Entri yang Diunggulkan

GENERASI PENDOBRAK JILID III

 Harian Rakyat Merdeka terbitan 20 April  2010,memuat artikel dengan judul “Bodoh Permanen” yang ditulis oleh Arif Gunawan. Tulisan tersebut...

Sabtu, 24 Desember 2016

Natal Bersama 1996 di Kupang

Pada tahun 1996 /1997 , tepatnya Juli 1996 sampai dengan September 1997 saya menjabat sebagai Kepala Cabang sebuah BUMN di Kupang yang wilayah kerjanya meliputi seluruh wilayah NTT (Nusa Tenggara Timur) dan Timor Timur.
Menjelang perayaan Natal 1996 datang beberapa orang pemuda – pemudi ke rumah dinas saya. Rupanya mereka berasal dari Panitia Natal Provinsi NTT. Mereka menyampaikan undangan Natal Bersama dengan menyodorkan  kartu undangan yang di bagian pojoknya ada bakal potongan dan terdapat tulisan nilai nominal uang sebesar Rp 1.000.000,-(satu juta rupiah).
Setelah ngobrol sana – sini dan sempat sejenak berpikir , lalu kepada mereka saya bertanya :” Maaf , barangkali diantara anda  ada yang tahu kalau saya keluarga  muslim ? .”
Seseorang di antara mereka menjawab :” Kami tahu Bapak muslim. Karena Bapak adalah pimpinan suatu instansi maka Bapak kami undang. Mohon maaf  bila Bapak tidak berkenan. “
“ Kalau begitu , saya akan sekedar menyumbang saja ,ya ! ,  “ kata saya kemudian.  “ Maaf pak ,  berapa Bapak akan menyumbang ?,” tanya seseorang di antara mereka.
Setelah saya menyebut sejumlah angka tertentu , mereka menyahut bahwa panitia tidak bermaksud meminta – minta sumbangan.
“ Yang kami minta adalah pertisipasi Bapak untuk kesuksesan Perayaan Natal Bersama  yang nilainya sudah kami tetapkan, yaitu sebesar Rp 1.000.000; . Kalau Bapak tidak berkenan , kami mohon diri , pak.”

Saya kemudian sadar dan malu bahwa dalam rangka toleransi kehidupan beragama, maka  saling bantu membantu adalah merupakan budaya yang harus dijunjung tinggi. Maka saya segera menyahut bahwa saya bermaksud membantu tetapi uangnya boleh diambil besok sore.
Saya juga sadar bahwa saya berada di suatu kota dan lingkungan wilayah yang waktu itu saya amati tidak pernah ketemu atau melihat pengemis atau peminta – minta seperti  yang banyak terdapat di Pulau Jawa, misalnya. Suatu budaya yang lain dari pada yang lain dan saya harus hargai dan hormati.

Sebagai Kepala Instansi , saya menghadiri perayaan Natal dan menyambut tahun baru bersama tersebut , bersama Gubernur NTT dan jajaran pemerintah propinsi NTT serta para pimpinan instansi lainnya. Saya mengikuti acara tersebut dengan seksama dari awal acara hingga selesai, yang disuguhi juga dengan berbagai seni budaya lokal yang kaya dan menarik. Kesan saya , alangkah indahnya hidup dalam kebersamaan , saling gotong royong, dan saling menghargai satu sama lain.***  (artikel ini pernah dikirim ke Harian Kompas pada Desember 2011)

Selasa, 20 September 2016

Dicari : Kepala Daerah yang DJAKARTA !


