Presiden Jokowi di Pengolahan Porang di Madiun. (Sumber: BPMI Sekretariat Presiden) |
Tanaman Porang di Kawasan Hutan Situbondo. (Sumber: Momentum.com) |
Harian Rakyat Merdeka terbitan 20 April 2010,memuat artikel dengan judul “Bodoh Permanen” yang ditulis oleh Arif Gunawan. Tulisan tersebut...
Presiden Jokowi di Pengolahan Porang di Madiun. (Sumber: BPMI Sekretariat Presiden) |
Tanaman Porang di Kawasan Hutan Situbondo. (Sumber: Momentum.com) |
Cerpen ini dimuat di majalah Clapeyronmedia, sebagai tulisan ke 4 yg terbit pada bulan Februari 2022
Dua sejoli Orang Utan yang biasanya
bergelayutan di puncak pohon besar itu berjalan bergandengan di daratan bak
penganten baru yang sedang berbulan madu. Sesekali mereka berlompatan ke pohon
besar, bergelantungan dan tetap berduaan. Mereka berdua sangat bahagia karena
beberapa waktu terakhir ini terhindar dari kebakaran hutan dan penebangan pohon
yang biasanya suaranya berdesing memekakkan telinga semua penghuni hutan. Si
Jantan memulai pembicaraan. “ Dinda, hidup kita ini terancam, lho! Coba kau pikir!
Manusia di bumi ini semakin banyak,
berkembang pesat sekali dan semakin maju serta pintar. Mereka membutuhkan
segala macam dan banyak sekali. Mereka butuh lahan untuk persawahan dan perkebunan kelapa sawit juga kayu-kayu
besar hunian kita ini. Lalu mengincar tanah kita, membabat dan membakar hutan
tempat tinggal kita ini seenaknya “, kata si Jantan penuh emosi.
“
Eh kanda, kau bilang ini tanah kita?”, tanya si Betina. Si Jantan langsung
menyambar penuh keyakinan :” Ya, iyalah! Tuhan menciptakan alam ini seisinya. Sebelum
didatangi manusia, pasti nenek moyang kita lah yang lebih dulu menghuni hutan
ini secara turun-menurun. Sayangnya, pertumbuhan perkembang-biakan kita ini
lamban, sedangkan manusia cepat sekali, maka kita terdesak dan terusir”. “Tetapi,
ada orang pintar yang berpendapat, konon manusia itu dulunya merupakan evolusi dari
bangsa kita lho, Kanda, sehingga boleh dibilang kita ini bersaudara dengan
manusia”, celetuk si Betina meredam si Jantan yang semakin emosional. “Ya,
malah ada bukti, bahwa DNA kelompok kita ini hampir mirip dengan DNA manusia, Sehingga
pendapat orang pintar tadi mungkin ada benarnya, walau pun disanggah oleh para
ilmuwan lain, terutama para ahli agama, karena pendapat itu bertentangan dengan
kitab suci agama apa pun! Oh ya, saya punya pertanyaan , Dinda harus jawab”,
kata si Jantan mulai mengendorkan emosinya. “Kalau orang yang tinggal di desa, namanya
kan orang desa. Kalau orang yang tinggal di kota, namanya apa ya?”, tanya si
Jantan, dan langsung dijawab oleh si Betina :”Ya, orang kota lah!”. “Kalau
orang yang tinggal di kampung?”, tanya si Jantan kemudian. Juga langsung
dijawab oleh si Betina :”Itu orang kampung, namanya”. “Nah, kalau orang yang
tinggal di hutan, namanya apa?”, tanya si Jantan sambil mencolek pipi si Betina
dengan genit. “Haa, itu kita ya, Kanda. Orang Utan, sebagaimana mereka memberi
nama kepada kelompok kita”, jawab si Betina sambil tertawa terkekeh penuh
bangga. “Berarti ada pengakuan dari mereka tho?”, tegas si Jantan. “Tetapi,
bagaimana dengan ulah manusia yang terus menebangi hutan tempat tinggal kita
ini, lalu membakari seenaknya, Kanda?”, tanya si Betina. “Pada hal, dunia sudah
mengingatkan, lho! Untuk menjaga iklim dan lingkungan seluruh jagad, negara
yang memiliki hutan agar menjaga kelestariannya. Jadi, hutan kita ini mestinya
harus dijaga, bukan dibabat dan dibakari seenaknya!”, jelas si Jantan. “Masalahnya,
kita ini di negeri yang masih miskin, sehingga kreativitasnya masih sebatas
membabat kekayaan hutannya”, kata si Betina dengan nada seperti mencibir. “Ya,
memang susah. Negara kaya membutuhkan berbagai macam barang atau produk dari
tanah yang kita huni ini, sehingga ya saling membutuhkan, dan tidak
terbendung”, jelas si Jantan. “Wah, kita bakal musnah dong, nanti hanya sebagai
tontonan di kebun-kebun binatang saja. Kita harus segera bertindak, jangan diam
saja, Kanda!”, usul si Betina. “Memang, saya punya ide. Saya akan mengumpulkan
para tokoh penghuni hutan ini untuk membahas masa depan kita”, ujar si Jantan
dengan optimis, bahwa pertemuan harus segera terlaksana.
