Entri yang Diunggulkan

GENERASI PENDOBRAK JILID III

 Harian Rakyat Merdeka terbitan 20 April  2010,memuat artikel dengan judul “Bodoh Permanen” yang ditulis oleh Arif Gunawan. Tulisan tersebut...

Tampilkan postingan dengan label Korupsi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Korupsi. Tampilkan semua postingan

Senin, 01 November 2021

INDONESIA BANGKIT MELAWAN KORUPSI?

Artikel ini telah dimuat di majalah Clapeyronmedia yang diterbitkan oleh Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan Universitas Gajah Mada


        Beberapa waktu terakhir ini, ramai mahasiswa dan aktivis masyarakat berdemonstrasi menuntut agar pegawai KPK yang dinyatakan tidak lulus tes wawasan kebangsaan (TWK), bisa diaktifkan kembali. Mereka menganggap bahwa yang dinyatakan tidak lulus dan dinon-aktifkan, sebenarnya adalah para sosok yang gigih memberantas korupsi. Indonesia memang mengalami darurat korupsi, oleh karena itu masalah korupsi merupakan bahasan yang selalu menarik.

       Pada tahun 1995 penulis sempat mengikuti Kursus Pimpinan Minyak dan Gas Bumi (Suspi Migas) yang diselenggarakan oleh PT Pertamina (Persero) bersama Lemhannas. Salah satu materi yang sangat penting untuk diingat dan dicamkan, bahwa setelah Perang Dunia II selesai, kekayaan alam Indonesia itu terkaya ke-lima di dunia. Itu terjadi pada tahun 1945 ketika kita menyatakan Proklamasi Kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus oleh Soekarno-Hatta. Sebagai mawas diri, bagaimanakah kondisi bangsa kita ketika merayakan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan  yang ke -76 pada tahun 2021? Ternyata Indonesia masih termasuk negara berkembang. Sempat dikategorikan sebagai negara maju, tetapi turun lagi statusnya, hanya karena terserang wabah pandemi Corona yang terkenal dengan Covid-19. Hampir semua negara di dunia memang mengalami nasib yang sama. Sebagai pembanding, mungkin kita bisa berkaca terhadap negara Republik Rakyat Tiongkok (RRT). Negeri yang baru merdeka pada tanggal 1 Oktober 1949 itu, saat ini sudah menjadi negara adi daya (super power) baru dalam segala hal menyaingi Amerika Serikat dan Russia. Lalu, apa yang terjadi dengan bangsa kita? Voltaire, pemikir bangsa Perancis pernah menyatakan :” Bukan kelangkaan uang, tetapi karena kelangkaan manusia berbakatlah yang membuat suatu bangsa menjadi merana “.

Sebagai negara berpenduduk lebih dari 250 juta jiwa, apakah benar kita mengalami kelangkaan manusia berbakat? Apabila mengambil tolok-ukur dari cabang olah-raga sepakbola sebagai contoh, barangkali bisa dianggap benar. Indonesia pernah mengalami penjajahan Portugis, Inggris, Belanda dan Jepang saling bergantian dalam waktu yang cukup lama, mestinya bisa mewarisi supremasi keunggulan dalam permainan olah raga sepakbola. Tetapi nyatanya, sangat jauh tertinggal bila dibanding dengan negara lain. Belum lagi masalah lain yang menyangkut ekonomi, teknologi dan lain-lain, masih sangat jauh tertinggal. Kenapa ini bisa terjadi? Apakah memang tidak ada pembangunan di negeri ini?

Ekososiofisika

       Sepak terjang suatu bangsa dapat diibaratkan seperti pergerakan suatu benda dari suatu titik ke ketinggian tertentu pada sudut kemiringan tertentu. Benda itu akan sampai ke tujuan yang diinginkan sangat bergantung pada bobot benda itu, sudut kemiringan bidang yang dilalui terhadap bidang horizontal, kekasaran atau friksi permukaan bidang yang dilewati dan juga kecepatan gerak benda itu. Keberadaan suatu bangsa juga demikian. Tidak ada satupun bangsa di dunia ini yang ingin statis, jalan di tempat. Semuanya pasti ingin membangun dan ingin mengalami kemajuan, walau pun hasilnya berbeda-beda. Ada yang maju dengan pesat dalam waktu yang relatif singkat, tetapi bahkan ada yang malah semakin terpuruk. Teori ilmu fisika yang diadopsi di atas, dapat juga dihubungkan dengan perjalanan suatu bangsa dalam merumuskan dan menapaki masa depannya. Bagaimanakah perjalanan suatu bangsa dalam mencapai kemajuan? Sejarah membuktikan, bahwa setiap bangsa berbeda-beda cara menempuhnya dan berbeda-beda pula tingkat keberhasilannya. Mereka tergantung pada modal dasar yang dimilikinya, mutu Sumber Daya Manusia (SDM) yang merupakan perancang dan sekaligus sebagai pelaksana, derajad yang ingin dicapai (tingkat pertumbuhan ekonomi dan GNP yang ingin dicapai), friksi yang ada di dalam negeri dan pengaruh lingkungan dunia, percepatan gerak, daya nalar serta etos kerja bangsa itu.

Upaya membangun jiwa dan raga bangsa untuk mencapai Indonesia Raya sebagaimana dinyatakan dalam lagu kebangsaan Indonesia Raya serta usaha memajukan kesejahteraan umum sebagaimana dinyatakan dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945, adalah merupakan cita-cita luhur dibentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Ibarat benda, itulah arah gerakan yang ingin dituju benda itu, betapa luhur cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dituangkan di dalam kedua pusaka tersebut.

