Entri yang Diunggulkan

GENERASI PENDOBRAK JILID III

 Harian Rakyat Merdeka terbitan 20 April  2010,memuat artikel dengan judul “Bodoh Permanen” yang ditulis oleh Arif Gunawan. Tulisan tersebut...

Tampilkan postingan dengan label infrastruktur. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label infrastruktur. Tampilkan semua postingan

Kamis, 14 April 2022

MUTU INFRASTRUKTUR KITA

 

          

          Kompas com. tanggal 17 Januari 2022 memberitakan bahwa jembatan KW6 di Kelurahan Karangpawitan, Kecamatan Karawang Barat, Kabupaten Karawang – Jawa Barat, ambles. Pada hal jembatan yang dibangun dengan anggaran sebesar Rp 10 milyar itu belum satu bulan diresmikan oleh Bupati Karawang Cellica Nurrachadiana. Berdasar pantauan Tribun Bekasi, jembatan itu ambles pada bagian sisi dekat saluran irigasi sepanjang 200 meter. Material jembatan yang menempel pada sisi saluran irigasi itu longsor, sehingga  konstruksi jembatan mengalami ambles. Jembatan yang didesain dengan lebar 7 meter dan panjang 43,50 meter tersebut, menghubungkan Kecamatan Rawamerta dengan Kecamatan Karawang Barat. Jembatan yang populer disebut Jembatan Kepuh ini resmi beroperasi pada hari Rabu 29 Desember 2021 yang diresmikan dengan penandatanganan dan pengguntingan pita oleh Bupati didampingi Sekda Asep Jamhuri, Kepala Dinas PUPR dan Camat Karawang Barat. Jembatan ini juga diharapkan menjadi jalur alternatif ke obyek wisata sejarah Rawagede, dan juga untuk membangkitkan ekonomi masyarakat di sepanjang jalur.

           Kasus semacam ini sebenarnya banyak sekali terjadi di tanah-air kita. Suatu infrastruktur atau prasarana untuk umum baru dibangun, sudah banyak yang rusak dan jebol tak berumur panjang. Penulis yang pernah bertugas berpindah-pindah kota di hampir seluruh Indonesia menyaksikan dengan mata kepala sendiri, betapa bangunan peninggalan Hindia-Belanda umumnya berarsitektur yang indah, kokoh dan kuat sepanjang masa. Tetapi sekarang malah banyak yang tidak artistik dan mudah rusak serta mencelakakan. Jembatan Poso, Moutong dan Luwu di Sulawesi yang terbuat dari kayu, sampai tahun 2000-an masih kelihatan kokoh dan cantik dipandang, sementara bangunan baru di sebelahnya tampak memalukan dari segala aspek. Begitu juga selama bertugas di Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat, peninggalan Hindia-Belanda masih tampak megah, tetapi pembangunan penggantinya kelihatan tidak berseni sama sekali. Sewaktu di Timor-Timur tahun 1996/1997 juga demikian. Peninggalan Portugis semuanya indah dan megah serta artistik, sementara bangunan selama kita kuasai, sangat memalukan penampilannya. Gedung sekolah, pasar, perkantoran semuanya nampak lucu apabila dibandingkan dengan peninggalan Portugis. Sehingga kesimpulannya, bangsa Indonesia sebenarnya mengalami degradasi mutu apabila dinilai dari sektor pembangunan  infrastruktur. Contoh lain banyak yang bisa dikemukakan untuk mawas diri sebagai bangsa. Kota Gresik misalnya, Sekolah Dasar Negeri Bedilan yang indah dan menarik peninggalan Belanda, dirombak seenaknya sehingga kelihatan sumpek, tidak nyaman sebagai Lembaga Pendidikan yang seharusnya nyaman dari segi tata cahaya, tata suara dan tata udaranya. Dulu, sampai dengan tahun 1965, keberadaan tiang listrik maupun gardu listrik serta tiang telpon berdiri gagah, tegak lurus dan nampak simetris. Setelah jaman pembangunan, malah nampak  peang-peang dan semrawut di mana-mana, termasuk di kota-kota besar di seluruh Indonesia. Bahkan di Jabodetabek sendiri, apabila diperhatikan di sepanjang jalan raya, berdiri tiang-tiang berjejer umumnya lebih dari lima batang, ketinggian tidak sama, berdiri tidak tegak lurus, umumnya berkarat dan kabelnya pating slawir tidak beraturan. Degradasi mutu ini dirasakan jelas sekali setelah Orde Baru berkuasa sejak tahun 1966. Marak euforia pembangunan tetapi tidak disertai dengan mutu profesionalisme dan kontrol yang memadai dan maraknya perilaku koruptif yang merajalela. Kondisi degradasi mutu ini sebenarnya tidak perlu terjadi, karena pendidikan tinggi di bidang teknik cukup banyak dan ada di mana-mana.

