Entri yang Diunggulkan

GENERASI PENDOBRAK JILID III

 Harian Rakyat Merdeka terbitan 20 April  2010,memuat artikel dengan judul “Bodoh Permanen” yang ditulis oleh Arif Gunawan. Tulisan tersebut...

Senin, 01 November 2021

INDONESIA BANGKIT MELAWAN KORUPSI?

Artikel ini telah dimuat di majalah Clapeyronmedia yang diterbitkan oleh Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan Universitas Gajah Mada


        Beberapa waktu terakhir ini, ramai mahasiswa dan aktivis masyarakat berdemonstrasi menuntut agar pegawai KPK yang dinyatakan tidak lulus tes wawasan kebangsaan (TWK), bisa diaktifkan kembali. Mereka menganggap bahwa yang dinyatakan tidak lulus dan dinon-aktifkan, sebenarnya adalah para sosok yang gigih memberantas korupsi. Indonesia memang mengalami darurat korupsi, oleh karena itu masalah korupsi merupakan bahasan yang selalu menarik.

       Pada tahun 1995 penulis sempat mengikuti Kursus Pimpinan Minyak dan Gas Bumi (Suspi Migas) yang diselenggarakan oleh PT Pertamina (Persero) bersama Lemhannas. Salah satu materi yang sangat penting untuk diingat dan dicamkan, bahwa setelah Perang Dunia II selesai, kekayaan alam Indonesia itu terkaya ke-lima di dunia. Itu terjadi pada tahun 1945 ketika kita menyatakan Proklamasi Kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus oleh Soekarno-Hatta. Sebagai mawas diri, bagaimanakah kondisi bangsa kita ketika merayakan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan  yang ke -76 pada tahun 2021? Ternyata Indonesia masih termasuk negara berkembang. Sempat dikategorikan sebagai negara maju, tetapi turun lagi statusnya, hanya karena terserang wabah pandemi Corona yang terkenal dengan Covid-19. Hampir semua negara di dunia memang mengalami nasib yang sama. Sebagai pembanding, mungkin kita bisa berkaca terhadap negara Republik Rakyat Tiongkok (RRT). Negeri yang baru merdeka pada tanggal 1 Oktober 1949 itu, saat ini sudah menjadi negara adi daya (super power) baru dalam segala hal menyaingi Amerika Serikat dan Russia. Lalu, apa yang terjadi dengan bangsa kita? Voltaire, pemikir bangsa Perancis pernah menyatakan :” Bukan kelangkaan uang, tetapi karena kelangkaan manusia berbakatlah yang membuat suatu bangsa menjadi merana “.

Sebagai negara berpenduduk lebih dari 250 juta jiwa, apakah benar kita mengalami kelangkaan manusia berbakat? Apabila mengambil tolok-ukur dari cabang olah-raga sepakbola sebagai contoh, barangkali bisa dianggap benar. Indonesia pernah mengalami penjajahan Portugis, Inggris, Belanda dan Jepang saling bergantian dalam waktu yang cukup lama, mestinya bisa mewarisi supremasi keunggulan dalam permainan olah raga sepakbola. Tetapi nyatanya, sangat jauh tertinggal bila dibanding dengan negara lain. Belum lagi masalah lain yang menyangkut ekonomi, teknologi dan lain-lain, masih sangat jauh tertinggal. Kenapa ini bisa terjadi? Apakah memang tidak ada pembangunan di negeri ini?

Ekososiofisika

       Sepak terjang suatu bangsa dapat diibaratkan seperti pergerakan suatu benda dari suatu titik ke ketinggian tertentu pada sudut kemiringan tertentu. Benda itu akan sampai ke tujuan yang diinginkan sangat bergantung pada bobot benda itu, sudut kemiringan bidang yang dilalui terhadap bidang horizontal, kekasaran atau friksi permukaan bidang yang dilewati dan juga kecepatan gerak benda itu. Keberadaan suatu bangsa juga demikian. Tidak ada satupun bangsa di dunia ini yang ingin statis, jalan di tempat. Semuanya pasti ingin membangun dan ingin mengalami kemajuan, walau pun hasilnya berbeda-beda. Ada yang maju dengan pesat dalam waktu yang relatif singkat, tetapi bahkan ada yang malah semakin terpuruk. Teori ilmu fisika yang diadopsi di atas, dapat juga dihubungkan dengan perjalanan suatu bangsa dalam merumuskan dan menapaki masa depannya. Bagaimanakah perjalanan suatu bangsa dalam mencapai kemajuan? Sejarah membuktikan, bahwa setiap bangsa berbeda-beda cara menempuhnya dan berbeda-beda pula tingkat keberhasilannya. Mereka tergantung pada modal dasar yang dimilikinya, mutu Sumber Daya Manusia (SDM) yang merupakan perancang dan sekaligus sebagai pelaksana, derajad yang ingin dicapai (tingkat pertumbuhan ekonomi dan GNP yang ingin dicapai), friksi yang ada di dalam negeri dan pengaruh lingkungan dunia, percepatan gerak, daya nalar serta etos kerja bangsa itu.

Upaya membangun jiwa dan raga bangsa untuk mencapai Indonesia Raya sebagaimana dinyatakan dalam lagu kebangsaan Indonesia Raya serta usaha memajukan kesejahteraan umum sebagaimana dinyatakan dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945, adalah merupakan cita-cita luhur dibentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Ibarat benda, itulah arah gerakan yang ingin dituju benda itu, betapa luhur cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dituangkan di dalam kedua pusaka tersebut.

Tetapi, pembangunan yang kita laksanakan belum berhasil seperti yang diharapkan. Bukan karena kelangkaan uang dan bukan juga karena kelangkaan SDM berbakat yang kita alami. Melainkan karena friksi penghambat yang demikian besar dan berat yang dialami oleh bangsa Indonesia. Friksi yang demikian kasar telah menggerogoti derap dan laju pembangunan ekonomi dan sosial, sehingga menjadi terhambat mutu maupun pertumbuhannya. Friksi itu adalah berupa korupsi. Prof. Dr. Sumitro Djojohadikusumo yang merupakan tokoh arsitek pembangunan ekonomi Orde Baru pernah menyebut, bahwa 30 % dana pembangunan dikorupsi sehingga berakibat timbul kemerosotan dalam ekonomi, sosial, politik dan hukum. Bahkan, Fahmi Idris, tokoh demonstran Angkatan 1966 yang pernah menjadi Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi semasa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, mengakui pada masanya, bahwa Indonesia pernah menduduki peringkat ke-5 dari 98 negara-negara terkorup di dunia (Suyatno dalam Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, 2005). Kondisi saat ini mungkin tidak beranjak jauh.

Korupsi adalah identik dengan gejala masyarakat yang ingin serba instant. Mereka inginnya semua harapan dan impiannya bisa tercapai dalam waktu cepat, tanpa banyak biaya, tenaga, pikiran, jerih payah dan keahlian. Dalam hal ini, perilaku korupsi tidak memiliki hubungan atau relasi dengan produktivitas. Tidak akan ada output yang bermutu dan bernilai dari tindakan dan perilaku korupsi. Korupsi bisa dimaknai pula sebagai penyalahgunaan kekuasaan dan/atau kewenangan yang melebihi batas yang diijinkan, sehingga berkaitan pula dengan pelanggaran hak atas orang lain secara melawan hukum. Korupsi juga merupakan tindakan desosialisasi dan anti sosial, yaitu suatu tindakan atau perilaku yang tidak mempedulikan hubungan-hubungan dalam system sosial. Mengabaikan kepedulian sosial adalah salah satu ciri dari perbuatan korupsi, dan contoh mutakhir justru dilakukan oleh Menteri Sosial Juliari P. Batubara yang saat ini sudah menghadapi proses hukum.

Korupsi bisa dipandang dari berbagai aspek, bergantung pada disiplin ilmu yang pergunakan. Kasus memalukan yang ramai dipergunjingkan dan sedang ditangani KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) adalah Bupati Probolinggo yang terperosok dalam kasus jual-beli jabatan, lalu Bupati Banjarnegara yang tersandung dalam kasus suap pengadaan barang dan jasa.

       Oleh karena itu, sudah saatnya, Indonesia harus bangkit untuk melawan korupsi lebih keras dan bersungguh-sungguh lagi agar visi dan misi NKRI sebagaimana tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 bisa tercapai dengan baik dan cepat. Menurut Ustadz Abu Sangkan, untuk memberantas korupsi harus dimulai dari pemimpin dan para elitnya, termasuk dalam hal ini elit politik. Alhamdulillah, Presiden Joko Widodo telah memberi teladan yang baik. Dua kali menikahkan putra/putrinya tidak menggunakan Istana Kepresidenan dan tidak mau menerima kado atau bingkisan. Bahkan, setiap gratifikasi yang diterima selalu dilaporkan kepada KPK. Selanjutnya, Lembaga Pemeriksa seperti BPK, BPKP dan Internal Audit di setiap instansi/BUMN/BUMD diharapkan mampu mengawal Indonesia Bangkit Melawan Korupsi yang sudah merupakan situasi darurat dewasa ini. Kesadaran bangsa Indonesia untuk Bangkit Melawan Korupsi , juga mutlak diperlukan untuk secara bersama berhasil mencapai kejayaan pada tahun 2045 ketika kita merayakan HUT Kemerdekaan NKRI yang ke seratus tahun nanti!*****

Rabu, 06 Oktober 2021

BANK SAMPAH

(Opini saya dalam bentuk Cerpen telah dimuat di majalah clapeyronmedia yang diterbitkan oleh Fakultas Teknik Sipil Universitas Gajah Mada, sebagai sumbang saran penanganan sampah di tanah air.)

Sampah adalah masalah yang serius di negeri ini sepanjang masa. Belum ada seorang pemimpin dalam strata apa pun yang bisa menangani sampah dengan baik dan menjadi panutan seluruh rakyat dengan kesadaran yang terpuji. Setiap kali ada hujan deras dalam waktu lama, banjir yang timbul pasti selalu disertai gerombolan sampah. Sehingga membuktikan, sampah yang dibuang sembarangan adalah merupakan salah satu penyebabnya.       

