Entri yang Diunggulkan

GENERASI PENDOBRAK JILID III

 Harian Rakyat Merdeka terbitan 20 April  2010,memuat artikel dengan judul “Bodoh Permanen” yang ditulis oleh Arif Gunawan. Tulisan tersebut...

Sabtu, 21 Desember 2019

Ibukota RI Pindah ?

Presiden Jokowi mencanangkan ibukota RI dipindahkan. Survei sudah dilakukan antaralain ke Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah. Ternyata sekarang seolah diprotes oleh karhutla (kebakaran hutan dan lahan) yang merusak suasana dan lingkungan. Sehingga pemilihan P.Kalimantan bisa saja sudah tersanggah. Saya mengusulkan agar ibukota RI pindah ke Malino atau P. Selayar di Sulawesi Selatan dengan pemikiran sbb. : 1. Malino dan P. Selayar secara geografis berada di tengah-tengah wilayah Indonesia, sehingga adil bagi Timur dan Barat. 2. Jauh dari potensi bencana alam yang membahayakan. 3. Malino pernah diinginkan oleh Belanda untuk tetap dikuasai Belanda karena alamnya yang indah dan nyaman (sejuk). Di P.Selayar terdapat gedung mirip atau duplikat gedung di Bandaneira dan Istana Merdeka buatan orang Belanda, yang artinya P.Selayar pernah diminati oleh Belanda. Rayuan pulau kelapa benar-benar terwujud di P.Selayar. 4. Ibukota baru tersebut kalau benar-benar terwujud (di manapun pilihannya) saya usulkan diberi nama Sukarnopura, sebagai penghormatan dan penghargaan kepada pendiri bangsa dan sebagai proklamator. Sukarno-lah yang berjuang sehingga wilayah RI benar-benar mencapai dari Sabang sampai Merauke (tercapai pada tahun 1963, sedangkan Bung Hatta sudah mengundurkan diri pada akhir 1956). Kota Sukarnopura ini pernah ada sebagai ibukota Provinsi Irian Barat (sekarang Papua) tetapi oleh Suharto diganti/diubah menjadi Jayapura, mungkin dalam rangka ulah desukarnoisasi secara terstruktur, sistematis, masif dan brutal alias tidak sopan dan tidak santun. 5. Jakarta sudah merupakan kota yang kurang menarik sebagai ibukota Negara karena penduduk terlalu padat, polusi di darat/udara/air/laut sudah sangat memalukan, macet dan semrawut serta sudah terlanjur salah urus oleh orang-orang yang tidak professional dalam jangka lama. Taman kota/hutan kota yang idealnya 30% dari seluruh luas wilayah, serta tata-kota yang indah dan menarik tidak bisa terpenuhi dengan baik 6. Kalau pemindahan ibukota tidak memungkinkan karena terlalu mahal, langkah lain adalah dengan memindahkan masalahnya. Yaitu, dengan membangun kota/kawasan baru di Kalimantan untuk menampung/memindahkan kawasan kumuh dari Jakarta. Kawasan baru itu merupakan kota baru yang lengkap fasilitas kehidupan dan dunia usaha serta tertata dengan apik, teratur dan nyaman untuk kehidupan baru. Kawasan ini diharapkan siap menghasilkan/memproduksi barang-barang/komoditas yang dibutuhkan daerah-daerah lain di seluruh Indonesia. 7. Program Keluarga Berencana harus lebih digalakkan sehingga menjadi sebuah budaya. Program KB seharusnya bukan cuma sebagai slogan kebijakan tetapi hasilnya nihil. Sebagai contoh, Singapura, secara umum penduduknya takut punya anak lebih dari dua karena takut miskin, takut tidak bisa bayar biaya kesehatan/biaya sekolah anak-anaknya/sewa apartemen dll karena dimahali bagi warga yang punya anak lebih dari dua. Maka pelaksanaan program KB kemudian menjadi budaya, tidak perlu slogan yang muluk-muluk dan gembar-gembor, tetapi langsung berupa kebijakan yang mampu menggiring rakyatnya ke ketaatan untuk melaksanakan dengan penuh kesadaran dan tanggungjawab sebagai warga-bangsa. Apabila Program KB berhasil dengan baik, maka tingkat kesehatan dan kesejahteraan menjadi lebih baik, mutu bangsa secara umum akan meningkat dan siap mengahadapi tantangan zaman, dan akan berkurangnya kawasan kumuh serta semakin menurunnya angka kriminalitas karena kualitas masyarakat yang semakin baik. Semoga usulan ini berguna sebagai bahan pertimbangan. (Surat Pembaca ini dimuat di Koran Media Indonesia tanggal 6 Agustus 2019 dan Kompas 28 Agustus 2019)

