Entri yang Diunggulkan

GENERASI PENDOBRAK JILID III

 Harian Rakyat Merdeka terbitan 20 April  2010,memuat artikel dengan judul “Bodoh Permanen” yang ditulis oleh Arif Gunawan. Tulisan tersebut...

Tampilkan postingan dengan label Presiden Jokowi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Presiden Jokowi. Tampilkan semua postingan

Kamis, 26 Januari 2023

Beras Porang

Presiden Jokowi di Pengolahan Porang di Madiun. (Sumber: BPMI Sekretariat Presiden)

Bermula di acara suatu siaran TV. Beberapa daerah di Jawa Timur dan Jawa Tengah dikabarkan menghasilkan budi daya tanam tumbuhan yang bernama porang. Apabila melihat jenis tumbuhannya, jadinya teringat di kampung halaman saya di desa Benjeng, Kabupaten Gresik. Jenis tanaman itu tumbuh liar dan dikenal sebagai gaceng yang sering disebarkan isu sebagai makanan ular. Oleh karena itu kalau sedang main sepakbola dan bolanya terpental ke semak-semak yang banyak tanaman gaceng, umumnya takut mengambil karena dikhawatirkan benar ada ular di lingkungan tersebut. Menurut cerita para orangtua, tanaman gaceng atau porang ini pernah menjadi makanan alternatif pada masa pendudukan Jepang tahun 1942 sampai dengan 1945. Karena bahan makanan banyak diangkut oleh tentara Jepang, maka berbagai upaya dilakukan untuk mencari jenis makanan pengganti. 

Tanaman Porang di Kawasan Hutan Situbondo. (Sumber: Momentum.com)


Nampaknya tentara pendudukan Jepang tertarik dengan umbi porang tersebut dan mungkin kemudian melakukan penelitian. Maka jadilah kita menanam porang besar-besaran untuk memenuhi kebutuhan ekspor ke berbagai negara. Sementara itu, beberapa waktu yang lalu, ramai diberitakan bahwa bantuan pangan selama masa pademi Covid-19, berasnya diisukan ada yang tercampur dengan beras plastik dan menuduh sebagai beras palsu dari Tiongkok. Boleh jadi mungkin itu beras porang. Karena anak saya yang terpengaruh iklan promosi, mencoba membeli beras porang bermerek “fukumi”. 

Berwujud menyerupai butiran beras, tetapi bening seperti plastik atau kaca dan ternyata nikmat dimakan seperti nasi setelah disedu dengan air panas. Dari berbagai sumber diperoleh informasi, bahwa porang adalah tanaman jenis herbal yang bisa tumbuh hingga setinggi 1,5 meter. Termasuk anggota genus Amorphophallus muelleri, dan dikenal juga dengan nama iles-iles kuning, atau coblok, acung atau acoan. Dengan adanya berbagai nama tersebut menunjukkan bahwa porang bisa tumbuh dengan mudah di mana-mana sehingga orang menyebutnya dengan nama berbeda-beda pula. Ternyata porang sangat bermanfaat karena mengandung karbonhidrat, protein mineral, vitamin, serat pangan dengan kandungan terbesar glukomanan yang bisa mengontrol gula darah serta menurunkan kolesterol. Juga mengandung kristal kalsium oksalat dan alkaloid. Porang juga banyak digunakan sebagai bahan baku tepung, penjernih air, kosmetik, pembuatan lem ramah lingkungan dan jelly serta komponen pesawat terbang. Dewasa ini, porang telah diekspor ke berbagai negara, yaitu Jepang, Vietnam, Tiongkok, Australia, Taiwan dan Korea Selatan. Pada tahun 2018 ekspor porang tercatat mencapai 254 ton dengan nilai ekspor sebesar Rp 11,3 milyar. Dalam rangka hilirisasi produk ekspor, pabrik pengolahan tepung porang sudah dibangun di Pasuruan, Wonogiri, Madiun, Bandung dan Maros. Presiden Jokowi menegaskan, bahwa porang merupakan harta karun yang bisa jadi masa depan Republik Indonesia. Nah, akankah kita mulai bertani menekuni budi daya tanaman porang? Kiranya, Pemerintah Pusat dan Daerah perlu menjembatani dan mendinamisir generasi muda dengan seksama dan bersungguh-sungguh agar pasar internasional tetap kita kuasai dengan produksi yang berlimpah!***** Bekasi, Januari 2023