Di lingkungan Rukun Warga 03 Jatikramat Bekasi, mungkin hanya pak Adji yang tidak mempunyai bak sampah di depan rumahnya. Dia sangat risih terhadap tetangganya yang rata-rata punya bak sampah yang dibuat dari tembok dengan ukuran 1 x 1 x 1 meter kubik. Tempat sampah yang terbuka pada bagian atas atau terbuka di bagian depannya, menebarkan bau tidak sedap apalagi di waktu musim hujan, dan pastinya sangat merusak pemandangan. Belum lagi kalau sampahnya diodol-odol anjing atau kucing dan diewer-ewer di sepanjang jalan. Pak Adji punya cara yang manusiawi, sopan dan tetap menjaga kebersihan dengan penuh tanggungjawab. Dia tanamkan cara yang digariskan kepada keluarganya, bahkan sering dengan amarah. Khusus mengenai bak sampah, pernah terjadi pertengkaran dalam rumah tangga yang nyaris hebat. Pernah pak Adji naik pitam, karena sepulang bekerja, mendapati isterinya menyuruh tukang bangunan membuat bak sampah di depan menyatu dengan pagar di bagian sebelah kanan. Dia marah kepada isterinya dan menyuruh tukang bangunan untuk segera membongkarnya. “Kan kamu pernah marah-marah mengomeli tetangga. Gara-gara hujan deras dan agak lama, lalu banjir dan sampah serta belatung berhamburan sampai teras rumah. Cara kita sekarang inilah yang sesuai hadis Rasulullah, bahwa kebersihan itu setengah daripada iman. Ikuti cara yang baik yang diatur suami!”, kata pak Adji dengan nada sangat marah disaksikan ketiga anaknya dan tukang bangunan yang mengerjakan pembuatan bak sampah itu.

       Cara menanggulangi dan mengelola sampah yang diterapkan pak Adji adalah menampung sampah di keranjang-keranjang sampah di setiap ruangan dalam rumah dengan kantong plastik. Kalau sudah penuh kemudian dikumpulkan di tong plastik yang lebih besar dan ditaruh di teras rumah atau garasi. Sampah dalam kantong-kantong plastik itu dikeluarkan ketika truck sampah datang mengambil pada hari tertentu seminggu sekali. Dengan cara itu maka depan rumah pak Adji akan tampak selalu bersih.

Karena banyaknya kasus sampah terserak di jalanan oleh ulah anjing, kucing dan tikus, Ketua RW 03 suatu saat membuat edaran. Setiap bak sampah diwajibkan supaya dibuatkan tutup dan tetap dapat mudah dibuka oleh petugas pengangkut sampah ketika akan diangkut ke TPA (Tempat Pembuangan Akhir). Rumah pak Adji suatu ketika didatangi Pengurus RW 03, mempertanyakan kok tidak kelihatan ada bak sampah. “Bagaimana pengelolaan sampahnya, Pak?” tanya Ketua RW 03 dengan disaksikan pengurus yang lain. Dengan panjang-lebar pak Adji menjelaskan metode pengelolaan sampah yang diterapkan di rumahnya dengan menunjukkan bukti-bukti pelaksanaannya. Mereka manthuk-manthuk dan manggut-manggut , agaknya bisa memahami dengan baik penjelasan pak Adji.

Suatu ketika, Ketua RW 03 membuat edaran ke seluruh warga. Di tingkat RW 03 akan diadakan Bank Sampah yang diharapkan didukung warga karena disamping dalam rangka menanggulangi masalah sampah, juga menjadikan sampah masih mempunyai nilai ekonomi. Dalam edaran itu disertai daftar jenis sampah yang bisa disetor ke Bank Sampah berikut nilai harga satuannya. Karena keluarga pak Adji termasuk yang produktif dalam menciptakan sampah, maka dia memutuskan untuk ikut serta mensukseskan penyelenggaraan Bank Sampah tersebut. Keluarga pak Adji yang terdiri atas isteri dan ketiga anaknya, disuruh mulai memilah sampah sesuai kelompoknya. Tertib sampah di rumah ini bukan main sulitnya ketika mulai diwacanakan. Berkali-kali pak Adji mengomeli anggota keluarganya. “Siapa yang minum aqua ini? Dimana seharusnya letak bekas botolnya, segera taruh di kelompoknya!”, begitulah antaralain  hardik pak Adji hampir setiap hari untuk mendidik keluarganya agar tertib sampah. Edaran mengenai Bank Sampah itu kebetulan bersamaan dengan pekerjaan renovasi rumah pak Adji. Atap rumahnya yang banyak dimakan rayap sejak lama, dibongkar total diganti dengan baja ringan. Bongkaran kayu dan potongan besi banyak berserakan di sana-sini. Sambil mengawasi para tukang, pak Adji pelan-pelan mencabuti paku dan mengumpulkan potongan-potongan besi dan dimasukkan ke dalam karung-karung plastik bekas beras. Dengan membayar jasa abang becak, sampah besi, plastik, kardus, kantong semen dan kertas, termasuk kertas koran disetor ke Bank Sampah. Sebagai peserta, pak Adji mendaftarkan nama anaknya yang paling bungsu yang waktu itu sedang duduk di kelas dua Sekolah Menengah Atas (SMA). Dengan dibantu abang becak langganannya, sampah yang sudah terpilah sesuai kelompoknya disetor secara rutin setiap bulan ke Bank Sampah yang lokasi penimbangannya di kawasan pekarangan Graha RW 03 yang tidak begitu jauh dari rumah pak Adji.

Sampai beberapa bulan, keluarga pak Adji masih belum paham apa itu yang namanya Bank Sampah. Isteri dan anak-anak pak Adji masih terheran-heran dengan perintahnya mengelompokkan sampah dengan tertib dan sering disertai dengan marah-marah. Pak Adji tetap konsisten kepada langkah yang diambil. Merapikan dan memilah sampah-sampah di rumah adalah menjadi hobi  dan kesibukan yang lain sebagai hiburan di usia pensiunnya. Yang selalu ditekankan kepada keluarganya berulang-ulang, adalah :”Kebersihan itu setengah daripada iman. Kita selalu menghasilkan sampah yang aneka ragam dan banyak jumlahnya. Sampah ternyata masih mempunyai nilai ekonomi, tetapi kita tidak mencari penghidupan dari sampah.  Ingat, hanya semata-mata dalam rangka tertib sampah di rumah dan menjaga lingkungan!”.                          

       Suatu hari, anak pak Adji yang bungsu merengek minta dibelikan tiket nonton sepak bola di Asian Games 2018 yang akan bertanding di Stadion Wibawamukti Bekasi. Dia ini gadis, tetapi senang menonton sepak bola. Apalagi, seperti remaja lainnya akhir-akhir ini banyak menggandrungi segala sesuatu yang berbau Korea Selatan. Musik, makanan, mode rambut dan pakaian, film dan sinetron, bahkan untuk barang elektronik banyak yang mengagumi produk Korea Selatan. Pak Adji lalu pasang siasat. Momentum demam Korea Selatan bisa dimanfaatkan untuk memulai tertib sampah yang bersungguh-sungguh.  “Jalankan tertib sampah seperti perintah, nanti akan Bapak belikan tiket nonton sepak bola kelas satu!”, tegas pak Adji yang disambut dengan teriakan serentak ketiga anak perempuannya. “Benar ini ya, Pak ?”, tanya mereka ingin meyakinkan dan memastikan bapaknya tidak akan berbohong.

Ketika penimbangan yang sudah kesekian kalinya, pak Adji mengajak serta ketiga putrinya. Kebetulan Ketua RW 03 ada di tempat penimbangan itu bersama pengurus yang lain dan sejumlah warga yang juga peserta Bank Sampah. Ketika menyambut kedatangan pak Adji, Ketua RW 03 berucap :”Nah, beginilah seharusnya. Seluruh warga mestinya meniru pak Adji dalam menyukseskan program pemerintah untuk memerangi sampah”. Sambil didengar juga oleh ketiga putri pak Adji, Ketua RW 03 mengungkap bahwa warga yang lain  banyak yang malu-malu. Tetapi Pak Adji mempunyai pendapat lain. Dia mencoba memberikan saran kepada Pengurus RW 03. “Bukannya malu-malu, Pak. Kelihatannya banyak orang yang mengalami kesulitan untuk membawa sampahnya kemari. Hanya yang punya kendaraan, sepertinya yang rajin menyetor sampahnya secara rutin. Bagaimana kalau seandainya Pengurus RW 03  mengusahakan mobil kecil pengangkut sampah atau sejenis becak-motor, untuk menjemput sampah ke seluruh warga. Tentunya, warga sudah diajari cara memilahnya!”, saran pak Adji dengan penuh semangat.

Setelah proses penimbangan selesai, pak Adji mengajak ketiga putrinya menemui bagian administrasi, menanyakan jumlah tabungan yang sudah terkumpul selama ini. Ketiga anak pak Adji kaget, hampir tidak percaya. Karena ternyata besar tabungannya cukup banyak dan bisa diambil untuk membeli tiket sepak bola kelas satu. Mereka pulang dengan sukacita . Lapor kepada ibunya, bahwa sampah yang akan membayar tiket menonton sepak bola ketika Korea Selatan bertanding di Stadion Wibawamukti Bekasi. Sambil mengibas-kibaskan uang yang baru saja ditarik dari Bank Sampah, sejak itu mereka berjanji akan menjalankan tertib sampah di rumah dengan bersungguh-sungguh.

       Mereka pergi bertiga ke Stadion Wibawamukti untuk menonton pertandingan sepak bola antara Korea Selatan melawan Uni Emirat Arab. Sengaja berangkat lebih awal, takut kalau macet dan ramai penonton karena di kawasan Bekasi banyak perusahaan milik pengusaha Korea Selatan. Tetapi juga karena berharap bisa melihat dari dekat para pemain sepak bola Korea Selatan. Mereka juga ingin sekali bisa mengambil foto dengan para pemain sepak bola Korea Selatan.

Pulang sudah larut malam karena mereka naik grab yang susah memesannya. Pak Adji dan isterinya walaupun memantau setiap jam melalui gawai, tetapi tetap saja penuh kekhawatiran dan sabar menunggu sampai larut malam. Sesampai di rumah, mereka meluapkan kegembiraannya yang bukan alang-kepalang. Menunjukkan foto-foto karena bisa berhasil merangsek ketika bus yang membawa para pemain Korea Selatan tiba di stadion. Ketika masing-masing menunjukkan tas ransel bawaannya yang kelihatan berisi penuh, dikiranya bawa oleh-oleh, ternyata mereka hanya membawa pulang sampah. Kertas, plastik dan botol bekas minuman yang sudah menjadi sampah mereka bawa pulang semua. “Lho, kamu memunguti sampah di stadion, ya?”, tanya ibunya keheranan. “Tidak, Bu, ini sampah pribadi selama jajan di stadion, kita amankan dan rawat baik-baik, tidak membuang sembarangan  seperti orang-orang lain yang kurang beradab. Kalau boleh sih, wah banyak sekali sampah di stadion. Apalagi para supporter Korea Selatan sangat tertib sampah. Semua sampah mereka dikumpulkan di plastik-plastik besar yang agaknya sudah dipersiapkan sebelumnya. Tapi ini sampah sendiri lho Bu, bukan hasil memungut!”, jelas si bungsu kegirangan karena keinginannya terkabul. “Berarti, satu pelajaran yang kalian dapat dari menonton sepak bola ini, bahwa orang Korea Selatan itu, siapa saja, kapan saja, di mana saja dan dalam suasana apapun, mereka selalu menerapkan tertib sampah dan berbudaya bersih. Kalian harus mencontoh dan mengikuti adat yang baik itu dan kalau bisa tularkan juga kepada orang lain. Ajaran kita juga menyebut, bahwa kebersihan itu setengah daripada iman, dan anjuran menabunglah sedikit demi sedikit. Menabunglah dari sampah yang kalian hasilkan dengan telaten dan rajin. Dan patut kalian renungkan, ternyata bangsa yang mampu menjaga kebersihan, bisa menjadi bangsa yang maju dalam segala hal !”, celetuk pak Adji bagaikan menyampaikan khutbah di tengah malam. Sebelum pergi mandi dan bebersih diri, mereka sempatkan merapikan sampah yang mereka bawa sesuai kelompoknya. “Wah, mereka agaknya sudah semakin sadar tertib sampah dan mendukung keberadaan Bank Sampah, Bu”, bisik pak Adji kepada isterinya sambil menahan kantuk karena hari sudah larut malam.

