Pada tanggal 15
Februari 2016 di TVOne, entah dalam rangka pra kampanye karena ingin jadi Gubernur
DKI Jakarta atau ada motif lain. Prof.Yusril Ihza Mahendra tiba-tiba memuji Soeharto,
yang menurutnya hebat, karena mau mundur ketika mendapat perlawanan dari
rakyat. Hal ini berbeda dengan yang
terjadi di Timur Tengah yang terus
bertahan memerintah ketika menghadapi protes rakyatnya, sehingga sampai sekarang di kawasan itu masih
kacau balau entah sampai kapan. Sebenarnya sih, bukan masalah mau mundur atau
tidak mau mundur, tetapi yang harus dipahami adalah latar belakangnya kenapa
ia/seorang pemimpin dipaksa mundur. Itulah yang perlu diingat dan jangan
dikaburkan seolah-olah hebat. Sebab, kenyataan sejarah menunjukkan, bahwa
sebenarnya Soeharto sudah beberapa kali diminta mundur atau tidak dicalonkan
lagi sebagai presiden. Ingat peristiwa Malari 1974, aksi mahasiswa 1978/1979 dan 1984/1985, tetapi tetap bertahan dengan
selalu menjadi Capres calon tunggal karena Panggabean, Benny Moerdani, Soedomo
pandai mengawal dengan ganas dan mematikan. Rupanya tahun 1997/1998 sudah titi mangsane, Allah sudah tidak
meridhoi sehingga terjadilah peristiwa yang seolah-olah konstitusional dan
seakan-akan berjiwa besar. Padahal, mundurnya Soeharto dan tanpa gejolak di
Indonesia, itu karena fakta sebagai berikut:
·
ABRI sudah tidak represif lagi seperti masa-masa yang lalu.
·
Demokrasi yang sudah lama kita idamkan
memang sudah bergulir dan tidak terbendung.
·
Kegiatan demonstrasi murni menuntut
perubahan, bukan kudeta, sehingga tidak ada tokoh yang dielu-elukan yang
kemudian mengambil- alih kekuasaan seperti yang terjadi pada tahun 1966 dari
Presiden Soekarno kepada Jenderal Soeharto.
·
Bangsa Indonesia bukan bangsa Arab yang
sepanjang sejarahnya memang suka bertengkar. Oleh karena itu para Nabi dan
Rasul selalu diturunkan oleh Allah di tanah Arab. Sehingga jangan heran, ketika
Soeharto mau mundur semua tenang-tenang saja, tidak ada kegaduhan.
·
Yang hebat sebenarnya para tokoh
reformasi, yang berhasil menurunkan seorang diktator dengan cara-cara damai.
Belum lagi bicara tentang keberhasilan pembangunan yang selalu mereka
dengung-dengungkan, pertumbuhan 7% per tahun terutama selama PJPT I dan katanya
menuju saat tinggal landas. Nyatanya, masih tinggal di landasan, padahal kekayaan alam habis dikuras bangsa asing
(emas, tembaga, nikel, minyak bumi, batubara) dan hutan digunduli dalam waktu
32 tahun. Belum lagi hutang dan bantuan asing yang dihambur-hamburkan, pada hal
hasil akhirnya, ekonomi ringsek dan marak KKN sehingga ia dituntut mundur oleh
masyarakat yang memahami keadaan yang sebenarnya.
·
Pada dasarnya bangsa Indonesia itu cinta
damai,.hanya para elite dan para cecunguknyalah yang membuat gaduh. Sebagai contoh,
Soeharto mungkin sudah tenang di alam baka sana, tetapi kenapa sejak menjelang Pemilu
2014 beredar gambar/ stiker sosok Soeharto yang seolah-olah berkata,”piye
kabare, enak jamanku to?” atau ada yang berdalil, seolah Soeharto berjiwa besar
karena mau mundur secara ksatria, walaupun kenyataannya tidak ksatria karena
ketika mau diadili pura-pura sakit dengan berbagai rekayasanya. Padahal, dia
mundur dengan terpaksa karena sebenarnya masih berambisi untuk terus berkuasa.
Sebagai buktinya, ketika ketua KNPI dipegang oleh Aulia Rachman, dia dipanggil
ke Cendana bersama pengurus KNPI yang lain. Sesudah itu dia (Aulia) memberikan
konferensi pers yang menyatakan antara lain: “Bapak Presiden menyatakan, bahwa
yang mengusulkan jabatan presiden harus dibatasi, itu mengebiri UUD 1945”.
Nampaknya Soeharto bereaksi ketika ada wacana yang bergulir ingin adanya UU
yang membatasi jabatan presiden.