Selasa, 08 Februari 2022

Surat Orang Utan dan kawan-kawan kepada Presiden Jokowi

 Cerpen ini dimuat di majalah Clapeyronmedia, sebagai tulisan ke 4 yg terbit pada bulan Februari 2022  

        Dua sejoli Orang Utan yang biasanya bergelayutan di puncak pohon besar itu berjalan bergandengan di daratan bak penganten baru yang sedang berbulan madu. Sesekali mereka berlompatan ke pohon besar, bergelantungan dan tetap berduaan. Mereka berdua sangat bahagia karena beberapa waktu terakhir ini terhindar dari kebakaran hutan dan penebangan pohon yang biasanya suaranya berdesing memekakkan telinga semua penghuni hutan. Si Jantan memulai pembicaraan. “ Dinda, hidup kita ini terancam, lho! Coba kau pikir! Manusia  di bumi ini semakin banyak, berkembang pesat sekali dan semakin maju serta pintar. Mereka membutuhkan segala macam dan banyak sekali. Mereka butuh lahan untuk persawahan  dan perkebunan kelapa sawit juga kayu-kayu besar hunian kita ini. Lalu mengincar tanah kita, membabat dan membakar hutan tempat tinggal kita ini seenaknya “, kata si Jantan penuh emosi.

“ Eh kanda, kau bilang ini tanah kita?”, tanya si Betina. Si Jantan langsung menyambar penuh keyakinan :” Ya, iyalah! Tuhan menciptakan alam ini seisinya. Sebelum didatangi manusia, pasti nenek moyang kita lah yang lebih dulu menghuni hutan ini secara turun-menurun. Sayangnya, pertumbuhan perkembang-biakan kita ini lamban, sedangkan manusia cepat sekali, maka kita terdesak dan terusir”. “Tetapi, ada orang pintar yang berpendapat, konon manusia itu dulunya merupakan evolusi dari bangsa kita lho, Kanda, sehingga boleh dibilang kita ini bersaudara dengan manusia”, celetuk si Betina meredam si Jantan yang semakin emosional. “Ya, malah ada bukti, bahwa DNA kelompok kita ini hampir mirip dengan DNA manusia, Sehingga pendapat orang pintar tadi mungkin ada benarnya, walau pun disanggah oleh para ilmuwan lain, terutama para ahli agama, karena pendapat itu bertentangan dengan kitab suci agama apa pun! Oh ya, saya punya pertanyaan , Dinda harus jawab”, kata si Jantan mulai mengendorkan emosinya. “Kalau orang yang tinggal di desa, namanya kan orang desa. Kalau orang yang tinggal di kota, namanya apa ya?”, tanya si Jantan, dan langsung dijawab oleh si Betina :”Ya, orang kota lah!”. “Kalau orang yang tinggal di kampung?”, tanya si Jantan kemudian. Juga langsung dijawab oleh si Betina :”Itu orang kampung, namanya”. “Nah, kalau orang yang tinggal di hutan, namanya apa?”, tanya si Jantan sambil mencolek pipi si Betina dengan genit. “Haa, itu kita ya, Kanda. Orang Utan, sebagaimana mereka memberi nama kepada kelompok kita”, jawab si Betina sambil tertawa terkekeh penuh bangga. “Berarti ada pengakuan dari mereka tho?”, tegas si Jantan. “Tetapi, bagaimana dengan ulah manusia yang terus menebangi hutan tempat tinggal kita ini, lalu membakari seenaknya, Kanda?”, tanya si Betina. “Pada hal, dunia sudah mengingatkan, lho! Untuk menjaga iklim dan lingkungan seluruh jagad, negara yang memiliki hutan agar menjaga kelestariannya. Jadi, hutan kita ini mestinya harus dijaga, bukan dibabat dan dibakari seenaknya!”, jelas si Jantan. “Masalahnya, kita ini di negeri yang masih miskin, sehingga kreativitasnya masih sebatas membabat kekayaan hutannya”, kata si Betina dengan nada seperti mencibir. “Ya, memang susah. Negara kaya membutuhkan berbagai macam barang atau produk dari tanah yang kita huni ini, sehingga ya saling membutuhkan, dan tidak terbendung”, jelas si Jantan. “Wah, kita bakal musnah dong, nanti hanya sebagai tontonan di kebun-kebun binatang saja. Kita harus segera bertindak, jangan diam saja, Kanda!”, usul si Betina. “Memang, saya punya ide. Saya akan mengumpulkan para tokoh penghuni hutan ini untuk membahas masa depan kita”, ujar si Jantan dengan optimis, bahwa pertemuan harus segera terlaksana.

