Siklus
alam kehidupan, memberikan sinyal yang sangat berharga bagi bangsa Indonesia.
Ketika masyarakat Ibukota DKI Jakarta di Pulau Jawa masih tertidur lelap, saudara
sebangsa-setanah air yang tinggal di Papua, sebagian besar mungkin sudah
bermandikan keringat mengarungi berbagai kegiatannya masing-masing. Mentari
yang terbit di ufuk Timur, membangunkan pertama kali saudara-saudara kita yang
bermukim di Papua. Kita patut bersyukur
kepada Tuhan Yang Mahakuasa atas karunia tanah-air dari Merauke sampai Sabang
yang luas, unik dan kaya raya ini. Oleh karena itu, kita segenap bangsa
Indonesia juga patut menyampaikan terima kasih kepada para Pendiri Bangsa. Yang
telah mewariskan negeri nan indah bagaikan zamrud di khatulistiwa dan pernah
menjadi rebutan para penjajah silih berganti selama berabad-abad. Wujud
perilaku terimakasih itu adalah senantiasa menjaga kelestarian lingkungannya, memanfaatkan
kekayaan alamnya dengan adil dan bijaksana. Serta yang utama adalah menjaga dan
memelihara persatuan dan kesatuan bangsa yang majemuk ini.
Pada
tanggal 2 Oktober 2021 nanti, di Jayapura ibukota Provinsi Papua, akan
diselenggarakan Pekan Olahraga Nasional (PON) ke-20. Untuk keperluan tersebut,
telah dibangun stadion megah bertaraf internasional seluas 7.740 meter persegi
dengan kapasitas penonton sebanyak 3.674 kursi. Di stadion yang diberi nama Stadion
Lucas Enembe dan berjulukan Istana Olah Raga (Istora) Papua Bangkit itulah,
kelak para atlet berbagai cabang olahraga dari 34 provinsi akan bertemu. Melalui
perhelatan olahraga, diharapkan tercipta forum silaturahim nasional sehingga
terjalin persatuan dan kesatuan nasional yang kokoh dan tidak tercerai-berai.
Menjadi catatan menarik karena penyelenggaraan PON ini ketika bangsa Indonesia
dan seluruh dunia sedang berperang melawan pandemi Covid-19 yang semakin
mengganas, dan masih adanya Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) yang mengganggu
keamanan di bumi Papua. Dengan perhelatan PON ini, semoga tercipta kesadaran
semua pihak, bahwa menjaga persatuan dan kedamaian perlu ditegakkan demi
tercapainya kemajuan dan kesejahteraan bersama.
Penulis
termasuk yang sangat memimpikan harapan ini karena mempunyai beberapa memori
yang patut dikenang mengenai Papua. Bahkan merasa ada ikatan emosional dan catatan yang dapat penulis kemukakan
berikut ini.
Pertama,
pada tahun 1958/1959, sewaktu penulis duduk di kelas dua SR (Sekolah Rakyat,
sekarang SD) Negeri Benjeng, sebuah desa di Kabupaten Gresik. Ketika sedang asyik
belajar, tiba-tiba sekolah kedatangan tamu Bapak Tentara. Setelah ketamuan itu
semua siswa dipulangkan lebih awal, dengan pesan dari Ibu Guru Karsiyah agar
nanti apabila mendengar bunyi bedug di masjid dan kentongan di Balai Desa dan
Pos Ronda secara serentak, semua harus diam, berdiri mengheningkan cipta
disertai berdoa dan mengucapkan kata-kata :”Irian Barat hak milik kita!”. Ibu
Guru menyuruh agar lekas pulang dan meyampaikan pesan tersebut kepada orang-tua
masing-masing dan semua sanak famili.
Kedua,
sewaktu Presiden Soekarno menyampaikan pidato Trikora (Tri Komando Rakyat) pada
tanggal 19 Desember 1961 di Jogyakarta, penulis sudah duduk di kelas lima SR.
Pak Guru Legimin, membawa kami sekelas ke rumah Pengusaha tetangga sekolah yang
mempunyai radio untuk mendengarkan pidato yang sangat bersejarah tersebut.
Setelah kembali ke kelas, Pak Guru menanyakan isi Trikora tersebut dan
menerangkan selengkapnya yang isinya :”Gagalkan negara boneka Papua buatan
Belanda, kibarkan bendera Sang Saka Merah Putih di daratan Irian Barat sebelum
ayam berkokok 1 Mei 1963, dan laksanakan mobilisasi umum bagi seluruh rakyat
Indonesia untuk perjuangan membebaskan Irian Barat dari penjajah Belanda.
