Entri yang Diunggulkan

GENERASI PENDOBRAK JILID III

 Harian Rakyat Merdeka terbitan 20 April  2010,memuat artikel dengan judul “Bodoh Permanen” yang ditulis oleh Arif Gunawan. Tulisan tersebut...

Tampilkan postingan dengan label pariwisata. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label pariwisata. Tampilkan semua postingan

Kamis, 19 Agustus 2021

Memfilmkan Legenda, Kenapa Tidak?

Beberapa tahun yang lalu sebagaimana diberitakan di berbagai media massa, Menteri Kebudayaan & Pariwisata waktu itu, memberikan semacam instruksi kepada para Kepala Daerah. Dianjurkan agar tiap daerah provinsi membuat film kepahlawanan daerahnya masing – masing. Tujuannya mungkin untuk menumbuhkan nilai – nilai kejuangan kepada generasi muda yang sudah ada tanda – tanda mulai terkikis. Atau mungkin dalam rangka meningkatkan  upaya pelestarian nilai seni budaya  setiap daerah serta untuk meningkatkan pariwisata melalui film.

Padahal, kalau ambisi itu dituruti, yang terjadi adalah mungkin merupakan langkah yang sia – sia. Jauh panggang dari api, kata pepatah. Sebagai pengalaman mungkin dapat dievaluasi, misalnya,film “Tjut Nyak Dien” yang pernah dibuat dengan ambisius, tetapi nyatanya kurang  peminat. Dari berbagai sudut, film itu kurang menarik. Apalagi setiap film sejarah Indonesia, yang menonjol hanyalah yang berbau melawan penjajah Belanda atau Jepang, dan kemasannya pada umumnya kurang menarik.

Film menarik adalah film yang bisa menarik penonton sebanyak-banyaknya walaupun tanpa promosi yang berarti. Film menarik bisa karena bintang pendukungnya, alur ceritanya, teknik pembuatannya, lokasi shooting atau  bisa karena keseluruhannya menarik. Sebagai contoh, film Laskar Pelangi yang pernah mencapai Box Office beberapa waktu yang lalu. Film itu menarik karena menyangkut penggalan sejarah pendidikan suatu zaman dan lokasinya yang menarik. Disamping penggarapannya juga cukup mengesankan. Lebih menarik lagi karena terbukti kepulauan Bangka-Belitung sebagai lokasi shooting film tersebut kemudian dibanjiri banyak turis (Rakyat Merdeka 2 Mei 2010).

FILM TENTANG LEGENDA

Sekiranya benar bahwa film daerah ditujukan untuk meningkatkan sektor pariwisata melalui pengenalan seni dan budaya daerah, maka yang tepat adalah menginstruksikan setiap daerah untuk membuat film tentang legenda daerah. Legenda menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia (Balai Pustaka 2006) adalah cerita dari zaman dahulu yang dikenal dan digemari orang yang bertalian dengan peristiwa bersejarah.

Legenda itu bisa diambil dari ikon alam atau seni budaya masing – masing daerah . Sebagai contoh, Reog Ponorogo atau Gunung Bromo dari Jawa Timur,betapa menariknya apabila legendanya yang penuh misteri itu  difilmkan. Boleh jadi, Reog Ponorogo tidak  akan diklaim oleh Malaysia sekiranya legendanya di filmkan secara kolosal. Atau turis akan semakin berbondong – bondong datang setelah menyaksikan film tentang legenda Gunung Bromo yang menawan dengan legenda Hari Raya Kesodonya.

Sebagai contoh menarik, pernah ada film pada tahun 70’an yang dibuat oleh sebuah negara Asia berjudul “The Snake Man”(manusia ular). Film itu tentang legenda terjadinya sumber mata air pemandian alam yang antara lain berkhasiat dapat menyembuhkan penyakit kulit dan pernah memenangkan Festival Film Asia. Cerita dalam film itu sebenarnya sederhana saja karena menceritakan tentang seorang wanita yang sudah bersuamikan lelaki yang pencemburu, berselingkuh dengan seekor ular sakti .Hasil perselingkuhan yang tidak diniati itu membuahkan  seekor ular sakti yang kemudian bisa menjelma menjadi pemuda tampan  setelah bertapa di suatu pegunungan yang terdapat danau yang indah. Film tersebut berbau pornografi, tetapi tidak menonjolkan adegan pornografinya. Berbau mistik karena mengandung hal – hal yang menyangkut pertapaan dan kesaktian tetapi menariknya, dalam penggarapannya tidak menampakkan adegan horor yang menyeramkan. Episode demi episode semuanya menarik karena menggambarkan adegan yang mengesankan dengan  latar belakang alam dan kehidupan yang benar-benar menggambarkan zaman baheula. Happy ending film tersebut mengetengahkan suatu objek pariwisata yang sangat terkenal di suatu daerah di negara pembuat film  yang berupa lokasi pemandian alam yang indah dan masih ramai dikunjungi para turis sampai sekarang. Paling tidak ,sampai film tersebut dibuat, obyek pariwisata itu masih dipertahankan. Dan sudah dapat dipastikan, pemerintah serta masyarakatnya berusaha melestarikan obyek pariwisata tersebut dengan bukti pembuatan film legendanya yang berhasil diekspor ke berbagai negara 