Dan ternyata, memang seluruh anggota keluarga pak Adji sejak saat itu mulai rajin melakukan tertib sampah dengan penuh kebersamaan, sukacita, kompak dan bersungguh-sungguh.*****

 

Bekasi, Juli 2021

Kamis, 19 Agustus 2021

Memfilmkan Legenda, Kenapa Tidak?

Beberapa tahun yang lalu sebagaimana diberitakan di berbagai media massa, Menteri Kebudayaan & Pariwisata waktu itu, memberikan semacam instruksi kepada para Kepala Daerah. Dianjurkan agar tiap daerah provinsi membuat film kepahlawanan daerahnya masing – masing. Tujuannya mungkin untuk menumbuhkan nilai – nilai kejuangan kepada generasi muda yang sudah ada tanda – tanda mulai terkikis. Atau mungkin dalam rangka meningkatkan  upaya pelestarian nilai seni budaya  setiap daerah serta untuk meningkatkan pariwisata melalui film.

Padahal, kalau ambisi itu dituruti, yang terjadi adalah mungkin merupakan langkah yang sia – sia. Jauh panggang dari api, kata pepatah. Sebagai pengalaman mungkin dapat dievaluasi, misalnya,film “Tjut Nyak Dien” yang pernah dibuat dengan ambisius, tetapi nyatanya kurang  peminat. Dari berbagai sudut, film itu kurang menarik. Apalagi setiap film sejarah Indonesia, yang menonjol hanyalah yang berbau melawan penjajah Belanda atau Jepang, dan kemasannya pada umumnya kurang menarik.

Film menarik adalah film yang bisa menarik penonton sebanyak-banyaknya walaupun tanpa promosi yang berarti. Film menarik bisa karena bintang pendukungnya, alur ceritanya, teknik pembuatannya, lokasi shooting atau  bisa karena keseluruhannya menarik. Sebagai contoh, film Laskar Pelangi yang pernah mencapai Box Office beberapa waktu yang lalu. Film itu menarik karena menyangkut penggalan sejarah pendidikan suatu zaman dan lokasinya yang menarik. Disamping penggarapannya juga cukup mengesankan. Lebih menarik lagi karena terbukti kepulauan Bangka-Belitung sebagai lokasi shooting film tersebut kemudian dibanjiri banyak turis (Rakyat Merdeka 2 Mei 2010).

FILM TENTANG LEGENDA

Sekiranya benar bahwa film daerah ditujukan untuk meningkatkan sektor pariwisata melalui pengenalan seni dan budaya daerah, maka yang tepat adalah menginstruksikan setiap daerah untuk membuat film tentang legenda daerah. Legenda menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia (Balai Pustaka 2006) adalah cerita dari zaman dahulu yang dikenal dan digemari orang yang bertalian dengan peristiwa bersejarah.

Legenda itu bisa diambil dari ikon alam atau seni budaya masing – masing daerah . Sebagai contoh, Reog Ponorogo atau Gunung Bromo dari Jawa Timur,betapa menariknya apabila legendanya yang penuh misteri itu  difilmkan. Boleh jadi, Reog Ponorogo tidak  akan diklaim oleh Malaysia sekiranya legendanya di filmkan secara kolosal. Atau turis akan semakin berbondong – bondong datang setelah menyaksikan film tentang legenda Gunung Bromo yang menawan dengan legenda Hari Raya Kesodonya.

Sebagai contoh menarik, pernah ada film pada tahun 70’an yang dibuat oleh sebuah negara Asia berjudul “The Snake Man”(manusia ular). Film itu tentang legenda terjadinya sumber mata air pemandian alam yang antara lain berkhasiat dapat menyembuhkan penyakit kulit dan pernah memenangkan Festival Film Asia. Cerita dalam film itu sebenarnya sederhana saja karena menceritakan tentang seorang wanita yang sudah bersuamikan lelaki yang pencemburu, berselingkuh dengan seekor ular sakti .Hasil perselingkuhan yang tidak diniati itu membuahkan  seekor ular sakti yang kemudian bisa menjelma menjadi pemuda tampan  setelah bertapa di suatu pegunungan yang terdapat danau yang indah. Film tersebut berbau pornografi, tetapi tidak menonjolkan adegan pornografinya. Berbau mistik karena mengandung hal – hal yang menyangkut pertapaan dan kesaktian tetapi menariknya, dalam penggarapannya tidak menampakkan adegan horor yang menyeramkan. Episode demi episode semuanya menarik karena menggambarkan adegan yang mengesankan dengan  latar belakang alam dan kehidupan yang benar-benar menggambarkan zaman baheula. Happy ending film tersebut mengetengahkan suatu objek pariwisata yang sangat terkenal di suatu daerah di negara pembuat film  yang berupa lokasi pemandian alam yang indah dan masih ramai dikunjungi para turis sampai sekarang. Paling tidak ,sampai film tersebut dibuat, obyek pariwisata itu masih dipertahankan. Dan sudah dapat dipastikan, pemerintah serta masyarakatnya berusaha melestarikan obyek pariwisata tersebut dengan bukti pembuatan film legendanya yang berhasil diekspor ke berbagai negara 

Mungkin waktunya belum terlambat. Industri pariwisata dan ekonomi kreatif Indonesia bisa dikembangkan sebagai sokoguru perekonomian Indonesia melalui pembuatan film tentang legenda. Indonesia yang kaya akan objek wisata yang sangat menarik dan hampir semuanya mempunyai legendanya masing – masing,  mestinya juga sangat menarik apabila dituangkan ke dalam sebuah film layar lebar. Bahkan hewan komodo yang ada di pulau Komodo pun ada legendanya yang bisa digali untuk dibuatkan filmnya. Menurut penuturan penduduk setempat, kalau kita ke P.Komodo sebaiknya  dikawal oleh penduduk asli setempat. Tujuannya agar tidak dimangsa oleh hewan komodo yang termasuk binatang buas. Pengamanan itu bisa terjadi karena hewan komodo diyakini masih seketurunan dengan penduduk asli P.Komodo. Konon pada zaman dahulu kala, hidup seorang raja yang mempunyai seorang putri yang cantik jelita. Kehidupan kerajaan dibiayai dari pajak yang dibayar oleh rakyatnya sesuai bidang usahanya. Adalah seorang perjaka tampan yang selalu mengirim ikan sebagai pajak mewakili ayahnya yang berprofesi sebagai nelayan. Karena seringnya bertemu pandang dengan anak nelayan yang tampan itu, membuat putri raja jatuh hati. Begitu juga anak nelayan tiba-tiba jatuh cinta. Karena gayung bersambut, maka semakin rajinlah anak nelayan itu mengantar pajak ikan ke istana agar bisa sering bertemu dengan putri raja. Rumor percintaan dua insan beda status sosial ini akhirnya sampai juga ke telinga sang raja. Sebagai akibatnya, sang raja melarang hubungan putrinya dengan anak nelayan tersebut. Tetapi tetap saja dengan sembunyi-sembunyi sang putri berusaha menemui sang perjaka. Sang raja semakin garang menghalangi hubungan keduanya dengan berbagai macam cara. Puncaknya, sang putri malah diam-diam lari dari istana dan bersembunyi di suatu goa bersama sang anak nelayan. Sang raja saking murkanya, terucap sumpah-serapah dan tidak mau  mengakui lagi putrinya tersebut. Dari hubungan yang tidak direstui itulah kemudian lahir komodo seperti wujudnya sekarang ini. Nah, seandainya legenda keberadaan hewan komodo ini digubah dan difilmkan secara cerdas dan menarik, bukan mustahil  akan semakin meningkatkan kunjungan wisatawan ke P.Komodo dan Kawasan Labuan Bajo yang sudah ditetapkan sebagai Destinasi Pariwisata Super Prioritas, Dan tak kalah pentingnya adalah ikut membantu Pemerintah RI dalam memperjuangkan Taman Nasional Komodo sebagai salah satu dari Tujuh Keajaiban Alam (New 7 Wonder s of Nature). Demikian juga Danau Toba di Sumatera Utara yang indah dan Danau Tiga Warna Kelimutu di pulau Flores serta legenda Candi Prambanan di Jawa Tengah dan banyak lagi, menunggu kreativitas para seniman dan budayawan Indonesia untuk menciptakan filmnya. Apabila upaya memfilmkan legenda  ini terwujud,dan menarik penggarapannya, bukan mustahil akan tercapai ”sekali merengkuh dayuh, dua tiga pulau akan terlampaui”. Artinya, melalui pembuatan film yang brilian tentang legenda, bersamaan dengan itu dapat meningkatkan mutu dan pendapatan sektor perfilman serta diharapkan dapat meningkatkan sektor pariwisata dan pertumbuhan ekonomi. Dan tak kalah pentingnya adalah timbulnya kesadaran peningkatan upaya pelestarian warisan alam ,lingkungan dan seni budaya yang dimiliki bangsa Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Dengan demikian diharapkan akan semakin memperkenalkan INDONESIA  lebih luas lagi, dan tidak hanya sekedar  P.Bali seperti sekarang ini yang lebih terkenal dibanding negeri induknya. Dari pada membuat film yang aneh-aneh dan tidak laku seperti  beberapa tahun terakhir ini, lebih baik kita  berpaling ke cerita legenda yang berlatar belakang obyek pariwisata. Mari kita coba buktikan, siapa tahu setiap daerah akan berusaha menggali bakat serta kreativitas di kawasannya masing-masing!.*****.