Ketiga,
pada tahun 1963-1966 penulis duduk di bangku SMP. Suatu pagi ketika berangkat ke
sekolah, penulis menemukan sobekan kertas pamflet Departemen Penerangan, yang
memuat gambar peta Irian Barat dan tulisan tangan Presiden Soekarno . Karena
tertarik, sobekan kertas itu penulis pungut dan terbaca tulisan yang seingat penulis
berbunyi :”Bantulah Pembangunan Irian Barat” dengan tandatangan Presiden
Soekarno. Waktu itu, sebagai pelajar SMP sudah mulai memikirkan bagaimana
membuat tandatangan yang bagus. Kita antar teman di kelas suka saling pamer
tandatangan untuk diadu mana yang bagus dan menarik disertai ledekan dan
ramalan-ramalannya. Dari tandatangan Presiden Soekarno yang terdapat pada peta
Irian Barat itulah penulis kemudian terinspirasi meniru “S”-nya dan masih penulis
pakai sampai sekarang sebagai tandatangan resmi sejak menandatangani ijazah SMP
pada tahun 1966.
Keempat,
pada tahun 1987 penulis berkesempatan mengunjungi Papua dalam rangka tugas dari
kantor. Kota yang penulis kunjungi antaralain Jayapura, Biak, Sorong, dan
Merauke. Tepat ketika peringatan detik-detik Proklamasi Kemerdekaan RI 17
Agustus 1987, bersama tim dan pengantar rombongan sedang sarapan pagi di suatu
rumah makan khas masakan Jawa di Merauke. Ketika dibacakan teks Proklamasi :”….Atas
nama bangsa Indonesia, Soekarno-Hatta”, pengantar yang bernama Pak Amas spontan
berteriak. “Sejarah tidak bisa dihapus, Soekarno tidak bisa dihapus”, katanya
berulang-ulang. Karena kaget dan heran, penulis lalu menanyakan , Pak Amas
lahir di mana, kapan dan di mana dibesarkan, kok mengenal Bung Karno. Dengan
bangga dia bercerita, bahwa dia orang Papua, lahir dan besar di Papua. Dulu,
sewaktu jaman Belanda, kalau Bung Karno perpidato, orang-tuanya suka
mendengarkan melalui radio dengan sembunyi-sembunyi karena takut ketahuan
Belanda atau orang-orang yang pro Belanda.
Juga
ada kisah menarik untuk penulis kenang. Waktu dinas itu status penulis masih
bujangan dan bersama rombongan menginap di Hotel Matoa Jayapura. Ada karyawati
resepsionis hotel yang cantik blasteran, bapaknya anggota TNI asli Papua dan
ibunya berasal dari Cimahi – Jawa Barat. Di bagian cafetaria ada karyawati
pramusaji yang hitam manis , cantik khas Papua bernama Margaretha yang tinggal
di jalan Ampera Jayapura. Kawan-kawan selalu menjodoh-jodohkan setiap kali
sarapan pagi. Dan jujur, penulis memang tertarik juga. Suatu malam Minggu, penulis
coba mertamu ke rumahnya dengan maksud mau pendekatan. Tetapi oleh abangnya
dibilang Eta sedang istirahat dan penulis tidak sempat ngobrol karena tidak
dipersilahkan masuk barang sejenak. Patah hatilah jadinya, baru berkhayal dan
membayangkan pendekatan, sudah putus di tengah jalan karena esok hari harus
kembali ke Jakarta.. Pengalaman ini membuat penulis masih suka berkhayal,
seandainya bisa berhasil menggaet Margaretha, mungkin keadaan Papua sekarang bisa
menjadi tenteram dan damai. Oleh karena itu penulis ingin menyampaikan “Salam Sejahtera!”
buat Margaretha di mana pun saat ini berada, yang sekitar Juli/Agustus 1987
menjadi karyawati Hotel Matoa Jayapura di bagian cafetaria.
Pengalaman
selama bertugas, penulis mempunyai kesan, bahwa Papua memang sangat indah.
Sebelum mendarat di Bandara Sentani, danau Sentani nampak mempesona dari
ketinggian, demikian juga semua kota dan daerah yang penulis singgahi sangat
menakjubkan.