          Maka dibuatlah pengumuman yang ditulis pada daun-daun yang lebar, dipampang pada batang pohon-pohon besar mengenai undangan rapat itu. Juga dibuat spanduk dari dedaunan dan dibentangkan di pohon-pohon yang berisi undangan rapat dengan menyebut tempat dan waktu pertemuan. Tentu saja, undangan versi tutur-tinular yang paling cepat sampai kepada semua hewan penghuni hutan. Berbagai jenis kera, burung, ular dan berbagai binatang melata lainnya sampai berbagai jenis serangga menyanggupi untuk hadir dalam pertemuan yang sangat penting tersebut. Pada hari yang ditentukan, perwakilan penghuni hutan sudah berkumpul di kawasan tempat pertemuan. Bahkan sudah ada yang menginap berhari-hari di atas dan di bawah pepohonan yang rindang dan asri.

          Pertemuan pun dimulai. Di dahan pohon besar, si Jantan Orang Utan sambil duduk berwibawa, membuka pertemuan. “Kawan-kawan penghuni hutan yang berbahagia,…..apakah kita saat ini sedang berada di tempat yang tenteram dan damai?”, tanya si Jantan Orang Utan. Yang dijawab dengan serempak bersahutan :”Ya, kita semua nyaman dan damai!”. “Tetapi sebenarnya, kita ini hidup terancam. Coba kita lihat, manusia setiap hari membabat pohon-pohon hunian dan makanan pokok kita. Mereka tak terbendung dan semakin merajalela. Adakah pemikiran dan usul kalian?”, teriak si Jantan Orang Utan. Burung Enggang, yang merupakan spesies aneh karena burung betinanya bersama  anaknya bersarang di dalam rongga pohon langsung menyampaikan kekhawatirannya. Seolah mewakili suara burung Pekakak yang paling banyak diburu orang untuk dikoleksi, juga burung Mina yang brilian serta burung-burung lain yang banyak jumlahnya, berujar :”Ya, Kanda Orang Utan, kami semua khawatir akan punah karena diburu secara serampangan, dan terhempas karena alam hidup kita terampas oleh manusia”. Demikian juga hewan yang lain, semua mendukung pernyataan burung Enggang. “Bagaimana kalau kita lawan mereka?”, usul Buaya dan Ular Cobra hampir serempak bak jagoan yang hebat. “Maksud kalian?”, tanya si Jantan Orang Utan. “Ya, kita lawan serempak dan bersatu, kita serang dan usir mereka begitu datang ke tempat kita ini!”, tandas si Buaya. “Semua yang punya kemampuan bela diri agar ditunjukkan kehebatan kita kepada mereka!”, kata si Ular Cobra bagaikan sesumbar dan menghasut sejawatnya di hutan Kalimantan yang lebat itu.

