Pada tahun 1994 penulis pernah mengikuti Kursus Kader Pimpinan (Suspi) Migas selama tiga bulan. Ada materi kuliah yang sangat membekas bagi penulis karena penting dalam tata kelola perusahaan yang baik. Pertama, oleh Ir. Palgunadi. Dia pensiunan Pindad yang kemudian disalurkan ke PT Astra. Ketika ditempatkan di bagian pengembangan usaha, dia setiap tahun mencari 100 orang mahasiswa terbaik di seluruh Indonesia maupun yang ada di luar negeri. Seratus orang tersebut umumnya di rangking 10 terbaik dari berbagai jurusan sesuai rencana usaha yang akan dikembangkan ke depan. Maka tidak heran apabila PT Astra kemudian maju pesat seperti sekarang ini. Yang kedua, Ir. Kuntoro Mangkusubroto yang memberikan materi pengalaman restrukturisasi di PT Timah. Setelah melakukan riset dan penelitian, kenapa PT Timah waktu itu hancur, dia berkesimpulan bahwa karyawan terlalu banyak dan umumnya tidak profesional. Ketika presentasi di hadapan Presiden Soeharto, dia kemukakan bahwa karyawan PT Timah yang berjumlah 15.000 orang harus dipangkas menjadi 7.000 atau 8.000 orang saja. Nasihat Presiden, kita harus hati – hati karena dulu di PT Timah banyak ditempatkan ex ABRI untuk mengamankan dari unsur – unsur yang ditengarai terlibat G30S/PKI. Dan restrukturisasi PT Timah jalan terus dengan konskuensi penentangan yang luar biasa dari para karyawan yang tidak setuju.
Seorang teman pernah menyampaikan materi kuliah di S2 Magister Manajemen, ada teori yang menyatakan bahwa apabila suatu perusahaan salah dalam merekrut SDM, akan dirasakan dua puluh enam tahun kemudian, makin maju atau malah mundur. Ternyata, Indonesia memiliki setidaknya 140 perusahaan BUMN. Selama ini BUMN dikenal sebagai Badan Usaha Milik Negara atau perusahaan pelat merah. Dulu, BUMN sering dijargonkan atau diimpikan sebagai sokoguru perekonomian atau agen pembangunan di Indonesia. Kalau saja impian itu benar karena langkahnya yang benar, bukan main masa depan Indonesia. Seperti Korea Selatan, kemajuannya karena dimotori oleh BUMN-nya. Ketika Park Chung Hee mengambil alih kekuasaan pada tahun 1961dan berkuasa sampai 1979, yang dibenahi pertama kali adalah masalah pendidikan. Dia mencanangkan, bahwa pendidikan harus menghasilkan SDM yang bisa menjadi agen pembangunan, bukan menjadi beban pembangunan. Maka moto pendidikan adalah harus berhasil mencetak SDM yang jujur, kreatif, inovatif dan pekerja keras. Sistem dan prasarana pendidikan dia benahi secara besar – beasaran dan terarah. Pendidikan berdasarkan link and match dia terapkan sesuai kebutuhan perencanaan pembangunan. Karena terencana dengan baik, maka semua lulusan pasti akan terserap oleh lapangan kerja yang sudah dipersiapkan. Bukannya ngawur asal ada perguruan tinggi dengan prodi semau – maunya dan sesudah itu membludak para penganggur dimana – mana. Dari sistem pendidikan yang telah dibenahi itulah yang kemudian mengisi lapangan kerja di BUMN, maka majulah Korsel seperti sekarang ini dan akan semakin maju dalam segala bidang.
Lalu bagaimana dengan Indonesia? Suka atau tidak suka, kenyataan menunjukkan, bahwa BUMN di Indonesia berubah kepanjangannya menjadi Bancaan untuk Maling dan Nepotisme. Dari kasus PT Timah pada masa Orde Baru dan kasus mutakhir, misalnya Garuda Indonesia adalah suatu bukti nyata. BUMN adalah ajang nepotisme yang empuk dan menggiurkan dari pengisian pegawai rendah sampai tingkat pucaknya, tidak lepas dari cara – cara nepotisme dengan berbagai modus dan motivasinya. Padahal BUMN juga dilengkapi dengan tim Komisaris yang seharusnya berfungsi sebagai pembina dan penasihat perusahaan yang bersangkutan. Tetapi kenapa bisa sampai terjadi seperti PT Garuda Indonesiai itu dan beberapa BUMN yang lain. Lalu apa saja kerja para Komisaris di BUMN tersebut? Ada lagi contoh. Bagi yang sering menggunakan jasa angkutan KRL yang melintasi Stasiun KA Manggarai, mungkin tidak banyak yang tanggap kenapa banyak besi – besi konstruksi proyek yang sedang dibangun, kok banyak yang sudah kelihatan berkarat. Timbul pertanyaan, apakah para Dewan Komisaris BUMN itu tahu dan mengerti lalu mempertanyakan benarkah mutu dan spesifikasi besi yang digunakan. Disini bisa terjadi hubungan korelasi antara besi yang mudah berkarat atau korosif tadi, dengan watak – watak korupsi. Sebagai perbandingan, besi – besi yang pernah lama terpancang sewaktu Gurbenur Sutiyoso dulu, tidak ada yang berkarat walaupun terbuka telanjang selama bertahun – tahun.
Mengenai peran Komisaris perusahaan, penulis pernah mengalami langsung. Bagian atau biro tempat penulis suatu ketika mengajukan impor produk pada hal perusahaan juga mampu memproduksi dengan mutu dan fungsi yang sama. Penulis dipanggil dan ditanya apakah produk yang diajukan impor ada padanannya dengan produksi perusahaan. Penulis jawab ada, dan jelaskan bahwa konsumennya minta yang produk impor. Setelah mengetahui bahwa pabrik masih under capacity (kapasitas tidak penuh), maka Dewan Komisaris menyurati Direksi agar meningkatkan promosi disertai kampanye yang bersungguh-sungguh dalam rangka berusaha meningkatkan kapasitas produksi pabrik.
Disinilah letak pentingnya peran Komisaris BUMN yang dituntut profesional dan tanggap terhadap jatuh – bangun dan tumbuh – kembang perusahaan. Bukan cuma mahir berhura – hura bersama para direksi yang mungkin juga belum tentu profesional apalagi kalau pengangkatannya berbau nepotisme. Yang fatal lagi, kalau penunjukan para komisaris juga berbau ada indikasi nepotisme karena hanya atas dasar berbagi – bagi kekuasaan atau balas jasa, atau karena ada kedekatan secara pribadi dengan yang mengangkat atau yang menunjuk. Sudah saatnya perlunya dihindari pengangkatan SDM di BUMN (apalagi sekelas pimpinan dan komisarisnya) hanya bermutu sebagai pendompleng, ada tetapi sebenarnya tidak ada karena tidak berfungsi sesuai harapan. Tahun 2045 adalah merupakan tahun keseratus NKRI. Impian sebagai negara besar bisa terwujud, antaralain ditentukan oleh sejauh mana mutu BUMN-nya. Dalam hal ini, mutu SDM di semua BUMN dari tingkat bawah sampai tingkat puncak dan apalagi para komisarisnya dituntut untuk bermutu, profesional dan berdedikasi tinggi serta penuh integritas.*****