Mungkin waktunya belum terlambat. Industri pariwisata dan ekonomi kreatif Indonesia bisa dikembangkan sebagai sokoguru perekonomian Indonesia melalui pembuatan film tentang legenda. Indonesia yang kaya akan objek wisata yang sangat menarik dan hampir semuanya mempunyai legendanya masing – masing,  mestinya juga sangat menarik apabila dituangkan ke dalam sebuah film layar lebar. Bahkan hewan komodo yang ada di pulau Komodo pun ada legendanya yang bisa digali untuk dibuatkan filmnya. Menurut penuturan penduduk setempat, kalau kita ke P.Komodo sebaiknya  dikawal oleh penduduk asli setempat. Tujuannya agar tidak dimangsa oleh hewan komodo yang termasuk binatang buas. Pengamanan itu bisa terjadi karena hewan komodo diyakini masih seketurunan dengan penduduk asli P.Komodo. Konon pada zaman dahulu kala, hidup seorang raja yang mempunyai seorang putri yang cantik jelita. Kehidupan kerajaan dibiayai dari pajak yang dibayar oleh rakyatnya sesuai bidang usahanya. Adalah seorang perjaka tampan yang selalu mengirim ikan sebagai pajak mewakili ayahnya yang berprofesi sebagai nelayan. Karena seringnya bertemu pandang dengan anak nelayan yang tampan itu, membuat putri raja jatuh hati. Begitu juga anak nelayan tiba-tiba jatuh cinta. Karena gayung bersambut, maka semakin rajinlah anak nelayan itu mengantar pajak ikan ke istana agar bisa sering bertemu dengan putri raja. Rumor percintaan dua insan beda status sosial ini akhirnya sampai juga ke telinga sang raja. Sebagai akibatnya, sang raja melarang hubungan putrinya dengan anak nelayan tersebut. Tetapi tetap saja dengan sembunyi-sembunyi sang putri berusaha menemui sang perjaka. Sang raja semakin garang menghalangi hubungan keduanya dengan berbagai macam cara. Puncaknya, sang putri malah diam-diam lari dari istana dan bersembunyi di suatu goa bersama sang anak nelayan. Sang raja saking murkanya, terucap sumpah-serapah dan tidak mau  mengakui lagi putrinya tersebut. Dari hubungan yang tidak direstui itulah kemudian lahir komodo seperti wujudnya sekarang ini. Nah, seandainya legenda keberadaan hewan komodo ini digubah dan difilmkan secara cerdas dan menarik, bukan mustahil  akan semakin meningkatkan kunjungan wisatawan ke P.Komodo dan Kawasan Labuan Bajo yang sudah ditetapkan sebagai Destinasi Pariwisata Super Prioritas, Dan tak kalah pentingnya adalah ikut membantu Pemerintah RI dalam memperjuangkan Taman Nasional Komodo sebagai salah satu dari Tujuh Keajaiban Alam (New 7 Wonder s of Nature). Demikian juga Danau Toba di Sumatera Utara yang indah dan Danau Tiga Warna Kelimutu di pulau Flores serta legenda Candi Prambanan di Jawa Tengah dan banyak lagi, menunggu kreativitas para seniman dan budayawan Indonesia untuk menciptakan filmnya. Apabila upaya memfilmkan legenda  ini terwujud,dan menarik penggarapannya, bukan mustahil akan tercapai ”sekali merengkuh dayuh, dua tiga pulau akan terlampaui”. Artinya, melalui pembuatan film yang brilian tentang legenda, bersamaan dengan itu dapat meningkatkan mutu dan pendapatan sektor perfilman serta diharapkan dapat meningkatkan sektor pariwisata dan pertumbuhan ekonomi. Dan tak kalah pentingnya adalah timbulnya kesadaran peningkatan upaya pelestarian warisan alam ,lingkungan dan seni budaya yang dimiliki bangsa Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Dengan demikian diharapkan akan semakin memperkenalkan INDONESIA  lebih luas lagi, dan tidak hanya sekedar  P.Bali seperti sekarang ini yang lebih terkenal dibanding negeri induknya. Dari pada membuat film yang aneh-aneh dan tidak laku seperti  beberapa tahun terakhir ini, lebih baik kita  berpaling ke cerita legenda yang berlatar belakang obyek pariwisata. Mari kita coba buktikan, siapa tahu setiap daerah akan berusaha menggali bakat serta kreativitas di kawasannya masing-masing!.*****.