Maka dibuatlah pengumuman yang
ditulis pada daun-daun yang lebar, dipampang pada batang pohon-pohon besar
mengenai undangan rapat itu. Juga dibuat spanduk dari dedaunan dan dibentangkan
di pohon-pohon yang berisi undangan rapat dengan menyebut tempat dan waktu
pertemuan. Tentu saja, undangan versi tutur-tinular yang paling cepat sampai
kepada semua hewan penghuni hutan. Berbagai jenis kera, burung, ular dan berbagai
binatang melata lainnya sampai berbagai jenis serangga menyanggupi untuk hadir dalam
pertemuan yang sangat penting tersebut. Pada hari yang ditentukan, perwakilan
penghuni hutan sudah berkumpul di kawasan tempat pertemuan. Bahkan sudah ada
yang menginap berhari-hari di atas dan di bawah pepohonan yang rindang dan
asri.
Pertemuan pun dimulai. Di dahan pohon
besar, si Jantan Orang Utan sambil duduk berwibawa, membuka pertemuan.
“Kawan-kawan penghuni hutan yang berbahagia,…..apakah kita saat ini sedang
berada di tempat yang tenteram dan damai?”, tanya si Jantan Orang Utan. Yang
dijawab dengan serempak bersahutan :”Ya, kita semua nyaman dan damai!”. “Tetapi
sebenarnya, kita ini hidup terancam. Coba kita lihat, manusia setiap hari
membabat pohon-pohon hunian dan makanan pokok kita. Mereka tak terbendung dan semakin
merajalela. Adakah pemikiran dan usul kalian?”, teriak si Jantan Orang Utan. Burung
Enggang, yang merupakan spesies aneh karena burung betinanya bersama anaknya bersarang di dalam rongga pohon
langsung menyampaikan kekhawatirannya. Seolah mewakili suara burung Pekakak yang
paling banyak diburu orang untuk dikoleksi, juga burung Mina yang brilian serta
burung-burung lain yang banyak jumlahnya, berujar :”Ya, Kanda Orang Utan, kami
semua khawatir akan punah karena diburu secara serampangan, dan terhempas karena
alam hidup kita terampas oleh manusia”. Demikian juga hewan yang lain, semua
mendukung pernyataan burung Enggang. “Bagaimana kalau kita lawan mereka?”, usul
Buaya dan Ular Cobra hampir serempak bak jagoan yang hebat. “Maksud kalian?”,
tanya si Jantan Orang Utan. “Ya, kita lawan serempak dan bersatu, kita serang
dan usir mereka begitu datang ke tempat kita ini!”, tandas si Buaya. “Semua
yang punya kemampuan bela diri agar ditunjukkan kehebatan kita kepada mereka!”,
kata si Ular Cobra bagaikan sesumbar dan menghasut sejawatnya di hutan
Kalimantan yang lebat itu.
Orang Utan yang biasa membuat sarang
dari ranting dan cabang kayu di puncak pohon dan sering berteriak lantang kalau
marah dan mengamuk, tertawa terbahak-bahak. Lalu ucapnya :”Pernah suatu ketika,
sewaktu kalian semua lari, saya justru terus bertahan di puncak pohon besar.
Saya melempari mereka dengan dahan dan ranting dengan harapan agar mereka
mengurungkan niatnya, Yang terjadi malah pohon itu tetap ditebang dengan
peralatan modern yang suaranya menderu-deru memekakkan telinga. Ketika pohon-pohon
pada tumbang saya tidak sempat lari. Rupanya saya ikut roboh, terpelanting dan
pingsan tertimpa pohon. Setelah siuman, tahu-tahu saya sudah di kota, dalam
kerangkeng besi. Untung ada pecinta lingkungan dan hayati yang tahu dan
kemudian membantu sehingga saya dikembalikan ke hutan ini, ketemu lagi dengan kalian”.
