Entri yang Diunggulkan

GENERASI PENDOBRAK JILID III

 Harian Rakyat Merdeka terbitan 20 April  2010,memuat artikel dengan judul “Bodoh Permanen” yang ditulis oleh Arif Gunawan. Tulisan tersebut...

Tampilkan postingan dengan label reformasi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label reformasi. Tampilkan semua postingan

Kamis, 01 April 2021

Rekaman Sejarah Reformasi 1998

     Pada tanggal 17 April 2019 yang lalu, bangsa Indonesia telah melaksanakan Pemilu serentak memilih Presiden/Wakil Presiden, Anggota Legislatif Pusat dan Daerah serta Anggota DPD. Masyarakat sangat antusias menyukseskan Pemilu tersebut,  terbukti dengan meningkatnya prosentase jumlah pemilih dibanding Pemilu-Pemilu sebelumnya.

Patut dicatat, bahwa di antara para pemilih tahun ini terdapat pemuda/di remaja yang lahir pada tahun 1997/1998. Mereka mungkin ada yang tidak paham kenapa ada Pemilu serentak yang semula diperkirakan cukup membingungkan, tetapi ternyata bisa berhasil dengan baik, aman, damai, dan menggembirakan.

Bagi generasi muda yang baru pertama kali menggunakan hak pilihnya, perlu membaca buku “Kita Hari Ini 20 Tahun Yang Lalu”. Demikian juga para orang dewasa dan akademisi perlu membaca buku ini untuk menyegarkan kembali ingatan peristiwa bersejarah yang terjadi pada tahun 1998 yang melahirkan Orde Reformasi dan model demokrasi seperti sekarang ini yang sedang menuju kedewasaan. Harian Kompas yang mempunyai motto mengemban ‘Amanat Hati Nurani Rakyat” telah menyajikan sebagian laporan utamanya dalam bentuk kliping yang disusun untuk menggambarkan serba peristiwa yang terkait Reformasi 1998.

Dalam buku ini diketengahkan empat tema utama, yaitu: Rezim Orde Baru beserta secuil kekonyolannya, gambaran krisis ekonomi yang melanda sejak medio 1997 hingga Mei 1998, hari-hari menjelang lengsernya Soeharto, serta hari-hari menuju Pemilihan Umum 1999.

Buku ini dibuka dengan menampilkan komik bergambar Soeharto di penutup bagian belakang sebuah mobil truk. Dalam gambar itu ada kata-kata yang seolah diucapkan oleh Soeharto dengan nada mengejek rezim Reformasi yang berbunyi:“Piye kabare? Penak zamanku toh?”, dengan tangan kanannya terangkat  melambai seolah menyapa setiap orang sambil ber “da- dah!”. Seorang anak muda digambarkan terpengaruh membacanya dan bertekad untuk mengingat kembali masa-masa perjuangan menegakkan Reformasi pada tahun 1998 yang lalu.

Menjelang Pemilu 2014 memang sudah marak spanduk, stiker, dan gambar di angkutan umum, kemunculan gaung Soeharto dengan tema “Piye kabare?. Kalangan Soehartois dan pendukung Soeharto agaknya ingin membangkitkan kembali nostalgia era Soeharto. Mereka menganggap mungkin rakyat Indonesia  sudah lupa dan ini diulangi lagi menjelang Pemilu 2019 dengan tambahan strategi baru, antara lain  membentuk partai politik baru.

Untung ada pengingat. Sebagaimana slogan dalam buku ini yang berbunyi: “Verba Volant Scripta Manen, yang terucap akan lenyap, yang tertulis akan abadi”, maka penting membaca buku ini agar tragedi yang sama tidak terulang kembali.

Soeharto yang menakhodai Orde Baru, berkuasa sejak 11 Maret 1966 sampai dengan 20 Mei 1998. Pada awalnya mereka mencanangkan melaksanakan UUD 1945 dan Pancasila secara murni dan konsekuen. Tetapi kemudian berkembang menjadi otoriter dan militeristik melalui dwifungsi ABRI dengan mengatasnamakan  menjaga stabilitas nasional.