 


Minggu, 25 Juli 2021

BUMI PAPUA HARAPAN BARU DARI TIMUR

Siklus alam kehidupan, memberikan sinyal yang sangat berharga bagi bangsa Indonesia. Ketika masyarakat Ibukota DKI Jakarta di Pulau Jawa masih tertidur lelap, saudara sebangsa-setanah air yang tinggal di Papua, sebagian besar mungkin sudah bermandikan keringat mengarungi berbagai kegiatannya masing-masing. Mentari yang terbit di ufuk Timur, membangunkan pertama kali saudara-saudara kita yang bermukim di Papua.  Kita patut bersyukur kepada Tuhan Yang Mahakuasa atas karunia tanah-air dari Merauke sampai Sabang yang luas, unik dan kaya raya ini. Oleh karena itu, kita segenap bangsa Indonesia juga patut menyampaikan terima kasih kepada para Pendiri Bangsa. Yang telah mewariskan negeri nan indah bagaikan zamrud di khatulistiwa dan pernah menjadi rebutan para penjajah silih berganti selama berabad-abad. Wujud perilaku terimakasih itu adalah senantiasa menjaga kelestarian lingkungannya, memanfaatkan kekayaan alamnya dengan adil dan bijaksana. Serta yang utama adalah menjaga dan memelihara persatuan dan kesatuan bangsa yang majemuk ini.

Pada tanggal 2 Oktober 2021 nanti, di Jayapura ibukota Provinsi Papua, akan diselenggarakan Pekan Olahraga Nasional (PON) ke-20. Untuk keperluan tersebut, telah dibangun stadion megah bertaraf internasional seluas 7.740 meter persegi dengan kapasitas penonton sebanyak 3.674 kursi. Di stadion yang diberi nama Stadion Lucas Enembe dan berjulukan Istana Olah Raga (Istora) Papua Bangkit itulah, kelak para atlet berbagai cabang olahraga dari 34 provinsi akan bertemu. Melalui perhelatan olahraga, diharapkan tercipta forum silaturahim nasional sehingga terjalin persatuan dan kesatuan nasional yang kokoh dan tidak tercerai-berai. Menjadi catatan menarik karena penyelenggaraan PON ini ketika bangsa Indonesia dan seluruh dunia sedang berperang melawan pandemi Covid-19 yang semakin mengganas, dan masih adanya Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) yang mengganggu keamanan di bumi Papua. Dengan perhelatan PON ini, semoga tercipta kesadaran semua pihak, bahwa menjaga persatuan dan kedamaian perlu ditegakkan demi tercapainya kemajuan dan kesejahteraan bersama.

Penulis termasuk yang sangat memimpikan harapan ini karena mempunyai beberapa memori yang patut dikenang mengenai Papua. Bahkan merasa ada ikatan emosional  dan catatan yang dapat penulis kemukakan berikut ini.

Pertama, pada tahun 1958/1959, sewaktu penulis duduk di kelas dua SR (Sekolah Rakyat, sekarang SD) Negeri Benjeng, sebuah desa di Kabupaten Gresik. Ketika sedang asyik belajar, tiba-tiba sekolah kedatangan tamu Bapak Tentara. Setelah ketamuan itu semua siswa dipulangkan lebih awal, dengan pesan dari Ibu Guru Karsiyah agar nanti apabila mendengar bunyi bedug di masjid dan kentongan di Balai Desa dan Pos Ronda secara serentak, semua harus diam, berdiri mengheningkan cipta disertai berdoa dan mengucapkan kata-kata :”Irian Barat hak milik kita!”. Ibu Guru menyuruh agar lekas pulang dan meyampaikan pesan tersebut kepada orang-tua masing-masing dan semua sanak famili.

Kedua, sewaktu Presiden Soekarno menyampaikan pidato Trikora (Tri Komando Rakyat) pada tanggal 19 Desember 1961 di Jogyakarta, penulis sudah duduk di kelas lima SR. Pak Guru Legimin, membawa kami sekelas ke rumah Pengusaha tetangga sekolah yang mempunyai radio untuk mendengarkan pidato yang sangat bersejarah tersebut. Setelah kembali ke kelas, Pak Guru menanyakan isi Trikora tersebut dan menerangkan selengkapnya yang isinya :”Gagalkan negara boneka Papua buatan Belanda, kibarkan bendera Sang Saka Merah Putih di daratan Irian Barat sebelum ayam berkokok 1 Mei 1963, dan laksanakan mobilisasi umum bagi seluruh rakyat Indonesia untuk perjuangan membebaskan Irian Barat dari penjajah Belanda.