Tetapi, pembangunan yang kita laksanakan belum berhasil seperti yang diharapkan. Bukan karena kelangkaan uang dan bukan juga karena kelangkaan SDM berbakat yang kita alami. Melainkan karena friksi penghambat yang demikian besar dan berat yang dialami oleh bangsa Indonesia. Friksi yang demikian kasar telah menggerogoti derap dan laju pembangunan ekonomi dan sosial, sehingga menjadi terhambat mutu maupun pertumbuhannya. Friksi itu adalah berupa korupsi. Prof. Dr. Sumitro Djojohadikusumo yang merupakan tokoh arsitek pembangunan ekonomi Orde Baru pernah menyebut, bahwa 30 % dana pembangunan dikorupsi sehingga berakibat timbul kemerosotan dalam ekonomi, sosial, politik dan hukum. Bahkan, Fahmi Idris, tokoh demonstran Angkatan 1966 yang pernah menjadi Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi semasa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, mengakui pada masanya, bahwa Indonesia pernah menduduki peringkat ke-5 dari 98 negara-negara terkorup di dunia (Suyatno dalam Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, 2005). Kondisi saat ini mungkin tidak beranjak jauh.

Korupsi adalah identik dengan gejala masyarakat yang ingin serba instant. Mereka inginnya semua harapan dan impiannya bisa tercapai dalam waktu cepat, tanpa banyak biaya, tenaga, pikiran, jerih payah dan keahlian. Dalam hal ini, perilaku korupsi tidak memiliki hubungan atau relasi dengan produktivitas. Tidak akan ada output yang bermutu dan bernilai dari tindakan dan perilaku korupsi. Korupsi bisa dimaknai pula sebagai penyalahgunaan kekuasaan dan/atau kewenangan yang melebihi batas yang diijinkan, sehingga berkaitan pula dengan pelanggaran hak atas orang lain secara melawan hukum. Korupsi juga merupakan tindakan desosialisasi dan anti sosial, yaitu suatu tindakan atau perilaku yang tidak mempedulikan hubungan-hubungan dalam system sosial. Mengabaikan kepedulian sosial adalah salah satu ciri dari perbuatan korupsi, dan contoh mutakhir justru dilakukan oleh Menteri Sosial Juliari P. Batubara yang saat ini sudah menghadapi proses hukum.

Korupsi bisa dipandang dari berbagai aspek, bergantung pada disiplin ilmu yang pergunakan. Kasus memalukan yang ramai dipergunjingkan dan sedang ditangani KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) adalah Bupati Probolinggo yang terperosok dalam kasus jual-beli jabatan, lalu Bupati Banjarnegara yang tersandung dalam kasus suap pengadaan barang dan jasa.

       Oleh karena itu, sudah saatnya, Indonesia harus bangkit untuk melawan korupsi lebih keras dan bersungguh-sungguh lagi agar visi dan misi NKRI sebagaimana tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 bisa tercapai dengan baik dan cepat. Menurut Ustadz Abu Sangkan, untuk memberantas korupsi harus dimulai dari pemimpin dan para elitnya, termasuk dalam hal ini elit politik. Alhamdulillah, Presiden Joko Widodo telah memberi teladan yang baik. Dua kali menikahkan putra/putrinya tidak menggunakan Istana Kepresidenan dan tidak mau menerima kado atau bingkisan. Bahkan, setiap gratifikasi yang diterima selalu dilaporkan kepada KPK. Selanjutnya, Lembaga Pemeriksa seperti BPK, BPKP dan Internal Audit di setiap instansi/BUMN/BUMD diharapkan mampu mengawal Indonesia Bangkit Melawan Korupsi yang sudah merupakan situasi darurat dewasa ini. Kesadaran bangsa Indonesia untuk Bangkit Melawan Korupsi , juga mutlak diperlukan untuk secara bersama berhasil mencapai kejayaan pada tahun 2045 ketika kita merayakan HUT Kemerdekaan NKRI yang ke seratus tahun nanti!*****

Senin, 16 Agustus 2021

negeri sampah

 

Ada sebuah negeri antah berantah

Dikenal dengan Negeri Sampah

Karena di mana-mana sampah melimpah

Tumpah ruah dan mbrarah di segala arah


 Di daratan, laut dan sungai, serta di udara

 Berhamburan sampah aneka rupa

 Sampai yang tersangkut di kabel-kabel

 Bangkai layang-layang nampak berjubel


Di negeri banyak sampah

Manusianya buang sampah tanpa jengah

Asal lempar di segala tempat tanpa adab

Banjir di mana-mana karena sampah jadi penyebab

                              

Di negeri banyak sampah

Manusianya berebut pangkat dan jabatan dengan serakah

Tetapi tidak paham membuat negeri jadi indah

Karena tidak mengerti bagaimana cara menangani sampah


Di negeri banyak sampah berserakan

Semua daerahnya pernah punya semboyan

Ada yang bunyinya “ Tegar Beriman “

Dan aneka kata semboyan yang dipajang di jalan-jalan

 

Nyatanya, semboyan tinggal semboyan

Walau terucap pada setiap acara dan keramaian

Namun tidak ada yang mampu mengubah keadaan

Karena semboyan dicipta hanya asal-asalan


Ada lagi yang namanya penghargaan Adipura

Diplesetkan menjadi “ajang dusta, intrik dan pura-pura”

Karena yang pernah dapat, tetap saja kumuh dan tidak tertata

Terbukti, Adipura cuma ajang formalitas dan hura-hura

                                

Itulah hikayat sebuah Negeri Sampah

Yang sebetulnya gemah ripah dan kaya raya

Karena kekayaan alamnya yang melimpah

Tetapi merana karena koruptor dan penjarahnya merajalela


Di negeri bersimbah sampah

Banyak menghasilkan pemimpin kelas sampah

Mereka berebut kekuasaan dan jabatan dengan berbagai cara

Pada hal setelah memperoleh, karya apa yang dihasilkan, coba?*****


Bekasi, Agustus 2021

 

Rabu, 31 Maret 2021

PESAN LAGU “BELAIAN SAYANG”

     Sewaktu masih duduk di Sekolah Menengah dulu, penulis senang mendengarkan lagu Belaian Sayang ciptaan Bing Slamet. Pada waktu itu penulis tidak pernah peduli dengan bunyi syairnya karena hanya menirukan dengan bersiul.  Beberapa hari yang lalu kebetulan penulis menyaksikan acara musik keroncong di siaran televisi. Salah satu lagu yang ditampilkan adalah Belaian Sayang yang dibawakan oleh penyanyi cantik berkebaya, pakaian ciri khas artis keroncong wanita. Penulis menyimak dan menulis syairnya. Ternyata lagu itu mempunyai pesan yang luhur untuk membangun bangsa. Coba kita perhatikan syair lagu itu secara lengkap berikut ini.

