Entri yang Diunggulkan

GENERASI PENDOBRAK JILID III

 Harian Rakyat Merdeka terbitan 20 April  2010,memuat artikel dengan judul “Bodoh Permanen” yang ditulis oleh Arif Gunawan. Tulisan tersebut...

Tampilkan postingan dengan label sampah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label sampah. Tampilkan semua postingan

Kamis, 07 April 2022

LALER IJO PINDAH KE KOTA

 

 

Komplek Perumahan Jatikramat Indah I Bekasi, tiba-tiba membuat kebijakan baru. Tertib sampah. Ketua Rukun Warga (RW)-nya mengeluarkan edaran. Semua bak sampah yang dibuat warga di luar pagar rumah, harus tertutup rapat. Tujuannya, agar tidak dimasuki tikus atau diodol-odol anjing atau kucing, dan diusahakan tidak bisa kemasukan air hujan yang bisa menimbulkan bau busuk, Juga menaikkan iuran sampah dan keamanan karena pengambilan sampah akan ditingkatkan menjadi dua kali seminggu. Sebelumnya, hanya sekali diambil dalam seminggu, sehingga sampah sering menumpuk dan kondisi komplek menjadi jorok.

Karena kebijakan itu, komplek perumahan kemudian menjadi bersih. Ketua RW dan jajarannya aktif mengontrol di setiap rumah apakah kebijakannya sudah ditaati warga atau masih ada yang membandel dan memandang remeh. Anjing, kucing dan tikus menjadi gelisah karena tidak bisa lagi mengorek-ngorek sampah di kawasan komplek. Tetapi anjing dan kucing masih bisa diberi makan oleh pemilik atau majikannya. Tikus juga masih banyak akalnya. Yang paling menderita adalah lalat. Biasanya mereka leluasa menikmati sisa makanan dan bertelur di sampah-sampah yang jorok dan kemudian berkembang biak. Sekarang mereka kelaparan dan banyak yang mati dengan sendirinya atau pindah ke daerah lain yang masih jorok.

                                                                                 *****

Adalah seekor lalat hijau jantan yang bernama Laler Ijo yang sehari-hari biasa mangkal di tempat sampah yang ada di halaman rumah Uci. Sekarang, bak sampah itu tertutup rapat. Sehingga beberapa hari ini dia sudah mulai kelaparan. Biasanya, setiap pagi, Laler Ijo itu selalu mengamati Uci ketika berangkat sekolah diantar Bapaknya yang sekalian pergi ke kantor. Laler Ijo mengamati kebiasaan itu sambil menikmati makanan di bak sampah yang selalu melimpah. Oleh karena itu dia timbul pikiran:” Alangkah baiknya kalau aku ikut Uci dan turun di sekolahnya atau di kantor Bapaknya Uci. Aku harus cepat-cepat pindah dari komplek ini”. Sepanjang siang dan malam, Laler Ijo memikirkan bagaimana caranya merealisir siasatnya untuk menyelamatkan hidup. Dia tetap bertahan di halaman rumah Uci sambil mencari dan menikmati makanan seadanya.

Kesempatan pun tiba. Ketika pintu mobil yang dipakai mengantar Uci terbuka, Laler Ijo kemudian terbang menyelinap ke dalam mobil. Dia berusaha sesenyap mungkin agar tidak ketahuan. Selama dalam perjalanan, Laler Ijo berpikir bagaimana nanti dia harus keluar dari mobil. Tetapi ketika sampai di sekolah Uci, dia belum mau keluar karena belum memcium bau masakan atau makanan. Pekarangan sekolah yang bersih memang tidak menyebarkan aroma yang mampu mengundang lalat dan sebangsanya. “Wah, di sini rupanya juga tidak ada makananku, ya!”, pikir Laler Ijo dalam hati. Namun, ketika sampai di kantor Bapaknya Uci, Laler Ijo dengan tenaga yang sudah agak loyo berusaha terbang keluar. Bau sampah dan kuliner membangkitkan selera dan tenaganya lalu dia melesat keluar ketika sopir dan Bapaknya Uci membuka pintu mobil. Dengan suka cita Laler Ijo terbang menuju sumber bau. Sambil dia berkhayal:” Wah, makanan di sini pasti sangat lezat dan melimpah, sehingga aku akan  menjadi gemuk kembali!”.

Ketika melihat bak sampah yang didatangi pemulung dan terlihat lalat-lalat berterbangan, langsung Laler Ijo meluncur ingin bergabung. Tetapi betapa kagetnya Laler Ijo, karena begitu mendekat, langsung diserbu lalat lain di lokasi itu. “Hee…, ada pendatang baru, siapa itu? Tampaknya dia kurus banget!”, kata seekor lalat sambil berteriak. “Iya, he! Dari mana kau, bukan penghuni kawasan sini, kan?”, tanya yang lain. Laler Ijo dikejar dan disenggol-senggol serta diserang beramai-ramai. Agaknya, mereka tidak suka pendatang baru yang tidak dikenal, khawatir keamanan dan ketenteramannya terganggu. Karena ketakutan, ia lari dan menyendiri di tempat yang aman sambil merenungi nasibnya,