Ketiga, pada tahun 1963-1966 penulis duduk di bangku SMP. Suatu pagi ketika berangkat ke sekolah, penulis menemukan sobekan kertas pamflet Departemen Penerangan, yang memuat gambar peta Irian Barat dan tulisan tangan Presiden Soekarno . Karena tertarik, sobekan kertas itu penulis pungut dan terbaca tulisan yang seingat penulis berbunyi :”Bantulah Pembangunan Irian Barat” dengan tandatangan Presiden Soekarno. Waktu itu, sebagai pelajar SMP sudah mulai memikirkan bagaimana membuat tandatangan yang bagus. Kita antar teman di kelas suka saling pamer tandatangan untuk diadu mana yang bagus dan menarik disertai ledekan dan ramalan-ramalannya. Dari tandatangan Presiden Soekarno yang terdapat pada peta Irian Barat itulah penulis kemudian terinspirasi meniru “S”-nya dan masih penulis pakai sampai sekarang sebagai tandatangan resmi sejak menandatangani ijazah SMP pada tahun 1966.

Keempat, pada tahun 1987 penulis berkesempatan mengunjungi Papua dalam rangka tugas dari kantor. Kota yang penulis kunjungi antaralain Jayapura, Biak, Sorong, dan Merauke. Tepat ketika peringatan detik-detik Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1987, bersama tim dan pengantar rombongan sedang sarapan pagi di suatu rumah makan khas masakan Jawa di Merauke. Ketika dibacakan teks Proklamasi :”….Atas nama bangsa Indonesia, Soekarno-Hatta”, pengantar yang bernama Pak Amas spontan berteriak. “Sejarah tidak bisa dihapus, Soekarno tidak bisa dihapus”, katanya berulang-ulang. Karena kaget dan heran, penulis lalu menanyakan , Pak Amas lahir di mana, kapan dan di mana dibesarkan, kok mengenal Bung Karno. Dengan bangga dia bercerita, bahwa dia orang Papua, lahir dan besar di Papua. Dulu, sewaktu jaman Belanda, kalau Bung Karno perpidato, orang-tuanya suka mendengarkan melalui radio dengan sembunyi-sembunyi karena takut ketahuan Belanda atau orang-orang yang pro Belanda.

Juga ada kisah menarik untuk penulis kenang. Waktu dinas itu status penulis masih bujangan dan bersama rombongan menginap di Hotel Matoa Jayapura. Ada karyawati resepsionis hotel yang cantik blasteran, bapaknya anggota TNI asli Papua dan ibunya berasal dari Cimahi – Jawa Barat. Di bagian cafetaria ada karyawati pramusaji yang hitam manis , cantik khas Papua bernama Margaretha yang tinggal di jalan Ampera Jayapura. Kawan-kawan selalu menjodoh-jodohkan setiap kali sarapan pagi. Dan jujur, penulis memang tertarik juga. Suatu malam Minggu, penulis coba mertamu ke rumahnya dengan maksud mau pendekatan. Tetapi oleh abangnya dibilang Eta sedang istirahat dan penulis tidak sempat ngobrol karena tidak dipersilahkan masuk barang sejenak. Patah hatilah jadinya, baru berkhayal dan membayangkan pendekatan, sudah putus di tengah jalan karena esok hari harus kembali ke Jakarta.. Pengalaman ini membuat penulis masih suka berkhayal, seandainya bisa berhasil menggaet Margaretha, mungkin keadaan Papua sekarang bisa menjadi tenteram dan damai. Oleh karena itu penulis ingin menyampaikan “Salam Sejahtera!” buat Margaretha di mana pun saat ini berada, yang sekitar Juli/Agustus 1987 menjadi karyawati Hotel Matoa Jayapura di bagian cafetaria.

Pengalaman selama bertugas, penulis mempunyai kesan, bahwa Papua memang sangat indah. Sebelum mendarat di Bandara Sentani, danau Sentani nampak mempesona dari ketinggian, demikian juga semua kota dan daerah yang penulis singgahi sangat menakjubkan.

