Entri yang Diunggulkan

GENERASI PENDOBRAK JILID III

 Harian Rakyat Merdeka terbitan 20 April  2010,memuat artikel dengan judul “Bodoh Permanen” yang ditulis oleh Arif Gunawan. Tulisan tersebut...

Tampilkan postingan dengan label KPK. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label KPK. Tampilkan semua postingan

Senin, 01 November 2021

INDONESIA BANGKIT MELAWAN KORUPSI?

Artikel ini telah dimuat di majalah Clapeyronmedia yang diterbitkan oleh Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan Universitas Gajah Mada


        Beberapa waktu terakhir ini, ramai mahasiswa dan aktivis masyarakat berdemonstrasi menuntut agar pegawai KPK yang dinyatakan tidak lulus tes wawasan kebangsaan (TWK), bisa diaktifkan kembali. Mereka menganggap bahwa yang dinyatakan tidak lulus dan dinon-aktifkan, sebenarnya adalah para sosok yang gigih memberantas korupsi. Indonesia memang mengalami darurat korupsi, oleh karena itu masalah korupsi merupakan bahasan yang selalu menarik.

       Pada tahun 1995 penulis sempat mengikuti Kursus Pimpinan Minyak dan Gas Bumi (Suspi Migas) yang diselenggarakan oleh PT Pertamina (Persero) bersama Lemhannas. Salah satu materi yang sangat penting untuk diingat dan dicamkan, bahwa setelah Perang Dunia II selesai, kekayaan alam Indonesia itu terkaya ke-lima di dunia. Itu terjadi pada tahun 1945 ketika kita menyatakan Proklamasi Kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus oleh Soekarno-Hatta. Sebagai mawas diri, bagaimanakah kondisi bangsa kita ketika merayakan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan  yang ke -76 pada tahun 2021? Ternyata Indonesia masih termasuk negara berkembang. Sempat dikategorikan sebagai negara maju, tetapi turun lagi statusnya, hanya karena terserang wabah pandemi Corona yang terkenal dengan Covid-19. Hampir semua negara di dunia memang mengalami nasib yang sama. Sebagai pembanding, mungkin kita bisa berkaca terhadap negara Republik Rakyat Tiongkok (RRT). Negeri yang baru merdeka pada tanggal 1 Oktober 1949 itu, saat ini sudah menjadi negara adi daya (super power) baru dalam segala hal menyaingi Amerika Serikat dan Russia. Lalu, apa yang terjadi dengan bangsa kita? Voltaire, pemikir bangsa Perancis pernah menyatakan :” Bukan kelangkaan uang, tetapi karena kelangkaan manusia berbakatlah yang membuat suatu bangsa menjadi merana “.

Sebagai negara berpenduduk lebih dari 250 juta jiwa, apakah benar kita mengalami kelangkaan manusia berbakat? Apabila mengambil tolok-ukur dari cabang olah-raga sepakbola sebagai contoh, barangkali bisa dianggap benar. Indonesia pernah mengalami penjajahan Portugis, Inggris, Belanda dan Jepang saling bergantian dalam waktu yang cukup lama, mestinya bisa mewarisi supremasi keunggulan dalam permainan olah raga sepakbola. Tetapi nyatanya, sangat jauh tertinggal bila dibanding dengan negara lain. Belum lagi masalah lain yang menyangkut ekonomi, teknologi dan lain-lain, masih sangat jauh tertinggal. Kenapa ini bisa terjadi? Apakah memang tidak ada pembangunan di negeri ini?

Ekososiofisika

       Sepak terjang suatu bangsa dapat diibaratkan seperti pergerakan suatu benda dari suatu titik ke ketinggian tertentu pada sudut kemiringan tertentu. Benda itu akan sampai ke tujuan yang diinginkan sangat bergantung pada bobot benda itu, sudut kemiringan bidang yang dilalui terhadap bidang horizontal, kekasaran atau friksi permukaan bidang yang dilewati dan juga kecepatan gerak benda itu. Keberadaan suatu bangsa juga demikian. Tidak ada satupun bangsa di dunia ini yang ingin statis, jalan di tempat. Semuanya pasti ingin membangun dan ingin mengalami kemajuan, walau pun hasilnya berbeda-beda. Ada yang maju dengan pesat dalam waktu yang relatif singkat, tetapi bahkan ada yang malah semakin terpuruk. Teori ilmu fisika yang diadopsi di atas, dapat juga dihubungkan dengan perjalanan suatu bangsa dalam merumuskan dan menapaki masa depannya. Bagaimanakah perjalanan suatu bangsa dalam mencapai kemajuan? Sejarah membuktikan, bahwa setiap bangsa berbeda-beda cara menempuhnya dan berbeda-beda pula tingkat keberhasilannya. Mereka tergantung pada modal dasar yang dimilikinya, mutu Sumber Daya Manusia (SDM) yang merupakan perancang dan sekaligus sebagai pelaksana, derajad yang ingin dicapai (tingkat pertumbuhan ekonomi dan GNP yang ingin dicapai), friksi yang ada di dalam negeri dan pengaruh lingkungan dunia, percepatan gerak, daya nalar serta etos kerja bangsa itu.