Tak disangka-sangka, tiba-tiba dalam kesedihan dan kesendiriannya, lalat betina hijau yang bernama Lalerina terbang mendekat ke Laler Ijo. Kagetlah Laler Ijo dan sempat mau menghindar. Tetapi Lalerina mengejar dan berteriak. “Heei.., kamu jangan takut dan jangan lari! Aku mau menemanimu!”, teriak Lalerina. Laler Ijo lalu diam, dan sambil memperhatikan dengan seksama, dia berujar :”Namaku Laler Ijo, aku dari kampung Jatikramat Bekasi. Aku ingin bergabung dengan kalian, boleh kan?  “Ya, ayo, sama aku, nanti kuperkenalkan pada teman-teman!”, kata Lalerina dengan gaya agak centil. Dengan agak khawatir, Laler Ijo bersama Lalerina terbang menuju tempat sampah yang banyak sisa-sisa makanan yang lezat-lezat.  “Hee..teman-teman, kenalkan ini teman baruku, namanya Laler Ijo”, kata Lalerina dengan ceria.  “Lalerina, itu jadi pacar barumu, ya?”, kata teman-temannya yang tadinya memusuhi, kemudian berubah menyambut dengan ramah.

Jadilah Laler Ijo dan Lalerina berkasih mesra dan selalu pergi bersama-sama. “Dari Bekasi ke Jakarta kan jauh, kok kamu bisa terbang sejauh itu?”, tanya Lalerina dengan penuh keheranan. “Oh, kamu cerdas ya!”, komentar Lalerina setelah mendengar penjelasan Laler Ijo bahwa dia bisa ke Jakarta karena ikut mobil bapaknya Uci yang pergi ke kantor. Caraku….,katanya penuh bangga, dengan menyelinap dan menyelusup ke dalam mobilnya sewaktu pintu mobil terbuka pada saat mau berangkat. “Lalu, kenapa kenekadan itu kamu lakukan? Kamu berkelahi? Atau barangkali kamu rebutan pacar, dan kamu kalah lalu lari?”, tanya Lalerina bertubi-tubi seolah menyelidik. “Eh, bukan begitu! Dengarkan kisah perjalananku dengan baik, aku mau cerita!”, sergah si Laler Ijo. Tadinya aku hidup tenteram dan damai bersama teman-teman  di Komplek Perumahan Jatikramat. Makanan berlimpah dan aneka ragam. Maklum, di lingkungan masyarakat yang jorok dan membuang sampah sembarangan, membuat hidup kita nyaman. Tetapi mala petaka kemudian datang. Pimpinan komplek perumahan mencanangkan sadar kebersihan perumahan dan lingkungan. Kerjabakti secara gotong-royong bulanan seluruh warga digalakkan. Tempat sampah dianjurkan tertutup rapat sehingga anjing, kucing bahkan tikus  pun yang biasanya mengudak-udak tempat sampah menjadi gelimpungan. Ditambah lagi dengan penyemprotan obat anti serangga secara rutin, membuat pemusnahan massal terhadap nyamuk, kecoak, semut, lalat teman kita, dan berbagai jenis serangga lainnya. Komplek Jatikramat Indah I jadi indah dan bersih. Karena malu dan merasa terhina, apalagi takut terbasmi, maka aku berusaha lari ke tempat lain. Dapatlah siasat seperti yang sudah kuceritakan tadi. Ngedompleng mobil bapaknya Uci yang pergi ke kantor sambil mengantar sekolah, maka jadinya, ketemulah kita! Tetapi sebenarnya, aku sempat khawatir dan was-was lho. Karena ketika melesat terbang ke dalam mobil, sopirnya Uci sempat mendengar dengung kepakan sayapku. Syukurlah, Pak Sopir itu tidak berusaha mencariku, dan selamatlah aku sehingga bisa menikmati kota Jakarta bersamamu!”, jelas Laler Ijo dengan panjang-lebar sambil menerawang kembali kisah perjalanannya ketika ingin bertahan hidup.