Kamis, 19 Desember 2019

Jangan Lemahkan KPK

Apabila ditelaah lebih jauh dari segi ekososiofisika, kenapa Indonesia yang pernah melaksanakan enam kali Pelita tak kunjung lepas landas seperti yang pernah selalu digembar-gemborkan pada waktu itu? Jawabannya, karena dihambat oleh friksi yang namanya korupsi yang merajalela di segala lini. Sebagai akibatnya, pembangunan yang telah membabat hutan, menguras kekayaan alam oleh bangsa asing dan hutang serta bantuan asing yang begitu besar hanya membuat kita tetap berada di landasan, walaupun telah memakan waktu selama 32 tahun dan rezim Orba dipaksa tumbang oleh aksi rakyat. Lembaga pemeriksa memang sudah ada, dari sekelas Internal Audit, BPKP sampai lembaga tinggi setingkat BPK. Tetapi di masa lalu, seringkali fungsi mereka hanya ecek;ecek. Mereka datang, disambut dan dipenuhi segala tetek-bengeknya, memeriksa lalu segala sesuatunya beres. Setiap temuan penyelewengan sering kali diselesaikan secara adat sehingga seolah tidak pernah ada penyelewengan dan tidak pernah ada yang tertangkap, pada hal hasil pembangunannya tidak bermutu karena banyak dikorupsi. Kasus gedung sekolah yang luas lahannya sempit dan gedungnya mudah ambruk, jembatan yang mudah rusak dan jalan raya yang selalu tambal sulam dan banyak berlubang adalah salah satu contoh hasil perilaku kerja koruptif. Menyadari akan bahaya korupsi itulah, maka pada masa rezim reformasi dibentuklah KPK pada era Presiden Megawati Soekarnoputri (tahun 2002). Kalau kemudian banyak tokoh politisi dari PDIP yang tertangkap KPK, maka itulah resiko suatu perjuangan yang harus dipikul dengan lapang dada dan jiwa besar. Adalah tugas semua partai politik agar mampu mencari dan membina kader yang berkualitas dan tidak berkelakuan serta bermental koruptif. Ada lagi yang berpendapat bahwa korupsi semakin merajalela di negeri ini dengan makin banyaknya pengusaha, birokrat, dan politisi yang ditangkap oleh KPK. Benarkah demikian?. Penulis jadi teringat ceramah Ustadz Abu Sangkan dalam suatu siaran TV. Ketika ditanya oleh Jemaah mengenai prospek keberhasilan pemberantasan korupsi di Indonesia, dia mengungkap suatu penelitian di Jepang. Bahwa otak manusia itu mengandung enzim yang secara otomatis bisa menularkan sifat-sifat tertentu kepada sesamanya walaupun tidak diajarkan. Maka sifat atau perilaku koruptif juga demikian. Apabila para elitenya gemar melakukan korupsi, maka secara otomatis akan menular ke seluruh rakyatnya. Sebaliknya, kalau elitnya berperilaku jujur, maka banyak koruptor yang akan tertangkap tangan oleh penegak hukum seperti KPK karena mereka secara otomatis akan semakin bernyali besar untuk memberantas korupsi mengikuti para elitnya yang sudah banyak mulai berbuat jujur. Oleh karena itu, kalau masyarakat luas banyak yang merasa puas mengenai kinerja KPK akhir-akhir ini, mungkin UU yang sudah ada perlu dipertahankan dan semakin ditingkatkan pelaksanaannya. Mengenai eksekusi anggaran yang sudah ditetapkan, mestinya tidak perlu ditakuti sejauh tidak melanggar prosedur, menjamin mutu kerja dan mutu produk atau bahan dan tidak berniat korupsi, maka pelaksanaan perlu segera direalisir demi kelancaran pembangunan yang dibutuhkan oleh rakyat. Tidak ada alasan untuk menunda-nunda pelaksanaan suatu mata anggaran hanya karena takut dituduh korupsi. Justru karena yang menunda atau menghambat suatu pelaksanaan anggaran yang sudah direncanakan itulah yang patut dicurigai karena bisa saja dianggap sudah terbiasa berperilaku, “wani piro?”. Dalam ilmu fisika dasar berlaku hukum tentang gaya, bahwa gerak suatu benda itu akan selalu mendapat hambatan atau friksi yang akan mempengaruhi cepat-lambatnya suatu gerakan. Demikian juga laju pembangunan ekonomi dan sosial suatu bangsa akan selalu mengalami hambatan yang datangnya dari luar ( faktor eksternal) serta hambatan yang berasal dari dalam (faktor internal). Faktor internal ini bisa memperparah faktor eksternal apabila tidak bisa tertanggulangi dengan baik. Faktor internal ini adalah perilaku KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) yang kondisinya di Indonesia sudah dalam stadium yang membahayakan. Kalau kinerja KPK periode terakhir ini dinilai banyak pihak cukup memuaskan dan perlu terus ditingkatkan, maka UU yang sudah ada semestinya perlu dipertahankan agar tidak dikesankan ada upaya akan melemahkan KPK. Dan sejalan dengan upaya Pemerintah yang bermaksud membangun SDM yang kuat, maju, berdisiplin dan berkualitas, maka penguatan kinerja KPK sangat diperlukan. Dalam hal ini, KPK jangan sampai dilemahkan dalam rangka mengantarkan Indonesia yang maju, adil, dan makmur pada tahun emas 2045 kelak. (tulisan ini dikirim ke beberapa media cetak: Kompas, Koran Sindo, dan Koran Tempo, tapi belum pernah dimuat, dikirim pada bulan September-Oktober 2019)