Kelima,
terjadi sekitar tahun 2002. Penulis mendapat kunjungan Johanes Aury yang mau
pamitan karena dipindah-tugaskan ke Jayapura. Johanes Aury adalah pemain nasional
sepakbola yang diterima sebagai karyawan
PT Pertamina (Persero), beristerikan wanita NTT (Nusa Tenggara Timur). Ketika
ngobrol dan berbincang-bincang, penulis tanyakan kenapa kok beberapa oknum
masyarakat Papua masih ada yang ingin merdeka. Dia bilang, bahwa masyarakat
Papua banyak yang kecewa. Dulu, sewaktu jaman Belanda, seseorang yang tamatan
sekolah rendah saja bisa menjadi Kepala Gudang dan hidup sejahtera. Sedangkan
sekarang, dituntut harus sekolah dan berijazah yang cukup untuk bisa memegang
jabatan yang sama. Fasilitas yang seharusnya untuk masyarakat Papua ternyata
banyak dinikmati para pendatang, masyarakat Papua merasa hanya terpinggirkan.
Banyak pendatang yang sengaja datang untuk menikmati hak yang seharusnya hanya
diberikan kepada masyarakat Papua. Dari situlah antara lain masyarakat Papua
mengalami kekecewaan. Penulis hanya menyampaikan pesan persaudaraan kepada
Johanes Aury, mendoakan semoga sukses dalam bertugas dan berkarir. Serta
harapan penulis agar Johanes Aury bisa mengembangkan persepakbolaan di Jayapura
dan seluruh Papua sehingga kelak terlahir banyak pesepakbola baru dari bumi Cenderawasih.
Keenam,
mengenai ibukota Provinsi Papua. Dulu, setelah kembali ke pangkuan NKRI,
ibukota Irian Barat/Papua yang semula bernama Holandia (7 Maret 1910 – 1962),
kemudian sempat berubah menjadi Kotabaru, oleh Presiden Soekarno diubah lagi menjadi
Sukarnopura (1964) Tetapi kemudian sangat disayangkan, Irian Barat yang
bersejarah diubah menjadi Irian Jaya, Sukarnopura diganti menjadi Jayapura dan
Puncak Sukarno yang terdapat salju abadi di dunia, diubah menjadi Puncak
Jayawijaya. Itu semua terjadi pada tahun 1968. Lalu, sewaktu penulis masih di
SMP antara 1963/1964 sampai 1965/1966, film di bioskop selalu didahului dengan pemutaran
film penerangan dari Departemen Penerangan. Di antara film-film itu ada tentang
kunjungan Presiden Soekarno ke Irian Barat dan ada adegan Presiden berangkulan
mesra dengan para Kepala Suku di Papua yang menggambarkan pendekatan yang
sangat humanis. Lagi-lagi penulis berilusi, kalau saja ibukota Papua masih
Sukarnopura dan film Presiden Soekarno ke Papua ini selalu diputar kembali,
mungkin kedamaian akan terwujud di tanah Papua yang indah dan mempesona itu.
Ketujuh,
mengenai pembangunan di Papua. Penulis mempertanyakan, kenapa pembangunan
smelter PT Freeport kok di tanah kelahiran penulis, Gresik Jawa-Timur. Kenapa
tidak di Papua saja khususnya di pantai Selatan. Sehingga penulis curiga,
jangan-jangan memang ada kesengajaan. Ketika mengangkut bongkahan tanah tambang
ada yang akan diselewengkan ke smelter awalnya di luar negeri ketika kita lalai
dan lengah tidak mampu mengawasi perairan kita yang luas ini. Bongkahan itu
mengandung tembaga, emas dan uranium
yang tidak ternilai. Seandainya smelter Freeport dan industri yang lain
dibangun di Papua, lalu mengutamakan masyarakat Papua sebagai SDM melalui
pembibitan dan pembinaan pemuda/pemudi yang berpotensi dan berkualitas, niscaya
kedamaian akan tercapai karena terciptanya kesejahteraan bersama yang adil dan
beradab.
Kedelapan,
mengenai hobi koleksi benda filateli. Sejak di bangku SMP, penulis menekuni
hobi mengoleksi benda filateli yang terdiri atas prangko, sampul surat berikut
cap posnya, kartu pos serta benda pos lainnya. Di antaranya, penulis mengoleksi
tematik mengenai Irian Barat/Papua. Dari benda filateli itu penulis bisa
mengetahui lebih banyak mengenai tanah Papua misalnya peta bumi, flora-fauna,
seni-budaya, dan kekayaan alamnya. Juga nama kota-kota melalui cap posnya, serta
Sampul Hari Pertama (SHP) penerbitan prangko bercap pos Sukarnopura yang sudah
langka dikoleksi para pehobi filateli.
