Presiden Jokowi di Pengolahan Porang di Madiun. (Sumber: BPMI Sekretariat Presiden) |
Tanaman Porang di Kawasan Hutan Situbondo. (Sumber: Momentum.com) |
Harian Rakyat Merdeka terbitan 20 April 2010,memuat artikel dengan judul “Bodoh Permanen” yang ditulis oleh Arif Gunawan. Tulisan tersebut...
Presiden Jokowi di Pengolahan Porang di Madiun. (Sumber: BPMI Sekretariat Presiden) |
Tanaman Porang di Kawasan Hutan Situbondo. (Sumber: Momentum.com) |
Oleh :
Muhammad Sadji
Sebuah lagu
diciptakan pasti ada tujuannya. Ada motif dan kesan tertentu waktu digubah oleh
penciptanya. Ada motif gembira, sedih, patah hati, bersyukur dan penyemangat.
Ada banyak latar belakang kenapa sebuah lagu dibuat.
Ada lagu anak
yang diciptakan oleh Ibu Sud yang berjudul “Menanam Jagung” dan lagu anak berirama keroncong ciptaan Poniman
yang berjudul “Waktu Potong Padi”
Makna kedua lagu merdu dan ceria tersebut adalah
mengingatkan kita untuk bertani dan bekerja bergotong-royong saling
bantu-membantu dan tolong-menolong antar tetangga sesama petani. Ajakan bertani
sudah ditanamkan sejak kanak-kanak melalui kedua lagu tersebut, yang sekarang
ini jarang terdengar lagi di sekolah-sekolah. Pelajaran dari Jepang, lain lagi.
Seorang teman yang anaknya bertugas di Jepang bercerita, bahwa cucunya yang
sekolah TK di sana, pernah diajarkan praktek langsung bertanam dan memanen ubi
jalar di kebun sekolah.
Tujuh tahun setelah
Proklamasi Kemerdekaan, tepatnya pada tahun 1952, Presiden Soekarno meresmikan
kampus Fakultas Pertanian Universitas Indonesia di Bogor yang di
kemudian hari menjadi Institut Pertanian Bogor (sekarang IPB University). Dalam
pidato peresmian tersebut, beliau antaralain menyatakan, bahwa pertanian adalah
soal hidup matinya sebuah bangsa
Perkembangannya, banyak Universitas membentuk Fakultas
Pertanian dan ada juga Sekolah Menengah Pertanian di beberapa daerah. Lalu
bagaimana hasilnya? Nyatanya, kita masih jauh dari swa sembada pangan. Karena swa
sembada yang sebenarnya, seharusnya berhasil secara terus-menerus karena
keunggulan rekayasa teknologi dan pembenahan prasarana sektor pertanian.
Pembenahan sungai sehingga tetap menjadi sahabat di waktu musim hujan maupun
musim kemarau adalah salah satu bentuk upaya memajukan sektor pertanian yang
sesungguhnya. Karena belum adanya upaya yang maksimal dan bersungguh-sungguh,
maka yang selalu terjadi setiap tahun adalah dialaminya kasus gagal panen
karena air yang meluap ketika musim hujan dan kekeringan ketika kemarau panjang
serta masih adanya serangan hama.
Banyaknya TKI lari ke luar negeri, adalah salah satu bukti
belum berhasilnya sektor pertanian memancing kemajuan alam pikiran mereka.
Pertanian masih dipandang identik dengan kemiskinan. Untuk mengubah alam
pikiran bahwa pertanian bisa mendatangkan kesejahteraan, adalah dengan
penyediaan dan pembenahan prasarana yang memadai sesuai kebutuhan pertanian
sepanjang tahun.
Harta Karun Komoditas Ekspor
Terlepas dari ketersediaan sarana dan prasarana pertanian
yang memadai, sebenarnya kita memiliki berbagai jenis komoditas pertanian yang
sudah berhasil diekspor. Kemampuan ini harus tetap dipertahankan, dikembangkan
mutu produksi dan pemasarannya sehingga semakin luas cakupannya. Sebagaimana
diberitakan oleh harian Rakyat Merdeka dalam rubrik harta karun, dapat
dikemukakan beberapa fakta berikut ini.
Aceh, mampu mengekspor bambu batangan ke Turki untuk bahan
pembuatan perabot rumah-tangga dan dekorasi rumah. Juga serat batang pisang
dari Aceh Timur, diekspor ke Filipina dan Australia sebagai bahan campuran
material sintetis dalam pembuatan papan komposit dan lapisan rompi anti peluru.