Lalerina yang menyimak dengan seksama di sampingnya kemudian menambahkan berkomentar. “Iya, memang. Saya pernah mendengar turis asing ngomongin negeri tempat tinggal kita ini. Mereka bilang, negeri ini merupakan Bak Sampah terbesar di dunia, karena semua warganya membuang sampah sembarangan dan seenaknya. Apa saja, di mana saja dan kapan saja, mereka buang begitu saja”, cerita si Lalerina. “Memang kenyataan. Betul sekali kata orang asing itu! Mungkin mereka tidak ingin balik lagi ke negeri kita ini, ya? Karena  nyatanya, turis asing jarang berkeliaran di negeri kita ini. Turis sangat kurang, yang banyak malah lalat bangsa kita, ya!”, tambah si Laler Ijo sambil terkekeh-kekeh, karena sadar, kalau lingkungan bersih, justru dia dan sebangsanya malah yang akan punah. “Tetapi kayaknya, Tuhan  menciptakan kita ini untuk ujian bagi manusia, apakah mampu hidup bersih dan menjaga lingkungannya dengan baik. Bersama air ciptaanNya, dan sampah yang berserakan dan berjibun di mana-mana, diturunkanlah banjir yang mestinya sebagai batu ujian juga”, jelas Lalerina dengan gaya berkhotbah. “Dan lucunya, mereka tidak sadar juga, karena nyatanya sampah masih berserakan di segala penjuru dan jorok. Tetapi, kan, karena sampah itulah, Tuhan telah mempertemukan kita, ya Lalerina!”, ujar Laler Ijo sambi memeluk Lalerina dengan mesra seolah tidak ingin berpisah. “Kalau begitu, kita berharap lingkungan menjadi bersih atau tetap jorok, ya? Kalau menjadi bersih, kita semua barangkali akan punah, kan?” tanya Lalerina seperti khawatir dan ketakutan. “Lingkungan bersih maupun tetap jorok, sebenarnya bukan masalah bagi kita berdua! Peluang hidup kita kan terbatas dan singkat!” jelas Laler Ijo. “Tetapi kan kita tidak harus memikirkan diri sendiri? Apakah rela kalau kita kemudian punah dan hanya tinggal nama?” tanya Lalerina agak sedikit emosi dan marah menanggapi celoteh Laler Ijo. “Sebenarnya, kita ini tidak perlu takut punah! Juga tidak perlu takut tinggal nama! Bukankah dinosaurus yang raksasa itu juga punah dan tinggal sebagai legenda, ya? Biarlah kelak seluruh muka bumi yang bersih, membahas dan membicarakan lalat seperti yang dialami dinosaurus”,  ujar Laler Ijo dengan nada bergurau..

 Laler Ijo dan Lalerina selama dua hari ini asyik memadu kasih dan sempat Lalerina bertelur di beberapa tempat. Sambil menikmati keindahan kota, dua sejoli lalat itu sengaja bertengger di tempat sampah yang berseberangan dengan restoran terbuka sambil menikmati musik yang sayup-sayup terdengar. Tetapi petaka memang tak terelakkan, karena tiba-tiba petugas kebersihan melakukan penyemprotan obat anti serangga ke berbagai penjuru sekitar komplek perkantoran dan kuliner. Laler Ijo dan Lalerina berusaha lari menjauh menyelamatkan diri dengan harapan masih bisa menyambung hidupnya. *****

 

Rabu, 06 Oktober 2021

BANK SAMPAH

(Opini saya dalam bentuk Cerpen telah dimuat di majalah clapeyronmedia yang diterbitkan oleh Fakultas Teknik Sipil Universitas Gajah Mada, sebagai sumbang saran penanganan sampah di tanah air.)

Sampah adalah masalah yang serius di negeri ini sepanjang masa. Belum ada seorang pemimpin dalam strata apa pun yang bisa menangani sampah dengan baik dan menjadi panutan seluruh rakyat dengan kesadaran yang terpuji. Setiap kali ada hujan deras dalam waktu lama, banjir yang timbul pasti selalu disertai gerombolan sampah. Sehingga membuktikan, sampah yang dibuang sembarangan adalah merupakan salah satu penyebabnya.       

Di lingkungan Rukun Warga 03 Jatikramat Bekasi, mungkin hanya pak Adji yang tidak mempunyai bak sampah di depan rumahnya. Dia sangat risih terhadap tetangganya yang rata-rata punya bak sampah yang dibuat dari tembok dengan ukuran 1 x 1 x 1 meter kubik. Tempat sampah yang terbuka pada bagian atas atau terbuka di bagian depannya, menebarkan bau tidak sedap apalagi di waktu musim hujan, dan pastinya sangat merusak pemandangan. Belum lagi kalau sampahnya diodol-odol anjing atau kucing dan diewer-ewer di sepanjang jalan. Pak Adji punya cara yang manusiawi, sopan dan tetap menjaga kebersihan dengan penuh tanggungjawab. Dia tanamkan cara yang digariskan kepada keluarganya, bahkan sering dengan amarah. Khusus mengenai bak sampah, pernah terjadi pertengkaran dalam rumah tangga yang nyaris hebat. Pernah pak Adji naik pitam, karena sepulang bekerja, mendapati isterinya menyuruh tukang bangunan membuat bak sampah di depan menyatu dengan pagar di bagian sebelah kanan. Dia marah kepada isterinya dan menyuruh tukang bangunan untuk segera membongkarnya. “Kan kamu pernah marah-marah mengomeli tetangga. Gara-gara hujan deras dan agak lama, lalu banjir dan sampah serta belatung berhamburan sampai teras rumah. Cara kita sekarang inilah yang sesuai hadis Rasulullah, bahwa kebersihan itu setengah daripada iman. Ikuti cara yang baik yang diatur suami!”, kata pak Adji dengan nada sangat marah disaksikan ketiga anaknya dan tukang bangunan yang mengerjakan pembuatan bak sampah itu.