 
Salah satu hasil reformasi yang gegap gempita di Indonesia adalah dipilihnya Kepala Daerah secara langsung oleh rakyat melalui Pemilukada. Maka berbondong-bondonglah orang yang merasa mampu dan merasa bisa (rumongso biso), mendaftar jadi calon Bupati, Walikota, Gubernur bahkan Presiden. Gambar mereka terpampang dimana-mana dengan berbagai pose dan kata-kata mutiaranya. Lucunya, rata-rata gambar mereka tampil dengan senyum menyeringai bak mempertontonkan taringnya. Anak saya yang masih mahasiswa menyindir, bahwa itu menunjukkan jangan-jangan mereka hanya siap menerkam mangsa atau barang jarahan, alias korupsi.
            Mereka berebut ingin dipilih rakyat dengan berbagai cara, kiat dan tipu dayanya. Sementara rakyat yang umumnya belum cerdas, bingung bagaimana menentukan pilihannya. Ada kelompok masyarakat yang secara terang-terangan mengakui bahwa mereka hanya mau memilih calon yang mau kenal mereka, dan wujud perkenalan itu adalah uang. Siapa yang mengirim utusan dan mau bagi-bagi uang, berarti dia mau mengenal mereka dan itulah yang layak dipilih. Sehingga jangan heran apabila ada politik uang di negeri ini selagi masih ada kemiskinan dan kebodohan.
            Terlepas dari sisi negatif tersebut, kiranya kepada para pemilih perlu diberikan gambaran bagaimana siasat menentukan pilihan Kepala Daerah yang mendekati kebenaran atau ketepatan, bukan asal pilih apalagi salah pilih.

DJAKARTA
Beberapa waktu yang lalu, Todung Mulya Lubis menulis artikel di sebuah harian ibukota yang mengungkap pendapat Lech Walesa (Mantan Presiden Polandia) mengenai mutu pembangunan suatu bangsa. Pada waktu itu dia sehabis memberikan Presidential Lecture di hadapan Presiden SBY dan jajaran Kabinet Indonesia Bersatu II. Menurut Lech Walesa, mutu pembagunan suatu bangsa itu dapat dilihat bagaimana penataan ibukotanya.Sebab, Ibukota suatu Negara adalah cerminan kondisi suatu bangsa apakah semrawut, jorok, amburadul atau tertib dan rapih.
            Oleh karena itu dalam diskursus ini penulis ingin mengambil nama “ibukota Negara Kita” sebagai sumber inspirasi, bagaimana memilih Kepala Daerah yang tepat sasaran. Secara kebetulan, ibukota RI adalah DJAKARTA (dengan ejaan lama), maka cukup tepat apabila kata itu kita jadikan istilah umum untuk pedoman mengikuti Pemilukada di Indonesia. DJAKARTA disini adalah merupakan akronim dari kata kunci: (D)edikasi, (J)ujur, (A)presiatif, (K)reatif, (A)sih dan (A)suh, (R)amah, (T)egas,  (T)rengginas serta (T)eladan dan (A)njangsana. Dedikasi dimaksudkan, bahwa seseorang yang mencalonkan diri haruslah yang mempunyai dedikasi terhadap profesinya, untuk apa dia mencalonkan diri. Layaknya, orang yang punya dedikasi adalah orang yang profesional dan siap mengabdikan segala jiwa raga dan pikirannya untuk kepentingan rakyat, daerah dan Negara. Gambaran profesional seorang kepala daerah adalah tahu segala masalah yang mendesak dan mampu mencari jalan keluarnya serta berkarakter dan berjiwa pembelajar. Sosok pembelajar adalah manusia yang selalu mau belajar, bertanya, dan mengamati serta mengikuti dan mencontoh karya orang lain yang lebih baik. Jujur adalah tuntutan karakter untuk orang yang punya dedikasi. Dia tidak akan melakukan kecurangan walaupun punya kesempatan yang seluas-luasnya. Apresiatif adalah gambaran bahwa ia penganut paham demokratis yang mau mendengar segala pendapat dan ide yang berkembang dalam rangka membangun daerah dan Negara. Bahwa setiap pemimpin yang apresiatif harus mampu menggali potensi rakyatnya untuk dikembangkan demi kemajuan bersama.
Kreatif, bahwa seorang pemimpin harusnya selalu kreatif dalam mengembangkan daerah dan negaranya. Kreatifitas yang visioner sangat diperlukan, disertai kejujuran dan kecerdasan seorang pemimpin. Sebagai contoh, perlukah sebuah patung penanda jalan harus dibangun? Mengingat besarnya biaya dan permasalahan mendesak yang harus dihadapi dan ditanggulangi, mungkin lebih bijaksana apabila anggaran yang ada untuk perbaikan sekolah, prasarana, perumahan penduduk yang tidak layak, pengerukan kali, dan lain-lain. Untuk pengingat jalan, sebaiknya cukup diinstruksikan saja agar setiap kantor, instansi atau toko dan tempat/dunia usaha mencantumkan juga nama jalan dan nomor serta kode posnya, maka itu lebih bermakna dibanding membangun patung yang setiap orang mungkin tidak peduli.