Kelima, terjadi sekitar tahun 2002. Penulis mendapat kunjungan Johanes Aury yang mau pamitan karena dipindah-tugaskan ke Jayapura. Johanes Aury adalah pemain nasional sepakbola  yang diterima sebagai karyawan PT Pertamina (Persero), beristerikan wanita NTT (Nusa Tenggara Timur). Ketika ngobrol dan berbincang-bincang, penulis tanyakan kenapa kok beberapa oknum masyarakat Papua masih ada yang ingin merdeka. Dia bilang, bahwa masyarakat Papua banyak yang kecewa. Dulu, sewaktu jaman Belanda, seseorang yang tamatan sekolah rendah saja bisa menjadi Kepala Gudang dan hidup sejahtera. Sedangkan sekarang, dituntut harus sekolah dan berijazah yang cukup untuk bisa memegang jabatan yang sama. Fasilitas yang seharusnya untuk masyarakat Papua ternyata banyak dinikmati para pendatang, masyarakat Papua merasa hanya terpinggirkan. Banyak pendatang yang sengaja datang untuk menikmati hak yang seharusnya hanya diberikan kepada masyarakat Papua. Dari situlah antara lain masyarakat Papua mengalami kekecewaan. Penulis hanya menyampaikan pesan persaudaraan kepada Johanes Aury, mendoakan semoga sukses dalam bertugas dan berkarir. Serta harapan penulis agar Johanes Aury bisa mengembangkan persepakbolaan di Jayapura dan seluruh Papua sehingga kelak terlahir banyak pesepakbola baru dari bumi Cenderawasih.

Keenam, mengenai ibukota Provinsi Papua. Dulu, setelah kembali ke pangkuan NKRI, ibukota Irian Barat/Papua yang semula bernama Holandia (7 Maret 1910 – 1962), kemudian sempat berubah menjadi Kotabaru, oleh Presiden Soekarno diubah lagi menjadi Sukarnopura (1964) Tetapi kemudian sangat disayangkan, Irian Barat yang bersejarah diubah menjadi Irian Jaya, Sukarnopura diganti menjadi Jayapura dan Puncak Sukarno yang terdapat salju abadi di dunia, diubah menjadi Puncak Jayawijaya. Itu semua terjadi pada tahun 1968. Lalu, sewaktu penulis masih di SMP antara 1963/1964 sampai 1965/1966, film di bioskop selalu didahului dengan pemutaran film penerangan dari Departemen Penerangan. Di antara film-film itu ada tentang kunjungan Presiden Soekarno ke Irian Barat dan ada adegan Presiden berangkulan mesra dengan para Kepala Suku di Papua yang menggambarkan pendekatan yang sangat humanis. Lagi-lagi penulis berilusi, kalau saja ibukota Papua masih Sukarnopura dan film Presiden Soekarno ke Papua ini selalu diputar kembali, mungkin kedamaian akan terwujud di tanah Papua yang indah dan mempesona itu.

Ketujuh, mengenai pembangunan di Papua. Penulis mempertanyakan, kenapa pembangunan smelter PT Freeport kok di tanah kelahiran penulis, Gresik Jawa-Timur. Kenapa tidak di Papua saja khususnya di pantai Selatan. Sehingga penulis curiga, jangan-jangan memang ada kesengajaan. Ketika mengangkut bongkahan tanah tambang ada yang akan diselewengkan ke smelter awalnya di luar negeri ketika kita lalai dan lengah tidak mampu mengawasi perairan kita yang luas ini. Bongkahan itu mengandung  tembaga, emas dan uranium yang tidak ternilai. Seandainya smelter Freeport dan industri yang lain dibangun di Papua, lalu mengutamakan masyarakat Papua sebagai SDM melalui pembibitan dan pembinaan pemuda/pemudi yang berpotensi dan berkualitas, niscaya kedamaian akan tercapai karena terciptanya kesejahteraan bersama yang adil dan beradab.

Kedelapan, mengenai hobi koleksi benda filateli. Sejak di bangku SMP, penulis menekuni hobi mengoleksi benda filateli yang terdiri atas prangko, sampul surat berikut cap posnya, kartu pos serta benda pos lainnya. Di antaranya, penulis mengoleksi tematik mengenai Irian Barat/Papua. Dari benda filateli itu penulis bisa mengetahui lebih banyak mengenai tanah Papua misalnya peta bumi, flora-fauna, seni-budaya, dan kekayaan alamnya. Juga nama kota-kota melalui cap posnya, serta Sampul Hari Pertama (SHP) penerbitan prangko bercap pos Sukarnopura yang sudah langka dikoleksi para pehobi filateli.