         Orang Utan yang biasa membuat sarang dari ranting dan cabang kayu di puncak pohon dan sering berteriak lantang kalau marah dan mengamuk, tertawa terbahak-bahak. Lalu ucapnya :”Pernah suatu ketika, sewaktu kalian semua lari, saya justru terus bertahan di puncak pohon besar. Saya melempari mereka dengan dahan dan ranting dengan harapan agar mereka mengurungkan niatnya, Yang terjadi malah pohon itu tetap ditebang dengan peralatan modern yang suaranya menderu-deru memekakkan telinga. Ketika pohon-pohon pada tumbang saya tidak sempat lari. Rupanya saya ikut roboh, terpelanting dan pingsan tertimpa pohon. Setelah siuman, tahu-tahu saya sudah di kota, dalam kerangkeng besi. Untung ada pecinta lingkungan dan hayati yang tahu dan kemudian membantu sehingga saya dikembalikan ke hutan ini, ketemu lagi dengan kalian”. Bekantan, sejenis kera yang memiliki hidung berdaging panjang dan Gibbon yang baru dilepas-liarkan karena sempat dipelihara oleh orang kaya di kota, tampak termenung dari awal. Dia nampaknya ditugasi oleh kelompoknya untuk mengikuti pertemuan. “Kok kalian berdua bengong saja! Ada yang kalian pikirkan atau ada usul?”, tanya si Jantan Orang Utan. “Ya, Kanda!”, kata si Bekantan dengan suara memelas. “Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo atau yang dikenal dengan Jokowi, malah mau memindahkan ibukota RI ke wilayah kita ini”, jelasnya. “Waah, di mana?”, teriak semua yang hadir hampir serempak. “Rencana sih di Kalimantan Timur”, sahut si Gibbon. “Oh, jauh ya dari tempat kita”, celetuk si Jantan Orang Utan. “Tetapi pasti orang-orang akan berdatangan ke wilayah kita ini, membangun segala macam lalu kita akan tergusur dan mungkin punah dari muka bumi”, gerutu para hewan yang lain dengan perasaan kaget dan khawatir yang teramat sangat. “Eh, saya dengar, Presiden Jokowi itu orang hutan juga ya?”, tanya si Burung Hantu asal nyeletuk. “Hee, jangan sembarangan kau ucap, ya! Nanti kamu bisa ditangkap karena termasuk mencemarkan nama baik dan menghina”, kata si Jantan Orang Utan menyadarkan. Tetapi si Burung Hantu buru-buru menjelaskan lebih lanjut :”Bahwa Presiden Jokowi itu seorang Sarjana Ilmu Kehutanan bertitel Insinyur atau Ir. Sehingga bisa kita  bilang orang hutan, orang yang tahu segala seluk-beluk tentang hutan. Gitu lho, maksud saya! Dan lagi, sewaktu menjadi Gubernur DKI Jakarta , pak Jokowi itu pernah melarang “Topeng Monyet” lho! Mencari makan kok menyiksa hewan, sungguh tidak berperi-kehewanan, begitu kira-kira pola pikir pak Jokowi”, jelas si Burung Hantu lebih lanjut bak seorang guru menerangkan kepada murid-muridnya. “Baik kawan-kawan, saya punya usul! Menyongsong ibu kota baru NKRI di wilayah kita ini, mari kita kirim surat kepada Presiden Jokowi. Mari kita bikin usul rame-rame!”, ujar si Jantan Orang Utan dengan  yakin seolah pandai menulis surat. “Hayo mari kita rumuskan bersama! Burung Hantu, cari ranting yang runcing untuk menulis! Kera, kau cari daun-daun lebar yang bisa dipakai untuk menulis!”, lanjut si Jantan Orang Utan, sepertinya tidak sabar lagi. “Ya, mari kita mulai!”, ujarnya sambil menerawang ke atas dan jari telunjuk yang kanan ditaruh di jidat bak pemikir yang sedang memeras otaknya. “Kepada Presiden Jokowi di Jakarta. Kami penghuni hutan pulau Kalimantan, mendengar, bahwa ibukota NKRI akan pindah dari Jakarta ke kawasan kami, ya Pak? Kalau ya, kami semua senang tetapi takut jika kami nanti tergusur dan punah, Pak! Lalu apa kata dunia? Oleh karena itu kami punya usul, agar kawasan kami ini tetap terjaga, hutan serta kehidupan kami yang unik ini! Mohon pak Presiden pikirkan agar dibuat jalanan semacam tembok Cina yang meliuk-liuk sepanjang hutan dan sungai, tetapi terlindung atas-bawah agar kawan-kawan saya yang besar maupun yang kecil-kecil tidak bisa masuk mengganggu manusia. Biarlah manusia dari segala penjuru dunia melalui jalanan itu bisa menyaksikan kami dengan kedamaian dan saling membutuhkan penghidupan serta hiburan. Perpindahan penduduk dan pertumbuhannya juga mestinya terkendali dengan baik, dan huniannya tertata dengan baik supaya bisa menarik para wisatawan karena lingkungan yang indah. Juga sungai-sungai sebaiknya ditata dengan bersungguh-sungguh sehingga bukan lagi sebagai tontonan banjir, tetapi sebagai sarana pariwisata alam untuk bercengkerama dengan kami. Sebagai kawasan ibukota, mestinya banyak anggota TNI dan POLRI yang menjaga, dan bersamaan dengan itu mohon ikut menjaga kelestarian hutan, dan mengamankan kami sebagai penghuninya. Terimakasih Bapak Presiden, mohon maaf kami tidak bermaksud menggurui, melainkan hanya sekedar sumbang saran. Hormat kami, atas nama penghuni hutan Kalimantan, tertanda “Orang Utan”.