       Cara menanggulangi dan mengelola sampah yang diterapkan pak Adji adalah menampung sampah di keranjang-keranjang sampah di setiap ruangan dalam rumah dengan kantong plastik. Kalau sudah penuh kemudian dikumpulkan di tong plastik yang lebih besar dan ditaruh di teras rumah atau garasi. Sampah dalam kantong-kantong plastik itu dikeluarkan ketika truck sampah datang mengambil pada hari tertentu seminggu sekali. Dengan cara itu maka depan rumah pak Adji akan tampak selalu bersih.

Karena banyaknya kasus sampah terserak di jalanan oleh ulah anjing, kucing dan tikus, Ketua RW 03 suatu saat membuat edaran. Setiap bak sampah diwajibkan supaya dibuatkan tutup dan tetap dapat mudah dibuka oleh petugas pengangkut sampah ketika akan diangkut ke TPA (Tempat Pembuangan Akhir). Rumah pak Adji suatu ketika didatangi Pengurus RW 03, mempertanyakan kok tidak kelihatan ada bak sampah. “Bagaimana pengelolaan sampahnya, Pak?” tanya Ketua RW 03 dengan disaksikan pengurus yang lain. Dengan panjang-lebar pak Adji menjelaskan metode pengelolaan sampah yang diterapkan di rumahnya dengan menunjukkan bukti-bukti pelaksanaannya. Mereka manthuk-manthuk dan manggut-manggut , agaknya bisa memahami dengan baik penjelasan pak Adji.

Suatu ketika, Ketua RW 03 membuat edaran ke seluruh warga. Di tingkat RW 03 akan diadakan Bank Sampah yang diharapkan didukung warga karena disamping dalam rangka menanggulangi masalah sampah, juga menjadikan sampah masih mempunyai nilai ekonomi. Dalam edaran itu disertai daftar jenis sampah yang bisa disetor ke Bank Sampah berikut nilai harga satuannya. Karena keluarga pak Adji termasuk yang produktif dalam menciptakan sampah, maka dia memutuskan untuk ikut serta mensukseskan penyelenggaraan Bank Sampah tersebut. Keluarga pak Adji yang terdiri atas isteri dan ketiga anaknya, disuruh mulai memilah sampah sesuai kelompoknya. Tertib sampah di rumah ini bukan main sulitnya ketika mulai diwacanakan. Berkali-kali pak Adji mengomeli anggota keluarganya. “Siapa yang minum aqua ini? Dimana seharusnya letak bekas botolnya, segera taruh di kelompoknya!”, begitulah antaralain  hardik pak Adji hampir setiap hari untuk mendidik keluarganya agar tertib sampah. Edaran mengenai Bank Sampah itu kebetulan bersamaan dengan pekerjaan renovasi rumah pak Adji. Atap rumahnya yang banyak dimakan rayap sejak lama, dibongkar total diganti dengan baja ringan. Bongkaran kayu dan potongan besi banyak berserakan di sana-sini. Sambil mengawasi para tukang, pak Adji pelan-pelan mencabuti paku dan mengumpulkan potongan-potongan besi dan dimasukkan ke dalam karung-karung plastik bekas beras. Dengan membayar jasa abang becak, sampah besi, plastik, kardus, kantong semen dan kertas, termasuk kertas koran disetor ke Bank Sampah. Sebagai peserta, pak Adji mendaftarkan nama anaknya yang paling bungsu yang waktu itu sedang duduk di kelas dua Sekolah Menengah Atas (SMA). Dengan dibantu abang becak langganannya, sampah yang sudah terpilah sesuai kelompoknya disetor secara rutin setiap bulan ke Bank Sampah yang lokasi penimbangannya di kawasan pekarangan Graha RW 03 yang tidak begitu jauh dari rumah pak Adji.

Sampai beberapa bulan, keluarga pak Adji masih belum paham apa itu yang namanya Bank Sampah. Isteri dan anak-anak pak Adji masih terheran-heran dengan perintahnya mengelompokkan sampah dengan tertib dan sering disertai dengan marah-marah. Pak Adji tetap konsisten kepada langkah yang diambil. Merapikan dan memilah sampah-sampah di rumah adalah menjadi hobi  dan kesibukan yang lain sebagai hiburan di usia pensiunnya. Yang selalu ditekankan kepada keluarganya berulang-ulang, adalah :”Kebersihan itu setengah daripada iman. Kita selalu menghasilkan sampah yang aneka ragam dan banyak jumlahnya. Sampah ternyata masih mempunyai nilai ekonomi, tetapi kita tidak mencari penghidupan dari sampah.  Ingat, hanya semata-mata dalam rangka tertib sampah di rumah dan menjaga lingkungan!”.                          