Selasa, 17 Desember 2019

Metode Screening Jaman Orde Baru

gambar: pexels.com Penulis dilahirkan pada tahun 1950. Oleh karena itu mengalami masa pemerintahan Presiden Soekarno, Orde Baru Soeharto, dan masa Reformasi. Karena diterima bekerja di BUMN selepas SLTA, maka penulis menikmati masa kerja selama 36 tahun. ketika pensiun pada tahun 2006. Mulai masuk kerja pada tahun 1970, maka ada catatatan penting selama masa itu karena kita baru saja berhasil menumpas PKI setelah terjadinya peristiwa berdarah G30S tahun 1965. Rezim Orba melakukan pembersihan besar-besaran terhadap unsur-unsur yang dituduh terlibat langsung maupun yang tidak langsung dengan peristiwa G30S. Setiap pencari kerja, selain wajib mengurus Surat Berkelakuan Baik di Kepolisian, juga wajib membuat Surat Bersih Diri, tidak terlibat dengan Peristiwa G30S. Sebutan pegawai BUMN kemudian diubah menjadi karyawan karena dikaitkan dengan Golongan Karya yang bukan merupakan organisasi politik. Setiap pegawai negeri dan pegawai BUMN dinyatakan tergabung ke dalam Korps Pegawai Negeri (KORPRI) yang aspirasi politiknya harus ke Golkar, bukan ke suatu partai politik manapun. Agar KORPRI pola pikir dan pola politiknya tidak terombang-ambing demi stabilitas dan suksesnya pembangunan nasional, dibentuklah metode screening oleh Badan atau Lembaga Litsus (Penelitian Khusus) yang ada di setiap kantor/instansi pemerintah dan BUMN. Selama menjadi karyawan BUMN dan tidak pernah berpindah-pindah, penulis mengalami setidaknya tiga kali screening. Yang pertama, ketika mulai masuk kerja pada tahun 1970. Yang kedua, ketika masuk pendidikan kedinasan pada tahun 1973, dan terakhir, ketika mau mengikuti Penataran Kewaspadan Nasional (Tarpadnas) paa tahun 1994. Ada kenangan yang membekas dari proses screening ini. Soal yang harus dijawab berbeda tergantung pendidikan dan perkembangan situasi dan kondisi. Pada waktu mulai masuk, pewawancaranya adalah tentara berpangkat mayor yang berstatus Kepala Sekuriti. Penulis sempat dapat pujian karena semua penulis jawab dengan panjang lebar seperti menjawab soal ujian di sekolah. Ketika ditanya kenapa tahu jawaban tentang PKI dan komunis, penulis jelaskan bahwa sewaktu SMP pernah mendapat pelajaran civics atau Kewarganegaraan. Sehingga dia memaklumi semua jawaban penulis. Kamu bagus, kamu jawab semua apa yang kamu tahu, Kemarin, katanya selanjutnya ,ada seorang Kepala Seksi yang saya marahi karena selalu menjawab “tidak tahu.” Yang terakhir, lebih terkesan lagi karena penulis harus menghadapi wawancara sampai 2 hari, padahal teman-teman cukup 3-4 jam saja. Pasalnya, penulis jawab semua pertanyaan dengan panjang lebar. Pertanyaan itu antara lain: apakah saudara setuju dengan demokrasi seperti di Amerika Serikat diterapkan di Indonesia; apakah ada teman saudara yang terlibat G30S/PKI, dan sebutkan namanya. Justru karena dijawab semua, penulis harus berdiskusi selama 2 hari. Karena tidak merasa terlibat dan tidak bersalah, ya tidak perlu