          Ternyata semua tokoh penghuni hutan yang hadir ikut mencatat surat yang didiktekan oleh si Jantan Orang Utan. “Hee….., apa yang kalian tulis, Buaya dan lain-lain yang juga mengumpulkan naskah? Huruf apa yang kalian tulis?”, tanya si Jantan Orang Utan dengan bangga karena semua mendukung langkahnya. “Ini huruf-huruf  di lingkungan kami, Kanda! Biarlah kita kirim saja, siapa tahu di Pemerintahan ada yang paham tulisan kami ini”, jelas mereka saling mendukung. Dengan penuh suka-cita dan mengucap terimakasih kepada semua yang hadir, si Jantan Orang Utan menutup pertemuan yang sangat bersahabat tersebut. Tetapi sebelum bubar, tiba-tiba si Kera tarik suara dengan lantang :”Kanda, kebetulan saya menemukan bekas amplop-amplop besar dan koran-koran milik petugas atau pejabat pembabat hutan yang ditinggal di hutan. Kita bisa pilih huruf-hurufnya untuk dimanfaatkan berkirim surat agar bisa sampai ke tangan pak Jokowi dengan selamat!”.

          Surat dari dedaunan itu segera dilipat rapi dan kepada Kera yang lincah, bersama Anjing sebagai pengawal, diminta untuk mengirim atau menaruh surat itu ke Kantor Pos. Atau meletakkan di Kantor Pemerintahan, atau markas TNI/ POLRI dan mana saja yang terdekat, dengan harapan bisa disampaikan kepada Presiden Joko Widodo.*****

Jumat, 18 Juni 2021

BESI INFRASTRUKTUR BANYAK BERKARAT

 

Proyek infrastruktur dibangun di mana-mana

Presiden Jokowi memang mengutamakan itu

Jalan raya, jalan tol, rel kereta api, MRT, LRT, kereta cepat, jembatan, bendungan, dan lain-lain

kebutuhan masyarakat, dibangun serentak di seluruh bumi Nusantara

Tetapi sayang, dari pemandangan yang ada pada proyek yang sedang dikerjakan

Besi konstruksi yang sedang terpasang, kelihatan banyak berkarat

Tidak seperti proyek MRT  yang pernah  gagal, besi konstruksinya tidak berkarat selama bertahun-tahun

Jadinya khawatir, dalam jangka panjang, besi-besi itu akan jadi bubuk besi dalam beton dan akan menghancurkan kekuatan tiang-tiang beton itu

Mutu besi memang berbeda-beda tergantung di pabrik mana diproduksi dan bagaimana komposisi kimianya serta perolehan dan mutu bahan bakunya

Semoga niat luhur Presiden Jokowi tidak dilunturkan oleh para pelaksana di lapangan

Oleh karena itu, pembuatan prasasti yang lengkap dengan penjelasan siapa perancang, siapa pelaksana, kapan mulai dikerjakan dan kapan selesai serta besar biayanya harus tertera dengan jelas

Karena penting untuk pertanggungjawaban kepada generasi mendatang terhadap mutu pekerjaan para pendahulu, apakah bermutu dan tahan lama, atau mudah ambruk karena serampangan