 


Senin, 16 Agustus 2021

negeri sampah

 

Ada sebuah negeri antah berantah

Dikenal dengan Negeri Sampah

Karena di mana-mana sampah melimpah

Tumpah ruah dan mbrarah di segala arah


 Di daratan, laut dan sungai, serta di udara

 Berhamburan sampah aneka rupa

 Sampai yang tersangkut di kabel-kabel

 Bangkai layang-layang nampak berjubel


Di negeri banyak sampah

Manusianya buang sampah tanpa jengah

Asal lempar di segala tempat tanpa adab

Banjir di mana-mana karena sampah jadi penyebab

                              

Di negeri banyak sampah

Manusianya berebut pangkat dan jabatan dengan serakah

Tetapi tidak paham membuat negeri jadi indah

Karena tidak mengerti bagaimana cara menangani sampah


Di negeri banyak sampah berserakan

Semua daerahnya pernah punya semboyan

Ada yang bunyinya “ Tegar Beriman “

Dan aneka kata semboyan yang dipajang di jalan-jalan

 

Nyatanya, semboyan tinggal semboyan

Walau terucap pada setiap acara dan keramaian

Namun tidak ada yang mampu mengubah keadaan

Karena semboyan dicipta hanya asal-asalan


Ada lagi yang namanya penghargaan Adipura

Diplesetkan menjadi “ajang dusta, intrik dan pura-pura”

Karena yang pernah dapat, tetap saja kumuh dan tidak tertata

Terbukti, Adipura cuma ajang formalitas dan hura-hura

                                

Itulah hikayat sebuah Negeri Sampah

Yang sebetulnya gemah ripah dan kaya raya

Karena kekayaan alamnya yang melimpah

Tetapi merana karena koruptor dan penjarahnya merajalela


Di negeri bersimbah sampah

Banyak menghasilkan pemimpin kelas sampah

Mereka berebut kekuasaan dan jabatan dengan berbagai cara

Pada hal setelah memperoleh, karya apa yang dihasilkan, coba?*****


Bekasi, Agustus 2021

 

Minggu, 25 Juli 2021

BUMI PAPUA HARAPAN BARU DARI TIMUR

Siklus alam kehidupan, memberikan sinyal yang sangat berharga bagi bangsa Indonesia. Ketika masyarakat Ibukota DKI Jakarta di Pulau Jawa masih tertidur lelap, saudara sebangsa-setanah air yang tinggal di Papua, sebagian besar mungkin sudah bermandikan keringat mengarungi berbagai kegiatannya masing-masing. Mentari yang terbit di ufuk Timur, membangunkan pertama kali saudara-saudara kita yang bermukim di Papua.  Kita patut bersyukur kepada Tuhan Yang Mahakuasa atas karunia tanah-air dari Merauke sampai Sabang yang luas, unik dan kaya raya ini. Oleh karena itu, kita segenap bangsa Indonesia juga patut menyampaikan terima kasih kepada para Pendiri Bangsa. Yang telah mewariskan negeri nan indah bagaikan zamrud di khatulistiwa dan pernah menjadi rebutan para penjajah silih berganti selama berabad-abad. Wujud perilaku terimakasih itu adalah senantiasa menjaga kelestarian lingkungannya, memanfaatkan kekayaan alamnya dengan adil dan bijaksana. Serta yang utama adalah menjaga dan memelihara persatuan dan kesatuan bangsa yang majemuk ini.

Pada tanggal 2 Oktober 2021 nanti, di Jayapura ibukota Provinsi Papua, akan diselenggarakan Pekan Olahraga Nasional (PON) ke-20. Untuk keperluan tersebut, telah dibangun stadion megah bertaraf internasional seluas 7.740 meter persegi dengan kapasitas penonton sebanyak 3.674 kursi. Di stadion yang diberi nama Stadion Lucas Enembe dan berjulukan Istana Olah Raga (Istora) Papua Bangkit itulah, kelak para atlet berbagai cabang olahraga dari 34 provinsi akan bertemu. Melalui perhelatan olahraga, diharapkan tercipta forum silaturahim nasional sehingga terjalin persatuan dan kesatuan nasional yang kokoh dan tidak tercerai-berai. Menjadi catatan menarik karena penyelenggaraan PON ini ketika bangsa Indonesia dan seluruh dunia sedang berperang melawan pandemi Covid-19 yang semakin mengganas, dan masih adanya Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) yang mengganggu keamanan di bumi Papua. Dengan perhelatan PON ini, semoga tercipta kesadaran semua pihak, bahwa menjaga persatuan dan kedamaian perlu ditegakkan demi tercapainya kemajuan dan kesejahteraan bersama.

Penulis termasuk yang sangat memimpikan harapan ini karena mempunyai beberapa memori yang patut dikenang mengenai Papua. Bahkan merasa ada ikatan emosional  dan catatan yang dapat penulis kemukakan berikut ini.

Pertama, pada tahun 1958/1959, sewaktu penulis duduk di kelas dua SR (Sekolah Rakyat, sekarang SD) Negeri Benjeng, sebuah desa di Kabupaten Gresik. Ketika sedang asyik belajar, tiba-tiba sekolah kedatangan tamu Bapak Tentara. Setelah ketamuan itu semua siswa dipulangkan lebih awal, dengan pesan dari Ibu Guru Karsiyah agar nanti apabila mendengar bunyi bedug di masjid dan kentongan di Balai Desa dan Pos Ronda secara serentak, semua harus diam, berdiri mengheningkan cipta disertai berdoa dan mengucapkan kata-kata :”Irian Barat hak milik kita!”. Ibu Guru menyuruh agar lekas pulang dan meyampaikan pesan tersebut kepada orang-tua masing-masing dan semua sanak famili.

Kedua, sewaktu Presiden Soekarno menyampaikan pidato Trikora (Tri Komando Rakyat) pada tanggal 19 Desember 1961 di Jogyakarta, penulis sudah duduk di kelas lima SR. Pak Guru Legimin, membawa kami sekelas ke rumah Pengusaha tetangga sekolah yang mempunyai radio untuk mendengarkan pidato yang sangat bersejarah tersebut. Setelah kembali ke kelas, Pak Guru menanyakan isi Trikora tersebut dan menerangkan selengkapnya yang isinya :”Gagalkan negara boneka Papua buatan Belanda, kibarkan bendera Sang Saka Merah Putih di daratan Irian Barat sebelum ayam berkokok 1 Mei 1963, dan laksanakan mobilisasi umum bagi seluruh rakyat Indonesia untuk perjuangan membebaskan Irian Barat dari penjajah Belanda.

Ketiga, pada tahun 1963-1966 penulis duduk di bangku SMP. Suatu pagi ketika berangkat ke sekolah, penulis menemukan sobekan kertas pamflet Departemen Penerangan, yang memuat gambar peta Irian Barat dan tulisan tangan Presiden Soekarno . Karena tertarik, sobekan kertas itu penulis pungut dan terbaca tulisan yang seingat penulis berbunyi :”Bantulah Pembangunan Irian Barat” dengan tandatangan Presiden Soekarno. Waktu itu, sebagai pelajar SMP sudah mulai memikirkan bagaimana membuat tandatangan yang bagus. Kita antar teman di kelas suka saling pamer tandatangan untuk diadu mana yang bagus dan menarik disertai ledekan dan ramalan-ramalannya. Dari tandatangan Presiden Soekarno yang terdapat pada peta Irian Barat itulah penulis kemudian terinspirasi meniru “S”-nya dan masih penulis pakai sampai sekarang sebagai tandatangan resmi sejak menandatangani ijazah SMP pada tahun 1966.

Keempat, pada tahun 1987 penulis berkesempatan mengunjungi Papua dalam rangka tugas dari kantor. Kota yang penulis kunjungi antaralain Jayapura, Biak, Sorong, dan Merauke. Tepat ketika peringatan detik-detik Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1987, bersama tim dan pengantar rombongan sedang sarapan pagi di suatu rumah makan khas masakan Jawa di Merauke. Ketika dibacakan teks Proklamasi :”….Atas nama bangsa Indonesia, Soekarno-Hatta”, pengantar yang bernama Pak Amas spontan berteriak. “Sejarah tidak bisa dihapus, Soekarno tidak bisa dihapus”, katanya berulang-ulang. Karena kaget dan heran, penulis lalu menanyakan , Pak Amas lahir di mana, kapan dan di mana dibesarkan, kok mengenal Bung Karno. Dengan bangga dia bercerita, bahwa dia orang Papua, lahir dan besar di Papua. Dulu, sewaktu jaman Belanda, kalau Bung Karno perpidato, orang-tuanya suka mendengarkan melalui radio dengan sembunyi-sembunyi karena takut ketahuan Belanda atau orang-orang yang pro Belanda.

Juga ada kisah menarik untuk penulis kenang. Waktu dinas itu status penulis masih bujangan dan bersama rombongan menginap di Hotel Matoa Jayapura. Ada karyawati resepsionis hotel yang cantik blasteran, bapaknya anggota TNI asli Papua dan ibunya berasal dari Cimahi – Jawa Barat. Di bagian cafetaria ada karyawati pramusaji yang hitam manis , cantik khas Papua bernama Margaretha yang tinggal di jalan Ampera Jayapura. Kawan-kawan selalu menjodoh-jodohkan setiap kali sarapan pagi. Dan jujur, penulis memang tertarik juga. Suatu malam Minggu, penulis coba mertamu ke rumahnya dengan maksud mau pendekatan. Tetapi oleh abangnya dibilang Eta sedang istirahat dan penulis tidak sempat ngobrol karena tidak dipersilahkan masuk barang sejenak. Patah hatilah jadinya, baru berkhayal dan membayangkan pendekatan, sudah putus di tengah jalan karena esok hari harus kembali ke Jakarta.. Pengalaman ini membuat penulis masih suka berkhayal, seandainya bisa berhasil menggaet Margaretha, mungkin keadaan Papua sekarang bisa menjadi tenteram dan damai. Oleh karena itu penulis ingin menyampaikan “Salam Sejahtera!” buat Margaretha di mana pun saat ini berada, yang sekitar Juli/Agustus 1987 menjadi karyawati Hotel Matoa Jayapura di bagian cafetaria.

Pengalaman selama bertugas, penulis mempunyai kesan, bahwa Papua memang sangat indah. Sebelum mendarat di Bandara Sentani, danau Sentani nampak mempesona dari ketinggian, demikian juga semua kota dan daerah yang penulis singgahi sangat menakjubkan.

Kelima, terjadi sekitar tahun 2002. Penulis mendapat kunjungan Johanes Aury yang mau pamitan karena dipindah-tugaskan ke Jayapura. Johanes Aury adalah pemain nasional sepakbola  yang diterima sebagai karyawan PT Pertamina (Persero), beristerikan wanita NTT (Nusa Tenggara Timur). Ketika ngobrol dan berbincang-bincang, penulis tanyakan kenapa kok beberapa oknum masyarakat Papua masih ada yang ingin merdeka. Dia bilang, bahwa masyarakat Papua banyak yang kecewa. Dulu, sewaktu jaman Belanda, seseorang yang tamatan sekolah rendah saja bisa menjadi Kepala Gudang dan hidup sejahtera. Sedangkan sekarang, dituntut harus sekolah dan berijazah yang cukup untuk bisa memegang jabatan yang sama. Fasilitas yang seharusnya untuk masyarakat Papua ternyata banyak dinikmati para pendatang, masyarakat Papua merasa hanya terpinggirkan. Banyak pendatang yang sengaja datang untuk menikmati hak yang seharusnya hanya diberikan kepada masyarakat Papua. Dari situlah antara lain masyarakat Papua mengalami kekecewaan. Penulis hanya menyampaikan pesan persaudaraan kepada Johanes Aury, mendoakan semoga sukses dalam bertugas dan berkarir. Serta harapan penulis agar Johanes Aury bisa mengembangkan persepakbolaan di Jayapura dan seluruh Papua sehingga kelak terlahir banyak pesepakbola baru dari bumi Cenderawasih.