          Presiden Joko Widodo sebenarnya sudah memberikan contoh dan teladan yang patut ditiru oleh aparat pemerintahan, bahkan dari tingkat RT sampai Kementerian. Manajemen blusukan ala Jokowi yang rajin memeriksa proyek Pemerintah pada setiap enam bulan adalah merupakan perilaku pemimpin yang bertanggungjawab terhadap pekerjaannya. Syukur apabila disertai perilaku profesional yang memadai, paling tidak oleh yang mendampingi selama blusukan dan bukan hanya dalam bentuk acara seremonial semata. Kalau bisanya cuma acara menandatangani, gunting pita dan cengengesan saja, ya itulah akibatnya, semuanya rusak melulu hasilnya.

Pemimpin yang DJAKARTA

          Pada tanggal 20 September 2016, penulis membuat artikel di blog dengan judul :”Dicari : Kepala Daerah Yang DJAKARTA”. Penulis berpendapat, agar pembangunan berhasil dengan baik dan tidak cuma tambal-sulam, sebentar rusak dan dibangun lagi, maka diperlukan pemimpin dan aparat yang kualitasnya DJAKARTA. Nama ibukota NKRI dalam ejaan lama tersebut merupakan akronim dari : D = Dedikasi, J = Jujur, A = Apresiatif, K = Kreatif, A = Asih dan Asuh, R= Ramah, T = Tegas, Trengginas, dan Teladan, serta A = Anjangsana.

           Bahwa seorang Kepala Daerah yang layak itu dituntut memiliki dedikasi yang tinggi dan berintegritas karena dia professional. Oleh karena itu, dia harus dan pasti jujur karena integritasnya, dan sebaliknya, dia bisa diduga akan berbuat curang dan KKN kalau tidak punya dedikasi dan integritas yang baik terhadap jabatan yang direbutnya. Untuk mendukung integritasnya, seorang Kepala Daerah dituntut punya watak dan kepribadian yang apresiatif, asih, asuh dan ramah kepada semua warganya. Dia harus kreatif untuk memajukan dan menyejahterakan daerahnya. Tetapi seorang Kepala Daerah juga dituntut tegas dalam keputusan dan tindakannya yang sesuai konstitusi dan perundangan yang berlaku dalam mencapai pemerintahan yang baik dan jujur. Juga trengginas dan memberikan teladan yang baik kepada seluruh warganya. Dan yang sangat penting, Kepala Daerah harus rajin beranjangsana alias blusukan untuk mengamati dan mengawasi perkembangan daerahnya langsung di lapangan. Mutu dan etos kerja aparatur pemerintahan, serta mutu dan perkembangan proyek yang sedang dikerjakan, seharusnya disambangi secara berkala sebagai metode control yang efektif. Dengan metode manajemen blusukan yang sudah dicontohkan oleh Presiden Jokowi dan dilakukan dengan profesionalisme yang mumpuni, diharapkan semua sarana dan prasarana yang dibangun akan bermutu dalam tampilan maupun kekuatannya. Dengan rajin blusukan yang disertai para staf dan pembantunya yang ahli dan professional, akan segera mengetahui kekurangan dan kesulitan yang dialami warganya, misalnya got mampet, sampah berserakan, jalan raya rusak sehingga membahayakan para pengguna jalan dan berbagai masalah lainnya.