Kamis, 13 Agustus 2020

TEMBAKAN MERIAM DI LAPANGAN MONAS

Dua kali dalam tahun yang berbeda, saya pernah mengusulkan, agar dentuman meriam di Lapangan
Monas ditiadakan. Baik sewaktu peringatan HUT Detik-detik Proklamasi Kemerdekaan RI, maupun
waktu penyambutan tamu negara. Tujuannya adalah, menyelamatkan bangunan Tugu Monas dan
bangunan bersejarah lainnya di sekitar Istana Kepresidenan/Masjid Istiqlal dari getaran yang dapat
merusak konstruksi dalam jangka panjang.
Sewaktu berkantor di gedung PT Pertamina Pusat, saya selalu merasakan getaran itu apabila ada
tembakan meriam di Lapangan Monas. Oleh karena itu, semoga pada peringatan 17 Agustus 2020
dan seterusnya, tembakan meriam ini ditiadakan, disamping karena suasana pandemi Covid-19,
juga karena sewaktu Proklamasi 1945 dulu tidak ada tembak-menembak dan suasana hening karena
bulan suci Ramadhan. Sekarang sebaiknya cukup dengan membunyikan sirine, tabuh bedug di
masjid-masjid dan membunyikan lonceng gereja saja sebagai tanda kita bersyukur disertai berdoa
menurut agama dan kepercayaan masing-masing. Usul saya ini diilhami oleh kasus Pemerintah India
yang pernah melarang konser musik tahun baru di Kawasan Taj Mahal, karena dikhawatirkan
getarannya bisa merusak konstruksi bangunan peninggalan bersejarah tersebut dalam jangka
panjang.*****

(tulisan ini saya kirimkan sebagai surat pembaca ke beberapa media massa di Ibukota)

Kamis, 19 Desember 2019

Jangan Lemahkan KPK

Apabila ditelaah lebih jauh dari segi ekososiofisika, kenapa Indonesia yang pernah melaksanakan enam kali Pelita tak kunjung lepas landas seperti yang pernah selalu digembar-gemborkan pada waktu itu? Jawabannya, karena dihambat oleh friksi yang namanya korupsi yang merajalela di segala lini. Sebagai akibatnya, pembangunan yang telah membabat hutan, menguras kekayaan alam oleh bangsa asing dan hutang serta bantuan asing yang begitu besar hanya membuat kita tetap berada di landasan, walaupun telah memakan waktu selama 32 tahun dan rezim Orba dipaksa tumbang oleh aksi rakyat. Lembaga pemeriksa memang sudah ada, dari sekelas Internal Audit, BPKP sampai lembaga tinggi setingkat BPK. Tetapi di masa lalu, seringkali fungsi mereka hanya ecek;ecek. Mereka datang, disambut dan dipenuhi segala tetek-bengeknya, memeriksa lalu segala sesuatunya beres. Setiap temuan penyelewengan sering kali diselesaikan secara adat sehingga seolah tidak pernah ada penyelewengan dan tidak pernah ada yang tertangkap, pada hal hasil pembangunannya tidak bermutu karena banyak dikorupsi. Kasus gedung sekolah yang luas lahannya sempit dan gedungnya mudah ambruk, jembatan yang mudah rusak dan jalan raya yang selalu tambal sulam dan banyak berlubang adalah salah satu contoh hasil perilaku kerja koruptif. Menyadari akan bahaya korupsi itulah, maka pada masa rezim reformasi dibentuklah KPK pada era Presiden Megawati Soekarnoputri (tahun 2002). Kalau kemudian banyak tokoh politisi dari PDIP yang tertangkap KPK, maka itulah resiko suatu perjuangan yang harus dipikul dengan lapang dada dan jiwa besar. Adalah tugas semua partai politik agar mampu mencari dan membina kader yang berkualitas dan tidak berkelakuan serta bermental koruptif. Ada lagi yang berpendapat bahwa korupsi semakin merajalela di negeri ini dengan makin banyaknya pengusaha, birokrat, dan politisi yang ditangkap oleh KPK. Benarkah demikian?. Penulis jadi teringat ceramah Ustadz Abu Sangkan dalam suatu siaran TV. Ketika ditanya oleh Jemaah mengenai prospek keberhasilan pemberantasan korupsi di Indonesia, dia mengungkap suatu penelitian di Jepang. Bahwa otak manusia itu mengandung enzim yang secara otomatis bisa menularkan sifat-sifat tertentu kepada sesamanya walaupun tidak diajarkan. Maka sifat atau perilaku koruptif juga demikian. Apabila para elitenya gemar melakukan korupsi, maka secara otomatis akan menular ke seluruh rakyatnya. Sebaliknya, kalau elitnya berperilaku jujur, maka banyak koruptor yang akan tertangkap tangan oleh penegak hukum seperti KPK karena mereka secara otomatis akan semakin bernyali besar untuk memberantas korupsi mengikuti para elitnya yang sudah banyak mulai berbuat jujur. Oleh karena itu, kalau masyarakat luas banyak yang merasa puas mengenai kinerja KPK akhir-akhir ini, mungkin UU yang sudah ada perlu dipertahankan dan semakin ditingkatkan pelaksanaannya. Mengenai eksekusi anggaran yang sudah ditetapkan, mestinya tidak perlu ditakuti sejauh tidak melanggar prosedur, menjamin mutu kerja dan mutu produk atau bahan dan tidak berniat korupsi, maka pelaksanaan perlu segera direalisir demi kelancaran pembangunan yang dibutuhkan oleh rakyat. Tidak ada alasan untuk menunda-nunda pelaksanaan suatu mata anggaran hanya karena takut dituduh korupsi. Justru karena yang menunda atau menghambat suatu pelaksanaan anggaran yang sudah direncanakan itulah yang patut dicurigai karena bisa saja dianggap sudah terbiasa berperilaku, “wani piro?”. Dalam ilmu fisika dasar berlaku hukum tentang gaya, bahwa gerak suatu benda itu akan selalu mendapat hambatan atau friksi yang akan mempengaruhi cepat-lambatnya suatu gerakan. Demikian juga laju pembangunan ekonomi dan sosial suatu bangsa akan selalu mengalami hambatan yang datangnya dari luar ( faktor eksternal) serta hambatan yang berasal dari dalam (faktor internal). Faktor internal ini bisa memperparah faktor eksternal apabila tidak bisa tertanggulangi dengan baik. Faktor internal ini adalah perilaku KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) yang kondisinya di Indonesia sudah dalam stadium yang membahayakan. Kalau kinerja KPK periode terakhir ini dinilai banyak pihak cukup memuaskan dan perlu terus ditingkatkan, maka UU yang sudah ada semestinya perlu dipertahankan agar tidak dikesankan ada upaya akan melemahkan KPK. Dan sejalan dengan upaya Pemerintah yang bermaksud membangun SDM yang kuat, maju, berdisiplin dan berkualitas, maka penguatan kinerja KPK sangat diperlukan. Dalam hal ini, KPK jangan sampai dilemahkan dalam rangka mengantarkan Indonesia yang maju, adil, dan makmur pada tahun emas 2045 kelak. (tulisan ini dikirim ke beberapa media cetak: Kompas, Koran Sindo, dan Koran Tempo, tapi belum pernah dimuat, dikirim pada bulan September-Oktober 2019)