Asih dan Asuh dimaksudkan bahwa seorang pemimpin adalah yang mampu mengasihi dan membimbing rakyatnya, Mampu mengatasi kemacetan, kesemrawutan, sampah, ledakan penduduk, ketertiban dan keamanan adalah suatu bentuk profesionalisme yang asih dan asuh seorang Kepala Daerah terhadap permasalahan rakyatnya. Sebaliknya, pembiaran terhadap masalah kemacetan, banjir, kekumuhan dan polusi adalah salah satu bentuk sikap tidak asih dan tidak asuh, kurang dedikasi dan tidak profesional.
Ramah, bahwa seorang pemimpin haruslah selalu bersikap ramah terhadap seluruh rakyatnya tanpa dibuat-buat. Sikap arogan dan angkuh adalah sifat yang harus dijauhi oleh seorang pemimpin agar kepemimpinannya dapat berhasil dengan baik secara sinergis, efisien, dan efektif.
Tegas, Trengginas, dan Teladan (3T), adalah tiga sikap yang mutlak harus dimiliki oleh seorang pemimpin agar pencapaian visi dan misinya dapat berhasil dengan baik. Penghargaan dan penegakan hukum serta pemberian sanksi haruslah diterapkan secara tegas dan konsisten melalui pengamatan dan evaluasi yang trengginas dalam arti dilakukan secara terus menerus, menyeluruh, terukur, tepat dan cepat. Sebagai contoh, penertiban PKL itu seharusnya dilakukan secara terus menerus dengan adil dan bijaksana. Tidak boleh sampai meleng alias lengah dan sesudah itu mengobrak-abrik lagi. Juga jangan sampai ada renovasi sekolah tidak bermutu tetapi tidak terdeteksi sehingga ambruk dan membawa korban. Ada anak sekolah menyeberang sungai tanpa jembatan, serta wilayah di pelupuk matanya banjir parah tanpa bisa diketahui penyebabnya, padahal Gubernurnya mengantongi bejibun tanda penghargaan dan Wagubnya pandai beriklan, adalah merupakan petunjuk bahwa keduanya agaknya kurang blusukan dan kurang professional. Kepala Daerah harusnya memberikan teladan bagi rakyatnya, bukan pecandu narkoba, jujur dan tidak korup, disiplin serta kerja keras.
Dan yang terakhir adalah Anjangsana. Bahwa seorang pemimpin yang profesional dan penuh dedikasi adalah seseorang yang selalu rajin beranjangsana dan blusukan terhadap wilayah kerjanya. Dia bukanlah orang yang gila hormat dan selalu duduk manis di belakang meja dengan mengandalkan laporan ABS (Asal Bapak Senang). Rajin beranjangsana ke seluruh pelosok wilayah kerjanya adalah ciri pemimpin yang berdedikasi tinggi sebagai administrator pemerintahan. Melalui anjangsana langsung memungkinkan seorang pemimpin mengetahui dengan pasti semua persoalan yang dihadapi rakyatnya. Jangan sampai ada seorang Gubernur yang wilayahnya kecil, marah-marah gara-gara masjid yang diresmikan, bentuknya atau pekerjaannya kurang rapi. Ini bukti bahwa Kepala Daerah itu kurang profesional dan kurang blusukan, padahal Presiden Jokowi sudah mengajarkan mengenai manajemen blusukan yang sangat terkenal sebagai alat control dan pengawasan di lapangan. Bahkan pada waktu sekarang ini, masih ada seorang Walikota tetangga Ibukota RI, membangun stadion mini yang super jelek karena tanpa sentuhan arsitek dan oleh pelaksana yang terkesan asal-asalan.
Alhasil, pemimpin yang ideal adalah yang memiliki pribadi dan karakter serta mutu yang DJAKARTA sebagaimana diuraikan secara garis besarnya di atas. Semoga kita tidak salah memilih Kepala Daerah, sehingga seluruh daerah di Indonesia bisa menjadi Singapura-Singapura yang indah, maju dan mandiri,  tidak serba terbelakang seperti sekarang ini. Sebab, pada dasarnya, Kota Administratif/Kabupaten dan Provinsi di negeri kita ini adalah merupakan singapura-singapura yang banyak jumlahnya. Kalau saja para Kepala Daerahnya bermutu “DJAKARTA” dan sekaliber pemimpin di Singapura, bukan mustahil, seluruh Indonesia yang indah dan kaya raya akan tercapai. Tetapi entah, sampai kapan ?!*****