Itulah tentunya harapan kita semua! Belanda selama menjajah telah mengajarkan kepada kita selama 3,5 abad. Mestinya mutu bangsa Indonesia jangan sampai mengalami degradasi hanya karena digerogoti oleh watak dan perilaku KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) yang sudah pada tingkat darurat!*****

Minggu, 25 Juli 2021

BUMI PAPUA HARAPAN BARU DARI TIMUR

Siklus alam kehidupan, memberikan sinyal yang sangat berharga bagi bangsa Indonesia. Ketika masyarakat Ibukota DKI Jakarta di Pulau Jawa masih tertidur lelap, saudara sebangsa-setanah air yang tinggal di Papua, sebagian besar mungkin sudah bermandikan keringat mengarungi berbagai kegiatannya masing-masing. Mentari yang terbit di ufuk Timur, membangunkan pertama kali saudara-saudara kita yang bermukim di Papua.  Kita patut bersyukur kepada Tuhan Yang Mahakuasa atas karunia tanah-air dari Merauke sampai Sabang yang luas, unik dan kaya raya ini. Oleh karena itu, kita segenap bangsa Indonesia juga patut menyampaikan terima kasih kepada para Pendiri Bangsa. Yang telah mewariskan negeri nan indah bagaikan zamrud di khatulistiwa dan pernah menjadi rebutan para penjajah silih berganti selama berabad-abad. Wujud perilaku terimakasih itu adalah senantiasa menjaga kelestarian lingkungannya, memanfaatkan kekayaan alamnya dengan adil dan bijaksana. Serta yang utama adalah menjaga dan memelihara persatuan dan kesatuan bangsa yang majemuk ini.

Pada tanggal 2 Oktober 2021 nanti, di Jayapura ibukota Provinsi Papua, akan diselenggarakan Pekan Olahraga Nasional (PON) ke-20. Untuk keperluan tersebut, telah dibangun stadion megah bertaraf internasional seluas 7.740 meter persegi dengan kapasitas penonton sebanyak 3.674 kursi. Di stadion yang diberi nama Stadion Lucas Enembe dan berjulukan Istana Olah Raga (Istora) Papua Bangkit itulah, kelak para atlet berbagai cabang olahraga dari 34 provinsi akan bertemu. Melalui perhelatan olahraga, diharapkan tercipta forum silaturahim nasional sehingga terjalin persatuan dan kesatuan nasional yang kokoh dan tidak tercerai-berai. Menjadi catatan menarik karena penyelenggaraan PON ini ketika bangsa Indonesia dan seluruh dunia sedang berperang melawan pandemi Covid-19 yang semakin mengganas, dan masih adanya Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) yang mengganggu keamanan di bumi Papua. Dengan perhelatan PON ini, semoga tercipta kesadaran semua pihak, bahwa menjaga persatuan dan kedamaian perlu ditegakkan demi tercapainya kemajuan dan kesejahteraan bersama.

Penulis termasuk yang sangat memimpikan harapan ini karena mempunyai beberapa memori yang patut dikenang mengenai Papua. Bahkan merasa ada ikatan emosional  dan catatan yang dapat penulis kemukakan berikut ini.

Pertama, pada tahun 1958/1959, sewaktu penulis duduk di kelas dua SR (Sekolah Rakyat, sekarang SD) Negeri Benjeng, sebuah desa di Kabupaten Gresik. Ketika sedang asyik belajar, tiba-tiba sekolah kedatangan tamu Bapak Tentara. Setelah ketamuan itu semua siswa dipulangkan lebih awal, dengan pesan dari Ibu Guru Karsiyah agar nanti apabila mendengar bunyi bedug di masjid dan kentongan di Balai Desa dan Pos Ronda secara serentak, semua harus diam, berdiri mengheningkan cipta disertai berdoa dan mengucapkan kata-kata :”Irian Barat hak milik kita!”. Ibu Guru menyuruh agar lekas pulang dan meyampaikan pesan tersebut kepada orang-tua masing-masing dan semua sanak famili.