Keenam, mengenai ibukota Provinsi Papua. Dulu, setelah kembali ke pangkuan NKRI, ibukota Irian Barat/Papua yang semula bernama Holandia (7 Maret 1910 – 1962), kemudian sempat berubah menjadi Kotabaru, oleh Presiden Soekarno diubah lagi menjadi Sukarnopura (1964) Tetapi kemudian sangat disayangkan, Irian Barat yang bersejarah diubah menjadi Irian Jaya, Sukarnopura diganti menjadi Jayapura dan Puncak Sukarno yang terdapat salju abadi di dunia, diubah menjadi Puncak Jayawijaya. Itu semua terjadi pada tahun 1968. Lalu, sewaktu penulis masih di SMP antara 1963/1964 sampai 1965/1966, film di bioskop selalu didahului dengan pemutaran film penerangan dari Departemen Penerangan. Di antara film-film itu ada tentang kunjungan Presiden Soekarno ke Irian Barat dan ada adegan Presiden berangkulan mesra dengan para Kepala Suku di Papua yang menggambarkan pendekatan yang sangat humanis. Lagi-lagi penulis berilusi, kalau saja ibukota Papua masih Sukarnopura dan film Presiden Soekarno ke Papua ini selalu diputar kembali, mungkin kedamaian akan terwujud di tanah Papua yang indah dan mempesona itu.

Ketujuh, mengenai pembangunan di Papua. Penulis mempertanyakan, kenapa pembangunan smelter PT Freeport kok di tanah kelahiran penulis, Gresik Jawa-Timur. Kenapa tidak di Papua saja khususnya di pantai Selatan. Sehingga penulis curiga, jangan-jangan memang ada kesengajaan. Ketika mengangkut bongkahan tanah tambang ada yang akan diselewengkan ke smelter awalnya di luar negeri ketika kita lalai dan lengah tidak mampu mengawasi perairan kita yang luas ini. Bongkahan itu mengandung  tembaga, emas dan uranium yang tidak ternilai. Seandainya smelter Freeport dan industri yang lain dibangun di Papua, lalu mengutamakan masyarakat Papua sebagai SDM melalui pembibitan dan pembinaan pemuda/pemudi yang berpotensi dan berkualitas, niscaya kedamaian akan tercapai karena terciptanya kesejahteraan bersama yang adil dan beradab.

Kedelapan, mengenai hobi koleksi benda filateli. Sejak di bangku SMP, penulis menekuni hobi mengoleksi benda filateli yang terdiri atas prangko, sampul surat berikut cap posnya, kartu pos serta benda pos lainnya. Di antaranya, penulis mengoleksi tematik mengenai Irian Barat/Papua. Dari benda filateli itu penulis bisa mengetahui lebih banyak mengenai tanah Papua misalnya peta bumi, flora-fauna, seni-budaya, dan kekayaan alamnya. Juga nama kota-kota melalui cap posnya, serta Sampul Hari Pertama (SHP) penerbitan prangko bercap pos Sukarnopura yang sudah langka dikoleksi para pehobi filateli.

Kesembilan, ketika berkunjung lagi ke Sorong pada tahun 2004 dalam rangka tugas ke Kilang Minyak Pertamina Sorong. Penulis berkesimpulan, kilang minyak Sorong layak dikembangkan sekalian untuk membangun Kawasan Indonesia Timur dan tercapainya satu harga BBM yang seragam dari Sabang sampai Merauke. Bersamaan dengan itu, kita wajib mencari bibit-bibit anak terbaik asli Papua untuk dididik berbagai cabang ilmu yang terkait dengan teknologi, tata kota dan kesehatan. Mereka diperlukan untuk membangun Papua yang indah dan maju di masa depan. Pesona alam, kekayaan adat-istiadat, seni dan budaya serta flora dan fauna yang khas bisa merupakan modal pengembangan pariwisata yang diharapkan akan mendatangkan kedamaian dan kemakmuran.

Kesepuluh, pada tahun 2012 penulis pernah menulis “Surat Pembaca” ke beberapa media massa cetak. Penulis menyampaikan keprihatinan karena Monumen Pembebasan Irian Barat di Lapangan Banteng Jakarta kondisinya rusak parah, dikanibal dan ditempati para tunawisma dan gelandangan. Monumen yang diresmikan oleh Presiden Soekarno pada tanggal 18 Agustus 1963 itu, pintu dan pagarnya yang terbuat dari logam stainless-steel banyak yang hilang dicopoti oleh orang-orang liar. Monumen itu tidak terjaga setelah Terminal Bus Kota Lapangan Banteng dihapus sehingga situasinya menjadi sepi dan lengang sepanjang hari. Kalau di kemudian hari Monumen itu direnovasi total oleh Pemda DKI Jakarta, penulis sempat gede-rasa, alias “GR”.  Semoga  karena “Surat Pembaca” yang juga sempat penulis “google”-kan pada tanggal 24 Agustus 2012 itu telah dibaca dan diperhatikan oleh banyak orang. Sekarang, Monumen itu menjadi salah satu ikon dan destinasi pariwisata DKI Jakarta.

Kesebelas, adalah harapan kedamaian. Papua adalah bagian dari Bhinneka Tunggal Ika kita. Untuk membangun kesejahteraan dan kedamaian bersama dari Sabang sampai Merauke, antaralain perlu pendekatan pendidikan sesuai rencana pembangunan yang ingin dicapai dan dikembangkan dalam jangka panjang. Beasiswa bagi putra/putri asli Papua di bidang teknologi dan kedokteran serta tata-kota perlu diperbanyak dan disebar ke seluruh wilayah tanah air untuk pembelajaran dan agar mereka saling kenal-mengenal sesama anak bangsa.

Keduabelas, perlunya percepatan pembangunan Papua dengan sistem gotong-royong sesuai anjuran yang pernah disampaikan Presiden Soekarno :” Bantulah Pembangunan Irian Barat !”. Konsepnya adalah dengan menciptakan miniatur Indonesia di bumi Papua. Dalam konsep ini, masing-masing provinsi di Indonesia, diundang dan diwajibkan membangun desa atau Kawasan Hunian bagi masyarakat Papua. Sehingga kelak ada kampung rukun warga (RW) atau Kelurahan Daerah Istimewa Aceh, Sumatera Utara dan seterusnya yang dihuni oleh penduduk asli Papua lengkap dengan fasilitas sekolah, olahraga, dan sanggar seni-budaya untuk sarana pelestarian kekayaan seni-budaya lokal. Perkampungan itu diharapkan tertata rapi, bersih, menarik dan manusiawi, terbebas dari bencana banjir dan tanah longsor serta layak sebagai obyek pariwisata. Pembangunan perkampungan itu bisa juga oleh kelompok perorangan, BUMN dan lain-lain, sehingga kelak juga ada perkampungan Aburizal Bakri, Sudono Salim, Pegadaian, Pertamina dan lain-lain para penyumbang dalam rangka merekatkan persatuan dan kesatuan bangsa dari Sabang sampai Merauke.

Walhasil, dimulai dari momentum penyelenggaraan PON XX Papua 2021. Diharapkan  kedamaian abadi akan tercapai kalau saja pemikiran dan pelaksanaan dalam segala hal  dilakukan dengan amanah, integritas tinggi dan penuh kejujuran di semua lini pemerintahan. Satu yang perlu dicamkan oleh semua pihak, bahwa pertumpahan darah dan penghilangan nyawa orang lain adalah perbuatan percuma yang akan menambah dosa saja. Dan itu pasti dilarang oleh agama, apa pun agama itu! Saatnya sekarang kita mulai membangun dengan penuh kesungguhan. Presiden Joko Widodo telah mulai membangun infrastruktur yang diperlukan di bumi Papua, dan terus akan membangun sehingga kelak akan berbinar Mentari Harapan Baru yang muncul dari Timur nan indah secantik Burung Cenderawasih.*****

 

 


Senin, 21 Juni 2021

Cerpen Para Sastrawan Baru


Pepatah Inggris mengatakan: “Birds of the same feather flock together”, yang artinya, burung yang sama bulunya akan hinggap bersama.

Harian Kompas telah berhasil mengumpulkan orang-orang yang mempunyai hobi yang sama dan minat yang sama, yaitu menulis cerpen. Setiap tahun, Kompas menyelenggarakan Kelas Cerpen Kompas. Kali ini Kelas Cerpen Kompas 2018 berhasil mengumpulkan sebanyak kurang lebih 100 orang, 21 orang dari kelas itu telah melahirkan karya pilihannya yang terhimpun dalam tema urban, yang berjudul “Urban (is) Me”. Dengan cover buku yang dibuat menarik karya Adi Putra Febrian yang tidak lain adalah salah seorang cerpenis dalam buku ini. Berlatar belakang pendidikan Seni Rupa dan Desain yang mulai menekuni dunia tulis menulis, berhasil menciptakan desain grafis yang menggambarkan semua tema cerpen yang ada dalam buku. Cerpennya sendiri yang berjudul Aji Mantra, berkisah menarik tentang kecemburuan sosial dan asmara, percaya pada perdukunan yang berakhir tragis sebagai penyesalan menebus dosa.

Tujuan seseorang menulis memang bermacam-macam. Ada yang karena ideologis, misalnya mengenai agama. Tujuan akademis karena tugas sekolah atau kuliah. Tujuan ekonomis, sebagai mata pencaharian. Karena faktor psikologis misalnya menyalurkan perasaan kebahagiaan atau kesedihan. Tujuan politis yang terkait dengan politik praktis juga ada. Karena tujuan pedagogis atau pendidikan. Atau  bertujuan menjaga kesehatan melalui menulis agar tidak mudah pikun. Dan yang paling umum yaitu tujuan praktis, misalnya karena ingin populer.

Agaknya, semua tujuan penulis sudah terangkum dalam kumpulan cerpen ini. Dengan ukuran 14x20 cm dan dicetak ukuran huruf besar dalam format spasi renggang, buku ini enak dibaca oleh segala usia. Apalagi rata-rata penulis hanya bercerita dalam 10 sampai 16 halaman sehingga tidak perlu bertele-tele dan sampai bosan untuk baca satu cerita saja.