       Waktu hujan turun/ Rintik perlahan/ Anginpun berhembus/ Awan  menebal.

       Kutimang si buyung/ Belaian sayang/ Anakku seorang/ Tidurlah, tidur.

       Ibu berdoa/ Ayah menjaga/ Agar kelak kau/ Jujur melangkah.

       Jangan engkau lupa/ Tanah pusaka/ Tanah air kita/ Indonesia.

 

Multi tafsir untuk memahami pesan dari lagu keroncong yang iramanya merdu itu. Bait pertama misalnya, bisa ditafsirkan bahwa sang penggubah lagu ingin menekankan bahwa kita berada di negeri yang mengalami dua musim, yaitu musim kemarau dan musim penghujan. Musim di negeri tropis, yang terkadang mengalami penyimpangan. Ketika kemarau panjang, di mana-mana mengalami kekeringan dan kesulitan mendapatkan air bersih. Ketika hujan berlimpah, di mana-mana banjir menimpa yang sering sangat  menimbulkan penderitaan.

Bait kedua mengandung pesan, bahwa setiap keluarga harus sayang anak sebagai amanah titipan Tuhan. Anak harus disayang semenjak di kandungan, lahir, sampai mengantar dan membimbing menjelang usia dewasa. Dalam hubungan ini, menarik untuk dikemukakan nasihat Jenderal Widjojo Sujono pada sarasehan HMI/KAHMI beberapa tahun yang lalu. Dia mengutip falsafah hidup orang Barat yang menyatakan :” Kalau anak tidak bisa melebihi bapaknya, kedua-duanya gagal sebagai manusia “. Ini berarti bahwa setiap orangtua dituntut untuk memperhatikan pertumbuhan  dan perkembangan anaknya agar bisa mengangkat derajat orangtuanya. Bukan sebaliknya, banyak anak yang justru menjerumuskan dan menjatuhkan nama baik orangtuanya karena salah asuhan.

Semakin jelas kemudian di bait ketiga, Bahwa sang ayah wajib memikirkan dan menjaga tumbuh kembang si anak. Sementara sang ibu mendoakan agar seorang anak mempunyai masa depan yang baik dan luhur karena perilaku jujur dalam melangkah mengarungi kehidupan. Perilaku kejujuran  diperlukan semenjak berpikir, berucap dan bertindak dalam segala hal. Kejujuran yang hakiki adalah yang didasari atas ketaatan terhadap hukum dan aturan yang berlaku serta tuntunan agama yang dianut oleh setiap orang yang bersangkutan. Perilaku kejujuran ini diperlukan dalam rangka menapaki hidup di bumi Indonesia. Bahwa setiap anak manusia Indonesia diingatkan untuk tidak melupakan tanah pusaka, tanah air kita, Indonesia. Di sinilah puncak pesan itu. Tanah pusaka itu harus dijaga dan dipertahankan untuk keabadian sampai akhir zaman tentunya.

Tahun 2045 adalah merupakan HUT yang keseratus NKRI. Banyak yang berharap, pada tahun tersebut bangsa Indonesia bisa mencapai kejayaan sebagai negara maju dalam segala hal. Untuk itu, ada peringatan menarik yang pernah disampaikan oleh negarawan Amerika Serikat John F. Kennedy yang menyatakan :” Hari esok anda ditentukan oleh pekerjaan anda hari ini ”. Atau peringatan pemikir Perancis yang menyatakan :” Bukan karena kelangkaan uang, tetapi karena kelangkaan manusia berbakatlah yang membuat suatu bangsa menjadi merana “. Peringatan penting yang bisa berlaku umum bagi semua bangsa di dunia tersebut mengandung makna, bahwa untuk mencapai kemajuan diperlukan Sumber Daya Manusia yang bermutu, Dan itu sangat tergantung terhadap langkah-langkah kita pada saat ini dan seterusnya. Untuk mempersiapkan dan membangun bangsa yang jujur, cerdas, inovatif, toleran dan pekerja keras, harus dimulai dari individu-individu dan keluarga setiap warga bangsa. Bing Slamet sudah mengingatkan pentingnya langkah tersebut sejak lama melalui  lagu “Belaian Sayang”. Penting untuk menjadi perhatian semua pihak, terutama para orangtua yang mempunyai anak remaja. Betapa sulitnya membendung para remaja yang tergila-gila musik Korea Selatan. Yang mencengangkan, Korsel ternyata di samping maju dalam ekonomi dan teknologi, juga maju dalam industri musik. Semua ini berkat langkah Park Chung Hee yang mengambil kebijakan strategis yang tepat pada tahun 60-an. Pendidikan disesuaikan dengan kebutuhan pembangunan, sehingga tertampung semua oleh lapangan kerja ketika lulus dan terhindar dari pengangguran. Pendidikan dibenahi dengan prinsip, produk pendidikan  harus bisa menjadi subyek pembangunan, bukan menjadi obyek pembangunan. Sebagai subyek pembangunan, mereka dididik untuk menjadi SDM yang jujur, cerdas, inovatif, disiplin dan pekerja keras.