Kamis, 15 September 2016

Upaya Memajukan Persepakbolaan di Indonesia



Perhatian masyarakat dunia selama bulan Ramadhan 2016 kemarin tercurah ke perhelatan Piala Amerika di Amerika Serikat dan Piala Eropa di Perancis. Tidak tanggung–tanggung, dari rakyat biasa sampai Presiden dan Raja serta Ratu menaruh perhatian yang besar terhadap jenis olahraga yang paling populer di muka bumi ini. Suatu bangsa boleh saja miskin atau saling bertikai,tetapi dengan sepak bola seolah semuanya menjadi tidak ada masalah. Dengan jumlah pemain  sebanyak 11 orang dalam setiap laga,sepak bola memang dapat dianggap bisa mewakili atau merupakan representasi suatu bangsa. Maka tidak heran apabila ada pimpinan negara sampai turun tangan dalam mempersiapkan tim negaranya dan terus mengikuti perkembangan sepak terjang timnya yang sedang berlaga. Gejala tersebut bisa jadi karena dalam perkembangannya,olah raga sepak bola apalagi perhelatan setingkat Piala Dunia mampu membangkitkan ekonomi kreatif bangsa – bangsa di seluruh dunia walaupun negara tersebut tidak ikut berlaga di Piala Dunia.
Sebagai contoh, Pemerintah Afsel yang pernah sebagai penyelenggara Piala Dunia 2010 yang lalu, mengaku mengalami pertumbuhan ekonomi yang cukup menjanjikan. Ada sekitar 600 ribu lapangan pekerjaan tercipta selama event berlangsung, dimana 200 ribu di antaranya menjadi permanen dan 100 ribu lainnya merupakan kegiatan insidentil. Afsel juga kebanjiran 500 ribu wisatawan penonton yang datang dari berbagai penjuru dunia (Media Indonesia,3 Juli 2010). Bahkan Spanyol juga sempat berharap bisa mengalami pertumbuhan ekonomi yang tinggi setelah berhasil menjadi juara Piala Dunia 2010. Spanyol berharap bisa seperti Italia yang mengalami pertumbuhan yang cukup tinggi di bidang pariwisata setelah berhasil menjadi juara Piala Dunia 2006 yang lalu.
Bagaimana dengan masyarakat kita di Indonesia?. Ternyata,kita pun dilanda demam bola. Sebagai contoh, anak – anak kecil di mana–mana terlihat banyak yang bermain bola. Apabila kita kilas balik menengok ke belakang, perhelatan nonton bareng juga diadakan di berbagai tempat. Bali yang terkenal dengan seni pahatnya, pada waktu Piala Dunia 2010 yang lalu  berhasil menciptakan boneka yang menggambarkan pemain – pemain favorit  dunia dan berhasil menarik perhatian para penonton dan penggemar bola di Afrika Selatan. Indomaret dan Alfamaret,sebagai contoh, juga ikut – ikutan menjual pernak –  pernik Piala Dunia yang berupa bola,kaos,gelas,dan lain – lain. Bahkan Presidan SBY pada waktu itu  bersama beberapa Menteri KIB II menyempatkan nonton bareng di Ballroom Puri Kencana Hotel Intercontinental – Bali pada laga pembukaan pada tanggal 11 Juni 2010 dan juga nonton bareng di kediaman Puri Cikeas. Yang menarik,Presiden SBY juga  sempat mempertanyakan dua hal kepada Menteri Negara Pemuda & Olah Raga pada masa itu, Andi Mallarangeng. Yang pertama,kapan PSSI bisa tampil di arena final Piala Dunia. Dan yang kedua,Presiden sempat mendiskusikan goal Meksiko atas Afrika Selatan yang dianulir wasit.