Umumnya para cerpenis menyoroti kondisi masyarakat kita yang berkembang akhir-akhir ini. Tentang sulitnya berurusan dengan rumah sakit melalui BPJS sebagaimana yang dikisahkan oleh Sion Pinem yang memang menapaki profesi sebagai penulis. Juga masih ada yang percaya perdukunan dan membuat anak kandungnya sendiri tewas ditangan Ibunya. Kisah memilukan ini bisa dibaca dalam cerpen Sayang Ujang karya Januarsyah Sutan yang berlatar belakang sebagai pengajar Bahasa Inggris. Tentang lelaki bergajul dan yang lupa diri karena nikah siri dan keluarganya menjadi terlantar sebagaimana dikisahkan oleh Renny DJ. Dan ternyata, lelaki Korea pun ada yang tega meninggalkan keluarganya seperti dikisahkan oleh penulis yang berlatar belakang pendidikan Sastra Inggris. Muhamad Aditya berkisah tentang keluarga Korea itu dengan judul cerpen Myung Hee.

Ada beberapa cerpen mengenai jatuh cinta tetapi kemudian kecewa dan menyesal. Sebagai contoh, Ranang Aji SP yang memang seorang pengarang, berkisah tentang lelaki yang jatuh cinta lewat face book, saling merayu dan puja-puji. Tetapi betapa kecewanya, karena begitu bertemu langsung di tempat dan waktu yang disepakati, ternyata mendapatkan sesama lelaki yang kemayu. Cerpen yang agak menggelikan ini ditulis dengan judul yang cukup panjang, Aku Mencintaimu Seperti Khalil Gibran Pada May Zaidah. Insan Budi Maulana yang berlatar belakang sebagai Guru Besar di beberapa Universitas dan  advokat bercerita tentang dialog dua sahabat, seorang pengarang dengan seorang dai yang berhasil berdakwah di daerah terpencil melalui pendekatan pertanian dan peternakan serta toleransi beragama. Tetapi ada juga yang bercerita mengenai sosok pemuda yang sok alim dan tidak toleran yang ditemui di bus umum angkutan kota. Kisah ini diolah oleh Nur Husna Annisa yang menekuni profesi kepenulisan dalam cerpennya yang berjudul “Dismenore di Bus Trans Jakarta”.Mengenai kearifan lokal yang masih berlaku dan dipercayai banyak orang juga mengilhami beberapa cerpenis. Misalnya anak yang lahir sama hari dengan orang tuanya maka ia harus dipisah dengan kedua orangtuanya, ditulis oleh Indah Ariani yang berprofesi di bidang komunikasi dan publikasi dalam cerpennya yang berjudul Ara. Tentang budaya sedekah laut di daerah Tegal, diceritakan dengan menarik dengan judul “Isteri Lelaki Garam” oleh Hajar Intan Pertiwi yang agaknya mewarisi bakat sastra turun menurun dari bapaknya. Kearifan lokal Tampu Sissi yang merupakan legenda tentang ular raksasa yang pernah membuat perjanjian dengan nenek moyang masyarakat Sulawesi yang bernama Lasupu, barangkali cukup menarik apabila dikembangkan menjadi film. Cerita ini menarik karena melibatkan negara adi daya yang dieksplor dengan cukup dramatis. Cerpen ini dikhayalkan oleh Edy Abdullah yang bekerja sebagai Aparat Sipil Negara (ASN) dan Widyaiswara pada Lembaga Administrasi Negara RI sehingga punya tradisi atau budaya literatur yang mumpuni.

Tidak ada satu pun cerpen yang bercerita tentang kelucuan atau humor. Semuanya serius dan bak merekam permasalahan bangsa dan masyarakat yang berkembang akhir-akhir ini. Cerpen memang dituntut menyampaikan cerita yang serba ringkas tetapi mampu mengemukakan secara lebih banyak dari yang sekadar apa yang diceritakan. Latar cerita para tokohnya dan alur masing-masing cerpen mudah dipahami dan dicerna untuk dihayati. Dalam hal ini, pemilihan tema dan kepaduannya sangat mengena dalam penerbitan antologi cerpen oleh para Alumnus Kelas Cerpen Kompas 2018 ini.

Walhasil, cerpen sebagai karya sastra juga bisa merupakan sumber sejarah apabila mengambil setting peristiwa penting dalam suatu waktu dan kawasan. Oleh karena itu, buku ini layak dibaca oleh siapa saja, kapan saja dan di mana saja. Disamping untuk hiburan, juga untuk penambah pengetahuan*****.

 

Data Buku

Judul Buku:

Urban (Is) Me

Sekumpulan Cerita Pendek

Penulis:

Alumni Kelas Cerpen Kompas 2018

Penerbit:

Binsar Hiras Publishing

Cipujung, Sukaraja - Bogor

Cetakan:

I, Februari 2020

Jumlah Halaman:

285 + ix halaman

Harga:

Rp 70.000,-

 


Jumat, 18 Juni 2021

BESI INFRASTRUKTUR BANYAK BERKARAT

 

Proyek infrastruktur dibangun di mana-mana

Presiden Jokowi memang mengutamakan itu

Jalan raya, jalan tol, rel kereta api, MRT, LRT, kereta cepat, jembatan, bendungan, dan lain-lain

kebutuhan masyarakat, dibangun serentak di seluruh bumi Nusantara

Tetapi sayang, dari pemandangan yang ada pada proyek yang sedang dikerjakan

Besi konstruksi yang sedang terpasang, kelihatan banyak berkarat

Tidak seperti proyek MRT  yang pernah  gagal, besi konstruksinya tidak berkarat selama bertahun-tahun

Jadinya khawatir, dalam jangka panjang, besi-besi itu akan jadi bubuk besi dalam beton dan akan menghancurkan kekuatan tiang-tiang beton itu

Mutu besi memang berbeda-beda tergantung di pabrik mana diproduksi dan bagaimana komposisi kimianya serta perolehan dan mutu bahan bakunya

Semoga niat luhur Presiden Jokowi tidak dilunturkan oleh para pelaksana di lapangan

Oleh karena itu, pembuatan prasasti yang lengkap dengan penjelasan siapa perancang, siapa pelaksana, kapan mulai dikerjakan dan kapan selesai serta besar biayanya harus tertera dengan jelas

Karena penting untuk pertanggungjawaban kepada generasi mendatang terhadap mutu pekerjaan para pendahulu, apakah bermutu dan tahan lama, atau mudah ambruk karena serampangan

Selasa, 15 Juni 2021

JALUR KERETA API (KA) GRESIK – SURABAYA


Ini adalah Surat Pembaca yang telah dimuat Harian Kompas 8 Juni 2021 dengan judul: Gresik-Surabaya

Berikut adalah versi aslinya, semoga mendapat tanggapan dan perhatian yang berwenang :

Gresik adalah bagian wilayah Karesidenan Surabaya

Sejak 1975, Gresik telah dimekarkan menjadi Kabupaten

Pada masa Belanda, ada jalur KA Gresik-Surabaya

Tetapi entah kenapa, jalur itu kemudian dimatikan

Sehingga bekas stasiun yang indah dan rumah dinasnya tidak jelas nasibnya

Ketika penduduk belum banyak saja, Belanda sudah membangun prasarana KA

Setelah penduduk makin banyak, kok malah dimatikan dan jalur relnya diduduki penduduk secara liar

Dulu, pelajar, mahasiswa, pedagang dan masyarakat yang ingin rekreasi ke Surabaya atau sebaliknya, sangat menikmati jalur KA ini

Kapan ya dihidupkan kembali, supaya kita tidak malu kepada Pemerintah Belanda yang dulu membangun, pastinya dengan niatan yang luhur demi kelancaran ekonomi, perdagangan dan mobilitas masyarakat.

Semoga Pemda Gresik, Pemda Surabaya juga Pemda Jatim dan PT KAI bersinergi untuk menghidupkan kembali  jalur KA Gresik-Surabaya secepatnya



Minggu, 16 Mei 2021

Tokoh Penting Itu Telah Tiada

 

Pada hari Selasa 31 Maret 2020 setahun yang lalu, telah berpulang ke rahmatullah, Mohamad Bob Hasan. Dia dikenal sebagai Ketua Umum Persatuan Atletik Seluruh Indonesia dan mantan Menteri Perindustrian dan Perdagangan dalam  kabinet Orde Baru yang terakhir.

Ada yang menarik, karena dalam ucapan bela sungkawa yang dimuat di media massa disebut nama lengkap Mohamad Hasan Gatot Soebroto dan dimakamkan di dekat almarhum Jenderal Gatot Soebroto. Karena ketertarikan itu, penulis mencoba membuka-buka kembali catatan dan beberapa buku yang memuat tentang ketokohan Bob Hasan.

Dalam buku “ Politik Huru Hara Mei 1998 “ oleh Fadli Zon, penerbit Fadli Zon Library cet. XI Mei 2013 pada hal. 18, Bob Hasan disebut sebagai pengusaha hutan dan orang dekat Soeharto.

Sementara itu, dalam suatu acara Indonesia Lawyer Club yang dipandu oleh Karni Ilyas tanggal 4 Oktober 2020 di TV One, ketika membahas peristiwa G30S 1965 antaralain pernah disebut-sebut nama Bob Hasan. Fadli Zon sebagai nara sumber mengaku pernah menanyakan langsung kepada mantan presiden Soeharto pada tahun 2007, apakah benar bahwa Kolonel Latief melapor dulu ke Soeharto sebelum menculik para Jenderal TNI-AD pada tanggal 1 Otober 1965. Yang konon dijawab, bahwa Latief  tidak melapor kepadanya karena bukan atasannya. Malah dia melapor ke Bob Hasan, coba tanya saja ke Bob Hasan. Anehnya, Kivlan Zen dalam forum yang sama justru memberikan keterangan yang berbeda, tetapi tidak ada seorang pun yang mempermasalahkan. Kivlan mengetahui, konon dari Jenderal Soeharto, bahwa malam itu Latief memang ke RSPAD mungkin juga mau menculik Soeharto tetapi karena banyak orang maka dia hanya melihat saja dari jauh dan pergi. Malam itu Soeharto sedang menunggui Tommy, anaknya yang sedang dirawat di RSPAD karena tersiram sop panas.

Fakta lain terdapat dalam buku “Profil Seorang Prajurit TNI” yang ditulis Amelia Yani, putri Jenderal A. Yani, Cet.I Pustaka Sinar Harapan 1988, diuraikan bahwa pada tanggal 30 September 1965 itu Jenderal Yani main golf bersama Bob Hasan, dari tengah  hari sampai jam 18.00.

Juga dalam buku Amelia Yani yang terbit pada bulan Juli 2002 terungkap, bahwa dalam kehidupan A.Yani muncul orang ketiga yang mengganggu ketenteraman rumah tangga keluarga A.Yani. Mungkinkah ada hubungannya antara peran Bob Hasan dengan kasus asmara itu, sehingga mampu berakrab-ria bermain golf segala ?. Disamping itu, ada fakta lain lagi yang perlu dikaji secara mendalam sebagaimana yang tertuang dalam buku Kronik ’65 oleh Kuncoro Hadi dkk. penerbit Media Pressindo cetakan pertama 2017. Pada halaman 165 disebutkan  bahwa pada Juni 1965, perusahaan Amerika Rockwell Standard mengadakan satu kontrak pengiriman 200 pesawat ringan untuk Angkatan Darat RI dan yang menjadi Komisi Keagenan dalam kontrak adalah Bob Hasan teman dekat Soeharto. Dilukiskan, bahwa pihak AS dekat dengan beberapa perwira AD seperti Nasution, Sarwo Edhie dan Soeharto.