Agaknya lagu “Belaian Sayang karya Bing Slamet” tersebut perlu ditetapkan sebagai lagu wajib di sekolah-sekolah dalam rangka membangun bangsa yang mampu bersaing di masa depan dengan kepribadian dan ciri khas Indonesia. Karena dari lagu itu diharapkan bisa mengingatkan kita untuk ikut bertanggung jawab membangun generasi penerus yang bermutu dan berwatak mulia. Jujur dalam segala hal dan mampu menjaga tanah air sebagai tanah pusaka. Yaitu, menjaga kelestarian lingkungannya, mengelola kekayaan alamnya dengan adil dan bijaksana. Berilmu yang tinggi dalam mengabdi kepada bangsa dan negara, dan yang sangat penting adalah, tidak melakukan korupsi, apa pun bentuknya.*****

Kamis, 19 Desember 2019

Jangan Lemahkan KPK

Apabila ditelaah lebih jauh dari segi ekososiofisika, kenapa Indonesia yang pernah melaksanakan enam kali Pelita tak kunjung lepas landas seperti yang pernah selalu digembar-gemborkan pada waktu itu? Jawabannya, karena dihambat oleh friksi yang namanya korupsi yang merajalela di segala lini. Sebagai akibatnya, pembangunan yang telah membabat hutan, menguras kekayaan alam oleh bangsa asing dan hutang serta bantuan asing yang begitu besar hanya membuat kita tetap berada di landasan, walaupun telah memakan waktu selama 32 tahun dan rezim Orba dipaksa tumbang oleh aksi rakyat. Lembaga pemeriksa memang sudah ada, dari sekelas Internal Audit, BPKP sampai lembaga tinggi setingkat BPK. Tetapi di masa lalu, seringkali fungsi mereka hanya ecek;ecek. Mereka datang, disambut dan dipenuhi segala tetek-bengeknya, memeriksa lalu segala sesuatunya beres. Setiap temuan penyelewengan sering kali diselesaikan secara adat sehingga seolah tidak pernah ada penyelewengan dan tidak pernah ada yang tertangkap, pada hal hasil pembangunannya tidak bermutu karena banyak dikorupsi. Kasus gedung sekolah yang luas lahannya sempit dan gedungnya mudah ambruk, jembatan yang mudah rusak dan jalan raya yang selalu tambal sulam dan banyak berlubang adalah salah satu contoh hasil perilaku kerja koruptif. Menyadari akan bahaya korupsi itulah, maka pada masa rezim reformasi dibentuklah KPK pada era Presiden Megawati Soekarnoputri (tahun 2002). Kalau kemudian banyak tokoh politisi dari PDIP yang tertangkap KPK, maka itulah resiko suatu perjuangan yang harus dipikul dengan lapang dada dan jiwa besar. Adalah tugas semua partai politik agar mampu mencari dan membina kader yang berkualitas dan tidak berkelakuan serta bermental koruptif. Ada lagi yang berpendapat bahwa korupsi semakin merajalela di negeri ini dengan makin banyaknya pengusaha, birokrat, dan politisi yang ditangkap oleh KPK. Benarkah demikian?. Penulis jadi teringat ceramah Ustadz Abu Sangkan dalam suatu siaran TV. Ketika ditanya oleh Jemaah mengenai prospek keberhasilan pemberantasan korupsi di Indonesia, dia mengungkap suatu penelitian di Jepang. Bahwa otak manusia itu mengandung enzim yang secara otomatis bisa menularkan sifat-sifat tertentu kepada sesamanya walaupun tidak diajarkan. Maka sifat atau perilaku koruptif juga demikian. Apabila para elitenya gemar melakukan korupsi, maka secara otomatis akan menular ke seluruh rakyatnya. Sebaliknya, kalau elitnya berperilaku jujur, maka banyak koruptor yang akan tertangkap tangan oleh penegak hukum seperti KPK karena mereka secara otomatis akan semakin bernyali besar untuk memberantas korupsi mengikuti para elitnya yang sudah banyak mulai berbuat jujur. Oleh karena itu, kalau masyarakat luas banyak yang merasa puas mengenai kinerja KPK akhir-akhir ini, mungkin UU yang sudah ada perlu dipertahankan dan semakin ditingkatkan pelaksanaannya. Mengenai eksekusi anggaran yang sudah ditetapkan, mestinya tidak perlu ditakuti sejauh tidak melanggar prosedur, menjamin mutu kerja dan mutu produk atau bahan dan tidak berniat korupsi, maka pelaksanaan perlu segera direalisir demi kelancaran pembangunan yang dibutuhkan oleh rakyat. Tidak ada alasan untuk menunda-nunda pelaksanaan suatu mata anggaran hanya karena takut dituduh korupsi. Justru karena yang menunda atau menghambat suatu pelaksanaan anggaran yang sudah direncanakan itulah yang patut dicurigai karena bisa saja dianggap sudah terbiasa berperilaku, “wani piro?”. Dalam ilmu fisika dasar berlaku hukum tentang gaya, bahwa gerak suatu benda itu akan selalu mendapat hambatan atau friksi yang akan mempengaruhi cepat-lambatnya suatu gerakan. Demikian juga laju pembangunan ekonomi dan sosial suatu bangsa akan selalu mengalami hambatan yang datangnya dari luar ( faktor eksternal) serta hambatan yang berasal dari dalam (faktor internal). Faktor internal ini bisa memperparah faktor eksternal apabila tidak bisa tertanggulangi dengan baik. Faktor internal ini adalah perilaku KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) yang kondisinya di Indonesia sudah dalam stadium yang membahayakan. Kalau kinerja KPK periode terakhir ini dinilai banyak pihak cukup memuaskan dan perlu terus ditingkatkan, maka UU yang sudah ada semestinya perlu dipertahankan agar tidak dikesankan ada upaya akan melemahkan KPK. Dan sejalan dengan upaya Pemerintah yang bermaksud membangun SDM yang kuat, maju, berdisiplin dan berkualitas, maka penguatan kinerja KPK sangat diperlukan. Dalam hal ini, KPK jangan sampai dilemahkan dalam rangka mengantarkan Indonesia yang maju, adil, dan makmur pada tahun emas 2045 kelak. (tulisan ini dikirim ke beberapa media cetak: Kompas, Koran Sindo, dan Koran Tempo, tapi belum pernah dimuat, dikirim pada bulan September-Oktober 2019)

Selasa, 20 September 2016

Dicari : Kepala Daerah yang DJAKARTA !