takut. Sebenarnya, metode screening tersebut adalah model teror agar para karyawan takut dan cari aman saja untuk selalu mendukung pemerintah. Apabila ada orang yang terlibat G30S dan berhasil menghilangkan jejak, pasti akan bisa diketahui karena juga ditanyakan silsilah keluarganya secara lengkap dan dimana tinggalnya. Kalau aa yang meninggal dunia, ditanyakan di mana dan karena apa. Sejarah kita tinggal atau domisili juga diminta diungkap secara lengkap kurun waktu tinggal dan dimana saja. Dengan metode screening ini, banyak kasus terungkap dan ada yang kemudian dipecat atau dihambat karirnya sejauh mana kadar keterlibatannya. Pada waktu itu, musuh bersama telah ditetapkan yaitu komunis yang disebut unsur ekstrim kiri. Tetapi ketika berkembang adanya aksi-aksi unsur agama yang radikal khususnya penganut Islam, maka timbul istilah baru ”ekstrim kanan” yang muncul pada tahun 80-an. Untuk mengamankan jalannya pemerintahan dan pembangunan, rezim ORBA merumuskan kewaspadaan yang harus ditangkal sejak dini terhadap adanya Ancaman, Tantangan, Hambatan, dan Gangguan (ATHG) dari unsur ekstrim kiri maupun ekstrim kanan. Caranya melalui screening yang terbukti efektif karena berhasil mengantarkan rezim ORBA berkuasa selama 32 tahun. Setelah reformasi, Lembaga dan proses screening ini ditiadakan sesuai tuntutan dalam demokratisasi. Partai politik yang tadinya berhasil disederhanakan oleh rezim ORBA, berubah menjadi multi partai yang jumlahnya melebihi 10 parpol. Bahkan anak-anak Soeharto saja melanggar beleid ayahnya karena ikut-ikutan membuat partai baru. Yang menarik adalah, isu PKI/Komunis muncul lagi khususnya menjelang Pemilu 2014 dan 2019. Agaknya, dengan sasaran menghadang laju PDIP dengan menggunakan isu PKI/Komunis, mereka berharap PDIP dan setiap langkah PDIP bisa memudar. Anehnya, malah ekstrim kanan makin menghebat dengan berbagai strategi dan langkahnya. Mereka ceramah di masjid-masjid dan berbagai forum lainnya. Penulis sendiri sering mengalami di berbagai masjid di kota-kota dan komplek perumahan serta kantor BUMN. Bahkan rektor suatu perguruan tinggi negeri sewaktu pidato wisuda pernah berkata: “Disini boleh menuntut ilmu siapa saja dari berbagai kalangan dari Sabang-Merauke. Yang tidak boleh adalah orang komunis.” Pertanyaan dalam batin waktu itu: “ Bagaimana kalau mahasiswa China, Vietnam, Korea Utara, Rusia, atau Kuba bermaksud kuliah di tempatmu, apa tidak boleh?.” Maklum, dalam pidatonya dia buka seperti seorang Ustaz/Da’i. Lalu, dalam menghadapi kelompok radikal dan ekstrim ini, perlukah menerapkan metode screening kembali?. Ancaman itu nyata dan korban terus berjatuhan secara bergelombang. Indikasi terhadap pengaruh itu ada, yaitu hengkangnya 1000 perusahaan pada tahun 2018 ke negara lain, karena sikon yang dianggap tidak aman. Dalam hal ini, resep kita adalah, mencegah lebih baik daripada menindak atau menumpas!.***** (tulisan ini pernah dikirim ke Media Indonesia tanggal 22 November 2019, namun belum dimuat)