Pertanyaan Presiden SBY tersebut semestinya perlu mendapat  jawaban dalam rangka memajukan persepak bolaan di Indonesia. Sekaligus menindaklanjuti cita – cita Presiden yang pernah di sampaikan dalam kongres Sepak Bola Indonesia di Malang beberapa waktu yang lalu,yang menginginkan agar PSSI bisa berjaya kembali seperti yang pernah diraih pada masa lalu.
Jawaban itu sebenarnya antara lain sudah tersirat dalam percakapan antara Presiden dan Menegpora bahwa pesepak – bolaan Indonesia masih pada tahap kategori kelas ngambek manakala wasit dianggap keliru dalam mengambil keputusan (kata Menegpora). Lalu,wasit diburu dan disantet kalau tidak berhasil ditangkap (komentar Presiden).  Dan jawaban kedua,agaknya ada pada iklan Bodrex yang seolah,meledek mutu persepabolaan di Indonesia karena pada waktu itu  mengetengahkan pesepakbola Bambang Pamungkas,pemain utama PSSI,yang dilukiskan sedang sakit kepala. Iklan tersebut tampilkan dalam sela acara tayang Piala Dunia Afrika Selatan oleh RCTI,sehingga dapat diasosiasikan bahwa sepak bola di Indonesia sedang bermasalah.
Jawaban ketiga,karena faktanya memang persepakbolaan di Indonesia sedang mengalami kemunduran, bahkan hingga sekarang ini. Banyak yang tidak peduli lagi dengan olah raga rakyat ini. Sebagai contoh,kalau pada tahun 60 – an di daerah saya di Gresik ada lapangan bola di desa Benjeng dekat SD Negeri yang  menjadi tempat latihan rutin PSB (Persatuan Sepak Bola Benjeng),sekarang sudah tidak ada lagi. Dan demikian juga lapangan bola di Alun – alun kota Gresik,sekarang lapangan tersebut sudah tidak ada lagi,padahal dulu tempat  latihan rutin PSHW,PS Gapura, PS Sidolig, Persegres dan lain-lain.. Di Jalan Ratna,Jatiasih – Bekasi dekat tempat tinggal saya sekarang,sekitar beberapa tahun yang lalu masih ada lapangan bola yang justru letaknya dekat dengan SDN setempat. Tetapi sekarang,tanah lapang tersebut sudah berubah menjadi ruko. Konon Kepala Desa setempat terlibat dalam alih fungsi lahan ini. Di Jakarta sendiri,Lapangan Bola (Stadion) Menteng yang bersejarah telah diubah oleh Gubernurnya menjadi taman, dan hampir tidak ada yang berusaha menghalangi kebijakan alih fungsi stadion tersebut..Hal ini tidak mengherankan karena mantan Gubernur yang mengambil kebijakan pembongkaran ternyata lebih menyempatkan diri main wayang orang justru pada saat orang ramai nonton dan memperbincangkan final Piala Dunia di mana – mana.
Dan mungkin banyak lagi kasus seperti ini di seluruh Indonesia. Oleh karena itu jangan heran kalau anak – anak sekarang hanya bisa main bola di Futsal atau di jalan – jalan dan pekarangan kosong karena makin langkanya lapangan bola di sekitar kita. Mungkin sudah saatnya ada kebijakan resmi pemerintah yang menganjurkan agar setiap pengembang perumahan di wajibkan menyediakan lapangan bola yang representative.