Pembangunan ekonomi memang digenjot melalui penanaman modal asing dan utang luar negeri serta bantuan asing. Tetapi karena fondasi ekonominya ternyata keropos dan sarat KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme) maka ketika diterpa gejolak moneter yang menyerang Asia Tenggara pada medio 1997, menghempaskan kita kembali ke titik awal dan rezim ORBA jatuh.

Kompas minggu  13 Maret 1994, mengutip wejangan Presiden Soeharto di hadapan anggota KNPI di Bina Graha Jakarta. Dia bilang, tidak berambisi jadi Presiden seumur hidup, oleh karena itu tidak perlu ribut-ribut. Kaum muda diminta jangan khawatir tidak punya waktu giliran menghadapi suksesi. Mungkin karena sinyal yang demikian itulah, maka dia bertindak otoriter dalam mempertahankan kekuasaannya.

Rezim ini juga pernah membatalkan SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers) media cetak serta  pelarangan beredarnya  buku dalam kurun waktu 1991-1995 dengan alasan yang berbeda-beda, dari tuduhan mengandung unsur SARA, pornografi, aliran kiri, sampai yang dituduh memutarbalikkan sejarah serta merendahkan pemerintah ORBA.

Setelah berkuasa lebih dari 30 tahun melalui cara-cara siasat dan kecurangan yang terencana, terstruktur, sistematis, masif, dan brutal dalam segala segi, tiba-tiba krisis ekonomi menerpa secara bergelombang. Semula di Thailand pada tanggal 2 Juli 1997, gejolak moneter merembet ke Indonesia dan berujung pengambangan nilai tukar rupiah terhadap US$ yang berlaku sejak 14 Agustus 1997. Dampaknya, nilai kurs anjlok dan kita tidak mampu lagi membayar utang. Banyak perusahaan bangkrut, enambelas bank dilikuidasi, berbagai proyek besar dihentikan dan jutaan orang di PHK.

Menanggapi kemelut ekonomi saat itu,  Sumitro Djojohadikusumo yang sempat memperkuat Kabinet Soeharto pada awal-awal ORBA menilai bahwa permasalahan yang terjadi bukan lagi menyangkut moneter dan ekonomi masyarakat semata-mata, tetapi lebih luas lagi karena menyangkut krisis kepercayaan yang menghinggapi seluruh kehidupan masyarakat politik terutama yang terkait good governance.

 Puncaknya, krisis ekonomi menjalar menjadi kemelut politik karena pemerintah mengalami krisis kepercayaan dari masyarakat. Monopoli cengkeh yang dilakukan oleh salah seorang anak Soeharto dan fasilitas bea dan pajak mobil Timor jalan terus serta ketidakmampuan pemerintah mengatasi krisis, memancing unjuk rasa masyarakat sejak awal 1998 hampir di seluruh kota di Indonesia.

Sejak Februari 1998 demonstrasi semakin gencar dan berani menuntut Presiden Soeharto mundur. Respon yang diberikan sejak Februari, Maret sampai Mei 1998 terjadi penculikan dan pengamanan para aktivis. Aksi keprihatinan semakin keras ketika Soeharto membentuk Kabinet Pembangunan pada periode kekuasaannya yang ketujuh pada tanggal 16 Maret dan usaha menaikkan harga BBM per 4 Mei 1998. Hingga saat ini ada 13 Aktivis yang tidak diketahui nasib dan keberadaannya.

 Puncak tekanan gerakan reformasi yang dimotori mahasiswa dan didukung oleh masyarakat luas yang berhasil menduduki Gedung MPR/DPR pada tanggal 18-20 Mei 1998, adalah peristiwa yang  berhasil memaksa Soeharto mundur dari kekuasaannya pada tanggal 21 Mei 1998.

Seluruh rangkaian kisah nyata yang menegangkan dan memilukan selama perjuangan reformasi dan tercapainya alam demokrasi seperti sekarang ini, tertuang secara beruntun dan sistematis  dalam buku ini. Pencapaian kemajuan setelah 20 tahun reformasi juga dituangkan dalam buku ini.

