Entri yang Diunggulkan

GENERASI PENDOBRAK JILID III

 Harian Rakyat Merdeka terbitan 20 April  2010,memuat artikel dengan judul “Bodoh Permanen” yang ditulis oleh Arif Gunawan. Tulisan tersebut...

Tampilkan postingan dengan label perekrutan pekerja. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label perekrutan pekerja. Tampilkan semua postingan

Selasa, 17 Desember 2019

Metode Screening Jaman Orde Baru

gambar: pexels.com Penulis dilahirkan pada tahun 1950. Oleh karena itu mengalami masa pemerintahan Presiden Soekarno, Orde Baru Soeharto, dan masa Reformasi. Karena diterima bekerja di BUMN selepas SLTA, maka penulis menikmati masa kerja selama 36 tahun. ketika pensiun pada tahun 2006. Mulai masuk kerja pada tahun 1970, maka ada catatatan penting selama masa itu karena kita baru saja berhasil menumpas PKI setelah terjadinya peristiwa berdarah G30S tahun 1965. Rezim Orba melakukan pembersihan besar-besaran terhadap unsur-unsur yang dituduh terlibat langsung maupun yang tidak langsung dengan peristiwa G30S. Setiap pencari kerja, selain wajib mengurus Surat Berkelakuan Baik di Kepolisian, juga wajib membuat Surat Bersih Diri, tidak terlibat dengan Peristiwa G30S. Sebutan pegawai BUMN kemudian diubah menjadi karyawan karena dikaitkan dengan Golongan Karya yang bukan merupakan organisasi politik. Setiap pegawai negeri dan pegawai BUMN dinyatakan tergabung ke dalam Korps Pegawai Negeri (KORPRI) yang aspirasi politiknya harus ke Golkar, bukan ke suatu partai politik manapun. Agar KORPRI pola pikir dan pola politiknya tidak terombang-ambing demi stabilitas dan suksesnya pembangunan nasional, dibentuklah metode screening oleh Badan atau Lembaga Litsus (Penelitian Khusus) yang ada di setiap kantor/instansi pemerintah dan BUMN. Selama menjadi karyawan BUMN dan tidak pernah berpindah-pindah, penulis mengalami setidaknya tiga kali screening. Yang pertama, ketika mulai masuk kerja pada tahun 1970. Yang kedua, ketika masuk pendidikan kedinasan pada tahun 1973, dan terakhir, ketika mau mengikuti Penataran Kewaspadan Nasional (Tarpadnas) paa tahun 1994. Ada kenangan yang membekas dari proses screening ini. Soal yang harus dijawab berbeda tergantung pendidikan dan perkembangan situasi dan kondisi. Pada waktu mulai masuk, pewawancaranya adalah tentara berpangkat mayor yang berstatus Kepala Sekuriti. Penulis sempat dapat pujian karena semua penulis jawab dengan panjang lebar seperti menjawab soal ujian di sekolah. Ketika ditanya kenapa tahu jawaban tentang PKI dan komunis, penulis jelaskan bahwa sewaktu SMP pernah mendapat pelajaran civics atau Kewarganegaraan. Sehingga dia memaklumi semua jawaban penulis. Kamu bagus, kamu jawab semua apa yang kamu tahu, Kemarin, katanya selanjutnya ,ada seorang Kepala Seksi yang saya marahi karena selalu menjawab “tidak tahu.” Yang terakhir, lebih terkesan lagi karena penulis harus menghadapi wawancara sampai 2 hari, padahal teman-teman cukup 3-4 jam saja. Pasalnya, penulis jawab semua pertanyaan dengan panjang lebar. Pertanyaan itu antara lain: apakah saudara setuju dengan demokrasi seperti di Amerika Serikat diterapkan di Indonesia; apakah ada teman saudara yang terlibat G30S/PKI, dan sebutkan namanya. Justru karena dijawab semua, penulis harus berdiskusi selama 2 hari. Karena tidak merasa terlibat dan tidak bersalah, ya tidak perlu takut. Sebenarnya, metode screening tersebut adalah model teror agar para karyawan takut dan cari aman saja untuk selalu mendukung pemerintah. Apabila ada orang yang terlibat G30S dan berhasil menghilangkan jejak, pasti akan bisa diketahui karena juga ditanyakan silsilah keluarganya secara lengkap dan dimana tinggalnya. Kalau aa yang meninggal dunia, ditanyakan di mana dan karena apa. Sejarah kita tinggal atau domisili juga diminta diungkap secara lengkap kurun waktu tinggal dan dimana saja. Dengan metode screening ini, banyak kasus terungkap dan ada yang kemudian dipecat atau dihambat karirnya sejauh mana kadar keterlibatannya. Pada waktu itu, musuh bersama telah ditetapkan yaitu komunis yang disebut unsur ekstrim kiri. Tetapi ketika berkembang adanya aksi-aksi unsur agama yang radikal khususnya penganut Islam, maka timbul istilah baru ”ekstrim kanan” yang muncul pada tahun 80-an. Untuk mengamankan jalannya pemerintahan dan pembangunan, rezim ORBA merumuskan kewaspadaan yang harus ditangkal sejak dini terhadap adanya Ancaman, Tantangan, Hambatan, dan Gangguan (ATHG) dari unsur ekstrim kiri maupun ekstrim kanan. Caranya melalui screening yang terbukti efektif karena berhasil mengantarkan rezim ORBA berkuasa selama 32 tahun. Setelah reformasi, Lembaga dan proses screening ini ditiadakan sesuai tuntutan dalam demokratisasi. Partai politik yang tadinya berhasil disederhanakan oleh rezim ORBA, berubah menjadi multi partai yang jumlahnya melebihi 10 parpol. Bahkan anak-anak Soeharto saja melanggar beleid ayahnya karena ikut-ikutan membuat partai baru. Yang menarik adalah, isu PKI/Komunis muncul lagi khususnya menjelang Pemilu 2014 dan 2019. Agaknya, dengan sasaran menghadang laju PDIP dengan menggunakan isu PKI/Komunis, mereka berharap PDIP dan setiap langkah PDIP bisa memudar. Anehnya, malah ekstrim kanan makin menghebat dengan berbagai strategi dan langkahnya. Mereka ceramah di masjid-masjid dan berbagai forum lainnya. Penulis sendiri sering mengalami di berbagai masjid di kota-kota dan komplek perumahan serta kantor BUMN. Bahkan rektor suatu perguruan tinggi negeri sewaktu pidato wisuda pernah berkata: “Disini boleh menuntut ilmu siapa saja dari berbagai kalangan dari Sabang-Merauke. Yang tidak boleh adalah orang komunis.” Pertanyaan dalam batin waktu itu: “ Bagaimana kalau mahasiswa China, Vietnam, Korea Utara, Rusia, atau Kuba bermaksud kuliah di tempatmu, apa tidak boleh?.” Maklum, dalam pidatonya dia buka seperti seorang Ustaz/Da’i. Lalu, dalam menghadapi kelompok radikal dan ekstrim ini, perlukah menerapkan metode screening kembali?. Ancaman itu nyata dan korban terus berjatuhan secara bergelombang. Indikasi terhadap pengaruh itu ada, yaitu hengkangnya 1000 perusahaan pada tahun 2018 ke negara lain, karena sikon yang dianggap tidak aman. Dalam hal ini, resep kita adalah, mencegah lebih baik daripada menindak atau menumpas!.***** (tulisan ini pernah dikirim ke Media Indonesia tanggal 22 November 2019, namun belum dimuat)