Perhatian masyarakat dunia selama bulan Ramadhan 2016 kemarin tercurah ke
perhelatan Piala Amerika di
Amerika Serikat dan Piala Eropa di Perancis. Tidak tanggung–tanggung, dari
rakyat biasa sampai Presiden dan Raja serta Ratu menaruh perhatian yang besar
terhadap jenis olahraga yang paling populer di muka bumi ini. Suatu bangsa
boleh saja miskin atau saling bertikai,tetapi dengan sepak bola seolah semuanya
menjadi tidak ada masalah. Dengan jumlah pemain
sebanyak 11 orang dalam setiap laga,sepak bola memang dapat dianggap bisa mewakili atau merupakan
representasi suatu bangsa. Maka tidak heran apabila ada pimpinan negara sampai
turun tangan dalam mempersiapkan tim negaranya dan terus mengikuti perkembangan
sepak terjang timnya yang sedang berlaga. Gejala tersebut bisa jadi karena
dalam perkembangannya,olah raga sepak bola apalagi perhelatan setingkat Piala
Dunia mampu membangkitkan ekonomi kreatif bangsa – bangsa di seluruh dunia
walaupun negara tersebut tidak ikut berlaga di Piala Dunia.
Sebagai contoh, Pemerintah Afsel yang pernah sebagai penyelenggara Piala
Dunia 2010 yang lalu, mengaku mengalami pertumbuhan ekonomi yang cukup
menjanjikan. Ada sekitar 600 ribu lapangan pekerjaan tercipta selama event
berlangsung, dimana 200 ribu di antaranya menjadi permanen dan 100 ribu lainnya
merupakan kegiatan insidentil. Afsel juga kebanjiran 500 ribu wisatawan
penonton yang datang dari berbagai penjuru dunia (Media Indonesia,3 Juli 2010).
Bahkan Spanyol juga sempat berharap bisa mengalami pertumbuhan ekonomi yang
tinggi setelah berhasil menjadi juara Piala Dunia 2010. Spanyol berharap bisa
seperti Italia yang mengalami pertumbuhan yang cukup tinggi di bidang
pariwisata setelah berhasil menjadi juara Piala Dunia 2006 yang lalu.
Bagaimana dengan
masyarakat kita di Indonesia?. Ternyata,kita pun dilanda demam bola. Sebagai
contoh, anak – anak kecil di mana–mana terlihat banyak yang bermain bola. Apabila kita kilas balik menengok ke
belakang, perhelatan nonton bareng juga diadakan di berbagai tempat. Bali yang
terkenal dengan seni pahatnya, pada waktu Piala Dunia 2010 yang lalu berhasil menciptakan boneka yang menggambarkan
pemain – pemain favorit dunia dan
berhasil menarik perhatian para penonton dan penggemar bola di Afrika Selatan.
Indomaret dan Alfamaret,sebagai contoh, juga ikut – ikutan menjual pernak
– pernik Piala Dunia yang berupa
bola,kaos,gelas,dan lain – lain. Bahkan Presidan SBY pada waktu itu bersama beberapa Menteri KIB II menyempatkan
nonton bareng di Ballroom Puri Kencana Hotel Intercontinental – Bali pada laga
pembukaan pada tanggal 11 Juni 2010 dan juga nonton bareng di kediaman Puri
Cikeas. Yang menarik,Presiden SBY juga sempat
mempertanyakan dua hal kepada Menteri Negara Pemuda & Olah Raga pada masa
itu, Andi Mallarangeng. Yang pertama,kapan PSSI bisa tampil di arena final
Piala Dunia. Dan yang kedua,Presiden sempat mendiskusikan goal Meksiko atas
Afrika Selatan yang dianulir wasit.
Pertanyaan Presiden SBY tersebut semestinya perlu mendapat jawaban dalam rangka memajukan persepak
bolaan di Indonesia. Sekaligus menindaklanjuti cita – cita Presiden yang pernah
di sampaikan dalam kongres Sepak Bola Indonesia di Malang beberapa waktu yang
lalu,yang menginginkan agar PSSI bisa berjaya kembali seperti yang pernah
diraih pada masa lalu.
Jawaban itu sebenarnya antara lain sudah tersirat dalam percakapan antara
Presiden dan Menegpora bahwa pesepak – bolaan Indonesia masih pada tahap
kategori kelas ngambek manakala wasit dianggap keliru dalam mengambil keputusan
(kata Menegpora). Lalu,wasit diburu dan disantet kalau tidak berhasil ditangkap
(komentar Presiden). Dan jawaban kedua,agaknya ada pada iklan
Bodrex yang seolah,meledek mutu persepabolaan di Indonesia karena pada waktu
itu mengetengahkan pesepakbola Bambang
Pamungkas,pemain utama PSSI,yang dilukiskan sedang sakit kepala. Iklan
tersebut tampilkan dalam sela acara tayang Piala Dunia Afrika Selatan oleh
RCTI,sehingga dapat diasosiasikan bahwa sepak bola di Indonesia sedang
bermasalah.