Ada enam tuntutan reformasi yang  menjadi pekerjaan besar kita bersama untuk dituntaskan, yaitu: penegakan supremasi hukum; mengadili Soeharto dan kroninya; amandemen konstitusi; pencabutan dwifungsi TNI/POLRI; dan pemberian otonomi daerah seluas-luasnya.

Oleh karena itu, kalau ada yang mempertanyakan kenapa Seoharto tidak bisa ditetapkan sebagai pahlawan nasional, barangkali karena evaluasi dan pertimbangannya terjawab dalam buku ini. Belum lagi kalau dihubungkan dengan hilangnya dokumen penting Surat Perintah 11 Maret 1966 (anehnya tanpa nomor)  yang telah mengantarkan Soeharto bisa berkuasa selama 32 tahun, serta kasus pelanggaran HAM berat 1965/1966 dan selama periode kekuasaannya, semestinya juga patut menjadi bahan pertimbangan oleh rezim manapun.. *****  Penulis adalah pemerhati masalah sosial, ekonomi dan politik, lulusan S2 FISIP Universitas Indonesia.

Data Buku

Judul:

Kita Hari Ini 20 Tahun Yang Lalu

Penulis dan Penyunting:

KPG. Redaksi dan Litbang Kompas

Penerbit:

KPG (Kepusatakaan Populer Gramedia)

Halaman:

Viii+256 halaman

Tahun Terbit:

2018

 