Bekantan, sejenis kera yang memiliki hidung berdaging panjang dan Gibbon yang
baru dilepas-liarkan karena sempat dipelihara oleh orang kaya di kota, tampak termenung
dari awal. Dia nampaknya ditugasi oleh kelompoknya untuk mengikuti pertemuan. “Kok
kalian berdua bengong saja! Ada yang kalian pikirkan atau ada usul?”, tanya si Jantan
Orang Utan. “Ya, Kanda!”, kata si Bekantan dengan suara memelas. “Presiden Republik
Indonesia, Joko Widodo atau yang dikenal dengan Jokowi, malah mau memindahkan
ibukota RI ke wilayah kita ini”, jelasnya. “Waah, di mana?”, teriak semua yang
hadir hampir serempak. “Rencana sih di Kalimantan Timur”, sahut si Gibbon. “Oh,
jauh ya dari tempat kita”, celetuk si Jantan Orang Utan. “Tetapi pasti
orang-orang akan berdatangan ke wilayah kita ini, membangun segala macam lalu
kita akan tergusur dan mungkin punah dari muka bumi”, gerutu para hewan yang
lain dengan perasaan kaget dan khawatir yang teramat sangat. “Eh, saya dengar,
Presiden Jokowi itu orang hutan juga ya?”, tanya si Burung Hantu asal nyeletuk.
“Hee, jangan sembarangan kau ucap, ya! Nanti kamu bisa ditangkap karena
termasuk mencemarkan nama baik dan menghina”, kata si Jantan Orang Utan
menyadarkan. Tetapi si Burung Hantu buru-buru menjelaskan lebih lanjut :”Bahwa
Presiden Jokowi itu seorang Sarjana Ilmu Kehutanan bertitel Insinyur atau Ir. Sehingga
bisa kita bilang orang hutan, orang yang
tahu segala seluk-beluk tentang hutan. Gitu lho, maksud saya! Dan lagi, sewaktu
menjadi Gubernur DKI Jakarta , pak Jokowi itu pernah melarang “Topeng Monyet” lho!
Mencari makan kok menyiksa hewan, sungguh tidak berperi-kehewanan, begitu kira-kira
pola pikir pak Jokowi”, jelas si Burung Hantu lebih lanjut bak seorang guru
menerangkan kepada murid-muridnya. “Baik kawan-kawan, saya punya usul! Menyongsong
ibu kota baru NKRI di wilayah kita ini, mari kita kirim surat kepada Presiden Jokowi.
Mari kita bikin usul rame-rame!”, ujar si Jantan Orang Utan dengan yakin seolah pandai menulis surat. “Hayo mari
kita rumuskan bersama! Burung Hantu, cari ranting yang runcing untuk menulis!
Kera, kau cari daun-daun lebar yang bisa dipakai untuk menulis!”, lanjut si
Jantan Orang Utan, sepertinya tidak sabar lagi. “Ya, mari kita mulai!”, ujarnya
sambil menerawang ke atas dan jari telunjuk yang kanan ditaruh di jidat bak
pemikir yang sedang memeras otaknya. “Kepada Presiden Jokowi di Jakarta. Kami
penghuni hutan pulau Kalimantan, mendengar, bahwa ibukota NKRI akan pindah dari
Jakarta ke kawasan kami, ya Pak? Kalau ya, kami semua senang tetapi takut jika
kami nanti tergusur dan punah, Pak! Lalu apa kata dunia? Oleh karena itu kami punya
usul, agar kawasan kami ini tetap terjaga, hutan serta kehidupan kami yang unik
ini! Mohon pak Presiden pikirkan agar dibuat jalanan semacam tembok Cina yang
meliuk-liuk sepanjang hutan dan sungai, tetapi terlindung atas-bawah agar
kawan-kawan saya yang besar maupun yang kecil-kecil tidak bisa masuk mengganggu
manusia. Biarlah manusia dari segala penjuru dunia melalui jalanan itu bisa
menyaksikan kami dengan kedamaian dan saling membutuhkan penghidupan serta
hiburan. Perpindahan penduduk dan pertumbuhannya juga mestinya terkendali
dengan baik, dan huniannya tertata dengan baik supaya bisa menarik para
wisatawan karena lingkungan yang indah. Juga sungai-sungai sebaiknya ditata
dengan bersungguh-sungguh sehingga bukan lagi sebagai tontonan banjir, tetapi
sebagai sarana pariwisata alam untuk bercengkerama dengan kami. Sebagai kawasan
ibukota, mestinya banyak anggota TNI dan POLRI yang menjaga, dan bersamaan
dengan itu mohon ikut menjaga kelestarian hutan, dan mengamankan kami sebagai penghuninya.
Terimakasih Bapak Presiden, mohon maaf kami tidak bermaksud menggurui,
melainkan hanya sekedar sumbang saran. Hormat kami, atas nama penghuni hutan
Kalimantan, tertanda “Orang Utan”.
Ternyata semua tokoh penghuni hutan
yang hadir ikut mencatat surat yang didiktekan oleh si Jantan Orang Utan.