Kesembilan, ketika berkunjung lagi ke Sorong pada tahun 2004 dalam rangka tugas ke Kilang Minyak Pertamina Sorong. Penulis berkesimpulan, kilang minyak Sorong layak dikembangkan sekalian untuk membangun Kawasan Indonesia Timur dan tercapainya satu harga BBM yang seragam dari Sabang sampai Merauke. Bersamaan dengan itu, kita wajib mencari bibit-bibit anak terbaik asli Papua untuk dididik berbagai cabang ilmu yang terkait dengan teknologi, tata kota dan kesehatan. Mereka diperlukan untuk membangun Papua yang indah dan maju di masa depan. Pesona alam, kekayaan adat-istiadat, seni dan budaya serta flora dan fauna yang khas bisa merupakan modal pengembangan pariwisata yang diharapkan akan mendatangkan kedamaian dan kemakmuran.

Kesepuluh, pada tahun 2012 penulis pernah menulis “Surat Pembaca” ke beberapa media massa cetak. Penulis menyampaikan keprihatinan karena Monumen Pembebasan Irian Barat di Lapangan Banteng Jakarta kondisinya rusak parah, dikanibal dan ditempati para tunawisma dan gelandangan. Monumen yang diresmikan oleh Presiden Soekarno pada tanggal 18 Agustus 1963 itu, pintu dan pagarnya yang terbuat dari logam stainless-steel banyak yang hilang dicopoti oleh orang-orang liar. Monumen itu tidak terjaga setelah Terminal Bus Kota Lapangan Banteng dihapus sehingga situasinya menjadi sepi dan lengang sepanjang hari. Kalau di kemudian hari Monumen itu direnovasi total oleh Pemda DKI Jakarta, penulis sempat gede-rasa, alias “GR”.  Semoga  karena “Surat Pembaca” yang juga sempat penulis “google”-kan pada tanggal 24 Agustus 2012 itu telah dibaca dan diperhatikan oleh banyak orang. Sekarang, Monumen itu menjadi salah satu ikon dan destinasi pariwisata DKI Jakarta.

Kesebelas, adalah harapan kedamaian. Papua adalah bagian dari Bhinneka Tunggal Ika kita. Untuk membangun kesejahteraan dan kedamaian bersama dari Sabang sampai Merauke, antaralain perlu pendekatan pendidikan sesuai rencana pembangunan yang ingin dicapai dan dikembangkan dalam jangka panjang. Beasiswa bagi putra/putri asli Papua di bidang teknologi dan kedokteran serta tata-kota perlu diperbanyak dan disebar ke seluruh wilayah tanah air untuk pembelajaran dan agar mereka saling kenal-mengenal sesama anak bangsa.

Keduabelas, perlunya percepatan pembangunan Papua dengan sistem gotong-royong sesuai anjuran yang pernah disampaikan Presiden Soekarno :” Bantulah Pembangunan Irian Barat !”. Konsepnya adalah dengan menciptakan miniatur Indonesia di bumi Papua. Dalam konsep ini, masing-masing provinsi di Indonesia, diundang dan diwajibkan membangun desa atau Kawasan Hunian bagi masyarakat Papua. Sehingga kelak ada kampung rukun warga (RW) atau Kelurahan Daerah Istimewa Aceh, Sumatera Utara dan seterusnya yang dihuni oleh penduduk asli Papua lengkap dengan fasilitas sekolah, olahraga, dan sanggar seni-budaya untuk sarana pelestarian kekayaan seni-budaya lokal. Perkampungan itu diharapkan tertata rapi, bersih, menarik dan manusiawi, terbebas dari bencana banjir dan tanah longsor serta layak sebagai obyek pariwisata. Pembangunan perkampungan itu bisa juga oleh kelompok perorangan, BUMN dan lain-lain, sehingga kelak juga ada perkampungan Aburizal Bakri, Sudono Salim, Pegadaian, Pertamina dan lain-lain para penyumbang dalam rangka merekatkan persatuan dan kesatuan bangsa dari Sabang sampai Merauke.

Walhasil, dimulai dari momentum penyelenggaraan PON XX Papua 2021. Diharapkan  kedamaian abadi akan tercapai kalau saja pemikiran dan pelaksanaan dalam segala hal  dilakukan dengan amanah, integritas tinggi dan penuh kejujuran di semua lini pemerintahan. Satu yang perlu dicamkan oleh semua pihak, bahwa pertumpahan darah dan penghilangan nyawa orang lain adalah perbuatan percuma yang akan menambah dosa saja. Dan itu pasti dilarang oleh agama, apa pun agama itu! Saatnya sekarang kita mulai membangun dengan penuh kesungguhan. Presiden Joko Widodo telah mulai membangun infrastruktur yang diperlukan di bumi Papua, dan terus akan membangun sehingga kelak akan berbinar Mentari Harapan Baru yang muncul dari Timur nan indah secantik Burung Cenderawasih.*****

