secara ksatria, walaupun kenyataannya tidak ksatria karena ketika mau diadili pura-pura sakit dengan berbagai rekayasanya. Padahal, dia mundur dengan terpaksa karena sebenarnya masih berambisi untuk terus berkuasa. Sebagai buktinya, ketika ketua KNPI dipegang oleh Aulia Rachman, dia dipanggil ke Cendana bersama pengurus KNPI yang lain. Sesudah itu dia (Aulia) memberikan konferensi pers yang menyatakan antara lain: “Bapak Presiden menyatakan, bahwa yang mengusulkan jabatan presiden harus dibatasi, itu mengebiri UUD 1945”. Nampaknya Soeharto bereaksi ketika ada wacana yang bergulir ingin adanya UU yang membatasi jabatan presiden.
·         Apabila kita ingin jujur sebagai bangsa, pernyataan yang benar seharusnya berbunyi: “piye kabare, kowe goleki Supersemar sing asli, to? Coba goleki sampek kiamat, mesti kowe ora bisa nemokke, hore!” atau “piye kabare, enak jamanku to? Kekayaan alam (Emas, tembaga, nikel, minyak bumi) lan hutan wis tak gunduli sampek entek, mulo aku biso awet kuoso to? He he, he,kowe saiki podo manyun mergo ngadepi putus kontrak opo ora, lan kowe ngalami kebakaran hutan di mana-mana saben taun to?.”
·         Ada lagi mengenai swa sembada beras yang terjadi sekali pada tahun 80-an. Melimpah panen karena kemurahan Tuhan yang memberikan iklim yang baik dan tidak ada bencana, itu yang berhak kita puja-puji ya Allah SWT. Kalau usaha swa sembada itu benar karena hasil rekayasa teknologi, maka swa sembada akan terjadi terus menerus tanpa tergantung cuaca, alias bukan cuma sekali dan selalu dibangga-banggakan, padahal itu terjadi karena kemurahan Tuhan.
·         Bahkan usaha mengagungkan Soeharto masih saja terus diupayakan. Kabar terakhir, ada yang mengusulkan agar Soeharto diangkat/dikukuhkan sebagai Pahlawan Nasional. Agaknya para pendukung Soeharto tidak rela ketika ia diturunkan dari singgasana, sehingga untuk memutihkan, mereka mengusulkannya sebagai Pahlawan Nasional. Pertanyaannya adalah, kok Presiden di pahlawankan lagi? Padahal, presiden dimana pun pastinya sudah seorang pahlawan, apalagi kalau memperoleh kekuasaannya dengan  cara yang baik dan benar, bekerja dengan benar, dan mengabdi kepada rakyat/bangsa/negara secara utuh, adil, dan bijaksana, bukan mengembangkan politik belah bambu, satu kelompok diangkat, kelompok lainnya diinjak demi kelangsungan kekuasaannya. Seyogyanya, setiap orang pasti tahu bahwa yang layak disebut pahlawan adalah  seseorang yang telah berjuang dengan jiwa, raga, pikiran, dan harta benda yang melebihi kapasitasnya. Sebagai contoh, seorang perempuan pergi ke luar negeri dengan modal seadanya, kemudian dia kirimkan penghasilannya untuk keluarganya dan buka usaha  yang membuka lapangan kerja bagi orang banyak, maka dia layak disebut pahlawan. Sebaliknya, seorang guru yang menerima gaji dengan layak, kemudian mendidik ribuan anak sehingga menjadi orang yang berguna dan bermartabat, bukanlah seorang pahlawan karena dia bekerja dan menerima gaji yang selayaknya dituntut harus selalu bekerja dengan baik dan bersungguh-sungguh.   
·         Dalam suatu acara diskusi beberapa tahun yang lalu, Prof.Yusril mengingatkan agar setiap rezim harus melanjutkan program rezim sebelumnya dan tidak berbuat seolah-olah dari nol lagi. Dicontohkan, bahwa rezim ORBA (Soeharto) pernah tidak mau membayar hutang rezim Soekarno kepada suatu negara tertentu, yang sebenarnya hal ini tidak boleh terjadi karena pada hakekatnya pemerintahan itu harus berkesinambungan. Bahkan Soeharto melancarkan tindakan desoekarnoisasi secara massif sejak awal kekuasaannya. Sebagai contoh, kota Soekarnopura ibukota Irian Barat (Irian Jaya) diganti dengan Jayapura. Jembatan Bung Karno di Palembang diganti dengan Jembatan Ampera dan Istana Olah Raga Gelora Bung Karno sempat diubah menjadi Gelora Senayan. Rezim Soeharto menamakan diri ORDE BARU dan menyebut rezim Soekarno sebagai ORDE LAMA, pada hal dia sendiri ada di dalamnya karena diangkat Presiden Soekarno sebagai Panglima Kostrad, kemudian Men/Pangad/Pangkopkamtib/Wakil Perdana Menteri tetapi  terbukti kemudian menggunting dalam lipatan.
Tulisan ini dibuat untuk berbagi pendapat,bahwa yang benar itu harus dikatakan dengan benar, dan para elit yang merasa punya pengaruh janganlah mengeluarkan pendapat yang berlebihan yang justru bisa mengobarkan kembali kebencian dan permusuhan sesama anak bangsa. Semoga bangsa Indonesia mendapat keridhoan Allah s.w.t. karena mengedepankan kejujuran dan kebenaran. Amien…..yaa robbal’alamin !