 
Salah satu hasil reformasi yang gegap gempita di Indonesia adalah dipilihnya Kepala Daerah secara langsung oleh rakyat melalui Pemilukada. Maka berbondong-bondonglah orang yang merasa mampu dan merasa bisa (rumongso biso), mendaftar jadi calon Bupati, Walikota, Gubernur bahkan Presiden. Gambar mereka terpampang dimana-mana dengan berbagai pose dan kata-kata mutiaranya. Lucunya, rata-rata gambar mereka tampil dengan senyum menyeringai bak mempertontonkan taringnya. Anak saya yang masih mahasiswa menyindir, bahwa itu menunjukkan jangan-jangan mereka hanya siap menerkam mangsa atau barang jarahan, alias korupsi.
            Mereka berebut ingin dipilih rakyat dengan berbagai cara, kiat dan tipu dayanya. Sementara rakyat yang umumnya belum cerdas, bingung bagaimana menentukan pilihannya. Ada kelompok masyarakat yang secara terang-terangan mengakui bahwa mereka hanya mau memilih calon yang mau kenal mereka, dan wujud perkenalan itu adalah uang. Siapa yang mengirim utusan dan mau bagi-bagi uang, berarti dia mau mengenal mereka dan itulah yang layak dipilih. Sehingga jangan heran apabila ada politik uang di negeri ini selagi masih ada kemiskinan dan kebodohan.
            Terlepas dari sisi negatif tersebut, kiranya kepada para pemilih perlu diberikan gambaran bagaimana siasat menentukan pilihan Kepala Daerah yang mendekati kebenaran atau ketepatan, bukan asal pilih apalagi salah pilih.

DJAKARTA
Beberapa waktu yang lalu, Todung Mulya Lubis menulis artikel di sebuah harian ibukota yang mengungkap pendapat Lech Walesa (Mantan Presiden Polandia) mengenai mutu pembangunan suatu bangsa. Pada waktu itu dia sehabis memberikan Presidential Lecture di hadapan Presiden SBY dan jajaran Kabinet Indonesia Bersatu II. Menurut Lech Walesa, mutu pembagunan suatu bangsa itu dapat dilihat bagaimana penataan ibukotanya.Sebab, Ibukota suatu Negara adalah cerminan kondisi suatu bangsa apakah semrawut, jorok, amburadul atau tertib dan rapih.
            Oleh karena itu dalam diskursus ini penulis ingin mengambil nama “ibukota Negara Kita” sebagai sumber inspirasi, bagaimana memilih Kepala Daerah yang tepat sasaran. Secara kebetulan, ibukota RI adalah DJAKARTA (dengan ejaan lama), maka cukup tepat apabila kata itu kita jadikan istilah umum untuk pedoman mengikuti Pemilukada di Indonesia. DJAKARTA disini adalah merupakan akronim dari kata kunci: (D)edikasi, (J)ujur, (A)presiatif, (K)reatif, (A)sih dan (A)suh, (R)amah, (T)egas,  (T)rengginas serta (T)eladan dan (A)njangsana. Dedikasi dimaksudkan, bahwa seseorang yang mencalonkan diri haruslah yang mempunyai dedikasi terhadap profesinya, untuk apa dia mencalonkan diri. Layaknya, orang yang punya dedikasi adalah orang yang profesional dan siap mengabdikan segala jiwa raga dan pikirannya untuk kepentingan rakyat, daerah dan Negara. Gambaran profesional seorang kepala daerah adalah tahu segala masalah yang mendesak dan mampu mencari jalan keluarnya serta berkarakter dan berjiwa pembelajar. Sosok pembelajar adalah manusia yang selalu mau belajar, bertanya, dan mengamati serta mengikuti dan mencontoh karya orang lain yang lebih baik. Jujur adalah tuntutan karakter untuk orang yang punya dedikasi. Dia tidak akan melakukan kecurangan walaupun punya kesempatan yang seluas-luasnya. Apresiatif adalah gambaran bahwa ia penganut paham demokratis yang mau mendengar segala pendapat dan ide yang berkembang dalam rangka membangun daerah dan Negara. Bahwa setiap pemimpin yang apresiatif harus mampu menggali potensi rakyatnya untuk dikembangkan demi kemajuan bersama.
Kreatif, bahwa seorang pemimpin harusnya selalu kreatif dalam mengembangkan daerah dan negaranya. Kreatifitas yang visioner sangat diperlukan, disertai kejujuran dan kecerdasan seorang pemimpin. Sebagai contoh, perlukah sebuah patung penanda jalan harus dibangun? Mengingat besarnya biaya dan permasalahan mendesak yang harus dihadapi dan ditanggulangi, mungkin lebih bijaksana apabila anggaran yang ada untuk perbaikan sekolah, prasarana, perumahan penduduk yang tidak layak, pengerukan kali, dan lain-lain. Untuk pengingat jalan, sebaiknya cukup diinstruksikan saja agar setiap kantor, instansi atau toko dan tempat/dunia usaha mencantumkan juga nama jalan dan nomor serta kode posnya, maka itu lebih bermakna dibanding membangun patung yang setiap orang mungkin tidak peduli.