 

 


Kamis, 27 September 2018

Kesiapan Penyelenggaraan Asian Games 2018 dan Sampah

(artikel ini pernah dikirim ke media massa cetak pada akhir Juli 2018, tetapi tidak ada yang memuat) Sebentar lagi bangsa Indonesia menjadi tuan rumah perhelatan akbar Asian Games 2018 yang akan dibuka pada tanggal 18 Agustus 2018. Suatu angka yang menarik karena mengandung angka kembar 18-8-18, yang semoga membawa keberuntungan terutama terhadap prestasi olahraga (semoga bisa menyamai prestasi pada AG IV di Jakarta pada tahun 1962 yang lalu), serta bisa meningkatkan industri pariwisata di Indonesia. Oleh karena itu, pada acara pembukaan nanti di Stadion Utama Gelora Bung Karno (SU GBK) akan ditampilkan konsep keindahan alam dan keberagaman budaya asli Indonesia. Konon, Gubernur DKI Jakarta dan Gubernur Sumatera Selatan menyatakan telah siap untuk menjadi tuan rumah yang baik karena semua prasarana/venue olahraga telah selesai/siap selesai pada waktunya untuk digunakan.. Mungkin ini semua ada benarnya, tetapi menurut pengamatan penulis, kota penyelenggaranya banyak yang belum siap, khususnya untuk DKI Jakarta. Trotoar di Pal Merah dekat komplek perkantoran Kompas misalnya, banyak yang masih berupa nahtu (tanah dan batu) yang didak nyaman bagi para pejalan kaki. Juga di Pejambon seberang Stasiun Gambir, Lapangan Banteng dan beberapa lokasi strategis banyak yang belum rampung dan belum rapi. Takutnya nanti dikerjakan asal jadi dan kurang bermutu karena hasil dari perilaku kejar tayang. Apa nanti kata dunia, pada hal DKI Jakarta dipimpin oleh Gubernur dan Wakil Gubernur yang kebetulan pernah belajar bertahun-tahun di Amerika Serikat. Sandainya benar-benar merupakan sosok yang ahli pembelajar, pasti dalam waktu yang singkat bisa menerapkan etos kerja dan mutu hasil kerja seperti di lingkungan tempat mereka menimba ilmu di masa lalu, ketika mereka masih pemuda-mahasiswa yang tentunya masih sangat enerjik dan penuh idealism. Belum lagi masalah sampah. Walaupun Gubernur Anies Baswedan pernah memberikan contoh dengan blusukan memunguti sampah, tetapi nyatanya rakyat dan masyarakatnya sama sekali tidak peduli, dan tidak berhasil menciptakan budaya sadar sampah bagi masyarakatnya. Sampah ada di mana-mana, jorok dan tidak elok dipandang mata. Maka tidak heran, kalau di Jakarta kita jarang melihat turis asing berkeliaran di jalanan seperti yang kita lihat di Singapura atau Kualalumpur atau Bangkok sesuai pengalaman langsung penulis ketika berkunjung ke tiga kota tersebut beberapa waktu yang lalu. Waktunya mungkin masih belum terlambat. Negeri gen kuning saja (Korea Selatan dan Tiongkok) mempersiapkan dalam waktu dua tahun untuk mendidik rakyatnya agar menjadi tuan rumah yang ramah dan sadar lingkungan bersih. Penulis mengusulkan, agar dalam waktu yang singkat ini diterapkan “Padat Karya Tunai Pasukan Oranye” seperti halnya “Padat Karya Tunai Pertanian ” yang sudah diterapkan dengan baik dan berhasil meningkatkan pendapatan petani di berbagai tempat di tanah air. Pasukan Oranye tersebut sebaiknya direkrut dari para pasukan oranye (petugas kebersihan) yang sudah ada ditambah dengan para pemulung dan diawasi oleh Satpol PP/Anggota TNI dan POLRI yang sudah mencanangkan dan bertekad siap menyukseskan serta mengamankan Asian Games 2018. Dalam hal ini Satpol PP/Anggota TNI/POLRI khusus bertugas mengawasi perorangan dan masyarakat pembuang sampah sembarangan, menangkap dan menghukum sesuai PERDA yang berlaku. Masak ada Peraturan Daerah kok seperti tidak ada manfaatnya, akibatnya ibukota negara kok jorok, kumuh dan memalukan. Sehingga benar kata putri penulis yang pernah mengikuti kursus Bahasa Inggris di LIA. Konon ada native speaker yang ketika ditanya apa kesannya tentang Indonesia. Dikiranya si cewek bule itu akan bicara tentang negeri yang indah dan ramah seperti yang selama ini sering kita gembar-gemborkan; tetapi ternyata dia bilang dengan nada mengejek, bahwa Indonesia adalah “negeri keranjang/tong sampah terbesar di dunia, karena semua orang membuang sampah seenaknya tanpa merasa bersalah apalagi berdosa”. Pada hal selalu terdengar dakwah yang menyatakan :”Kebersihan adalah merupakan setengah daripada iman”. Agaknya, perlu pak Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta beserta jajarannya selalu rajin blusukan untuk membangun masyarakat yang beradab terutama dalam hal mengelola sampah. Dan metode penanggulangan sampah seperti yang penulis usulkan tersebut bisa diterapkan di seluruh Indonesia dalam rangka membangun mutu SDM yang dimulai dari sampah, yang sekaligus dalam rangka meningkatkan industri pariwisata karena lingkungan nan bersih dan nyaman. *****