Minggu, 22 Januari 2017

Dentuman Meriam di Lapangan Monas



Pada tahun 2006, saya pernah menulis surat pembaca di berbagai media massa, mengusulkan agar dentuman meriam di Lapangan Monas dihentikan, karena dikhawatirkan dapat merusak bangunan Monas dan bangunan cagar budaya lain di sekitarnya. Seperti diketahui, setiap kali menyambut tamu negara selalu diberikan  tembakan Meriam sebanyak 19 sampai 21 kali, dan untuk perayaan HUT Kemerdekaan RI diberikan tembakan sebanyak 17 kali.
Usul saya tersebut diilhami oleh kebijakan Pemerintah India yang pernah melarang konser music di kawasan Taj Mahal, karena dikhawatirkan getarannya dapat merusak bangunan yang sangat mereka (dan dunia) banggakan itu. Perlu saya sampaikan juga, bahwa sewaktu saya berkantor di Jalan Medan Merdeka Timur, apabila ada tembakan Meriam di lapangan Monas, dnding dan jendela kantor selalu bergetar. Maka dapat dibayangkan apa yang terjadi pada bangunan Monas, Istana Kepresidenan dan lain-lain. Saya mengusulkan agar peringatan detik-detik proklamasi cukup disambut dengan bunyi sirene dan bedug di Masjid Istiqlal dan masjid di kawasan istana kepresidenan serta lonceng di Gereja saja. Sedangkan ketika menyambut tamu negara, sebaiknya tembakan Meriam diberikan ketika tamu tiba di Lapangan Terbang (Bandara) Halim Perdanakusuma
Dengan langkah tersebut, berarti kita turut menjaga kelestarian bangunan peninggalan bersejarah oleh pendahulu kita yang berguna bagi obyek pariwisata dan sebagai penanda zaman, prestasi kerja serta karya arsitektur yang monumental.
Semoga usulan saya ini dapat menjadi kajian dan pertimbangan pemerintah!.