Asih dan Asuh dimaksudkan bahwa seorang pemimpin adalah yang mampu mengasihi dan membimbing rakyatnya, Mampu mengatasi kemacetan, kesemrawutan, sampah, ledakan penduduk, ketertiban dan keamanan adalah suatu bentuk profesionalisme yang asih dan asuh seorang Kepala Daerah terhadap permasalahan rakyatnya. Sebaliknya, pembiaran terhadap masalah kemacetan, banjir, kekumuhan dan polusi adalah salah satu bentuk sikap tidak asih dan tidak asuh, kurang dedikasi dan tidak profesional.
Ramah, bahwa seorang pemimpin haruslah selalu bersikap ramah terhadap seluruh rakyatnya tanpa dibuat-buat. Sikap arogan dan angkuh adalah sifat yang harus dijauhi oleh seorang pemimpin agar kepemimpinannya dapat berhasil dengan baik secara sinergis, efisien, dan efektif.
Tegas, Trengginas, dan Teladan (3T), adalah tiga sikap yang mutlak harus dimiliki oleh seorang pemimpin agar pencapaian visi dan misinya dapat berhasil dengan baik. Penghargaan dan penegakan hukum serta pemberian sanksi haruslah diterapkan secara tegas dan konsisten melalui pengamatan dan evaluasi yang trengginas dalam arti dilakukan secara terus menerus, menyeluruh, terukur, tepat dan cepat. Sebagai contoh, penertiban PKL itu seharusnya dilakukan secara terus menerus dengan adil dan bijaksana. Tidak boleh sampai meleng alias lengah dan sesudah itu mengobrak-abrik lagi. Juga jangan sampai ada renovasi sekolah tidak bermutu tetapi tidak terdeteksi sehingga ambruk dan membawa korban. Ada anak sekolah menyeberang sungai tanpa jembatan, serta wilayah di pelupuk matanya banjir parah tanpa bisa diketahui penyebabnya, padahal Gubernurnya mengantongi bejibun tanda penghargaan dan Wagubnya pandai beriklan, adalah merupakan petunjuk bahwa keduanya agaknya kurang blusukan dan kurang professional. Kepala Daerah harusnya memberikan teladan bagi rakyatnya, bukan pecandu narkoba, jujur dan tidak korup, disiplin serta kerja keras.
Dan yang terakhir adalah Anjangsana. Bahwa seorang pemimpin yang profesional dan penuh dedikasi adalah seseorang yang selalu rajin beranjangsana dan blusukan terhadap wilayah kerjanya. Dia bukanlah orang yang gila hormat dan selalu duduk manis di belakang meja dengan mengandalkan laporan ABS (Asal Bapak Senang). Rajin beranjangsana ke seluruh pelosok wilayah kerjanya adalah ciri pemimpin yang berdedikasi tinggi sebagai administrator pemerintahan. Melalui anjangsana langsung memungkinkan seorang pemimpin mengetahui dengan pasti semua persoalan yang dihadapi rakyatnya. Jangan sampai ada seorang Gubernur yang wilayahnya kecil, marah-marah gara-gara masjid yang diresmikan, bentuknya atau pekerjaannya kurang rapi. Ini bukti bahwa Kepala Daerah itu kurang profesional dan kurang blusukan, padahal Presiden Jokowi sudah mengajarkan mengenai manajemen blusukan yang sangat terkenal sebagai alat control dan pengawasan di lapangan. Bahkan pada waktu sekarang ini, masih ada seorang Walikota tetangga Ibukota RI, membangun stadion mini yang super jelek karena tanpa sentuhan arsitek dan oleh pelaksana yang terkesan asal-asalan.
Alhasil, pemimpin yang ideal adalah yang memiliki pribadi dan karakter serta mutu yang DJAKARTA sebagaimana diuraikan secara garis besarnya di atas. Semoga kita tidak salah memilih Kepala Daerah, sehingga seluruh daerah di Indonesia bisa menjadi Singapura-Singapura yang indah, maju dan mandiri,  tidak serba terbelakang seperti sekarang ini. Sebab, pada dasarnya, Kota Administratif/Kabupaten dan Provinsi di negeri kita ini adalah merupakan singapura-singapura yang banyak jumlahnya. Kalau saja para Kepala Daerahnya bermutu “DJAKARTA” dan sekaliber pemimpin di Singapura, bukan mustahil, seluruh Indonesia yang indah dan kaya raya akan tercapai. Tetapi entah, sampai kapan ?!*****

Senin, 10 Februari 2014

KENAPA JALAN RAYA MUDAH RUSAK? (edisi revisi februari 2014)

George Soraya, senior consultant Bank Dunia, pernah ngomel karena jalan yang dibangun dua tahun yang lalu telah rusak parah. Jalan tersebut terletak di kawasan  Kelurahan Sukaresmi ,Kecamatan Tanah Sareal, Kota  Bogor yang dibangun dari dana PNPM (Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat) yang berasal dari Bank Dunia. Atas pertanyaan George Soraya, Lurah Sukaresmi mengaku, bahwa jalan raya tersebut dibangun dengan dana PNPM yang diterima sebesar Rp 15 juta tetapi kenyataannya menghabiskan Rp. 19 juta dan pelaksanaan pengerjaannya dilakukan oleh masyarakat sendiri. Berita tersebut dimuat di Harian Republika edisi 28 April 2010 dengan judul :”Jalan Rusak, Bank Dunia Ngomel”. Terakhir, pemerintah menyatakan tanggap darurat untuk memprioritaskan perbaikan jalan yang rusak parah akibat bencana alam khususnya banjir yang disaksikan langsung oleh Presiden SBY bersama tim kabinetnya ketika kunjungan kerja ke Jawa Barat dan Jawa Tengah awal pekan Februari 2014 ini.

Kasus jalan  rusak sebenarnya banyak sekali terjadi. Tetapi seringkali tidak muncul ke  permukaan  karena masyarakat umumnya mendiamkan masalah pelayanan publik yang sebenarnya banyak yang  tidak memuaskan. Seharusnya seluruh masyarakat Indonesia mencontoh pejabat Bank Dunia tersebut. Yang selalu mengawasi dan mengontrol fasilitas umum yang dibiayai dari dana rakyat melalui pembayaran pajak, apalagi kalau berasal dari utang. Kesadaran bernegara sebagaimana dicontohkan oleh Senior Consultant Bank Dunia itu seharusnya menjadi budaya bagi seluruh masyarakat Indonesia , apapun statusnya . Tujuannya adalah agar pelaksanaan
pembangunan dapat berhasil dengan sangat memuaskan, bukan asal tambal sulam seperti apa yang dikesankan selama ini.