Kedua, sewaktu Presiden Soekarno menyampaikan pidato Trikora (Tri Komando Rakyat) pada tanggal 19 Desember 1961 di Jogyakarta, penulis sudah duduk di kelas lima SR. Pak Guru Legimin, membawa kami sekelas ke rumah Pengusaha tetangga sekolah yang mempunyai radio untuk mendengarkan pidato yang sangat bersejarah tersebut. Setelah kembali ke kelas, Pak Guru menanyakan isi Trikora tersebut dan menerangkan selengkapnya yang isinya :”Gagalkan negara boneka Papua buatan Belanda, kibarkan bendera Sang Saka Merah Putih di daratan Irian Barat sebelum ayam berkokok 1 Mei 1963, dan laksanakan mobilisasi umum bagi seluruh rakyat Indonesia untuk perjuangan membebaskan Irian Barat dari penjajah Belanda.

Ketiga, pada tahun 1963-1966 penulis duduk di bangku SMP. Suatu pagi ketika berangkat ke sekolah, penulis menemukan sobekan kertas pamflet Departemen Penerangan, yang memuat gambar peta Irian Barat dan tulisan tangan Presiden Soekarno . Karena tertarik, sobekan kertas itu penulis pungut dan terbaca tulisan yang seingat penulis berbunyi :”Bantulah Pembangunan Irian Barat” dengan tandatangan Presiden Soekarno. Waktu itu, sebagai pelajar SMP sudah mulai memikirkan bagaimana membuat tandatangan yang bagus. Kita antar teman di kelas suka saling pamer tandatangan untuk diadu mana yang bagus dan menarik disertai ledekan dan ramalan-ramalannya. Dari tandatangan Presiden Soekarno yang terdapat pada peta Irian Barat itulah penulis kemudian terinspirasi meniru “S”-nya dan masih penulis pakai sampai sekarang sebagai tandatangan resmi sejak menandatangani ijazah SMP pada tahun 1966.

Keempat, pada tahun 1987 penulis berkesempatan mengunjungi Papua dalam rangka tugas dari kantor. Kota yang penulis kunjungi antaralain Jayapura, Biak, Sorong, dan Merauke. Tepat ketika peringatan detik-detik Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1987, bersama tim dan pengantar rombongan sedang sarapan pagi di suatu rumah makan khas masakan Jawa di Merauke. Ketika dibacakan teks Proklamasi :”….Atas nama bangsa Indonesia, Soekarno-Hatta”, pengantar yang bernama Pak Amas spontan berteriak. “Sejarah tidak bisa dihapus, Soekarno tidak bisa dihapus”, katanya berulang-ulang. Karena kaget dan heran, penulis lalu menanyakan , Pak Amas lahir di mana, kapan dan di mana dibesarkan, kok mengenal Bung Karno. Dengan bangga dia bercerita, bahwa dia orang Papua, lahir dan besar di Papua. Dulu, sewaktu jaman Belanda, kalau Bung Karno perpidato, orang-tuanya suka mendengarkan melalui radio dengan sembunyi-sembunyi karena takut ketahuan Belanda atau orang-orang yang pro Belanda.

Juga ada kisah menarik untuk penulis kenang. Waktu dinas itu status penulis masih bujangan dan bersama rombongan menginap di Hotel Matoa Jayapura. Ada karyawati resepsionis hotel yang cantik blasteran, bapaknya anggota TNI asli Papua dan ibunya berasal dari Cimahi – Jawa Barat. Di bagian cafetaria ada karyawati pramusaji yang hitam manis , cantik khas Papua bernama Margaretha yang tinggal di jalan Ampera Jayapura. Kawan-kawan selalu menjodoh-jodohkan setiap kali sarapan pagi. Dan jujur, penulis memang tertarik juga. Suatu malam Minggu, penulis coba mertamu ke rumahnya dengan maksud mau pendekatan. Tetapi oleh abangnya dibilang Eta sedang istirahat dan penulis tidak sempat ngobrol karena tidak dipersilahkan masuk barang sejenak. Patah hatilah jadinya, baru berkhayal dan membayangkan pendekatan, sudah putus di tengah jalan karena esok hari harus kembali ke Jakarta.. Pengalaman ini membuat penulis masih suka berkhayal, seandainya bisa berhasil menggaet Margaretha, mungkin keadaan Papua sekarang bisa menjadi tenteram dan damai. Oleh karena itu penulis ingin menyampaikan “Salam Sejahtera!” buat Margaretha di mana pun saat ini berada, yang sekitar Juli/Agustus 1987 menjadi karyawati Hotel Matoa Jayapura di bagian cafetaria.