Upaya membangun jiwa dan raga bangsa untuk mencapai Indonesia Raya sebagaimana dinyatakan dalam lagu kebangsaan Indonesia Raya serta usaha memajukan kesejahteraan umum sebagaimana dinyatakan dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945, adalah merupakan cita-cita luhur dibentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Ibarat benda, itulah arah gerakan yang ingin dituju benda itu, betapa luhur cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dituangkan di dalam kedua pusaka tersebut.

Tetapi, pembangunan yang kita laksanakan belum berhasil seperti yang diharapkan. Bukan karena kelangkaan uang dan bukan juga karena kelangkaan SDM berbakat yang kita alami. Melainkan karena friksi penghambat yang demikian besar dan berat yang dialami oleh bangsa Indonesia. Friksi yang demikian kasar telah menggerogoti derap dan laju pembangunan ekonomi dan sosial, sehingga menjadi terhambat mutu maupun pertumbuhannya. Friksi itu adalah berupa korupsi. Prof. Dr. Sumitro Djojohadikusumo yang merupakan tokoh arsitek pembangunan ekonomi Orde Baru pernah menyebut, bahwa 30 % dana pembangunan dikorupsi sehingga berakibat timbul kemerosotan dalam ekonomi, sosial, politik dan hukum. Bahkan, Fahmi Idris, tokoh demonstran Angkatan 1966 yang pernah menjadi Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi semasa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, mengakui pada masanya, bahwa Indonesia pernah menduduki peringkat ke-5 dari 98 negara-negara terkorup di dunia (Suyatno dalam Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, 2005). Kondisi saat ini mungkin tidak beranjak jauh.

Korupsi adalah identik dengan gejala masyarakat yang ingin serba instant. Mereka inginnya semua harapan dan impiannya bisa tercapai dalam waktu cepat, tanpa banyak biaya, tenaga, pikiran, jerih payah dan keahlian. Dalam hal ini, perilaku korupsi tidak memiliki hubungan atau relasi dengan produktivitas. Tidak akan ada output yang bermutu dan bernilai dari tindakan dan perilaku korupsi. Korupsi bisa dimaknai pula sebagai penyalahgunaan kekuasaan dan/atau kewenangan yang melebihi batas yang diijinkan, sehingga berkaitan pula dengan pelanggaran hak atas orang lain secara melawan hukum. Korupsi juga merupakan tindakan desosialisasi dan anti sosial, yaitu suatu tindakan atau perilaku yang tidak mempedulikan hubungan-hubungan dalam system sosial. Mengabaikan kepedulian sosial adalah salah satu ciri dari perbuatan korupsi, dan contoh mutakhir justru dilakukan oleh Menteri Sosial Juliari P. Batubara yang saat ini sudah menghadapi proses hukum.

Korupsi bisa dipandang dari berbagai aspek, bergantung pada disiplin ilmu yang pergunakan. Kasus memalukan yang ramai dipergunjingkan dan sedang ditangani KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) adalah Bupati Probolinggo yang terperosok dalam kasus jual-beli jabatan, lalu Bupati Banjarnegara yang tersandung dalam kasus suap pengadaan barang dan jasa.

       Oleh karena itu, sudah saatnya, Indonesia harus bangkit untuk melawan korupsi lebih keras dan bersungguh-sungguh lagi agar visi dan misi NKRI sebagaimana tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 bisa tercapai dengan baik dan cepat. Menurut Ustadz Abu Sangkan, untuk memberantas korupsi harus dimulai dari pemimpin dan para elitnya, termasuk dalam hal ini elit politik. Alhamdulillah, Presiden Joko Widodo telah memberi teladan yang baik. Dua kali menikahkan putra/putrinya tidak menggunakan Istana Kepresidenan dan tidak mau menerima kado atau bingkisan. Bahkan, setiap gratifikasi yang diterima selalu dilaporkan kepada KPK. Selanjutnya, Lembaga Pemeriksa seperti BPK, BPKP dan Internal Audit di setiap instansi/BUMN/BUMD diharapkan mampu mengawal Indonesia Bangkit Melawan Korupsi yang sudah merupakan situasi darurat dewasa ini. Kesadaran bangsa Indonesia untuk Bangkit Melawan Korupsi , juga mutlak diperlukan untuk secara bersama berhasil mencapai kejayaan pada tahun 2045 ketika kita merayakan HUT Kemerdekaan NKRI yang ke seratus tahun nanti!*****