Sebuah literatur juga ada yang menyebut, Bob Hasan muncul ketika penggalian para korban Pahlawan Revolusi di lokasi Lubang Buaya. Kedekatan Soeharto dengan Bob Hasan juga nampak dalam buku Salim Haji Said (Mizan cet. III Januari 2016) berjudul Gestapu 65, PKI, Aidit, Sukarno dan Soeharto hal. 122 yang menyebutkan bahwa Soeharto sebagai Panglima Kodam Diponegoro Semarang, pernah menjadi sasaran pemeriksaan Inspektur Jenderal Angkatan Darat karena terlibat penyelewengan barter liar, monopoli cengkeh dan penjualan besi tua bersama Liem Sioe Liong, Oei Tek Young dan Bob Hasan.

Dan dalam buku “Liem Sioe Liong dan Salim Group : Pilar Bisnis Soeharto” oleh Richard Borsuk dan Nancy CHNG terbitan Kompas Media Nusantara 2016 diuraikan secara panjang lebar mengenai peran Bob Hasan bersama Soeharto , bahkan Liem Sioe Liong bersama Bob Hasan mengaku dengan gamblang sebagai kroni terdekat Soeharto sampai akhir. Bob Hasan adalah kawan memancing dan bermain golf Soeharto seumur hidup (hal. 4-6).

 Ada lagi fakta menarik yang perlu diungkap sebagaimana dimuat dalam tabloid Detik edisi 29 September – 5 Oktober 1993, no. 030 tahun ke 17. Bahwa ketika kemelut politik sesudah peristiwa G30S 1965, pada pertengahan Oktober 1965 dan 20 Maret 1966, isteri Bung Karno keturunan Jepang Ratna Sari Dewi bermain golf dengan Jenderal Soeharto  di Padang Golf Rawamangun, konon dalam rangka menjembatani untuk menurunkan ketegangan antara Bung Karno dengan pihak militer. Yang mengatur pertemuan di padang golf itu disebutnya Bob Hasan.

Fakta lain, terdapat dalam buku “ Chaerul Saleh Tokoh Kontroversial “ karya Dra. Irna H.N, Hadi Soewito (cetakan pertama, 1993). Nama Bob Hasan dinyatakan dalam index terdapat di halaman 301, tetapi halaman tersebut dan halaman sebelumnya ternyata kosong atau tidak tercetak. Tetapi nama itu muncul di halaman 285 dalam tulisan kesan oleh Hasyim Ning. Disebutkan, bahwa dalam situasi kemelut 1965/1966, atas inisiatif Bob Hasan, Chaerul Saleh akan dipertemukan dengan Soeharto di rumahnya, Namun, Hasyim Ning dan Bob Hasan sangat kecewa karena ternyata Chaerul Saleh tidak muncul. Chaerul Saleh ternyata kemudian ditangkap rezim Soeharto setelah Supersemar 1966, dan meninggal dunia secara misterius di Rumah Tahanan Militer Jl, Budi Utomo Jakarta tanggal 8 Februari 1967.

Nah, sampai saat ini peristiwa G30S 1965 itu masih suatu misteri siapa dalangnya yang sebenarnya. Bahkan Prof. Dr. Salim Haji Said saja dalam acara ILC (Indonesia Lawyers Club) juga merasa mengalami kesulitan untuk menyimpulkan siapa dalang yang sesungguhnya karena para saksi kunci semuanya sudah meninggal dunia. Juga misteri hilangnya Surat Perintah 11 Maret 1966 yang anehnya tanpa nomor. Ketika orang ramai mempergunjingkan, ternyata Soeharto diam saja sampai meninggalnya, dan kita bangsa Indonesia disuguhi informasi yang simpang siur dari Sudharmono, Murdiono, Sudomo, Amir Machmud, M.Yusuf dan banyak lagi yang semuanya dibuat mengambang. Suatu pertanda mungkin ada bentuk manipulasi secara terstruktur, sistematis dan massif?.

Tidak semua  nara sumber yang berkompeten pernah ditanyai oleh para peneliti seputar perubahan kekuasaan 1965/1966 itu. Mungkin karena banyak yang menghindar. atau takut-takut karena masih banyak yang tidak ingin terbuka terang benderang dan masih banyak yang ingin terus menutup-nutupi. Tetapi satu hal yang sangat disayangkan, sepertinya tak ada satu pun yang pernah mewawancarai dan mengorek dari Bob Hasan yang ternyata ada indikasi tahu rahasia semuanya itu.

 Seperti yang tertuang dalam buku “Celotehan Linda” karya Linda Djalil, wartawan senior yang pernah bertugas di Istana Kepresidenan pada masa Presiden Soeharto dan BJ Habibie, terdapat uraian tentang Bob Hasan. Buku edisi I tahun 2012 pada halaman 253 mengungkap kata-kata Jacky, teman akrab Bob Hasan yang berdinas di lingkungan intel. Begini ucapannya dalam acara peluncuran buku Bob Hasan :” Waaah, dia banyak menyimpan rahasia . Bagaimana saya bisa lawan bicara ya, zaman Achmad Yani, dia sudah di lingkungan itu, dia anak angkat Gatot Soebroto, dia dekat Soeharto, jadi ya dia tahu persis semua deh”. Lalu pada halaman 135 menyebut, bahwa Bob Hasan, Liem Sioe Liong, Antoni Salim atau beberapa orang India produsen tekstil raksasa adalah orang-orang yang kerap kali datang ke Cendana (kediaman Soeharto) pada sore hari.

Juga ada fakta menarik lagi sebagaimana pernah ditulis oleh wartawan senior Rosihan Anwar di harian Kompas beberapa tahun yang lalu. Ketika korannya dibreidel pada waktu Menteri Penerangan Mashuri SH, dia mempertanyakan langsung kepadanya. Konon dia mengaku bahwa sebenarnya dia tidak mau membreidel, tetapi Presiden Soeharto bilang :” Wis pateni ae”. (Sudah, dimatiin saja). Beberapa tahun setelah kejatuhannya, dia dihubungi Bob Hasan. Konon Soeharto mempertanyakan bagaimana kondisi ekonomi wartawan yang pernah menemani ketika menjemput Jenderal Sudirman dari lokasi gerilya. Kalau ingin ketemu Soeharto, dia bersedia memfasilitasi. Agaknya, Bob Hasan juga kaki-tangan ketika menekuk para pengritiknya dan juga sebagai penghubung ketika  menebus dosa kekejamannya selama berkuasa.

Sayang dia sudah pergi bersama semua rahasia penting yang disimpannya itu untuk selama-lamanya. Selamat jalan Bob Hasan !. ***** Penulis, pemerhati masalah sosial, politik dan ekonomi, lulusan S-2 FISIP Universitas Indonesia.

Kamis, 01 April 2021

MINIATUR INDONESIA DI BUMI PAPUA

Terus terang, akhir-akhir ini saya merasa miris apabila mengikuti perkembangan di Papua. Masih saja ada pertumpahan darah yang sia-sia. Kenapa kita tidak hidup damai saja, bersama-sama merajut kesejahteraan dan membangun kemajuan.

Saya memimpikan harapan ini karena mempunyai beberapa memori yang patut dikenang mengenai Papua, bahkan merasa ada ikatan emosional dengan Papua. Beberapa catatan dapat saya kemukakan berikut ini.

Pertama, pada tahun 1958/1959, saya duduk di kelas dua SR (Sekolah Rakyat, sekarang SD) Negeri Benjeng. Sebuah desa di Kabupaten Gresik. Ketika sedang asyik belajar, tiba-tiba sekolah kedatangan tamu Bapak Tentara. Setelah ketamuan itu semua siswa dipulangkan, dengan pesan dari Ibu Guru Karsiyah agar nanti apabila mendengar bunyi bedug di masjid dan kentongan di Balai Desa dan Pos Ronda secara serentak, semua harus diam, berdiri mengheningkan cipta disertai berdoa dan mengucapkan kata-kata :”Irian Barat hak milik kita!”. Ibu Guru menyuruh agar lekas pulang dan meyampaikan pesan tersebut kepada orang-tua masing-masing dan semua sanak famili.

Kedua, pada waktu pidato Trikora (Tri Komando Rakyat) oleh Presiden Soekarno tanggal 19 Desember 1961 di Jogyakarta, saya sudah di kelas lima SR. Pak Guru Legimin, membawa kami sekelas ke rumah Pengusaha tetangga sekolah yang mempunyai radio untuk mendengarkan pidato yang sangat bersejarah tersebut. Setelah kembali ke kelas, Pak Guru menanyakan isi Trikora tersebut dan menerangkan selengkapnya yang isinya :”Gagalkan negara boneka Papua buatan Belanda, kibarkan bendera Sang Saka Merah Putih di daratan Irian Barat sebelum ayam berkokok 1 Mei 1963, dan laksanakan mobilisasi umum bagi seluruh rakyat Indonesia untuk membebaskan Irian Barat dari penjajah Belanda.

Ketiga, pada tahun 1963/1966 saya duduk di bangku SMP. Suatu pagi ketika berangkat ke sekolah, saya menemukan sobekan kertas pamflet Departemen Penerangan, ada gambar peta Irian Barat dan tulisan tangan Presiden Soekarno . Karena tertarik, sobekan kertas itu saya pungut dan terbaca tulisan yang seingat saya berbunyi :”Bantulah Pembangunan Irian Barat” dengan tandatangan Presiden Soekarno. Waktu itu, sebagai pelajar SMP sudah mulai memikirkan bagaimana membuat tandatangan yang bagus. Kita antar teman di kelas suka saling pamer tandatangan untuk diadu mana yang bagus dan menarik disertai ledekan dan ramalan-ramalannya. Dari tandatangan Presiden Soekarno yang terdapat di atas peta Irian Barat itulah saya kemudian terinspirasi meniru “S”-nya dan masih saya pakai sampai sekarang sebagai tandatangan resmi sejak menandatangani ijazah SMP tahun 1966.

Keempat, pada tahun 1987 saya berkesempatan mengunjungi Papua dalam rangka dinas dari kantor. Kota yang saya kunjungi antaralain Jayapura, Biak, Sorong, dan Merauke. Tepat ketika peringatan detik-detik Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1987, bersama tim dan pengantar rombongan sedang sarapan pagi di suatu rumah makan khas masakan Jawa di Merauke. Ketika dibacakan teks Proklamasi :”….Atas nama bangsa Indonesia, Soekarno-Hatta”, pengantar yang bernama Pak Amas spontan berteriak. “Sejarah tidak bisa dihapus, Soekarno tidak bisa dihapus”, katanya berulang-ulang. Karena kaget dan heran, saya lalu menanyakan , Pak Amas lahir di mana, kapan dan di mana dibesarkan, kok mengenal Bung Karno. Dengan bangga dia bercerita, bahwa dia orang Papua, lahir dan besar di Papua. Dulu, sewaktu jaman Belanda, orang-tuanya suka mendengarkan melalui radio kalau Bung Karno berpidato, dengan sembunyi-sembunyi karena takut ketahuan Belanda atau orang-orang yang pro Belanda.