Yang keempat,perlu pencanangan agar “Indonesia melamar menjadi tuan rumah Piala Dunia” walaupun untuk penyelenggaraan pada masa yang jauh  mendatang. Dan bersamaan pencanangan itu perlu ada gerakan massal yang menunjang pembinaan persepakbolaan oleh Pemerintah Pusat dan Daerah,sekolah,pengusaha,BUMN,Parpol,dan Ormas serta seluruh masyarakat luas. Juga perlunya cita – cita membangun stadion bertaraf internasional seperti Gelora Bung Karno sebanyak – banyaknya di seluruh Indonesia. Momentum penyelenggaraan PON (Pekan Olah Raga Nasional) bisa dimanfaatkan untuk membangun stadion ini,tetapi bukan asal jadi apalagi kalau besar korupsinya.
Jadikan gerakan demam sepak bola yang fair dan sportif kapan saja dan di mana saja dalam rangka mencapai cita – cita pertumbuhan ekonomi melalui sektor olah raga khususnya sepak-bola  dan pariwisata, dan dalam rangka mengubah citra negara yang dewasa ini hanya mampu sebagai pengekspor TKI murahan,menjadi negara pengekspor pemain bola yang handal.
Ada fakta sejarah yang perlu disadari oleh generasi sekarang maupun generasi yang akan datang bahwa Indonesia antara lain pernah dijajah Portugis dan Belanda dalam jangka waktu yang cukup lama. Dua negara itu termasuk kampiunnya sepak bola di muka bumi ini. Sehingga sepantasnya, apabila kita semua berharap agar bangsa Indonesia bisa mewarisi bakat sepak bola ini sebagaimana Brasil,Argentina,Ghana,dan lain – lain yang sanggup berprestasi menyusul negeri penjajahnya. Dan apabila dihubungkan dengan kesamaan kultur dan emosional, bisa saja kita melakukan pembibitan dan pembinaan yang seksama di kawasan Tapanuli, Sulawesi Utara, Maluku, Nusa Tenggara Timur dan Papua. 
Sebagai jawaban terakhir, mantan Presiden Bill Clinton saja mau menyempatkan diri hadir ke Afrika Selatan dalam rangka ikut kampanye Amerika Serikat melamar menjadi tuan rumah Piala Dunia lagi. Lalu,kapan para pemimpin Indonesia mau melibatk an diri ikut kampanye membudayakan sepak bola sebagai gerakan olah raga rakyat?. Itulah yang kita tunggu,dari sekarang,dalam rangka merevitalisasi persepak bolaan di Indonesia. Dalam hal ini kita perlu memberikan penghargaan kepada Kompas – Gramedia yang mau menyisakan sebagian keuntungannya untuk pembinaan sepak bola dengan menggulirkan Liga Kompas Indonesia U – 14. Semoga langkah ini diikuti juga oleh pengusaha – pengusaha besar lainnya di seluruh Indonesia. Demikian juga, upaya pada masa Presiden Jokowi yang sudah mulai mengadakan berbagai turnamen sepakbola dapat terus berlanjut, berkesinambungan dan semakin bermutu. Jangan sampai kita yang berpenduduk lebih dari 250 juta jiwa, kalah dengan Islandia yang penduduknya tidak sampai 350 ribu jiwa tetapi mampu eksis di Piala Eropa 2016.
Dengan  merevitalisasi persepakbolaan  di Indonesia dari sekarang secara bersungguh-sungguh dan dengan melibatkan berbagai komponen bangsa,semoga Indonesia memang bisa hebat ”dalam segala hal”, termasuk dalam dunia sepak-bola!. ****  