Dari Sumatera Utara, kita sudah berhasil mengekspor cengkeh
ke sejumlah negara dari Pelabuhan Belawan. Juga bunga kecombrang untuk penyedap
masakan, dan gula kelapa yang diekspor ke Brasil dan Yunani. Bahkan paha kodok
Sumut juga laris di pasar Belgia, Singapura dan Tiongkok. Di samping itu ada
produk lidi kelapa sawit untuk peralatan kebersihan rumah-tangga dan penyapu
gandum yang diekspor ke Pakistan, Malaysia, Nepal dan Thailand.
Riau menyumbang babi ternak asal masyarakat Tanjungpinang yang
diekspor ke Singapura dan Taiwan. Juga ikan kerapu Anambas Riau Kepulauan,
mampu menembus pasar Tiongkok dan Hong Kong
Bengkulu, yang memiliki dataran tinggi antara Rimbo
Penghadang dan Tapus yang berhawa sejuk, menghasilkan jeruk Gerga Lebong yang
diekspor ke Malaysia.
Lampung, menghasilkan ikan asin jenis teri yang diekspor ke
Malaysia dan Jepang yang merupakan hasil olahan masyarakat Pulau Pasaran Bandar
Lampung secara turun-temurun. Bahkan Lampung juga mampu mengekspor kotoran
kelelawar ke Tiongkok dan Amerika Serikat yang merupakan pengganti pupuk kimia
seperti urea dan NPK. Selain itu juga mengekspor ampas kulit nanas ke Jepang
sebagai bahan campuran pakan ternak dan sebagai bahan untuk obat luka karena
ampas kulit nanas ini mengandung zat aktif
yang dapat mempercepat penyembuhan luka.
Sumatera Selatan, mampu mengolah pohon akasia menjadi bubur
kertas yang diekspor ke Tiongkok, Korea Selatan, India, Bangladesh dan Jepang.
Bangka Belitung, ekspor cangkang kelapa sawit ke Jepang
dalam jumlah cukup besar untuk diolah sebagai energi alternatf pengganti fosil
pada Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU).
Banten, antaralain menyumbang ekspor dedak gandum asal
Cilegon sebagai bahan baku pakan ternak, rutin diekspor ke Tiongkok, Vietnam,
Filipina dan Papua Nugini.
Jakarta yang terkenal dengan dodol Betawi-nya, juga mampu
mengekspor ke pasar Arab Saudi.
Jawa Barat, ternyata banyak menghasilkan harta karun
pertanian yang beragam untuk diekspor. Jambu biji merah dari Kabupaten Bandung
diekspor ke Singapura dan Uni Emirat Arab. Manggis Purwakarta masuk pasar
ekspor ke negara-negara Asean, Eropa dan Timur Tengah. Telur asin Karawang yang
diekspor ke Hong Kong, Brunei Darusalam
dan Singapura. Lalu, sale pisang organik dari Kabupaten Ciamis diekspor ke Malaysia.
Bahkan Bogor mengekspor larva kering jenis black soldiers flies (BSF) ke
Inggris sebagai campuran pakan hewan.
Jawa Tengah, juga kaya dengan harta karun pertanian untuk
ekspor. Sawo asal Blora masuk pasar Amerika Serikat, dan ubijalar asal
Tawangmangu yang diolah menjadi kripik diekspor ke Korea Selatan. Sisik ikan
dari limbah buangan penjualan ikan atau perusahaan pengolahan ikan di Jateng,
diekspor ke Jepang sebagai bahan pembuatan kolagen untuk industri obat dan
kosmetik. Rotan Sukoharjo berupa kerajinan, mampu tembus pasar Perancis, Italia
dan Eropa Timur. Nanas madu Pemalang, mampu menembus pasar Arab Saudi dalam
bentuk jelly nanas, cocktail nanas, kripik dan dodol nanas.
Kayu mahoni Wonosari-Yogyakarta untuk bahan baku mebel,
berhasil diekspor ke Canada.
Jawa Timur, dari Banyuwangi saja bisa mengekspor serangga
kaki enam dan belalang stik warna hijau terang ke Jepang, Taiwan, Korea
Selatan, Malaysia, Thailand, Perancis, Inggris, Spanyol dan beberapa negara
Eropa lainnya untuk bahan pembuatan
souvenir. Labu kuning Banyuwangi juga sudah berhasil diekspor ke Belanda.
Kunyit kering Ponorogo masuk pasar India untuk bahan suplemen makanan.
Sementara itu, tembakau asal Bojonegoro, Jember, Madura, juga dari Deli Sumut
diekspor ke Amerika Serikat, Rusia, Belgia dan Jerman antaralain sebagai bahan
baku obat flu maupun parfum jenis tertentu. Makanan ringan rempeyek kacang asal
Malang mampu masuk pasar Korea Selatan dan Hong Kong.