       Suatu hari, anak pak Adji yang bungsu merengek minta dibelikan tiket nonton sepak bola di Asian Games 2018 yang akan bertanding di Stadion Wibawamukti Bekasi. Dia ini gadis, tetapi senang menonton sepak bola. Apalagi, seperti remaja lainnya akhir-akhir ini banyak menggandrungi segala sesuatu yang berbau Korea Selatan. Musik, makanan, mode rambut dan pakaian, film dan sinetron, bahkan untuk barang elektronik banyak yang mengagumi produk Korea Selatan. Pak Adji lalu pasang siasat. Momentum demam Korea Selatan bisa dimanfaatkan untuk memulai tertib sampah yang bersungguh-sungguh.  “Jalankan tertib sampah seperti perintah, nanti akan Bapak belikan tiket nonton sepak bola kelas satu!”, tegas pak Adji yang disambut dengan teriakan serentak ketiga anak perempuannya. “Benar ini ya, Pak ?”, tanya mereka ingin meyakinkan dan memastikan bapaknya tidak akan berbohong.

Ketika penimbangan yang sudah kesekian kalinya, pak Adji mengajak serta ketiga putrinya. Kebetulan Ketua RW 03 ada di tempat penimbangan itu bersama pengurus yang lain dan sejumlah warga yang juga peserta Bank Sampah. Ketika menyambut kedatangan pak Adji, Ketua RW 03 berucap :”Nah, beginilah seharusnya. Seluruh warga mestinya meniru pak Adji dalam menyukseskan program pemerintah untuk memerangi sampah”. Sambil didengar juga oleh ketiga putri pak Adji, Ketua RW 03 mengungkap bahwa warga yang lain  banyak yang malu-malu. Tetapi Pak Adji mempunyai pendapat lain. Dia mencoba memberikan saran kepada Pengurus RW 03. “Bukannya malu-malu, Pak. Kelihatannya banyak orang yang mengalami kesulitan untuk membawa sampahnya kemari. Hanya yang punya kendaraan, sepertinya yang rajin menyetor sampahnya secara rutin. Bagaimana kalau seandainya Pengurus RW 03  mengusahakan mobil kecil pengangkut sampah atau sejenis becak-motor, untuk menjemput sampah ke seluruh warga. Tentunya, warga sudah diajari cara memilahnya!”, saran pak Adji dengan penuh semangat.

Setelah proses penimbangan selesai, pak Adji mengajak ketiga putrinya menemui bagian administrasi, menanyakan jumlah tabungan yang sudah terkumpul selama ini. Ketiga anak pak Adji kaget, hampir tidak percaya. Karena ternyata besar tabungannya cukup banyak dan bisa diambil untuk membeli tiket sepak bola kelas satu. Mereka pulang dengan sukacita . Lapor kepada ibunya, bahwa sampah yang akan membayar tiket menonton sepak bola ketika Korea Selatan bertanding di Stadion Wibawamukti Bekasi. Sambil mengibas-kibaskan uang yang baru saja ditarik dari Bank Sampah, sejak itu mereka berjanji akan menjalankan tertib sampah di rumah dengan bersungguh-sungguh.

       Mereka pergi bertiga ke Stadion Wibawamukti untuk menonton pertandingan sepak bola antara Korea Selatan melawan Uni Emirat Arab. Sengaja berangkat lebih awal, takut kalau macet dan ramai penonton karena di kawasan Bekasi banyak perusahaan milik pengusaha Korea Selatan. Tetapi juga karena berharap bisa melihat dari dekat para pemain sepak bola Korea Selatan. Mereka juga ingin sekali bisa mengambil foto dengan para pemain sepak bola Korea Selatan.

Pulang sudah larut malam karena mereka naik grab yang susah memesannya. Pak Adji dan isterinya walaupun memantau setiap jam melalui gawai, tetapi tetap saja penuh kekhawatiran dan sabar menunggu sampai larut malam. Sesampai di rumah, mereka meluapkan kegembiraannya yang bukan alang-kepalang. Menunjukkan foto-foto karena bisa berhasil merangsek ketika bus yang membawa para pemain Korea Selatan tiba di stadion. Ketika masing-masing menunjukkan tas ransel bawaannya yang kelihatan berisi penuh, dikiranya bawa oleh-oleh, ternyata mereka hanya membawa pulang sampah. Kertas, plastik dan botol bekas minuman yang sudah menjadi sampah mereka bawa pulang semua. “Lho, kamu memunguti sampah di stadion, ya?”, tanya ibunya keheranan. “Tidak, Bu, ini sampah pribadi selama jajan di stadion, kita amankan dan rawat baik-baik, tidak membuang sembarangan  seperti orang-orang lain yang kurang beradab. Kalau boleh sih, wah banyak sekali sampah di stadion. Apalagi para supporter Korea Selatan sangat tertib sampah. Semua sampah mereka dikumpulkan di plastik-plastik besar yang agaknya sudah dipersiapkan sebelumnya. Tapi ini sampah sendiri lho Bu, bukan hasil memungut!”, jelas si bungsu kegirangan karena keinginannya terkabul. “Berarti, satu pelajaran yang kalian dapat dari menonton sepak bola ini, bahwa orang Korea Selatan itu, siapa saja, kapan saja, di mana saja dan dalam suasana apapun, mereka selalu menerapkan tertib sampah dan berbudaya bersih. Kalian harus mencontoh dan mengikuti adat yang baik itu dan kalau bisa tularkan juga kepada orang lain. Ajaran kita juga menyebut, bahwa kebersihan itu setengah daripada iman, dan anjuran menabunglah sedikit demi sedikit. Menabunglah dari sampah yang kalian hasilkan dengan telaten dan rajin. Dan patut kalian renungkan, ternyata bangsa yang mampu menjaga kebersihan, bisa menjadi bangsa yang maju dalam segala hal !”, celetuk pak Adji bagaikan menyampaikan khutbah di tengah malam. Sebelum pergi mandi dan bebersih diri, mereka sempatkan merapikan sampah yang mereka bawa sesuai kelompoknya. “Wah, mereka agaknya sudah semakin sadar tertib sampah dan mendukung keberadaan Bank Sampah, Bu”, bisik pak Adji kepada isterinya sambil menahan kantuk karena hari sudah larut malam.