“Hee….., apa yang kalian tulis, Buaya dan lain-lain yang juga mengumpulkan
naskah? Huruf apa yang kalian tulis?”, tanya si Jantan Orang Utan dengan bangga
karena semua mendukung langkahnya. “Ini huruf-huruf di lingkungan kami, Kanda! Biarlah kita kirim
saja, siapa tahu di Pemerintahan ada yang paham tulisan kami ini”, jelas mereka
saling mendukung. Dengan penuh suka-cita dan mengucap terimakasih kepada semua
yang hadir, si Jantan Orang Utan menutup pertemuan yang sangat bersahabat
tersebut. Tetapi sebelum bubar, tiba-tiba si Kera tarik suara dengan lantang
:”Kanda, kebetulan saya menemukan bekas amplop-amplop besar dan koran-koran milik
petugas atau pejabat pembabat hutan yang ditinggal di hutan. Kita bisa pilih huruf-hurufnya
untuk dimanfaatkan berkirim surat agar bisa sampai ke tangan pak Jokowi dengan
selamat!”.
Surat dari dedaunan itu segera dilipat
rapi dan kepada Kera yang lincah, bersama Anjing sebagai pengawal, diminta
untuk mengirim atau menaruh surat itu ke Kantor Pos. Atau meletakkan di Kantor
Pemerintahan, atau markas TNI/ POLRI dan mana saja yang terdekat, dengan
harapan bisa disampaikan kepada Presiden Joko Widodo.*****
Proyek
infrastruktur dibangun di mana-mana
Presiden
Jokowi memang mengutamakan itu
Jalan
raya, jalan tol, rel kereta api, MRT, LRT, kereta cepat, jembatan, bendungan,
dan lain-lain
kebutuhan masyarakat,
dibangun serentak di seluruh bumi Nusantara
Tetapi
sayang, dari pemandangan yang ada pada proyek yang sedang dikerjakan
Besi
konstruksi yang sedang terpasang, kelihatan banyak berkarat
Tidak
seperti proyek MRT yang pernah gagal, besi konstruksinya tidak berkarat
selama bertahun-tahun
Jadinya
khawatir, dalam jangka panjang, besi-besi itu akan jadi bubuk besi dalam beton
dan akan menghancurkan kekuatan tiang-tiang beton itu
Mutu besi
memang berbeda-beda tergantung di pabrik mana diproduksi dan bagaimana
komposisi kimianya serta perolehan dan mutu bahan bakunya
Semoga
niat luhur Presiden Jokowi tidak dilunturkan oleh para pelaksana di lapangan
Oleh
karena itu, pembuatan prasasti yang lengkap dengan penjelasan siapa perancang,
siapa pelaksana, kapan mulai dikerjakan dan kapan selesai serta besar biayanya
harus tertera dengan jelas
Karena
penting untuk pertanggungjawaban kepada generasi mendatang terhadap mutu
pekerjaan para pendahulu, apakah bermutu dan tahan lama, atau mudah ambruk
karena serampangan
Dua kali dalam tahun yang berbeda, saya pernah mengusulkan, agar dentuman meriam di Lapangan
Monas ditiadakan. Baik sewaktu peringatan HUT Detik-detik Proklamasi Kemerdekaan RI, maupun
waktu penyambutan tamu negara. Tujuannya adalah, menyelamatkan bangunan Tugu Monas dan
bangunan bersejarah lainnya di sekitar Istana Kepresidenan/Masjid Istiqlal dari getaran yang dapat
merusak konstruksi dalam jangka panjang.
Sewaktu berkantor di gedung PT Pertamina Pusat, saya selalu merasakan getaran itu apabila ada
tembakan meriam di Lapangan Monas. Oleh karena itu, semoga pada peringatan 17 Agustus 2020
dan seterusnya, tembakan meriam ini ditiadakan, disamping karena suasana pandemi Covid-19,
juga karena sewaktu Proklamasi 1945 dulu tidak ada tembak-menembak dan suasana hening karena
bulan suci Ramadhan. Sekarang sebaiknya cukup dengan membunyikan sirine, tabuh bedug di
masjid-masjid dan membunyikan lonceng gereja saja sebagai tanda kita bersyukur disertai berdoa
menurut agama dan kepercayaan masing-masing. Usul saya ini diilhami oleh kasus Pemerintah India
yang pernah melarang konser musik tahun baru di Kawasan Taj Mahal, karena dikhawatirkan
getarannya bisa merusak konstruksi bangunan peninggalan bersejarah tersebut dalam jangka
panjang.*****
(tulisan ini saya kirimkan sebagai surat pembaca ke beberapa media massa di Ibukota)