Kamis, 19 Desember 2019

Jangan Lemahkan KPK

Apabila ditelaah lebih jauh dari segi ekososiofisika, kenapa Indonesia yang pernah melaksanakan enam kali Pelita tak kunjung lepas landas seperti yang pernah selalu digembar-gemborkan pada waktu itu? Jawabannya, karena dihambat oleh friksi yang namanya korupsi yang merajalela di segala lini. Sebagai akibatnya, pembangunan yang telah membabat hutan, menguras kekayaan alam oleh bangsa asing dan hutang serta bantuan asing yang begitu besar hanya membuat kita tetap berada di landasan, walaupun telah memakan waktu selama 32 tahun dan rezim Orba dipaksa tumbang oleh aksi rakyat. Lembaga pemeriksa memang sudah ada, dari sekelas Internal Audit, BPKP sampai lembaga tinggi setingkat BPK. Tetapi di masa lalu, seringkali fungsi mereka hanya ecek;ecek. Mereka datang, disambut dan dipenuhi segala tetek-bengeknya, memeriksa lalu segala sesuatunya beres. Setiap temuan penyelewengan sering kali diselesaikan secara adat sehingga seolah tidak pernah ada penyelewengan dan tidak pernah ada yang tertangkap, pada hal hasil pembangunannya tidak bermutu karena banyak dikorupsi. Kasus gedung sekolah yang luas lahannya sempit dan gedungnya mudah ambruk, jembatan yang mudah rusak dan jalan raya yang selalu tambal sulam dan banyak berlubang adalah salah satu contoh hasil perilaku kerja koruptif. Menyadari akan bahaya korupsi itulah, maka pada masa rezim reformasi dibentuklah KPK pada era Presiden Megawati Soekarnoputri (tahun 2002). Kalau kemudian banyak tokoh politisi dari PDIP yang tertangkap KPK, maka itulah resiko suatu perjuangan yang harus dipikul dengan lapang dada dan jiwa besar. Adalah tugas semua partai politik agar mampu mencari dan membina kader yang berkualitas dan tidak berkelakuan serta bermental koruptif. Ada lagi yang berpendapat bahwa korupsi semakin merajalela di negeri ini dengan makin banyaknya pengusaha, birokrat, dan politisi yang ditangkap oleh KPK. Benarkah demikian?. Penulis jadi teringat ceramah Ustadz Abu Sangkan dalam suatu siaran TV. Ketika ditanya oleh Jemaah mengenai prospek keberhasilan pemberantasan korupsi di Indonesia, dia mengungkap suatu penelitian di Jepang. Bahwa otak manusia itu mengandung enzim yang secara otomatis bisa menularkan sifat-sifat tertentu kepada sesamanya walaupun tidak diajarkan. Maka sifat atau perilaku koruptif juga demikian. Apabila para elitenya gemar melakukan korupsi, maka secara otomatis akan menular ke seluruh rakyatnya. Sebaliknya, kalau elitnya berperilaku jujur, maka banyak koruptor yang akan tertangkap tangan oleh penegak hukum seperti KPK karena mereka secara otomatis akan semakin bernyali besar untuk memberantas korupsi mengikuti para elitnya yang sudah banyak mulai berbuat jujur. Oleh karena itu, kalau masyarakat luas banyak yang merasa puas mengenai kinerja KPK akhir-akhir ini, mungkin UU yang sudah ada perlu dipertahankan dan semakin ditingkatkan pelaksanaannya. Mengenai eksekusi anggaran yang sudah ditetapkan, mestinya tidak perlu ditakuti sejauh tidak melanggar prosedur, menjamin mutu kerja dan mutu produk atau bahan dan tidak berniat korupsi, maka pelaksanaan perlu segera direalisir demi kelancaran pembangunan yang dibutuhkan oleh rakyat. Tidak ada alasan untuk menunda-nunda pelaksanaan suatu mata anggaran hanya karena takut dituduh korupsi. Justru karena yang menunda atau menghambat suatu pelaksanaan anggaran yang sudah direncanakan itulah yang patut dicurigai karena bisa saja dianggap sudah terbiasa berperilaku, “wani piro?”. Dalam ilmu fisika dasar berlaku hukum tentang gaya, bahwa gerak suatu benda itu akan selalu mendapat hambatan atau friksi yang akan mempengaruhi cepat-lambatnya suatu gerakan. Demikian juga laju pembangunan ekonomi dan sosial suatu bangsa akan selalu mengalami hambatan yang datangnya dari luar ( faktor eksternal) serta hambatan yang berasal dari dalam (faktor internal). Faktor internal ini bisa memperparah faktor eksternal apabila tidak bisa tertanggulangi dengan baik. Faktor internal ini adalah perilaku KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) yang kondisinya di Indonesia sudah dalam stadium yang membahayakan. Kalau kinerja KPK periode terakhir ini dinilai banyak pihak cukup memuaskan dan perlu terus ditingkatkan, maka UU yang sudah ada semestinya perlu dipertahankan agar tidak dikesankan ada upaya akan melemahkan KPK. Dan sejalan dengan upaya Pemerintah yang bermaksud membangun SDM yang kuat, maju, berdisiplin dan berkualitas, maka penguatan kinerja KPK sangat diperlukan. Dalam hal ini, KPK jangan sampai dilemahkan dalam rangka mengantarkan Indonesia yang maju, adil, dan makmur pada tahun emas 2045 kelak. (tulisan ini dikirim ke beberapa media cetak: Kompas, Koran Sindo, dan Koran Tempo, tapi belum pernah dimuat, dikirim pada bulan September-Oktober 2019)