Kamis, 10 Maret 2016

Celoteh Prof. Yusril Ihza Mahendra


Pada tanggal 15 Februari 2016 di TVOne, entah dalam rangka pra kampanye karena ingin jadi Gubernur DKI Jakarta atau ada motif lain. Prof.Yusril Ihza Mahendra tiba-tiba memuji Soeharto, yang menurutnya hebat, karena mau mundur ketika mendapat perlawanan dari rakyat. Hal  ini berbeda dengan yang terjadi di Timur Tengah yang terus  bertahan memerintah ketika menghadapi protes rakyatnya,  sehingga sampai sekarang di kawasan itu masih kacau balau entah sampai kapan. Sebenarnya sih, bukan masalah mau mundur atau tidak mau mundur, tetapi yang harus dipahami adalah latar belakangnya kenapa ia/seorang pemimpin dipaksa mundur. Itulah yang perlu diingat dan jangan dikaburkan seolah-olah hebat. Sebab, kenyataan sejarah menunjukkan, bahwa sebenarnya Soeharto sudah beberapa kali diminta mundur atau tidak dicalonkan lagi sebagai presiden. Ingat peristiwa Malari 1974, aksi mahasiswa 1978/1979  dan 1984/1985, tetapi tetap bertahan dengan selalu menjadi Capres calon tunggal karena Panggabean, Benny Moerdani, Soedomo pandai mengawal dengan ganas dan mematikan. Rupanya tahun 1997/1998 sudah titi mangsane, Allah sudah tidak meridhoi sehingga terjadilah peristiwa yang seolah-olah konstitusional dan seakan-akan berjiwa besar. Padahal, mundurnya Soeharto dan tanpa gejolak di Indonesia, itu karena fakta sebagai berikut:
·         ABRI sudah tidak represif  lagi seperti masa-masa yang lalu.
·         Demokrasi yang sudah lama kita idamkan memang sudah bergulir dan tidak terbendung.
·         Kegiatan demonstrasi murni menuntut perubahan, bukan kudeta, sehingga tidak ada tokoh yang dielu-elukan yang kemudian mengambil- alih kekuasaan seperti yang terjadi pada tahun 1966 dari Presiden Soekarno kepada Jenderal Soeharto.
·         Bangsa Indonesia bukan bangsa Arab yang sepanjang sejarahnya memang suka bertengkar. Oleh karena itu para Nabi dan Rasul selalu diturunkan oleh Allah di tanah Arab. Sehingga jangan heran, ketika Soeharto mau mundur semua tenang-tenang saja, tidak ada kegaduhan.
·         Yang hebat sebenarnya para tokoh reformasi, yang berhasil menurunkan seorang diktator dengan cara-cara damai. Belum lagi bicara tentang keberhasilan pembangunan yang selalu mereka dengung-dengungkan, pertumbuhan 7% per tahun terutama selama PJPT I dan katanya menuju saat tinggal landas. Nyatanya, masih tinggal di landasan, padahal  kekayaan alam habis dikuras bangsa asing (emas, tembaga, nikel, minyak bumi, batubara) dan hutan digunduli dalam waktu 32 tahun. Belum lagi hutang dan bantuan asing yang dihambur-hamburkan, pada hal hasil akhirnya, ekonomi ringsek dan marak KKN sehingga ia dituntut mundur oleh masyarakat yang memahami keadaan yang sebenarnya.
·         Pada dasarnya bangsa Indonesia itu cinta damai,.hanya para elite dan para cecunguknyalah yang membuat gaduh. Sebagai contoh, Soeharto mungkin sudah tenang di alam baka sana, tetapi kenapa sejak menjelang Pemilu 2014 beredar gambar/ stiker sosok Soeharto yang seolah-olah berkata,”piye kabare, enak jamanku to?” atau ada yang berdalil, seolah Soeharto berjiwa besar karena mau mundur secara ksatria, walaupun kenyataannya tidak ksatria karena ketika mau diadili pura-pura sakit dengan berbagai rekayasanya. Padahal, dia mundur dengan terpaksa karena sebenarnya masih berambisi untuk terus berkuasa. Sebagai buktinya, ketika ketua KNPI dipegang oleh Aulia Rachman, dia dipanggil ke Cendana bersama pengurus KNPI yang lain. Sesudah itu dia (Aulia) memberikan konferensi pers yang menyatakan antara lain: “Bapak Presiden menyatakan, bahwa yang mengusulkan jabatan presiden harus dibatasi, itu mengebiri UUD 1945”. Nampaknya Soeharto bereaksi ketika ada wacana yang bergulir ingin adanya UU yang membatasi jabatan presiden.