Pengalaman selama bertugas, penulis mempunyai kesan, bahwa Papua memang sangat indah. Sebelum mendarat di Bandara Sentani, danau Sentani nampak mempesona dari ketinggian, demikian juga semua kota dan daerah yang penulis singgahi sangat menakjubkan.

Kelima, terjadi sekitar tahun 2002. Penulis mendapat kunjungan Johanes Aury yang mau pamitan karena dipindah-tugaskan ke Jayapura. Johanes Aury adalah pemain nasional sepakbola  yang diterima sebagai karyawan PT Pertamina (Persero), beristerikan wanita NTT (Nusa Tenggara Timur). Ketika ngobrol dan berbincang-bincang, penulis tanyakan kenapa kok beberapa oknum masyarakat Papua masih ada yang ingin merdeka. Dia bilang, bahwa masyarakat Papua banyak yang kecewa. Dulu, sewaktu jaman Belanda, seseorang yang tamatan sekolah rendah saja bisa menjadi Kepala Gudang dan hidup sejahtera. Sedangkan sekarang, dituntut harus sekolah dan berijazah yang cukup untuk bisa memegang jabatan yang sama. Fasilitas yang seharusnya untuk masyarakat Papua ternyata banyak dinikmati para pendatang, masyarakat Papua merasa hanya terpinggirkan. Banyak pendatang yang sengaja datang untuk menikmati hak yang seharusnya hanya diberikan kepada masyarakat Papua. Dari situlah antara lain masyarakat Papua mengalami kekecewaan. Penulis hanya menyampaikan pesan persaudaraan kepada Johanes Aury, mendoakan semoga sukses dalam bertugas dan berkarir. Serta harapan penulis agar Johanes Aury bisa mengembangkan persepakbolaan di Jayapura dan seluruh Papua sehingga kelak terlahir banyak pesepakbola baru dari bumi Cenderawasih.

Keenam, mengenai ibukota Provinsi Papua. Dulu, setelah kembali ke pangkuan NKRI, ibukota Irian Barat/Papua yang semula bernama Holandia (7 Maret 1910 – 1962), kemudian sempat berubah menjadi Kotabaru, oleh Presiden Soekarno diubah lagi menjadi Sukarnopura (1964) Tetapi kemudian sangat disayangkan, Irian Barat yang bersejarah diubah menjadi Irian Jaya, Sukarnopura diganti menjadi Jayapura dan Puncak Sukarno yang terdapat salju abadi di dunia, diubah menjadi Puncak Jayawijaya. Itu semua terjadi pada tahun 1968. Lalu, sewaktu penulis masih di SMP antara 1963/1964 sampai 1965/1966, film di bioskop selalu didahului dengan pemutaran film penerangan dari Departemen Penerangan. Di antara film-film itu ada tentang kunjungan Presiden Soekarno ke Irian Barat dan ada adegan Presiden berangkulan mesra dengan para Kepala Suku di Papua yang menggambarkan pendekatan yang sangat humanis. Lagi-lagi penulis berilusi, kalau saja ibukota Papua masih Sukarnopura dan film Presiden Soekarno ke Papua ini selalu diputar kembali, mungkin kedamaian akan terwujud di tanah Papua yang indah dan mempesona itu.