Minggu, 03 Maret 2019

Proxy War Sebagai Ancaman Bangsa Indonesia

Jenderal Gatot Nurmantyo sewaktu menjabat sebagai Panglima TNI, dalam berbagai kesempatan telah mengidentifikasi isu proxy war yang merupakan ancaman utama bagi bangsa Indonesia pada abad ke 21 ini. Proxy war adalah perang dimana pihak yang berkepentingan tidak ikut terlibat langsung pada saat perang tersebut terjadi, tahu-tahu mendapatkan keuntungan dan manfaat dari hasil peperangan itu. Pada hal, perang adalah upaya suatu bangsa atau negara untuk melumpuhkan bangsa atau negara lain. Tujuannya bermacam-macam, antara lain karena ingin menguasai bangsa lain untuk mengangkangi kekayaan alamnya atau akan mengangkangi pasar potensialnya. Juga, untuk menguasai geopolitik maupun geostrategisnya serta membuat suatu bangsa atau negara lain tetap dalam keadaan tak berdaya, merana, walau pun sebernarnya kaya raya. Dalam proxy war, negara yang berkepentingan, memanfaatkan potensi konflik di negara sasaran, misalnya isu sara, melumpuhkan otak dan raga melalui penyebaran narkoba, miras, dan pornografi serta maraknya perilaku KKN sehingga terciptanya ketidak adilan yang menyebabkan timbulnya kerawanan kesenjangan dan konflik sosial yang berkepanjangan. Apabila ditelaah lebih dalam dan jujur, agaknya tidak usah menunggu abad 21, sekarang pun, dan bahkan sebelumnya, sebenarnya bangsa Indonesia sudah merupakan korban proxy war. Perang dingin antara Blok Barat dan Blok Timur yang timbul setelah berakhirnya Perang Dunia II telah membuat Indonesia menjadi sasaran perebutan kedua kubu tersebut karena kekayaan alamnya yang beraneka ragam serta letak geografisnya yang sangat strategis. Berbagai pemberontakan yang terjadi setelah proklamasi kemerdekaan tanggal 17 agustus 1945, bukan mustahil merupakan ulah proxy war kedua kubu tersebut. Pemberontakan DI/TII di Jawa Barat/Aceh/Sulawesi Selatan, PKI Madiun, PRRI/ Permesta dan berbagai gerakan seperatisme telah berhasil diatasi dengan pengorbanan yang tidak sedikit. Tetapi puncaknya, pemberontakan G30S yang terjadi pada tahun 1965 telah merubah segala tatanan bernegara dan berbangsa. Menurut Presiden Soekarno sebagaimana yang disampaikan dalam pidato pertanggung jawaban kepada MPRS, bahwa peristiwa G30S bisa terjadi karena tiga sebab, yaitu keblingernya orang-orang PKI, adanya oknum yang tidak bertanggung jawab dan karena kelihaian neokolonialisme. Padahal pada waktu itu, Presiden Soekarno sedang mencanangkan Ganyang Malaysia dengan membantu kelompok di Kalimantan Utara yang ingin merdeka, tidak mau bergabung dengan Malaysia yang dibentuk Inggris ketika proses dekolonisasi. Boleh jadi, Presiden Soekarno ingin memanfaatkan momentum dekolonisasi itu untuk mencaplok Kalimantan Utara sehingga tercapai dan terwujudnya keutuhan pulau Kalimantan. Apalagi Presiden Soekarno pada tahun 1957 telah menggagas menetapkan Palangkaraya di pulau Kalimantan sebagai ibukota RI pengganti Jakarta. Pasca peristiwa G30S, keadaan dan situasi Indonesia berubah demikian cepat. Kehidupan perekonomian demikian sulit dan bunuh-membunuh sesama anak bangsa di berbagai tempat menjadi biasa dan tidak tersentuh hukum. Kesulitan ekonomi ini boleh jadi karena pergulatan yang panjang dalam rangka mengatasi berbagai pemberontakan di dalam negeri dan perjuangan merebut Irian Barat (Irian Jaya) serta bukan mustahil merupakan rangkaian sabotase nasional oleh sindikat yang bermaksud merebut kekuasaan secara merangkak. Demonstrasi massa terjadi dimana-mana disertai pengrusakan. Dalam keadaan terpaksa atau dipaksa, Presiden Soekarno mengeluarkan Surat Perintah tanggal 11 Maret 1966 (tetapi tidak bernomor) yang memerintahkan Jenderal Suharto untuk memulihkan keadaan dan ketertiban serta kewibawaan pemerintah. Ironisnya, dengan SP 11 Maret lah pemerintahan Presiden Soekarno terguling dan semuanya kemudian berubah dengan drastis. Munculah rezim baru yang menyebut dirinya sebagai Orde Baru. Mereka menyebut rezim sebelumnya (Presiden Soekarno) sebagai rezim Orde Lama, padahal mereka juga ada dalam struktur pemerintahan sehingga dalam kasus ini bisa dikatagorikan sebagai menggunting dalam lipatan alias berkhianat. Rezim baru ini dimotori oleh militer dan kelompok ekonom yang sering disebut sebagai mafia Berkeley. Diantara kelompok ini ada Prof.Dr.Ali Wardhana yang telah meninggal dunia beberapa waktu lalu. Di tangan mereka inilah Indonesia memasuki zaman neoliberal dan neokapitalisme sebagai antitesa berdikarinya Bung