·         Apabila kita ingin jujur sebagai bangsa, pernyataan yang benar seharusnya berbunyi: “piye kabare, kowe goleki Supersemar sing asli, to? Coba goleki sampek kiamat, mesti kowe ora bisa nemokke, hore!” atau “piye kabare, enak jamanku to? Kekayaan alam (Emas, tembaga, nikel, minyak bumi) lan hutan wis tak gunduli sampek entek, mulo aku biso awet kuoso to? He he, he,kowe saiki podo manyun mergo ngadepi putus kontrak opo ora, lan kowe ngalami kebakaran hutan di mana-mana saben taun to?.”
·         Ada lagi mengenai swa sembada beras yang terjadi sekali pada tahun 80-an. Melimpah panen karena kemurahan Tuhan yang memberikan iklim yang baik dan tidak ada bencana, itu yang berhak kita puja-puji ya Allah SWT. Kalau usaha swa sembada itu benar karena hasil rekayasa teknologi, maka swa sembada akan terjadi terus menerus tanpa tergantung cuaca, alias bukan cuma sekali dan selalu dibangga-banggakan, padahal itu terjadi karena kemurahan Tuhan.
·         Bahkan usaha mengagungkan Soeharto masih saja terus diupayakan. Kabar terakhir, ada yang mengusulkan agar Soeharto diangkat/dikukuhkan sebagai Pahlawan Nasional. Agaknya para pendukung Soeharto tidak rela ketika ia diturunkan dari singgasana, sehingga untuk memutihkan, mereka mengusulkannya sebagai Pahlawan Nasional. Pertanyaannya adalah, kok Presiden di pahlawankan lagi? Padahal, presiden dimana pun pastinya sudah seorang pahlawan, apalagi kalau memperoleh kekuasaannya dengan  cara yang baik dan benar, bekerja dengan benar, dan mengabdi kepada rakyat/bangsa/negara secara utuh, adil, dan bijaksana, bukan mengembangkan politik belah bambu, satu kelompok diangkat, kelompok lainnya diinjak demi kelangsungan kekuasaannya. Seyogyanya, setiap orang pasti tahu bahwa yang layak disebut pahlawan adalah  seseorang yang telah berjuang dengan jiwa, raga, pikiran, dan harta benda yang melebihi kapasitasnya. Sebagai contoh, seorang perempuan pergi ke luar negeri dengan modal seadanya, kemudian dia kirimkan penghasilannya untuk keluarganya dan buka usaha  yang membuka lapangan kerja bagi orang banyak, maka dia layak disebut pahlawan. Sebaliknya, seorang guru yang menerima gaji dengan layak, kemudian mendidik ribuan anak sehingga menjadi orang yang berguna dan bermartabat, bukanlah seorang pahlawan karena dia bekerja dan menerima gaji yang selayaknya dituntut harus selalu bekerja dengan baik dan bersungguh-sungguh.   
·         Dalam suatu acara diskusi beberapa tahun yang lalu, Prof.Yusril mengingatkan agar setiap rezim harus melanjutkan program rezim sebelumnya dan tidak berbuat seolah-olah dari nol lagi. Dicontohkan, bahwa rezim ORBA (Soeharto) pernah tidak mau membayar hutang rezim Soekarno kepada suatu negara tertentu, yang sebenarnya hal ini tidak boleh terjadi karena pada hakekatnya pemerintahan itu harus berkesinambungan. Bahkan Soeharto melancarkan tindakan desoekarnoisasi secara massif sejak awal kekuasaannya. Sebagai contoh, kota Soekarnopura ibukota Irian Barat (Irian Jaya) diganti dengan Jayapura. Jembatan Bung Karno di Palembang diganti dengan Jembatan Ampera dan Istana Olah Raga Gelora Bung Karno sempat diubah menjadi Gelora Senayan. Rezim Soeharto menamakan diri ORDE BARU dan menyebut rezim Soekarno sebagai ORDE LAMA, pada hal dia sendiri ada di dalamnya karena diangkat Presiden Soekarno sebagai Panglima Kostrad, kemudian Men/Pangad/Pangkopkamtib/Wakil Perdana Menteri tetapi  terbukti kemudian menggunting dalam lipatan.
Tulisan ini dibuat untuk berbagi pendapat,bahwa yang benar itu harus dikatakan dengan benar, dan para elit yang merasa punya pengaruh janganlah mengeluarkan pendapat yang berlebihan yang justru bisa mengobarkan kembali kebencian dan permusuhan sesama anak bangsa. Semoga bangsa Indonesia mendapat keridhoan Allah s.w.t. karena mengedepankan kejujuran dan kebenaran. Amien…..yaa robbal’alamin !