Kesembilan,
ketika berkunjung lagi ke Sorong pada tahun 2004 dalam rangka tugas ke Kilang
Minyak Pertamina Sorong. Penulis berkesimpulan, kilang minyak Sorong layak
dikembangkan sekalian untuk membangun Kawasan Indonesia Timur dan tercapainya
satu harga BBM yang seragam dari Sabang sampai Merauke. Bersamaan dengan itu, kita
wajib mencari bibit-bibit anak terbaik asli Papua untuk dididik berbagai cabang
ilmu yang terkait dengan teknologi, tata kota dan kesehatan. Mereka diperlukan
untuk membangun Papua yang indah dan maju di masa depan. Pesona alam, kekayaan
adat-istiadat, seni dan budaya serta flora dan fauna yang khas bisa merupakan
modal pengembangan pariwisata yang diharapkan akan mendatangkan kedamaian dan
kemakmuran.
Kesepuluh,
pada tahun 2012 penulis pernah menulis “Surat Pembaca” ke beberapa media massa
cetak. Penulis menyampaikan keprihatinan karena Monumen Pembebasan Irian Barat
di Lapangan Banteng Jakarta kondisinya rusak parah, dikanibal dan ditempati
para tunawisma dan gelandangan. Monumen yang diresmikan oleh Presiden Soekarno
pada tanggal 18 Agustus 1963 itu, pintu dan pagarnya yang terbuat dari logam
stainless-steel banyak yang hilang dicopoti oleh orang-orang liar. Monumen itu
tidak terjaga setelah Terminal Bus Kota Lapangan Banteng dihapus sehingga
situasinya menjadi sepi dan lengang sepanjang hari. Kalau di kemudian hari
Monumen itu direnovasi total oleh Pemda DKI Jakarta, penulis sempat gede-rasa,
alias “GR”. Semoga karena “Surat Pembaca” yang juga sempat penulis
“google”-kan pada tanggal 24 Agustus 2012 itu telah dibaca dan diperhatikan
oleh banyak orang. Sekarang, Monumen itu menjadi salah satu ikon dan destinasi
pariwisata DKI Jakarta.
Kesebelas,
adalah harapan kedamaian. Papua adalah bagian dari Bhinneka Tunggal Ika kita. Untuk
membangun kesejahteraan dan kedamaian bersama dari Sabang sampai Merauke,
antaralain perlu pendekatan pendidikan sesuai rencana pembangunan yang ingin
dicapai dan dikembangkan dalam jangka panjang. Beasiswa bagi putra/putri asli
Papua di bidang teknologi dan kedokteran serta tata-kota perlu diperbanyak dan
disebar ke seluruh wilayah tanah air untuk pembelajaran dan agar mereka saling
kenal-mengenal sesama anak bangsa.
Keduabelas,
perlunya percepatan pembangunan Papua dengan sistem gotong-royong sesuai anjuran
yang pernah disampaikan Presiden Soekarno :” Bantulah Pembangunan Irian Barat
!”. Konsepnya adalah dengan menciptakan miniatur Indonesia di bumi Papua. Dalam
konsep ini, masing-masing provinsi di Indonesia, diundang dan diwajibkan
membangun desa atau Kawasan Hunian bagi masyarakat Papua. Sehingga kelak ada
kampung rukun warga (RW) atau Kelurahan Daerah Istimewa Aceh, Sumatera Utara
dan seterusnya yang dihuni oleh penduduk asli Papua lengkap dengan fasilitas
sekolah, olahraga, dan sanggar seni-budaya untuk sarana pelestarian kekayaan
seni-budaya lokal. Perkampungan itu diharapkan tertata rapi, bersih, menarik
dan manusiawi, terbebas dari bencana banjir dan tanah longsor serta layak
sebagai obyek pariwisata. Pembangunan perkampungan itu bisa juga oleh kelompok
perorangan, BUMN dan lain-lain, sehingga kelak juga ada perkampungan Aburizal
Bakri, Sudono Salim, Pegadaian, Pertamina dan lain-lain para penyumbang dalam
rangka merekatkan persatuan dan kesatuan bangsa dari Sabang sampai Merauke.
Walhasil,
dimulai dari momentum penyelenggaraan PON XX Papua 2021. Diharapkan kedamaian abadi akan tercapai kalau saja
pemikiran dan pelaksanaan dalam segala hal
dilakukan dengan amanah, integritas tinggi dan penuh kejujuran di semua
lini pemerintahan. Satu yang perlu dicamkan oleh semua pihak, bahwa pertumpahan
darah dan penghilangan nyawa orang lain adalah perbuatan percuma yang akan
menambah dosa saja. Dan itu pasti dilarang oleh agama, apa pun agama itu!
Saatnya sekarang kita mulai membangun dengan penuh kesungguhan. Presiden Joko
Widodo telah mulai membangun infrastruktur yang diperlukan di bumi Papua, dan
terus akan membangun sehingga kelak akan berbinar Mentari Harapan Baru yang
muncul dari Timur nan indah secantik Burung Cenderawasih.*****