Kamis, 10 Maret 2016

Celoteh Prof. Yusril Ihza Mahendra


Pada tanggal 15 Februari 2016 di TVOne, entah dalam rangka pra kampanye karena ingin jadi Gubernur DKI Jakarta atau ada motif lain. Prof.Yusril Ihza Mahendra tiba-tiba memuji Soeharto, yang menurutnya hebat, karena mau mundur ketika mendapat perlawanan dari rakyat. Hal  ini berbeda dengan yang terjadi di Timur Tengah yang terus  bertahan memerintah ketika menghadapi protes rakyatnya,  sehingga sampai sekarang di kawasan itu masih kacau balau entah sampai kapan. Sebenarnya sih, bukan masalah mau mundur atau tidak mau mundur, tetapi yang harus dipahami adalah latar belakangnya kenapa ia/seorang pemimpin dipaksa mundur. Itulah yang perlu diingat dan jangan dikaburkan seolah-olah hebat. Sebab, kenyataan sejarah menunjukkan, bahwa sebenarnya Soeharto sudah beberapa kali diminta mundur atau tidak dicalonkan lagi sebagai presiden. Ingat peristiwa Malari 1974, aksi mahasiswa 1978/1979  dan 1984/1985, tetapi tetap bertahan dengan selalu menjadi Capres calon tunggal karena Panggabean, Benny Moerdani, Soedomo pandai mengawal dengan ganas dan mematikan. Rupanya tahun 1997/1998 sudah titi mangsane, Allah sudah tidak meridhoi sehingga terjadilah peristiwa yang seolah-olah konstitusional dan seakan-akan berjiwa besar. Padahal, mundurnya Soeharto dan tanpa gejolak di Indonesia, itu karena fakta sebagai berikut:
·         ABRI sudah tidak represif  lagi seperti masa-masa yang lalu.
·         Demokrasi yang sudah lama kita idamkan memang sudah bergulir dan tidak terbendung.
·         Kegiatan demonstrasi murni menuntut perubahan, bukan kudeta, sehingga tidak ada tokoh yang dielu-elukan yang kemudian mengambil- alih kekuasaan seperti yang terjadi pada tahun 1966 dari Presiden Soekarno kepada Jenderal Soeharto.
·         Bangsa Indonesia bukan bangsa Arab yang sepanjang sejarahnya memang suka bertengkar. Oleh karena itu para Nabi dan Rasul selalu diturunkan oleh Allah di tanah Arab. Sehingga jangan heran, ketika Soeharto mau mundur semua tenang-tenang saja, tidak ada kegaduhan.
·         Yang hebat sebenarnya para tokoh reformasi, yang berhasil menurunkan seorang diktator dengan cara-cara damai. Belum lagi bicara tentang keberhasilan pembangunan yang selalu mereka dengung-dengungkan, pertumbuhan 7% per tahun terutama selama PJPT I dan katanya menuju saat tinggal landas. Nyatanya, masih tinggal di landasan, padahal  kekayaan alam habis dikuras bangsa asing (emas, tembaga, nikel, minyak bumi, batubara) dan hutan digunduli dalam waktu 32 tahun. Belum lagi hutang dan bantuan asing yang dihambur-hamburkan, pada hal hasil akhirnya, ekonomi ringsek dan marak KKN sehingga ia dituntut mundur oleh masyarakat yang memahami keadaan yang sebenarnya.
·         Pada dasarnya bangsa Indonesia itu cinta damai,.hanya para elite dan para cecunguknyalah yang membuat gaduh. Sebagai contoh, Soeharto mungkin sudah tenang di alam baka sana, tetapi kenapa sejak menjelang Pemilu 2014 beredar gambar/ stiker sosok Soeharto yang seolah-olah berkata,”piye kabare, enak jamanku to?” atau ada yang berdalil, seolah Soeharto berjiwa besar karena mau mundur secara ksatria, walaupun kenyataannya tidak ksatria karena ketika mau diadili pura-pura sakit dengan berbagai rekayasanya. Padahal, dia mundur dengan terpaksa karena sebenarnya masih berambisi untuk terus berkuasa. Sebagai buktinya, ketika ketua KNPI dipegang oleh Aulia Rachman, dia dipanggil ke Cendana bersama pengurus KNPI yang lain. Sesudah itu dia (Aulia) memberikan konferensi pers yang menyatakan antara lain: “Bapak Presiden menyatakan, bahwa yang mengusulkan jabatan presiden harus dibatasi, itu mengebiri UUD 1945”. Nampaknya Soeharto bereaksi ketika ada wacana yang bergulir ingin adanya UU yang membatasi jabatan presiden.