Kamis, 19 Desember 2019

Jangan Lemahkan KPK

Apabila ditelaah lebih jauh dari segi ekososiofisika, kenapa Indonesia yang pernah melaksanakan enam kali Pelita tak kunjung lepas landas seperti yang pernah selalu digembar-gemborkan pada waktu itu? Jawabannya, karena dihambat oleh friksi yang namanya korupsi yang merajalela di segala lini. Sebagai akibatnya, pembangunan yang telah membabat hutan, menguras kekayaan alam oleh bangsa asing dan hutang serta bantuan asing yang begitu besar hanya membuat kita tetap berada di landasan, walaupun telah memakan waktu selama 32 tahun dan rezim Orba dipaksa tumbang oleh aksi rakyat. Lembaga pemeriksa memang sudah ada, dari sekelas Internal Audit, BPKP sampai lembaga tinggi setingkat BPK. Tetapi di masa lalu, seringkali fungsi mereka hanya ecek;ecek. Mereka datang, disambut dan dipenuhi segala tetek-bengeknya, memeriksa lalu segala sesuatunya beres. Setiap temuan penyelewengan sering kali diselesaikan secara adat sehingga seolah tidak pernah ada penyelewengan dan tidak pernah ada yang tertangkap, pada hal hasil pembangunannya tidak bermutu karena banyak dikorupsi. Kasus gedung sekolah yang luas lahannya sempit dan gedungnya mudah ambruk, jembatan yang mudah rusak dan jalan raya yang selalu tambal sulam dan banyak berlubang adalah salah satu contoh hasil perilaku kerja koruptif. Menyadari akan bahaya korupsi itulah, maka pada masa rezim reformasi dibentuklah KPK pada era Presiden Megawati Soekarnoputri (tahun 2002). Kalau kemudian banyak tokoh politisi dari PDIP yang tertangkap KPK, maka itulah resiko suatu perjuangan yang harus dipikul dengan lapang dada dan jiwa besar. Adalah tugas semua partai politik agar mampu mencari dan membina kader yang berkualitas dan tidak berkelakuan serta bermental koruptif. Ada lagi yang berpendapat bahwa korupsi semakin merajalela di negeri ini dengan makin banyaknya pengusaha, birokrat, dan politisi yang ditangkap oleh KPK. Benarkah demikian?. Penulis jadi teringat ceramah Ustadz Abu Sangkan dalam suatu siaran TV. Ketika ditanya oleh Jemaah mengenai prospek keberhasilan pemberantasan korupsi di Indonesia, dia mengungkap suatu penelitian di Jepang. Bahwa otak manusia itu mengandung enzim yang secara otomatis bisa menularkan sifat-sifat tertentu kepada sesamanya walaupun tidak diajarkan. Maka sifat atau perilaku koruptif juga demikian. Apabila para elitenya gemar melakukan korupsi, maka secara otomatis akan menular ke seluruh rakyatnya. Sebaliknya, kalau elitnya berperilaku jujur, maka banyak koruptor yang akan tertangkap tangan oleh penegak hukum seperti KPK karena mereka secara otomatis akan semakin bernyali besar untuk memberantas korupsi mengikuti para elitnya yang sudah banyak mulai berbuat jujur. Oleh karena itu, kalau masyarakat luas banyak yang merasa puas mengenai kinerja KPK akhir-akhir ini, mungkin UU yang sudah ada perlu dipertahankan dan semakin ditingkatkan pelaksanaannya. Mengenai eksekusi anggaran yang sudah ditetapkan, mestinya tidak perlu ditakuti sejauh tidak melanggar prosedur, menjamin mutu kerja dan mutu produk atau bahan dan tidak berniat korupsi, maka pelaksanaan perlu segera direalisir demi kelancaran pembangunan yang dibutuhkan oleh rakyat. Tidak ada alasan untuk menunda-nunda pelaksanaan suatu mata anggaran hanya karena takut dituduh korupsi. Justru karena yang menunda atau menghambat suatu pelaksanaan anggaran yang sudah direncanakan itulah yang patut dicurigai karena bisa saja dianggap sudah terbiasa berperilaku, “wani piro?”. Dalam ilmu fisika dasar berlaku hukum tentang gaya, bahwa gerak suatu benda itu akan selalu mendapat hambatan atau friksi yang akan mempengaruhi cepat-lambatnya suatu gerakan. Demikian juga laju pembangunan ekonomi dan sosial suatu bangsa akan selalu mengalami hambatan yang datangnya dari luar ( faktor eksternal) serta hambatan yang berasal dari dalam (faktor internal). Faktor internal ini bisa memperparah faktor eksternal apabila tidak bisa tertanggulangi dengan baik. Faktor internal ini adalah perilaku KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) yang kondisinya di Indonesia sudah dalam stadium yang membahayakan. Kalau kinerja KPK periode terakhir ini dinilai banyak pihak cukup memuaskan dan perlu terus ditingkatkan, maka UU yang sudah ada semestinya perlu dipertahankan agar tidak dikesankan ada upaya akan melemahkan KPK. Dan sejalan dengan upaya Pemerintah yang bermaksud membangun SDM yang kuat, maju, berdisiplin dan berkualitas, maka penguatan kinerja KPK sangat diperlukan. Dalam hal ini, KPK jangan sampai dilemahkan dalam rangka mengantarkan Indonesia yang maju, adil, dan makmur pada tahun emas 2045 kelak. (tulisan ini dikirim ke beberapa media cetak: Kompas, Koran Sindo, dan Koran Tempo, tapi belum pernah dimuat, dikirim pada bulan September-Oktober 2019)