Bali, selain mengekspor seni ukir Bali ke beberapa negara
maju, juga mengekspor produk cokelat Tabanan ke Singapura dan Malaysia.
Itu adalah sekedar contoh, betapa banyak harta karun sektor
pertanian yang berhasil kita ekspor. Jenis produk itu umumnya rutin dibutuhkan,
maka perlu dijaga kesinambungannya, ditingkatkan mutu dan sebaran pemasarannya,
serta perlindungan agar tidak sekedar diperas oleh para tengkulak, pengepul dan
para eksportir. Semangat membangun bersama dengan kejujuran, diperlukan untuk
memajukan sektor pertanian di Indonesia.*****
Oleh : Muhammad Sadji
Lagu kebangsaan Indonesia Raya ketika diciptakan dan
digubah oleh Wage Rudolph Supratman jauh sebelum Indonesia merdeka, sejatinya
terdiri atas tiga stanza. Yang kita nyanyikan resmi sekarang ini adalah stanza
pertama. Pada stanza kedua, bunyi syairnya sebagai berikut:
Indonesia tanah yang
mulia
Tanah kita yang kaya
Di sanalah aku berdiri
Untuk selama-lamanya.
Indonesia tanah pusaka
Pusaka kita semuanya
Marilah kita mendoa
Indonesia bahagia
Suburlah tanahnya,
Suburlah jiwanya
Bangsanya rakyatnya
Semuanya
Sadarlah hatinya,
sadarlah budinya
Untuk Indonesia Raya
Dari syair di atas sudah terukir pemahaman oleh Pahlawan
Nasional kita, bahwa Indonesia adalah
negeri yang kaya dan subur.Seperti kita ketahui, bahwa lagu kebangsaan tersebut
berkumandang pertama kali pada saat Kongres Pemuda yang melahirkan Sumpah
Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928. Cita-cita Sumpah Pemuda telah terwujud
setelah Soekarno – Hatta menyatakan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada
tanggal 17 Agustus 1945. Yang belum tercapai adalah terciptanya masyarakat yang
adil dan makmur sebagaimana diamanatkan dalam sila kelima Pancasila yang
termaktub dalam alinea terakhir Pembukaan Undang-undang Dasar 1945, yaitu :
“Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.
Sebagaimana pernah dinyatakan oleh Puan Maharani
sewaktu menjabat Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan
(2014-2019), bahwa penduduk Indonesia diperkirakan mencapai 255 juta orang,
tetapi menghadapi berbagai masalah yang sangat memprihatinkan dalam berbagai
hal. Kesenjangan sosial masih merupakan
masalah utama karena 20% kelas atas menguasai hampir 50% konsumsi perekonomian Indonesia, sedangkan
penduduk kelas bawah yang jumlahnya mencapai 40% hanya menguasai 20% konsumsi
perekonomian. Pada saat itu 45% penduduk Indonesia ditengarai memiliki
kemampuan pengeluaran hanya Rp 500.000,- per bulan. Yang menganggur atau sama
sekali tidak bekerja disebutnya berjumlah 7,2 juta jiwa dan lebih kurang 40
juta lainnya masih harus berjuang mendapatkan pekerjaan yang layak. Apalagi
laju pertumbuhan penduduk masih sulit dikendalikan, dengan angka kelahiran bayi
mencapai 4,5 juta bayi per tahun. Data itu disampaikan sebelum pandemi
Covid-19. Setelah terjadinya pandemi yang dialami sejak Maret 2020, Indonesia
mengalami kemunduran perekonomian yang cukup memprihatinkan. Seperti yang
disampaikan oleh Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas
Suharso Monoarfa di depan Komisi XI DPR beberapa waktu yang lalu, bahwa selama
pandemi Covid-19 (30 Maret 2020 - 6 Juni 2020) telah hilang jam kerja luar
biasa dan daya beli turun mencapai Rp 362 trilyun. Angka kemiskinan yang pada
tahun 2019 berhasil ditekan menjadi 24,79 juta orang (9,2%) telah meningkat
menjadi 28,79 juta orang (10,63%). Jumlah pengangguran yang pada tahun 2019
hanya sebesar 5,28% diperkirakan meningkat menjadi 8,1 - 9,2% karena adanya PHK
atau dirumahkan dari sektor perdagangan, industri manufaktur, konstruksi, jasa
dan akomodasi serta makanan dan minuman. Serta ribuan TKI yang dipulangkan dari
berbagai negara dengan keahlian yang hanya
setingkat buruh kasar. Dijelaskan pula, bahwa prioritas penanganan pada
tahun 2021 adalah mempercepat pemulihan ekonomi nasional dengan fokus pada
industri manufaktur, pariwisata dan investasi. Kemudian reformasi sosial yang
mencakup sistem kesehatan, perlindungan sosial
dan ketahanan bencana.