Ketujuh, mengenai pembangunan di Papua. Penulis mempertanyakan, kenapa pembangunan smelter PT Freeport kok di tanah kelahiran penulis, Gresik Jawa-Timur. Kenapa tidak di Papua saja khususnya di pantai Selatan. Sehingga penulis curiga, jangan-jangan memang ada kesengajaan. Ketika mengangkut bongkahan tanah tambang ada yang akan diselewengkan ke smelter awalnya di luar negeri ketika kita lalai dan lengah tidak mampu mengawasi perairan kita yang luas ini. Bongkahan itu mengandung  tembaga, emas dan uranium yang tidak ternilai. Seandainya smelter Freeport dan industri yang lain dibangun di Papua, lalu mengutamakan masyarakat Papua sebagai SDM melalui pembibitan dan pembinaan pemuda/pemudi yang berpotensi dan berkualitas, niscaya kedamaian akan tercapai karena terciptanya kesejahteraan bersama yang adil dan beradab.

Kedelapan, mengenai hobi koleksi benda filateli. Sejak di bangku SMP, penulis menekuni hobi mengoleksi benda filateli yang terdiri atas prangko, sampul surat berikut cap posnya, kartu pos serta benda pos lainnya. Di antaranya, penulis mengoleksi tematik mengenai Irian Barat/Papua. Dari benda filateli itu penulis bisa mengetahui lebih banyak mengenai tanah Papua misalnya peta bumi, flora-fauna, seni-budaya, dan kekayaan alamnya. Juga nama kota-kota melalui cap posnya, serta Sampul Hari Pertama (SHP) penerbitan prangko bercap pos Sukarnopura yang sudah langka dikoleksi para pehobi filateli.

Kesembilan, ketika berkunjung lagi ke Sorong pada tahun 2004 dalam rangka tugas ke Kilang Minyak Pertamina Sorong. Penulis berkesimpulan, kilang minyak Sorong layak dikembangkan sekalian untuk membangun Kawasan Indonesia Timur dan tercapainya satu harga BBM yang seragam dari Sabang sampai Merauke. Bersamaan dengan itu, kita wajib mencari bibit-bibit anak terbaik asli Papua untuk dididik berbagai cabang ilmu yang terkait dengan teknologi, tata kota dan kesehatan. Mereka diperlukan untuk membangun Papua yang indah dan maju di masa depan. Pesona alam, kekayaan adat-istiadat, seni dan budaya serta flora dan fauna yang khas bisa merupakan modal pengembangan pariwisata yang diharapkan akan mendatangkan kedamaian dan kemakmuran.

Kesepuluh, pada tahun 2012 penulis pernah menulis “Surat Pembaca” ke beberapa media massa cetak. Penulis menyampaikan keprihatinan karena Monumen Pembebasan Irian Barat di Lapangan Banteng Jakarta kondisinya rusak parah, dikanibal dan ditempati para tunawisma dan gelandangan. Monumen yang diresmikan oleh Presiden Soekarno pada tanggal 18 Agustus 1963 itu, pintu dan pagarnya yang terbuat dari logam stainless-steel banyak yang hilang dicopoti oleh orang-orang liar. Monumen itu tidak terjaga setelah Terminal Bus Kota Lapangan Banteng dihapus sehingga situasinya menjadi sepi dan lengang sepanjang hari. Kalau di kemudian hari Monumen itu direnovasi total oleh Pemda DKI Jakarta, penulis sempat gede-rasa, alias “GR”.  Semoga  karena “Surat Pembaca” yang juga sempat penulis “google”-kan pada tanggal 24 Agustus 2012 itu telah dibaca dan diperhatikan oleh banyak orang. Sekarang, Monumen itu menjadi salah satu ikon dan destinasi pariwisata DKI Jakarta.

Kesebelas, adalah harapan kedamaian. Papua adalah bagian dari Bhinneka Tunggal Ika kita. Untuk membangun kesejahteraan dan kedamaian bersama dari Sabang sampai Merauke, antaralain perlu pendekatan pendidikan sesuai rencana pembangunan yang ingin dicapai dan dikembangkan dalam jangka panjang. Beasiswa bagi putra/putri asli Papua di bidang teknologi dan kedokteran serta tata-kota perlu diperbanyak dan disebar ke seluruh wilayah tanah air untuk pembelajaran dan agar mereka saling kenal-mengenal sesama anak bangsa.