Jumat, 24 Agustus 2012

nasib monumen pembebasan irian barat

Salah satu peninggalan Presiden I RI Soekarno adalah Monumen Pembebasan Irian Barat yang terdapat di Lapangan Banteng dan diresmikan pada tanggal 18 Agustus 1963.  Monumen itu dibangun dalam rangka memperingati kembalinya Irian Barat kepangkuan Ibu Pertiwi setelah melalui perjuangan yang panjang.
Wartawan kawakan Rosihan Anwar (alm), menyebut bahwa kembalinya Irian Barat ke pangkuan Ibu Pertiwi adalah berkat perjuangan Bung Karno yang konsisten dari awal sampai berhasil dengan mencanangkan Tri Komando Rakyat (Trikora) yang dikomandokan di Jogjakarta pada tanggal 19 desember 1961.
Ketika Irian Barat resmi diserahkan ke pangkuan RI oleh PBB pada tanggal 1 Mei 1963, banyak perubahan yang dilakukan oleh  Pemerintah RI yang sah pada waktu itu. Sebagai contoh,         ibu kota Irian Barat yang pada masa kekuasaan Belanda bernama Hollandia,sempat diubah menjadi Kota Baru, lalu diubah lagi menjadi Sukarnapura sebagai penghormatan atas perjuangan Bung Karno mengutuhkan wilayah Republik Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Demikian juga puncak tertinggi di Irian Barat dinamakan Puncak Sukarno.
Tetapi ketika Suharto berkuasa,semua itu diganti; mungkin dalam rangka desukarnoisasi yang dilakukan secara sistematis selama rezim ORBA tersebut. Sukarnapura kemudian diubah menjadi Jayapura, sementara Puncak Sukarno juga diubah menjadi Puncak Jaya Wijaya. Bukan itu saja, kekayaan alam (pertambangan dan hutan)  yang terdapat di Irian Barat hanya menjadi jarahan PMA (Penanaman Modal  Asing) selama rezim ORBA berkuasa sampai sekarang, sementara rakyat Papua sebagian besar masih terbelakang hingga saat ini.
Yang memprihatinkan lagi, monumen pembebasan Irian Barat yang dulu tentunya dibuat dengan bahan yang mahal dan mutunya patut mendapat pujian, sekarang rusak parah. Monumen yang  dulunya  penuh dengan pagar dan pintu dari bahan stainless steel, sudah banyak yang  hilang. Lampu – lampunya di setiap sudut sudah hilang semua dan tidak  terawat. Menurut hemat penulis yang telah masuk Jakarta pada tahun 1976, kerusakan terjadi setelah kepindahan Terminal Lapangan Banteng dan setelah kawasan itu diubah menjadi tempat pameran tetap tahunan flora dan fauna. Lalu,siapa yang harus bertanggung jawab terhadap monumen yang seharusnya bisa menjadi salah satu ikon ibukota RI selain Monas itu?. Gubernur DKI Jakarta,  Menteri Pariwisata & Ekonomi Kreatif, Menteri Pendidikan & Kebudayaan, Sekretariat Negara atau siapa yang harus menjaga kekayaan seni , budaya, dan karya intelektual  yang bernilai sejarah itu?.
Oleh karena itu jangan heran apabila saat ini Papua terus bergejolak. Salah satu sebabnya barangkali   mungkin karena generasi penerus telah lalai dan menyalahgunakan kekuasaan yang sudah disandangnya. Wahai bangsa  Indonesia  terutama yang menjadi pemimpin, sadar dan amanahlah sebagai generasi penerus yang mewarisi pusaka dari para pendahulu, jangan sampai kita mendapat predikat hanya pandai merusaknya!. ****