Jalan Rusak
Jalan rusak hampir dapat kita temui di semua ruas jalan dari Sabang sampai Merauke. Apabila kita membaca dengan seksama pemberitaan di media massa, hampir selalu ada berita mengenai jalan yang rusak, dari yang ringan sampai yang parah. Pada hal ,jalan raya adalah urat nadinya perekonomian  dan berbagai kegiatan lainnya bagi masyarakat. Tetapi kenyataannya ,di Ibukota Negara  Jakarta saja  masih sering terjadi kecelakaan lalulintas yang disebabkan oleh jalan yang rusak.
Ada beberapa sebab kenapa jalan mudah sekali rusak. Tetapi apabila dibuat pembuktian terbalik, ujung-ujungnya adalah disebabkan oleh ulah korupsi. Mengenai hal ini ada contoh menarik yang bisa dikemukakan untuk pembelajaran, yaitu ketika perbaikan ruas jalan utama Surabaya – Gresik  pada tahun 1973/1974 yang lalu. Jalan raya yang merupakan uratnadi perhubungan antar kota itu seringkali rusak parah sehingga sangat mengganggu kelancaran lalulintas. Ketika perbaikan, pelaksananya adalah kontraktor dari Korea Selatan yang terlihat karena  papan namanya denga huruf Korea serta bahasa Inggris terpampang dengan jelas di lokasi proyek. Pada waktu itu, mahasiswa Surabaya protes kepada  pemerintah karena dinilai tidak melibatkan perusahaan dalam negeri untuk perbaikan jalan tersebut. Oleh Pemda, para aktivis mendapat penjelasan ,bahwa perbaikan jalan tersebut dibiayai oleh Bank Dunia. Sebagai penyandang dana, Bank Dunia mempersyaratkan agar pelaksana proyek hanya boleh memilih perusahaan dari Jepang, Korea Selatan atau Taiwan. Kebetulan pemenangnya adalah kontraktor dari Korea Selatan. Dijelaskan juga kepada para mahasiswa bahwa bangsa Indonesia harus malu karena tidak dipercaya oleh Bank Dunia. Alasannya, karena kalau proyek tersebut dikerjakan oleh kontraktor Indonesia, dikhawatirkan bukan jalan-raya”nya yang bagus, tetapi para pemegang proyek dan pelaksanalah yang akan makmur karena dikorupsi. Dan kenyataannya, setelah proyek selesai, ruas jalan tersebut memang sangat bagus dan bisa bertahan lebih lama. Padahal sebelumnya, setiap 3 sampai 6 bulan sudah harus diperbaiki lagi. Bagi pengguna jalan yang melintasi proyek  pada waktu itu sering mengamati apa keistimewaan kontraktor Korsel dalam memperbaiki jalan tersebut. Yang  sangat menonjol dan sering menjadi pembicaraan, adalah karena orang Korselnya selalu terlibat langsung dan melakukan supervisi di lapangan dengan cermat. Pasir dan batunya .terlihat selalu dicuci dengan  disiram air sebelum digunakan.
Kasus di atas agaknya masih relevan dikemukakan sebagai bahan rujukan untuk mengevaluasi mutu jalan di tanah – air kita saat ini. Yang perlu diwaspadai adalah dugaan terkait perilaku korupsi yang dapat berakibat menggerogoti mutu jalan raya di sekitar kita dengan modus yang standar dan merata di seluruh tanah-air serta dilakukan berulang-ulang tanpa ada yang mengoreksi. Beberapa perilaku buruk itu dapat dikemukakan berikut ini.
      Pertama, seringkali jalan dibuat tanpa saluran air atau got sehingga cepat rusak karena genangan air yang terjadi sewaktu musim hujan. Kalau toh dibuat saluran got,biasanya dikerjakan tidak simultan atau tidak bersamaan ketika  pembangunan jalan. Tujuannya ,supaya proyek selalu ada terus. Proyek pembenahan sistem drainase ini sering dijadikan alasan para Pemda di mana-mana yang ujung-ujungnya bisa diduga karena kesengajaan atau kurangnya pemahaman terhadap pentingnya saluran air pada setiap ruas jalan.
       Kedua, mutu bahan yang sering dipalsu atau dikurangi porsinya. Jangan dikira,bahwa batu dan pasir juga sangat mudah dipalsu atau ditukar mutunya. Apalagi aspalnya, seringkali dipalsu atau dicampur dengan komponen Bahan Bakar Minyak khususnya jenis residu atau minyak bakar dengan dalih untuk pengenceran. Sebagai akibatnya, daya rekat aspal menjadi berkurang dan mudah lumer ketika musim kemarau. Porsi bahan yang dikurangi bisa berakibat kepada ketebalan yang tidak memenuhi syarat dan pasti berakibat mengurangi kekuatan jalan-raya. Pengurangan porsi bahan ini juga bisa terjadi pada jalan beton yang dibuat dengan perekat semen.
       Ketiga, mutu pengerjaan. Ini menyangkut teknologi, mutu SDM dan sistem pengerjaannya. Mutu SDM walaupun hebat , tetapi kalau jiwanya korup ,tahu beres dan tidak pernah mau mengawasi langsung di lapangan, maka teknologi dan sistem .yang baik  akan bisa dengan mudah dilanggar. Yang ideal adalah, teknologi dan sistem pembuatan jalan yang baik , dijalankan oleh SDM yang bermutu dan bertanggungjawab kepada diri sendiri, profesi, masyarakat, negara dan Tuhan.
        Keempat,karena lemahnya pengawasan sejak perencanaan hingga pelaksanaan selama proyek berjalan. Kelemahan ini bisa terjadi karena praktek kongkalikong atau bisa karena kurang profesional sehingga tidak tahu apa yang harus dikritisi dan tidak tahu bagaimana mengawasinya. Bahkan bisa dikesankan ,Pemda dan instansi yang terkait tidak pernah mengawasi proyek yang sedang berjalan sehingga hasil akhirnya umumnya sangat mengecewakan. Seringkali kita mempertanyakan , kenapa sih Gubernur, Bupati, Walikota dan jajarannya kok seolah-olah tidak pernah meninjau proyek pembuatan atau perbaikan jalan yang sedang dikerjakan. Sehingga sering kita rasakan, pembangunannya lamban, tidak beraturan, sepotong-sepotong dan terkesan tidak pernah ada yang menegur atau memperingatkan.
        Kelima, pembangunan jalan seringkali tidak terintegrasi  dengan baik bersama instansi lain. Jalan yang sudah baik tiba-tiba digali untuk pemasangan kabel listrik, telkom, saluran air dan keperluan lain tetapi kemudian tidak dipulihkan lagi seperti keadaan asalnya.
         Keenam, masyarakat hanya mendiamkan semua keadaan di atas, seolah semuanya itu sudah biasa dan wajar-wajar saja. Paling banter masyarakat hanya bisa ngedumel atau mengeluh tanpa tahu apa yang harus diperbuat. Berita di media massa pun hampir tidak pernah mendapat tanggapan dengan cepat ,cekatan dan benar oleh Pemerintah  Pusat maupun Pemerintah Daerah.