Jawaban ketiga,karena faktanya memang persepakbolaan di Indonesia sedang
mengalami kemunduran, bahkan hingga sekarang ini. Banyak yang tidak peduli lagi
dengan olah raga rakyat ini. Sebagai contoh,kalau pada tahun 60 – an di daerah
saya di Gresik ada lapangan bola di desa Benjeng dekat SD Negeri yang menjadi tempat latihan rutin PSB (Persatuan
Sepak Bola Benjeng),sekarang sudah tidak ada lagi. Dan demikian juga lapangan
bola di Alun – alun kota Gresik,sekarang lapangan tersebut sudah tidak ada lagi,padahal
dulu tempat latihan rutin PSHW,PS
Gapura, PS Sidolig, Persegres dan lain-lain.. Di Jalan Ratna,Jatiasih – Bekasi
dekat tempat tinggal saya sekarang,sekitar beberapa tahun yang lalu masih ada
lapangan bola yang justru letaknya dekat dengan SDN setempat. Tetapi
sekarang,tanah lapang tersebut sudah berubah menjadi ruko. Konon Kepala Desa
setempat terlibat dalam alih fungsi lahan ini. Di Jakarta sendiri,Lapangan Bola
(Stadion) Menteng yang bersejarah telah diubah oleh Gubernurnya menjadi taman,
dan hampir tidak ada yang berusaha menghalangi kebijakan alih fungsi stadion tersebut..Hal ini tidak
mengherankan karena mantan Gubernur yang mengambil kebijakan pembongkaran ternyata lebih menyempatkan diri
main wayang orang justru pada saat orang ramai nonton dan memperbincangkan
final Piala Dunia di mana – mana.
Dan mungkin banyak lagi kasus seperti ini di seluruh Indonesia. Oleh
karena itu jangan heran kalau anak – anak sekarang hanya bisa main bola di
Futsal atau di jalan – jalan dan pekarangan kosong karena makin langkanya
lapangan bola di sekitar kita. Mungkin sudah saatnya ada kebijakan resmi
pemerintah yang menganjurkan agar setiap pengembang perumahan di wajibkan
menyediakan lapangan bola yang representative.
Yang keempat,perlu pencanangan agar “Indonesia melamar menjadi tuan rumah
Piala Dunia” walaupun untuk penyelenggaraan pada masa yang jauh mendatang. Dan
bersamaan pencanangan itu perlu ada gerakan massal yang menunjang pembinaan
persepakbolaan oleh Pemerintah Pusat dan Daerah,sekolah,pengusaha,BUMN,Parpol,dan
Ormas serta seluruh masyarakat luas. Juga perlunya cita – cita membangun stadion bertaraf
internasional seperti Gelora Bung Karno sebanyak – banyaknya di seluruh
Indonesia. Momentum penyelenggaraan PON (Pekan Olah Raga Nasional) bisa
dimanfaatkan untuk membangun stadion ini,tetapi bukan asal jadi apalagi kalau
besar korupsinya.
Jadikan gerakan demam sepak bola yang fair
dan sportif kapan saja dan di mana saja dalam rangka mencapai cita – cita
pertumbuhan ekonomi melalui sektor olah raga khususnya sepak-bola dan pariwisata, dan dalam rangka mengubah
citra negara yang dewasa ini hanya mampu sebagai pengekspor TKI murahan,menjadi
negara pengekspor pemain bola yang handal.
Ada fakta sejarah yang perlu disadari oleh generasi sekarang maupun
generasi yang akan datang bahwa Indonesia antara lain pernah dijajah Portugis
dan Belanda dalam jangka waktu yang cukup lama. Dua negara itu termasuk
kampiunnya sepak bola di muka bumi ini. Sehingga sepantasnya, apabila kita semua berharap agar bangsa Indonesia bisa mewarisi bakat sepak
bola ini sebagaimana Brasil,Argentina,Ghana,dan lain – lain yang sanggup
berprestasi menyusul negeri penjajahnya. Dan apabila dihubungkan dengan kesamaan kultur dan emosional, bisa saja
kita melakukan pembibitan dan pembinaan yang seksama di kawasan Tapanuli,
Sulawesi Utara, Maluku, Nusa Tenggara Timur dan Papua.
Sebagai jawaban terakhir, mantan Presiden Bill Clinton saja
mau menyempatkan diri hadir ke Afrika Selatan dalam rangka ikut kampanye
Amerika Serikat melamar menjadi tuan rumah Piala Dunia lagi. Lalu,kapan para
pemimpin Indonesia mau melibatk an
diri ikut kampanye membudayakan sepak bola sebagai gerakan olah raga rakyat?.
Itulah yang kita tunggu,dari sekarang,dalam rangka merevitalisasi persepak
bolaan di Indonesia. Dalam hal ini kita perlu memberikan penghargaan kepada
Kompas – Gramedia yang mau menyisakan sebagian keuntungannya untuk pembinaan
sepak bola dengan menggulirkan Liga Kompas Indonesia U – 14. Semoga langkah ini
diikuti juga oleh pengusaha – pengusaha besar lainnya di seluruh Indonesia. Demikian juga, upaya pada masa Presiden
Jokowi yang sudah mulai mengadakan berbagai turnamen sepakbola dapat terus
berlanjut, berkesinambungan dan semakin bermutu. Jangan sampai kita yang
berpenduduk lebih dari 250 juta jiwa, kalah dengan Islandia yang penduduknya
tidak sampai 350 ribu jiwa tetapi mampu eksis di Piala Eropa 2016.
Dengan merevitalisasi persepakbolaan
di Indonesia dari sekarang secara bersungguh-sungguh dan
dengan melibatkan berbagai komponen bangsa,semoga Indonesia memang bisa hebat ”dalam
segala hal”, termasuk dalam
dunia sepak-bola!. ****