Juga ada kisah menarik untuk saya kenang. Waktu dinas itu status saya masih bujangan dan bersama rombongan menginap di Hotel Matoa Jayapura. Ada karyawati resepsionis hotel yang cantik blasteran, bapaknya anggota TNI asli Papua dan ibunya berasal dari Cimahi – Jawa Barat. Di bagian cafetaria ada karyawati pramusaji yang hitam manis , cantik khas Papua bernama Margaretha yang tinggal di jalan Ampera Jayapura. Kawan-kawan selalu menjodoh-jodohkan setiap kali sarapan pagi, dan jujur, saya memang tertarik juga. Suatu malam Minggu, saya coba mertamu ke rumahnya dengan maksud mau pendekatan. Tetapi oleh abangnya dibilang Eta sedang istirahat dan saya tidak sempat ngobrol karena tidak dipersilahkan masuk barang sejenak. Patah hatilah jadinya, baru berkhayal dan membayangkan pendekatan, sudah putus di tengah jalan karena harus kembali ke Jakarta besoknya. Pengalaman ini membuat saya masih suka berilusi, seandainya bisa berhasil menggaet Margaretha, mungkin keadaan Papua sekarang bisa menjadi tenteram dan damai. Oleh karena itu saya ingin menyampaikan “Salam Sejahtera!” buat Margaretha di mana pun saat ini berada, yang pada Juli/Agustus 1987 menjadi karyawati Hotel Matoa Jayapura di bagian Cafetaria.

Kesan saya selama bertugas, Papua memang sangat indah. Sebelum mendarat di Bandara Sentani, danau Sentani nampak mempesona dari ketinggian, demikian juga semua kota dan daerah yang saya singgahi sangat menakjubkan.

Kelima, sekitar tahun 2002 saya mendapat kunjungan Johanes Aury yang mau pamitan karena dipindah-tugaskan ke Jayapura. Johanes Aury adalah pemain sepakbola nasional yang diterima sebagai karyawan PT Pertamina (Persero), beristerikan wanita NTT (Nusa Tenggara Timur). Ketika ngobrol dan berbincang-bincang, saya tanyakan kenapa kok beberapa oknum masyarakat Papua masih ada yang ingin merdeka. Dia bilang masyarakat Papua banyak yang kecewa. Dulu, sewaktu jaman Belanda, seseorang yang tamatan sekolah rendah saja bisa jadi Kepala Gudang dan hidup sejahtera. Sedangkan sekarang, harus sekolah yang cukup untuk bisa memegang jabatan yang sama. Fasilitas yang seharusnya untuk masyarakat Papua ternyata banyak dinikmati para pendatang, masyarakat Papua banyak terpinggirkan. Banyak pendatang yang sengaja datang untuk menikmati hak yang seharusnya hanya diberikan kepada masyarakat Papua. Dari situlah antara lain masyarakat Papua mengalami kekecewaan. Saya hanya menyampaikan pesan persaudaraan kepada Johanes Aury, mendoakan sukses dalam bertugas dan berkarir serta harapan saya kalau bisa mengembangkan persepakbolaan di Jayapura dan Papua secara keseluruhan.

Keenam, mengenai ibukota Provinsi Papua. Dulu, setelah kembali ke pangkuan NKRI, ibukota Irian Barat/Papua yang semula bernama Holandia (7 Maret 1910 – 1962), kemudian sempat berubah menjadi Kotabaru, dan oleh Presiden Soekarno diubah lagi menjadi Sukarnapura (1964) Tetapi oleh rezim Orde Baru Soeharto, Irian Barat diubah menjadi Irian Jaya, Sukarnapura diganti menjadi Jayapura (1968) dan Puncak Sukarno yang terdapat salju abadi di dunia, diubah menjadi Puncak Jayawijaya. Lalu, sewaktu saya masih di SMP antara 1963/1964 sampai 1965/1966, film di bioskop selalu didahului dengan pemutaran film penerangan dari Departemen Penerangan. Di antara film-film itu ada tentang kunjungan Presiden Soekarno ke Irian Barat dan ada adegan Presiden berangkulan mesra dengan para Kepala Suku di Papua. Lagi-lagi saya berilusi, kalau saja ibukota Papua masih Sukarnopura dan film Presiden Soekarno ke Papua ini selalu diputar kembali, mungkin kedamaian akan terwujud di tanah Papua yang indah dan mempesona itu. Bahkan, kalau saja Bung Karno tidak jatuh pasca peristiwa G30S tahun 1965, pasti pertambangan Freeport yang mengandung tembaga, emas dan uranium itu bukan dikuasai asing, melainkan kita kelola sendiri untuk kemakmuran bersama, khususnya dan terutama bagi masyarakat Papua.

Ketujuh, mengenai pembangunan di Papua. Saya mempertanyakan, kenapa pembangunan smelter PT Freeport kok di tanah kelahiran saya, Gresik Jawa-Timur. Kenapa tidak di Papua saja khususnya di pantai Selatan. Saya curiga jangan-jangan ada kesengajaan, ketika mengangkut bongkahan tanah tambang ada yang akan diselewengkan ke smelter awalnya di luar negeri ketika kita lalai dan lengah tidak mampu mengawasi perairan kita yang luas ini. Bongkahan itu mengandung  tembaga, emas dan uranium yang tidak ternilai. Seandainya smelter Freeport dan industri yang lain dibangun di Papua, lalu mengutamakan masyarakat Papua sebagai SDM melalui pembibitan dan pembinaan pemuda/pemudi yang berpotensi dan berkualitas, niscaya kedamaian akan tercapai karena terciptanya kesejahteraan bersama yang adil dan beradab.

Kedelapan, mengenai hobi koleksi benda filateli. Sejak di SMP, saya mempunyai hobi mengoleksi benda filateli yang terdiri atas prangko, sampul surat berikut cap posnya, kartu pos serta benda pos lainnya. Di antaranya, saya mengoleksi tematik mengenai Irian Barat/Papua. Dari benda filateli itu saya bisa mengetahui lebih banyak mengenai tanah Papua misalnya peta bumi, flora-fauna, seni-budaya, kekayaan alam, dan kota-kota melalui cap posnya serta Sampul Hari Pertama (SHP) penerbitan prangko bercap pos Sukarnapura yang sudah langka dikoleksi para pehobi filateli.

Kesembilan, ketika berkunjung ke Sorong pada tahun 2004 dalam rangka tugas ke Kilang Minyak Pertamina Sorong. Saya berkesimpulan, kilang minyak Sorong layak dikembangkan sekalian untuk membangun Kawasan Indonesia Timur dan tercapainya satu harga BBM yang seragam dari Sabang sampai Merauke. Bersamaan dengan itu, kita wajib mencari bibit-bibit anak terbaik asli Papua untuk dididik berbagai cabang ilmu yang terkait dengan teknologi dan tata kota. Mereka diperlukan untuk membangun Papua yang indah dan maju di masa depan. Pesona alam, kekayaan adat-istiadat, seni dan budaya seta flora dan fauna yang khas bisa merupakan modal pengembangan pariwisata yang akan mendatangkan kedamaian dan kemakmuran.

Kesepuluh, pada tahun 2012 saya pernah menulis “Surat Pembaca” ke beberapa media massa cetak. Saya menyampaikan keprihatinan karena Monumen Pembebasan Irian Barat di Lapangan Banteng Jakarta kondisinya rusak parah, dikanibal dan ditempati para gelandangan. Monumen yang diresmikan oleh Presiden Soekarno pada tanggal 18 Agustus 1963 itu, pintu dan pagarnya yang terbuat dari logam stainless-steel banyak yang hilang dicopoti oleh orang-orang liar. Monumen itu tidak terjaga setelah Terminal Bus Kota Lapangan Banteng dihapus sehingga situasinya menjadi sepi dan lengang sepanjang hari. Kalau di kemudian hari Monumen itu direnovasi total oleh Pemda DKI Jakarta, saya “GR”, semoga itu karena “Surat Pembaca” yang juga sempat saya “google”-kan pada tanggal 24 Agustus 2012 itu telah dibaca dan diperhatikan oleh banyak orang. Sekarang, Monumen itu menjadi salah satu ikon dan destinasi pariwisata DKI Jakarta.

Kesebelas, adalah harapan kedamaian. Papua adalah bagian dari Bhinneka Tunggal Ika kita. Untuk membangun kesejahteraan dan kedamaian bersama dari Sabang sampai Merauke, antaralain perlu pendekatan pendidikan sesuai rencana pembangunan yang ingin dicapai dan dilaksanakan. Beasiswa di bidang teknologi dan kedokteran serta tata-kota perlu diperbanyak dan disebar ke seluruh wilayah tanah air untuk pembelajaran dan agar mereka saling kenal-mengenal sesama anak bangsa.

Keduabelas, perlunya membangun Papua dengan system gotong-royong sesuai anjuran Presiden Soekarno :” Bantulah Pembangunan Irian Barat !”. Konsepnya adalah dengan menciptakan miniatur Indonesia di bumi Papua. Dalam konsep ini, masing-masing provinsi di Indonesia, diundang dan diwajibkan membangun desa atau Kawasan Hunian bagi masyarakat Papua. Sehingga kelak ada kampung RW atau Kelurahan Daerah Istimewa Aceh, Sumatera Utara dan seterusnya yang dihuni oleh penduduk asli Papua lengkap dengan fasilitas sekolah, olahraga, sanggar seni-budaya untuk sarana pelestarian kekayaan seni-budaya local. Perkampungan itu diharapkan tertata rapi, bersih, menarik dan manusiawi, terbebas dari bencana banjir dan tanah longsor serta layak sebagai obyek pariwisata. Pembangunan perkampungan itu bisa juga oleh kelompok perorangan, BUMN dan lain-lain, sehingga kelak juga ada perkampungan Aburizal Bakri, Pegadaian dan lain-lain para penyumbang dalam rangka merekatkan persatuan dan kesatuan bangsa dari Sabang sampai Merauke.

Pangkal dari semua itu, kedamaian akan tercapai kalau saja pemikiran dan pelaksanaannya perlu dilakukan dengan amanah, integritas tinggi dan penuh kejujuran di semua lini pemerintahan. Satu yang perlu dicamkan oleh semua pihak, bahwa pertumpahan darah dan penghilangan nyawa orang lain adalah perbuatan percuma yang akan menambah dosa saja. Dan itu pasti dilarang oleh agama, apa pun agama itu!. *****