Dan ternyata, memang seluruh anggota keluarga pak Adji sejak saat itu mulai rajin melakukan tertib sampah dengan penuh kebersamaan, sukacita, kompak dan bersungguh-sungguh.*****

 

Bekasi, Juli 2021

Senin, 16 Agustus 2021

negeri sampah

 

Ada sebuah negeri antah berantah

Dikenal dengan Negeri Sampah

Karena di mana-mana sampah melimpah

Tumpah ruah dan mbrarah di segala arah


 Di daratan, laut dan sungai, serta di udara

 Berhamburan sampah aneka rupa

 Sampai yang tersangkut di kabel-kabel

 Bangkai layang-layang nampak berjubel


Di negeri banyak sampah

Manusianya buang sampah tanpa jengah

Asal lempar di segala tempat tanpa adab

Banjir di mana-mana karena sampah jadi penyebab

                              

Di negeri banyak sampah

Manusianya berebut pangkat dan jabatan dengan serakah

Tetapi tidak paham membuat negeri jadi indah

Karena tidak mengerti bagaimana cara menangani sampah


Di negeri banyak sampah berserakan

Semua daerahnya pernah punya semboyan

Ada yang bunyinya “ Tegar Beriman “

Dan aneka kata semboyan yang dipajang di jalan-jalan

 

Nyatanya, semboyan tinggal semboyan

Walau terucap pada setiap acara dan keramaian

Namun tidak ada yang mampu mengubah keadaan

Karena semboyan dicipta hanya asal-asalan


Ada lagi yang namanya penghargaan Adipura

Diplesetkan menjadi “ajang dusta, intrik dan pura-pura”

Karena yang pernah dapat, tetap saja kumuh dan tidak tertata

Terbukti, Adipura cuma ajang formalitas dan hura-hura

                                

Itulah hikayat sebuah Negeri Sampah

Yang sebetulnya gemah ripah dan kaya raya

Karena kekayaan alamnya yang melimpah

Tetapi merana karena koruptor dan penjarahnya merajalela


Di negeri bersimbah sampah

Banyak menghasilkan pemimpin kelas sampah

Mereka berebut kekuasaan dan jabatan dengan berbagai cara

Pada hal setelah memperoleh, karya apa yang dihasilkan, coba?*****


Bekasi, Agustus 2021

 