Karno dan Pembangunan Nasional Semesta Berencana tahap I yang sedang berjalan dari tanggal 1 Januari 1961 sampai dengan 31 Desember 1969. Puja-puji disampaikan dari berbagai kalangan untuk Prof. Ali Wardhana bahkan Mari Pangestu dalam tulisan abituarinya yang dimuat sebuah harian ibukota melontarkan kata-kata: “..... apa jadinya Indonesia tanpa dia”. Agaknya banyak orang mendustakan keadaan yang sebenarnya. Padahal buah karya mereka sudah jelas, butuh waktu lebih dari tiga dekade dengan kekayaan alam terkuras oleh bangsa asing, KKN merajalela di berbagai sektor, hutang dan besarnya dana yang dikorbankan serta ribuan gedung sekolah yang dibangun mutunya tidak memenuhi syarat dari segi mutu bangunan dan bahan bangunan, luas lahan serta tata ruangnya, dan mudah rusak yang terkadang mencelakai anak murid yang sedang belajar. Ironisnya lagi, dalam kurun waktu selama itu Indonesia masih berada di landasan (bukan tinggal landas seperti yang selalu dikhayalkan), ekspor TKI/TKW yang sering dilecehkan bangsa lain, dan ekspor asap yang terjadi secara rutin sejak tahun 1997 sampai sekarang. Asap itu sebagai akibat kebakaran hutan yang telah dibabat secara membabi buta karena pembangunan yang indah dalam konsep tetapi ngawur dalam pelaksanaannya. Asap itu meracuni anak bangsa kita yang akan berpengaruh terhadap kesehatan serta kemampuan berpikirnya. Alhasil, itulah nasib suatu bangsa korban proxy war melalui kaki tangannya yang ada di dalam negeri yang secara tidak sadar justru sering kita puja-puji setinggi langit.. Kondisi bangsa Indonesia saat ini sebagaimana dinyatakan oleh Menteri Koordiantor Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (MENKO PMK) baru-baru ini bahwa penduduk Indonesia diperkirakan mencapai 255 juta orang tetapi menghadapi masalah yang sangat memprihatinkan dalam berbagai hal. Kesenjangan sosial adalah merupakan masalah yang utama karena 20% kelas atas menguasai hampir 50% konsumsi perekonomian Indonesia, sedangkan penduduk kelas terbawah yang jumlahnya mencapai 40% hanya menguasai 20% konsumsi perekonomian. Pada saat ini 45% penduduk Indonesia memiliki kemampuan pengeluaran hanya Rp 500.000 per bulan. Menko Puan juga menyebutkan, jumlah penduduk yang menganggur atau sama sekali tidak bekerja saat ini diperkirakan berjumalah 7,2 juta jiwa dan lebih kurang 40 juta lainnya masih harus berjuang untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih layak. Apalagi laju pertumbuhan penduduk Indonesia masih sulit dikendalikan dengan angka kelahiran bayi mencapai 4,5 juta bayi per tahun (Rakyat Merdeka 22/09/2015). Sementara itu Wakil Preiden Yusuf Kalla dalam penutupan Rakernas dan konsolidasi pemenangan pilkada partai Nasdem di Jakarta pada tanggal 22 September 2015 mengingatkan bahwa berpolitik, termasuk mengikuti pemilihan kepala daerah adalah bertujuan untuk membayar utang kepada masyarakat dengan melayani rakyat apabila memenangi pemilihan. Bagi seseorang yang merasa sudah banyak menerima dari Indonesia, maka berpolitik adalah untuk membayar utang kepada masyarakat, berpolitik dan memimpin itu untuk memajukan rakyat, bukan menggunakan perhitungan untung rugi. Menurut Wapres, bangsa Indonesia terlalu besar untuk tidak mengalami kemajuan. Berpartai dan berpolitiklah dengan kesadaran tidak untuk diri pribadi. Berpolitiklah untuk mengurus daerah, generasi muda dan masyarakat kita di kampung-kampung. Berpolitik untuk mendapatkan rahmat Tuhan (Kompas, 23/09/2015). Dalam hal ini berpolitik tidak dalam rangka berbuat penyelewengan dan berbuat dosa karena seluruh bangsa yang juga terkena azab, bencana, dan kutukan. Sementara itu, anggota majelis tinggi partai Nasdem Lestari Moerdijat mengatakan, bahwa Nasdem tetap berpegang pada komitmen sejak didirikan, yaitu sebagai gerakan perubahan, restorasi Indonesia, yang menjunjung tinggi molaritas, integritas, dan kejujuran serta mewujudkan tegaknya hukum di Indonesia. Sikap partai Nasdem yang terbuka, transparan, dan konsisten dalam setiap menegakkan hukum (Jawa Pos, 26/09/215). Agaknya, pesan Wapres Jusuf Kalla, data yang pernah disampaikan oleh Menko Puan Maharani, serta sikap tokoh partai Nasdem di atas, bisa diadopsi oleh semua Parpol dan Ormas yang hidup di Indonesia dan diterapkan secara konsisten serta bertanggungjawab dalam rangka kewaspadaan dan menangkal ancaman proxy war yang terus mengintai dan membayangi bangsa Indonesia.***** . . tulisan ini dimuat di Koran Sindo tanggal 9 Januari 2019.