Memajukan Sektor Pertanian
Secara khusus, pemulihan ekonomi nasional sektor
pertanian memang tidak disebut-sebut. Pada hal sektor inilah yang masih
menjanjikan untuk dikembangkan secara besar-besaran. Sebagaimana pernah
ditegaskan oleh Presiden Soekarno ketika meresmikan kampus Fakultas Pertanian
Universitas Indonesia di Bogor pada tahun 1952, bahwa pertanian adalah soal
hidup matinya sebuah bangsa. Fakultas inilah yang kemudian menjadi cikal bakal
Institut Pertanian Bogor (sekarang IPB University).
Berdasarkan fakta sebagaimana diuraikan di atas, maka
tidak ada jalan lain kecuali mengembangkan dan memajukan sektor pertanian
dengan berbagai cabang-cabangnya yaitu sektor perkebunan, perikanan, peternakan,
nelayan dan kelautan. Beberapa waktu yang lalu, Menteri Pertanian Syahrul Yasin
Limpo, mengunjungi Kawasan Budidaya Sayur Organik Merbabu (SOM) di Kopeng,
Semarang Jawa-Tengah. Kawasan itu diprakarsai oleh anak muda dengan modal 10
hektar lahan yang disulap menjadi lahan budidaya sayuran dengan keuntungan bisa
mencapai Rp 300 juta per bulan. Pada kesempatan tersebut, Menteri Pertanian
menegaskan, bahwa dalam menghadapi dampak Covid-19 semua pihak harus semangat
menyediakan pangan secara maju, mandiri dan modern bahkan diusahakan bisa
diekspor. Menurutnya, sektor pertanian menjadi satu-satunya solusi karena tidak
mengenal krisis sepanjang diolah dengan optimal. Maka pertanian harus akseleratif
bertumbuh lebih baik dari apa yang ada. Bahkan diharapkan mampu menciptakan
lebih banyak petani-petani milenial yang punya visi dan visioner agar bisa
mengatasi krisis regenerasi petani pada sepuluh tahun mendatang, menggantikan
para petani yang rata-rata sudah berusia di atas 50 tahun.
Untuk bisa meyakinkan kepada generasi muda agar mau bertani,
perlu pendekatan baru dan harus ditangani secara serius dengan langkah-langkah
berikut ini.
Pertama,
mengubah paradigma yang semula bertani
identik dengan kemiskinan, menjadi bertani akan mendatangkan
kesejahteraan.
Kedua,
memberikan perhatian yang seksama kepada para innovator di bidang pertanian dengan
suntikan modal, bimbingan, kemudahan prasarana dan dukungan pemasarannya.
Ketiga,
mendorong sektor pertanian agar menjadi garda terdepan, lokomotif serta
sokoguru perekonomian nasional.
Keempat,
kampanye nasional untuk kembali bertani disertai penyuluhan yang sistematis dan
terarah sesuai potensi daerah masing-masing di seluruh Indonesia.
Kelima,
perlunya diberikan kesadaran nasional, bahwa lebih baik bertani di tanah-air “yang
subur kang sarwo tinandur, lan murah kang sarwo tinuku” yang perlu segera
digarap secara bersungguh-sungguh daripada hujan batu di negeri orang, banyak
yang dilecehkan dan menurunkan martabat sebagai bangsa.
Keenam,
penggalakan program keluarga berencana (KB) yang tepat sasaran agar terbangun
masyarakat yang sejahtera, sehat dan berkualitas. Dengan arah program KB
sebagai budaya hidup berbangsa dan bernegara, bahwa dua anak cukup, berupaya
menjauhi kemiskinan dengan keluarga kecil dan mementingkan pendidikan yang
setinggi-tingginya.
Ketujuh,
memahami dan menanggulangi sedini mungkin secara komprehensif dan terintegrasi
antar semua instansi dan lembaga terkait terhadap faktor hama dan bencana alam misalnya
banjir dan kekeringan.
Kedelapan,
terhadap produk pertanian yang sudah berhasil diekspor, harus dipertahankan dan
dikembangkan mutu serta perluasan pasarnya dengan melibatkan peran petani baru
sebanyak-banyaknya di seluruh pelosok tanah-air.
Dengan upaya ini, diharapkan sektor pertanian menjadi
andalan NKRI di masa depan.*****