Rabu, 13 Februari 2019

Indonesia Juga Darurat Sampah

Sugih Arto yang menjabat Jaksa Agung pada masa awal rezim Orde Baru, pernah menulis surat pembaca di sebuah harian ibukota. Dia mengungkap bahwa suatu ketika dipanggil Presiden Sukarno yang memberi tahu bahwa dia akan diangkat sebagai Gubernur DKI tetapi dengan tugas utama mengatasi sampah yang sudah mulai memprihatinkan kondisi ibukota saat itu. Sugih Arto menggerutu, masak seorang gurbenur kok tugasnya mengurusi sampah. Di kemudian hari, yang diangkat sebagai Gubernur DKI Jakarta ternyata Ali Sadikin. Disini terbukti bahwa hanya Sukarno dan Jokowi, Presiden RI yang sangat tanggap terhadap masalah sampah. Presiden Jokowi bahkan pernah menyampaikan masalah ini dalam suatu sidang kabinet. Juga di Festival Khatulistiwa di Pontianak, Presiden Jokowi baru-baru ini menyatakan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang mempunyai tradisi air, oleh karena itu jangan kotori sungai-sungai kita. Indonesia memang benar-benar mengalami darurat sampah, di samping darurat korupsi dan darurat narkoba sebagaimana yang sudah terlebih dahulu dinyatakan oleh Presiden Jokowi. Cobalah mari kita perhatikan, sampah ada dimana-mana. Di darat, di laut dan sungai, bahkan di udara pun banyak sampah. Bangkai layang-layang yang nyangkut dikabel listrik dan kabel telpon adalah merupakan sampah udara yang hanya terdapat di negeri yang kurang beradab dan kurang mengerti tentang pentingnya hidup bersih dan rapi. Bahkan terkesan banyak orang yang kurang kerjaan di negeri ini, diperkotaan kok main layang-layang. Berbagai cara telah dilakukan untuk menanggulangi sampah. Peraturan Daerah (Perda) dimana-mana telah dibuat dengan berbagai ancaman sanksinya, tetapi tidak membawa hasil karena tidak jelas siapa yang harus mengawasi dan siapa yang berhak mewasiti para pelanggar Perda itu. Beberapa elemen masyarakat termasuk unsur TNI/POLRI secara dramatik sering show bergotong-royong membersihkan sampah di sungai dan ditempat umum. Tetapi sesudah itu sampah menumpuk lagi diberbagai sudut. Kalau begini, mana ada turis asing yang mau datang kemari. Pada hal kita ingin meningkatkan jumlah wisman itu ke tanah air kita. Kecuali barangkali hanya orang-orang yang ingin menikmati kejorokan suatu bangsa saja yang mau datang kemari. Anak saya yang mengikuti les bahasa Inggris di LIA pernah bercerita. Ada seorang native speaker yang ketika diminta kesan-kesannya tentang Indonesia, secara mengejutkan dia menyebut Indonesia sebagai tempat/tong sampah terbesar di dunia karena semua penduduknya membuang sampah sembarangan dan seenaknya. Tentunya kita semua patut malu mendengar kesan negatif orang asing itu. Lalu bagaimanakah cara kita mengatasi darurat sampah yang sudah kronis ini? Sebenarnya, ada teladan dari Korea Selatan yang dapat kita adopsi. Ini pernah diterapkan ketika Korsel akan menjadi tuan rumah Olympiade pada tahun 1988 yang lalu. Dua tahun menjelang pelaksanaan pesta olahraga internasional itu, pemerintah Korsel mengerahkan militer untuk mengawasi para pembuang sampah terutama yang mengotori sungai besar di Seoul. Sungai itu kelak dijadikan arena pembukaan Olympiade dengan mengetengahkan arak-arakan tentara kerajaan Korsel masa lampau yang menyusuri sungai besar di Seoul. Hukuman yang keras dan denda yang diterapkan secara konsisten selama 2 tahun berturut-turut tanpa berkedip dan melibatkan tentara, akhirnya budaya bersih bisa terwujud seperti sekarang ini. Nah, akankah Indonesia meniru jejak Korsel itu dengan memanfaatkan anggota TNI/POLRI pada masa damai ini bertugas memerangi pembuang sampah dan sekaligus menjaga ketertiban di jalan raya? Peran anggota TNI/POLRI atau termasuk SATPOL PP bukannya memunguti sampah seperti dalam acara seremonial yang sering kali kita lihat, melainkan harus bisa mengawasi, menangkap dan menindak para pembuang sampah di manapun, kapanpun dan sekecil apapun termasuk puntung rokok, dan tentu saja termasuk pengawasan terhadap dirinya sendiri. Apalagi Gubernur DKI Jakarta pernah mengusulkan akan memberikan tunjangan tambahan kepada anggota TNI/POLRI yang bertugas di DKI dengan harapan dapat membantu penertiban di Ibukota agar bisa menjadi kota yang bersih, aman, rapi, teratur dan beradab. Dan sejalan dengan usulan Pemda DKI Jakarta tersebut, penulis ingin mengusulkan penerapan Padat Karya Tunai Penanggulangan Sampah (PKTPS) seperti yang sudah dijalankan di sektor pertanian di beberapa daerah. Pelaksana padat karya tersebut adalah para pasukan pembersih sampah (pasukan Oranye) dan para pemulung yang tersebar luas di seluruh tanah-air. Mereka dengan dibantu unsur TNI/POLRI dan Satpol PP mengawasi serta menertibkan para pembuang sampah dan bekerja selama 24 jam secara terus menerus, serta mengajari masyarakat tertib sampah sejak dari rumah dengan memilah jenis sampah berdasarkan warna plastik yang berbeda-beda (empat warna seperti di Singapura dan Jepang). Adanya tata kerja yang sinergi antara Petugas Kebersihan/Pemulung dan unsur TNI/POLRI serta Satpol PP yang mendapatkan tunjangan tambahan, diharapkan akan tertanggulangi masalah darurat sampah yang sudah pada tahap sangat memalukan ini; akan meningkatkatkan daya tarik pariwisata mancanegara karena kondisi lingkungan yang indah, bersih, rapi dan teratur; mengurangi bahaya banjir karena sampah; serta memungkinkan timbulnya kepastian dan peningkatan penghasilan bagi para aktivis penanggulangan sampah (Pasukan Oranye dan Pemulung). Dan memang, inilah yang sangat penting untuk menjadi perhatian para penguasa sebagai Administrator Pemerintahan.*****(Penulis adalah pemerhati masalah sosial dan lingkungan hidup, lulusan S-2 FISIP Universitas Indonesia) - - tulisan ini dimuat di koran Sindo tanggal 26 Desember 2018 dengan judul yang sama.