Keduabelas, perlunya percepatan pembangunan Papua dengan sistem gotong-royong sesuai anjuran yang pernah disampaikan Presiden Soekarno :” Bantulah Pembangunan Irian Barat !”. Konsepnya adalah dengan menciptakan miniatur Indonesia di bumi Papua. Dalam konsep ini, masing-masing provinsi di Indonesia, diundang dan diwajibkan membangun desa atau Kawasan Hunian bagi masyarakat Papua. Sehingga kelak ada kampung rukun warga (RW) atau Kelurahan Daerah Istimewa Aceh, Sumatera Utara dan seterusnya yang dihuni oleh penduduk asli Papua lengkap dengan fasilitas sekolah, olahraga, dan sanggar seni-budaya untuk sarana pelestarian kekayaan seni-budaya lokal. Perkampungan itu diharapkan tertata rapi, bersih, menarik dan manusiawi, terbebas dari bencana banjir dan tanah longsor serta layak sebagai obyek pariwisata. Pembangunan perkampungan itu bisa juga oleh kelompok perorangan, BUMN dan lain-lain, sehingga kelak juga ada perkampungan Aburizal Bakri, Sudono Salim, Pegadaian, Pertamina dan lain-lain para penyumbang dalam rangka merekatkan persatuan dan kesatuan bangsa dari Sabang sampai Merauke.

Walhasil, dimulai dari momentum penyelenggaraan PON XX Papua 2021. Diharapkan  kedamaian abadi akan tercapai kalau saja pemikiran dan pelaksanaan dalam segala hal  dilakukan dengan amanah, integritas tinggi dan penuh kejujuran di semua lini pemerintahan. Satu yang perlu dicamkan oleh semua pihak, bahwa pertumpahan darah dan penghilangan nyawa orang lain adalah perbuatan percuma yang akan menambah dosa saja. Dan itu pasti dilarang oleh agama, apa pun agama itu! Saatnya sekarang kita mulai membangun dengan penuh kesungguhan. Presiden Joko Widodo telah mulai membangun infrastruktur yang diperlukan di bumi Papua, dan terus akan membangun sehingga kelak akan berbinar Mentari Harapan Baru yang muncul dari Timur nan indah secantik Burung Cenderawasih.*****

 

 


Jumat, 18 Juni 2021

BESI INFRASTRUKTUR BANYAK BERKARAT

 

Proyek infrastruktur dibangun di mana-mana

Presiden Jokowi memang mengutamakan itu

Jalan raya, jalan tol, rel kereta api, MRT, LRT, kereta cepat, jembatan, bendungan, dan lain-lain

kebutuhan masyarakat, dibangun serentak di seluruh bumi Nusantara

Tetapi sayang, dari pemandangan yang ada pada proyek yang sedang dikerjakan

Besi konstruksi yang sedang terpasang, kelihatan banyak berkarat

Tidak seperti proyek MRT  yang pernah  gagal, besi konstruksinya tidak berkarat selama bertahun-tahun

Jadinya khawatir, dalam jangka panjang, besi-besi itu akan jadi bubuk besi dalam beton dan akan menghancurkan kekuatan tiang-tiang beton itu

Mutu besi memang berbeda-beda tergantung di pabrik mana diproduksi dan bagaimana komposisi kimianya serta perolehan dan mutu bahan bakunya

Semoga niat luhur Presiden Jokowi tidak dilunturkan oleh para pelaksana di lapangan

Oleh karena itu, pembuatan prasasti yang lengkap dengan penjelasan siapa perancang, siapa pelaksana, kapan mulai dikerjakan dan kapan selesai serta besar biayanya harus tertera dengan jelas

Karena penting untuk pertanggungjawaban kepada generasi mendatang terhadap mutu pekerjaan para pendahulu, apakah bermutu dan tahan lama, atau mudah ambruk karena serampangan