Rabu, 13 Februari 2019

Indonesia Juga Darurat Sampah

Sugih Arto yang menjabat Jaksa Agung pada masa awal rezim Orde Baru, pernah menulis surat pembaca di sebuah harian ibukota. Dia mengungkap bahwa suatu ketika dipanggil Presiden Sukarno yang memberi tahu bahwa dia akan diangkat sebagai Gubernur DKI tetapi dengan tugas utama mengatasi sampah yang sudah mulai memprihatinkan kondisi ibukota saat itu. Sugih Arto menggerutu, masak seorang gurbenur kok tugasnya mengurusi sampah. Di kemudian hari, yang diangkat sebagai Gubernur DKI Jakarta ternyata Ali Sadikin. Disini terbukti bahwa hanya Sukarno dan Jokowi, Presiden RI yang sangat tanggap terhadap masalah sampah. Presiden Jokowi bahkan pernah menyampaikan masalah ini dalam suatu sidang kabinet. Juga di Festival Khatulistiwa di Pontianak, Presiden Jokowi baru-baru ini menyatakan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang mempunyai tradisi air, oleh karena itu jangan kotori sungai-sungai kita. Indonesia memang benar-benar mengalami darurat sampah, di samping darurat korupsi dan darurat narkoba sebagaimana yang sudah terlebih dahulu dinyatakan oleh Presiden Jokowi. Cobalah mari kita perhatikan, sampah ada dimana-mana. Di darat, di laut dan sungai, bahkan di udara pun banyak sampah. Bangkai layang-layang yang nyangkut dikabel listrik dan kabel telpon adalah merupakan sampah udara yang hanya terdapat di negeri yang kurang beradab dan kurang mengerti tentang pentingnya hidup bersih dan rapi. Bahkan terkesan banyak orang yang kurang kerjaan di negeri ini, diperkotaan kok main layang-layang. Berbagai cara telah dilakukan untuk menanggulangi sampah. Peraturan Daerah (Perda) dimana-mana telah dibuat dengan berbagai ancaman sanksinya, tetapi tidak membawa hasil karena tidak jelas siapa yang harus mengawasi dan siapa yang berhak mewasiti para pelanggar Perda itu. Beberapa elemen masyarakat termasuk unsur TNI/POLRI secara dramatik sering show bergotong-royong membersihkan sampah di sungai dan ditempat umum. Tetapi sesudah itu sampah menumpuk lagi diberbagai sudut. Kalau begini, mana ada turis asing yang mau datang kemari. Pada hal kita ingin meningkatkan jumlah wisman itu ke tanah air kita. Kecuali barangkali hanya orang-orang yang ingin menikmati kejorokan suatu bangsa saja yang mau datang kemari. Anak saya yang mengikuti les bahasa Inggris di LIA pernah bercerita. Ada seorang native speaker yang ketika diminta kesan-kesannya tentang Indonesia, secara mengejutkan dia menyebut Indonesia sebagai tempat/tong sampah terbesar di dunia karena semua penduduknya membuang sampah sembarangan dan seenaknya. Tentunya kita semua patut malu mendengar kesan negatif orang asing itu. Lalu bagaimanakah cara kita mengatasi darurat sampah yang sudah kronis ini? Sebenarnya, ada teladan dari Korea Selatan yang dapat kita adopsi. Ini pernah diterapkan ketika Korsel akan menjadi tuan rumah