Itulah wajah tanah-air kita dari penggalan yang namanya jalan raya yang merupakan urat nadi perekonomian dan prasarana vital suatu bangsa. Pada hal ada petunjuk dan nasehat  yang sangat populer yang menyatakan bahwa mutu suatu bangsa itu antaralain ada di jalan-raya. Karena dari mutu jalan-raya dapat  mencerminkan seberapa jauh mutu kejujuran, keahlian, kesungguhan dan tanggungjawabnya  terhadap profesi oleh para pelaku dan pemangku kepentingan dari masa perencanaan sampai ke pelaksanaan proyek pembuatan jalan. Termasuk di dalamnya adalah yang menyangkut mutu trotoar, sistem drainase, rambu-rambu lalu-lintas, marka jalan dan berbagai perangkat jalan-raya lainnya.

Dan tentunya, semua ini adalah menjadi tanggung jawab Pemerintah dalam melayani rakyatnya yang dituntut lebih profesional agar tercipta kenyamanan,dan keamanan secara terus menerus dalam berbagai sektor, di mana saja dan kapan saja, termasuk di “jalan-raya”. *****.

(ditulis oleh Muhammad Sadji pada tahun 2012 di blog yang sama)

Rabu, 22 Agustus 2012

Pelajaran berharga dari Liberia

http://id.berita.yahoo.com/berantas-korupsi-presiden-liberia-pecat-45-pejabat-031342338.html

 Liberia adalah sebuah negara di benua Afrika yang didirikan oleh ex para budak yang telah sukses di Amerika Serikat. Oleh karena itu, ibukota negara baru ini dinamakan Monrovia sebagai bukti kekagumannya terhadap Doktrin Monro yang telah mengilhami alam pikiran mereka. Bahkan bendera nasional Liberia juga diciptakan meniru bendera Amerika Serikat. Namun sayangnya, nasib negeri ini belum seperti Amerika Serikat, bahkan sangat jauh panggang dari api. Maklum, negeri ini baru berbenah memberantas korupsi yang merupakan penghambat terbesar pembangunan bangsa. Langkah berani yang telah diambil oleh Presiden Liberia baru-baru ini  adalah memberhentikan sejumlah pejabat tinggi negara termasuk a
naknya sendiri karena dianggap menghambat upaya pemberantasan korupsi.
      Apa yang telah dilakukan oleh Presiden Liberia tersebut patut menjadi pelajaran berharga bagi para pemimpin negara lain khususnya negara-negara berkembang yang menghadapi masalah kronis yang sama yaitu korupsi. Lalu, bagaimana dengan Indonesia? Sama saja yang dihadapi yaitu korupsi yang oleh Bung Hatta bahkan disebut sebagai suatu budaya bangsa. Sebagai budaya,  mengandung  pengertian bahwa korupsi sangat sulit diberantas karena sudah mengakar sedemikian rupa.
      Namun bangsa Indonesia tidak perlu berkecil hati. Segenap komponen bangsa wajib mengawal upaya pemberantasan korupsi ini. Harapan besar kita tumpukan kepada KPK yang telah mulai melakukan langkah-langkah besar dan berani, yang mudah-mudahan bukan hanya sekedar pepesan kosong. Kita juga berharap kepada Pemerintah agar bersungguh-sungguh melaksanakan janjinya selama kampanye  Pilpres dalam hal pemberantasan KKN di bumi Indonesia tercinta ini. Apabila punya visi  bahwa Indonesia akan menjadi negara besar pada tahun 2045 nanti, maka satu syarat utamanya yaitu memberantas KKN sekarang juga, tanpa pandang bulu dan tidak tebang pilih. Pemberantasan KKN yang tebang pilih adalah sama saja dengan tindakan terorisme dan korupsi di bidang penegakan hukum dan keadilan. Montesque bilang, bahwa kejahatan terbesar suatu pemerintahan adalah apabila ia mempermainkan hukum dan keadilan atas nama hukum yang ternyata hanya menguntungkan dirinya sendiri dan golongannya.
      Ada catatan menarik yang bisa kita ungkap kembali disini, bahwa rezim Orde Baru pernah dipuji oleh Presiden Ronald Reagen (Amerika Serikat) dan Raja Juan Carlos (Spanyol) dan meramalkan Indonesia dalam waktu akan menjadi negara maju. Nyatanya, setelah ORBA berkuasa selama 32 tahun kondisinya menjadi kebalikannya, kemerosotan terjadi dalam segi kehidupan. Dan jujur patut kita akui bahwa semua itu bisa terjadi karena korupsi yang merasuki segala sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Manipulasi sejarah, kecurangan dan teror pelaksanaan pemilu dan  pelanggaran HAM adalah beberapa jenis bentuk korupsi di samping pnyimpangan dan penyalahgunaan jabatan yang merajalela dan berjamaah pada masa itu. Oleh karena itu, impian menjadi negara maju hanya berupa pepesan kosong.  Atau barangkali mereka telah memberikan  pujian bohong-bohongan  karena ingin memanfaatkan geostrategis, geoekonomis dan geopolitik negara kita yang kaya sumberdaya alam melalui rezim yang mereka bisa setir.
      Kita tidak ingin mengulangi sejarah kegagalan yang keduakalinya. Oleh karena itu sekali lagi, pemberantasan KKN sekarang juga harus secara konsisten dilaksanakan tanpa pandang bulu dan tanpa tebang pilih. Presiden Liberia telah memberikan pelajaran berharga kepada dunia, lalu kapan kita mengikuti jejaknya ?.Mari kita tunggu gebrakan Pemerintah dan KPK lebih hebat lagi !!!.*****