Kamis, 27 September 2018

Kesiapan Penyelenggaraan Asian Games 2018 dan Sampah

(artikel ini pernah dikirim ke media massa cetak pada akhir Juli 2018, tetapi tidak ada yang memuat) Sebentar lagi bangsa Indonesia menjadi tuan rumah perhelatan akbar Asian Games 2018 yang akan dibuka pada tanggal 18 Agustus 2018. Suatu angka yang menarik karena mengandung angka kembar 18-8-18, yang semoga membawa keberuntungan terutama terhadap prestasi olahraga (semoga bisa menyamai prestasi pada AG IV di Jakarta pada tahun 1962 yang lalu), serta bisa meningkatkan industri pariwisata di Indonesia. Oleh karena itu, pada acara pembukaan nanti di Stadion Utama Gelora Bung Karno (SU GBK) akan ditampilkan konsep keindahan alam dan keberagaman budaya asli Indonesia. Konon, Gubernur DKI Jakarta dan Gubernur Sumatera Selatan menyatakan telah siap untuk menjadi tuan rumah yang baik karena semua prasarana/venue olahraga telah selesai/siap selesai pada waktunya untuk digunakan.. Mungkin ini semua ada benarnya, tetapi menurut pengamatan penulis, kota penyelenggaranya banyak yang belum siap, khususnya untuk DKI Jakarta. Trotoar di Pal Merah dekat komplek perkantoran Kompas misalnya, banyak yang masih berupa nahtu (tanah dan batu) yang didak nyaman bagi para pejalan kaki. Juga di Pejambon seberang Stasiun Gambir, Lapangan Banteng dan beberapa lokasi strategis banyak yang belum rampung dan belum rapi. Takutnya nanti dikerjakan asal jadi dan kurang bermutu karena hasil dari perilaku kejar tayang. Apa nanti kata dunia, pada hal DKI Jakarta dipimpin oleh Gubernur dan Wakil Gubernur yang kebetulan pernah belajar bertahun-tahun di Amerika Serikat. Sandainya benar-benar merupakan sosok yang ahli pembelajar, pasti dalam waktu yang singkat bisa menerapkan etos kerja dan mutu hasil kerja seperti di lingkungan tempat mereka menimba ilmu di masa lalu, ketika mereka masih pemuda-mahasiswa yang tentunya masih sangat enerjik dan penuh idealism. Belum lagi masalah sampah. Walaupun Gubernur Anies Baswedan pernah memberikan contoh dengan blusukan memunguti sampah, tetapi nyatanya rakyat dan masyarakatnya sama sekali tidak peduli, dan tidak berhasil menciptakan budaya sadar sampah bagi masyarakatnya. Sampah ada di mana-mana, jorok dan tidak elok dipandang mata. Maka tidak heran, kalau di Jakarta kita jarang melihat turis asing berkeliaran di jalanan seperti yang kita lihat di Singapura atau Kualalumpur atau Bangkok sesuai pengalaman langsung penulis ketika berkunjung ke tiga kota tersebut beberapa waktu yang lalu. Waktunya mungkin masih belum terlambat. Negeri gen kuning saja (Korea Selatan dan Tiongkok) mempersiapkan dalam waktu dua tahun untuk mendidik rakyatnya agar menjadi tuan rumah yang ramah dan sadar lingkungan bersih. Penulis mengusulkan, agar dalam waktu yang singkat ini diterapkan “Padat Karya Tunai Pasukan Oranye” seperti halnya “Padat Karya Tunai Pertanian ” yang sudah diterapkan dengan baik dan berhasil meningkatkan pendapatan petani di berbagai tempat di tanah air. Pasukan Oranye tersebut sebaiknya direkrut dari para pasukan oranye (petugas kebersihan) yang sudah ada ditambah dengan para pemulung dan diawasi oleh Satpol PP/Anggota TNI dan POLRI yang sudah mencanangkan dan bertekad siap menyukseskan serta mengamankan Asian Games 2018. Dalam hal ini Satpol PP/Anggota TNI/POLRI khusus bertugas mengawasi perorangan dan masyarakat pembuang sampah sembarangan, menangkap dan menghukum sesuai PERDA yang berlaku. Masak ada Peraturan Daerah kok seperti tidak ada manfaatnya, akibatnya ibukota negara kok jorok, kumuh dan memalukan. Sehingga benar kata putri penulis yang pernah mengikuti kursus Bahasa Inggris di LIA. Konon ada native speaker yang ketika ditanya apa kesannya tentang Indonesia. Dikiranya si cewek bule itu akan bicara tentang negeri yang indah dan ramah seperti yang selama ini sering kita gembar-gemborkan; tetapi ternyata dia bilang dengan nada mengejek, bahwa Indonesia adalah “negeri keranjang/tong sampah terbesar di dunia, karena semua orang membuang sampah seenaknya tanpa merasa bersalah apalagi berdosa”. Pada hal selalu terdengar dakwah yang menyatakan :”Kebersihan adalah merupakan setengah daripada iman”. Agaknya, perlu pak Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta beserta jajarannya selalu rajin blusukan untuk membangun masyarakat yang beradab terutama dalam hal mengelola sampah. Dan metode penanggulangan sampah seperti yang penulis usulkan tersebut bisa diterapkan di seluruh Indonesia dalam rangka membangun mutu SDM yang dimulai dari sampah, yang sekaligus dalam rangka meningkatkan industri pariwisata karena lingkungan nan bersih dan nyaman. *****