·         Apabila kita ingin jujur sebagai bangsa, pernyataan yang benar seharusnya berbunyi: “piye kabare, kowe goleki Supersemar sing asli, to? Coba goleki sampek kiamat, mesti kowe ora bisa nemokke, hore!” atau “piye kabare, enak jamanku to? Kekayaan alam (Emas, tembaga, nikel, minyak bumi) lan hutan wis tak gunduli sampek entek, mulo aku biso awet kuoso to? He he, he,kowe saiki podo manyun mergo ngadepi putus kontrak opo ora, lan kowe ngalami kebakaran hutan di mana-mana saben taun to?.”
·         Ada lagi mengenai swa sembada beras yang terjadi sekali pada tahun 80-an. Melimpah panen karena kemurahan Tuhan yang memberikan iklim yang baik dan tidak ada bencana, itu yang berhak kita puja-puji ya Allah SWT. Kalau usaha swa sembada itu benar karena hasil rekayasa teknologi, maka swa sembada akan terjadi terus menerus tanpa tergantung cuaca, alias bukan cuma sekali dan selalu dibangga-banggakan, padahal itu terjadi karena kemurahan Tuhan.
·         Bahkan usaha mengagungkan Soeharto masih saja terus diupayakan. Kabar terakhir, ada yang mengusulkan agar Soeharto diangkat/dikukuhkan sebagai Pahlawan Nasional. Agaknya para pendukung Soeharto tidak rela ketika ia diturunkan dari singgasana, sehingga untuk memutihkan, mereka mengusulkannya sebagai Pahlawan Nasional. Pertanyaannya adalah, kok Presiden di pahlawankan lagi? Padahal, presiden dimana pun pastinya sudah seorang pahlawan, apalagi kalau memperoleh kekuasaannya dengan  cara yang baik dan benar, bekerja dengan benar, dan mengabdi kepada rakyat/bangsa/negara secara utuh, adil, dan bijaksana, bukan mengembangkan politik belah bambu, satu kelompok diangkat, kelompok lainnya diinjak demi kelangsungan kekuasaannya. Seyogyanya, setiap orang pasti tahu bahwa yang layak disebut pahlawan adalah  seseorang yang telah berjuang dengan jiwa, raga, pikiran, dan harta benda yang melebihi kapasitasnya. Sebagai contoh, seorang perempuan pergi ke luar negeri dengan modal seadanya, kemudian dia kirimkan penghasilannya untuk keluarganya dan buka usaha  yang membuka lapangan kerja bagi orang banyak, maka dia layak disebut pahlawan. Sebaliknya, seorang guru yang menerima gaji dengan layak, kemudian mendidik ribuan anak sehingga menjadi orang yang berguna dan bermartabat, bukanlah seorang pahlawan karena dia bekerja dan menerima gaji yang selayaknya dituntut harus selalu bekerja dengan baik dan bersungguh-sungguh.   
·         Dalam suatu acara diskusi beberapa tahun yang lalu, Prof.Yusril mengingatkan agar setiap rezim harus melanjutkan program rezim sebelumnya dan tidak berbuat seolah-olah dari nol lagi. Dicontohkan, bahwa rezim ORBA (Soeharto) pernah tidak mau membayar hutang rezim Soekarno kepada suatu negara tertentu, yang sebenarnya hal ini tidak boleh terjadi karena pada hakekatnya pemerintahan itu harus berkesinambungan. Bahkan Soeharto melancarkan tindakan desoekarnoisasi secara massif sejak awal kekuasaannya. Sebagai contoh, kota Soekarnopura ibukota Irian Barat (Irian Jaya) diganti dengan Jayapura. Jembatan Bung Karno di Palembang diganti dengan Jembatan Ampera dan Istana Olah Raga Gelora Bung Karno sempat diubah menjadi Gelora Senayan. Rezim Soeharto menamakan diri ORDE BARU dan menyebut rezim Soekarno sebagai ORDE LAMA, pada hal dia sendiri ada di dalamnya karena diangkat Presiden Soekarno sebagai Panglima Kostrad, kemudian Men/Pangad/Pangkopkamtib/Wakil Perdana Menteri tetapi  terbukti kemudian menggunting dalam lipatan.
Tulisan ini dibuat untuk berbagi pendapat,bahwa yang benar itu harus dikatakan dengan benar, dan para elit yang merasa punya pengaruh janganlah mengeluarkan pendapat yang berlebihan yang justru bisa mengobarkan kembali kebencian dan permusuhan sesama anak bangsa. Semoga bangsa Indonesia mendapat keridhoan Allah s.w.t. karena mengedepankan kejujuran dan kebenaran. Amien…..yaa robbal’alamin !