·
Apabila kita ingin jujur sebagai bangsa,
pernyataan yang benar seharusnya berbunyi: “piye kabare, kowe goleki Supersemar
sing asli, to? Coba goleki sampek kiamat, mesti kowe ora bisa nemokke, hore!”
atau “piye kabare, enak jamanku to? Kekayaan alam (Emas, tembaga, nikel, minyak
bumi) lan hutan wis tak gunduli sampek entek, mulo aku biso awet kuoso to? He
he, he,kowe saiki podo manyun mergo ngadepi putus kontrak opo ora, lan kowe
ngalami kebakaran hutan di mana-mana saben taun to?.”
·
Ada lagi mengenai swa sembada beras yang
terjadi sekali pada tahun 80-an. Melimpah panen karena kemurahan Tuhan yang
memberikan iklim yang baik dan tidak ada bencana, itu yang berhak kita
puja-puji ya Allah SWT. Kalau usaha swa sembada itu benar karena hasil rekayasa
teknologi, maka swa sembada akan terjadi terus menerus tanpa tergantung cuaca,
alias bukan cuma sekali dan selalu dibangga-banggakan, padahal itu terjadi
karena kemurahan Tuhan.
·
Bahkan usaha mengagungkan Soeharto masih
saja terus diupayakan. Kabar terakhir, ada yang mengusulkan agar Soeharto diangkat/dikukuhkan
sebagai Pahlawan Nasional. Agaknya para pendukung Soeharto tidak rela ketika ia
diturunkan dari singgasana, sehingga untuk memutihkan, mereka mengusulkannya
sebagai Pahlawan Nasional. Pertanyaannya adalah, kok Presiden di pahlawankan lagi?
Padahal, presiden dimana pun pastinya sudah seorang pahlawan, apalagi kalau memperoleh
kekuasaannya dengan cara yang baik dan
benar, bekerja dengan benar, dan mengabdi kepada rakyat/bangsa/negara secara
utuh, adil, dan bijaksana, bukan mengembangkan politik belah bambu, satu
kelompok diangkat, kelompok lainnya diinjak demi kelangsungan kekuasaannya.
Seyogyanya, setiap orang pasti tahu bahwa yang layak disebut pahlawan adalah seseorang yang telah berjuang dengan jiwa,
raga, pikiran, dan harta benda yang melebihi kapasitasnya. Sebagai contoh,
seorang perempuan pergi ke luar negeri dengan modal seadanya, kemudian dia
kirimkan penghasilannya untuk keluarganya dan buka usaha yang membuka lapangan kerja bagi orang banyak,
maka dia layak disebut pahlawan. Sebaliknya, seorang guru yang menerima gaji
dengan layak, kemudian mendidik ribuan anak sehingga menjadi orang yang berguna
dan bermartabat, bukanlah seorang pahlawan karena dia bekerja dan menerima gaji
yang selayaknya dituntut harus selalu bekerja dengan baik dan
bersungguh-sungguh.
·
Dalam suatu acara diskusi beberapa tahun
yang lalu, Prof.Yusril mengingatkan agar setiap rezim harus melanjutkan program
rezim sebelumnya dan tidak berbuat seolah-olah dari nol lagi. Dicontohkan,
bahwa rezim ORBA (Soeharto) pernah tidak mau membayar hutang rezim Soekarno
kepada suatu negara tertentu, yang sebenarnya hal ini tidak boleh terjadi
karena pada hakekatnya pemerintahan itu harus berkesinambungan. Bahkan Soeharto
melancarkan tindakan desoekarnoisasi secara massif sejak awal kekuasaannya.
Sebagai contoh, kota Soekarnopura ibukota Irian Barat (Irian Jaya) diganti
dengan Jayapura. Jembatan Bung Karno di Palembang diganti dengan Jembatan
Ampera dan Istana Olah Raga Gelora Bung Karno sempat diubah menjadi Gelora
Senayan. Rezim Soeharto menamakan diri ORDE BARU dan menyebut rezim Soekarno
sebagai ORDE LAMA, pada hal dia sendiri ada di dalamnya karena diangkat
Presiden Soekarno sebagai Panglima Kostrad, kemudian
Men/Pangad/Pangkopkamtib/Wakil Perdana Menteri tetapi terbukti kemudian menggunting dalam lipatan.
Tulisan ini dibuat
untuk berbagi pendapat,bahwa yang benar itu harus dikatakan dengan benar, dan
para elit yang merasa punya pengaruh janganlah mengeluarkan pendapat yang
berlebihan yang justru bisa mengobarkan kembali kebencian dan permusuhan sesama
anak bangsa. Semoga bangsa Indonesia mendapat keridhoan Allah s.w.t. karena
mengedepankan kejujuran dan kebenaran. Amien…..yaa robbal’alamin !