Olympiade pada tahun 1988 yang lalu. Dua tahun menjelang pelaksanaan pesta olahraga internasional itu, pemerintah Korsel mengerahkan militer untuk mengawasi para pembuang sampah terutama yang mengotori sungai besar di Seoul. Sungai itu kelak dijadikan arena pembukaan Olympiade dengan mengetengahkan arak-arakan tentara kerajaan Korsel masa lampau yang menyusuri sungai besar di Seoul. Hukuman yang keras dan denda yang diterapkan secara konsisten selama 2 tahun berturut-turut tanpa berkedip dan melibatkan tentara, akhirnya budaya bersih bisa terwujud seperti sekarang ini. Nah, akankah Indonesia meniru jejak Korsel itu dengan memanfaatkan anggota TNI/POLRI pada masa damai ini bertugas memerangi pembuang sampah dan sekaligus menjaga ketertiban di jalan raya? Peran anggota TNI/POLRI atau termasuk SATPOL PP bukannya memunguti sampah seperti dalam acara seremonial yang sering kali kita lihat, melainkan harus bisa mengawasi, menangkap dan menindak para pembuang sampah di manapun, kapanpun dan sekecil apapun termasuk puntung rokok, dan tentu saja termasuk pengawasan terhadap dirinya sendiri. Apalagi Gubernur DKI Jakarta pernah mengusulkan akan memberikan tunjangan tambahan kepada anggota TNI/POLRI yang bertugas di DKI dengan harapan dapat membantu penertiban di Ibukota agar bisa menjadi kota yang bersih, aman, rapi, teratur dan beradab. Dan sejalan dengan usulan Pemda DKI Jakarta tersebut, penulis ingin mengusulkan penerapan Padat Karya Tunai Penanggulangan Sampah (PKTPS) seperti yang sudah dijalankan di sektor pertanian di beberapa daerah. Pelaksana padat karya tersebut adalah para pasukan pembersih sampah (pasukan Oranye) dan para pemulung yang tersebar luas di seluruh tanah-air. Mereka dengan dibantu unsur TNI/POLRI dan Satpol PP mengawasi serta menertibkan para pembuang sampah dan bekerja selama 24 jam secara terus menerus, serta mengajari masyarakat tertib sampah sejak dari rumah dengan memilah jenis sampah berdasarkan warna plastik yang berbeda-beda (empat warna seperti di Singapura dan Jepang). Adanya tata kerja yang sinergi antara Petugas Kebersihan/Pemulung dan unsur TNI/POLRI serta Satpol PP yang mendapatkan tunjangan tambahan, diharapkan akan tertanggulangi masalah darurat sampah yang sudah pada tahap sangat memalukan ini; akan meningkatkatkan daya tarik pariwisata mancanegara karena kondisi lingkungan yang indah, bersih, rapi dan teratur; mengurangi bahaya banjir karena sampah; serta memungkinkan timbulnya kepastian dan peningkatan penghasilan bagi para aktivis penanggulangan sampah (Pasukan Oranye dan Pemulung). Dan memang, inilah yang sangat penting untuk menjadi perhatian para penguasa sebagai Administrator Pemerintahan.*****(Penulis adalah pemerhati masalah sosial dan lingkungan hidup, lulusan S-2 FISIP Universitas Indonesia) - - tulisan ini dimuat di koran Sindo tanggal 26 Desember 2018 dengan judul yang sama.