Entri yang Diunggulkan

GENERASI PENDOBRAK JILID III

 Harian Rakyat Merdeka terbitan 20 April  2010,memuat artikel dengan judul “Bodoh Permanen” yang ditulis oleh Arif Gunawan. Tulisan tersebut...

Sabtu, 01 September 2012

Salah Kaprah Gelar Pahlawan


SALAH satu kehebatan kita sebagai bangsa adalah karena kita memiliki Hari Pahlawan yang diperingati secara khidmat setiap tahun pada tanggal 10 November.
Suatu hari nasional yang mengabadikan peristiwa kepahlawanan mempertahankan kemerdekaan oleh arek-arek Surabaya itu mengandung pesan yang sangat luhur yang patut dicamkan oleh generasi sekarang dan yang akan datang.
Pertama, karena perang besar itu melibatkan berbagai elemen masyarakat yang terpanggil secara sukarela dan bersenjatakan apa adanya demi mempertahankan kemerdekaan yang baru saja diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945.
Kedua, TNI yang baru dibentuk pada tanggal 5 Oktober 1945 , boleh jadi belum terbentuk secara formal di Jawa Timur/Surabaya. Oleh karena itu, pengorbanan nyawa dan harta benda masyarakat yang terlibat pada waktu itu adalah benar-benar mempunyai nilai kepahlawanan karena dilakukan tanpa pamrih dan penuh pengorbanan, karena semata-mata ingin menunjukkan agar kemerdekaan tidak direbut kembali oleh para penjajah.
Belajar dari peristiwa Surabaya tersebut, maka pahlawan sebenarnya adalah orang yang memiliki kriteria rela berkorban untuk orang lain dan bangsanya. Berkorban harta dan jiwa raganya, tidak terpikir dan tidak mengharapkan imbalan dari pengorbanannya, pantang menyerah dan yang dikerjakan melampaui batas kewenangannya.
Dalam hal ini, seseorang yang melakukan sesuatu pekerjaan karena memang tugasnya dan mendapatkan imbalan langsung dari pekerjaannya, sebenarnya tidak layak dikategorikan sebagai pahlawan. Oleh karana itu gelar pahlawan seharusnya mengikuti uji kriteria kepantasan, kelogisan dan kebenaran.
Ketiga kriteria itu sebenarnya saling terkait dan tidak terpisah satu sama lain. Sebagai contoh, seseorang menggagas tentang sesuatu yang dinilai mempunyai dampak luas terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara. Penggagas itu mungkin pantas mendapat gelar pahlawan, tetapi menjadi tidak logis apabila terbukti sebelumnya sudah ada yang pernah menggagas dan bahkan mempraktekkan penerapannya. Karena tidak benar dia sebagai penggagas yang pertama, maka tidak layak orang yang bersangkutan mendapat gelar pahlawan.
Apabila diamati secara cermat, dalam perkembangannya, peringatan Hari Pahlawan ternyata menjadi salah kaprah. Salah kaprah pertama, karena setiap tahun sepertinya dituntut harus ada seseorang yang ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional. Maka ditetapkanlah tata cara pengusulan dan ditunjuklah team penilai yang bekerja untuk pemerintah. Maka setiap tahun pula berbondong-bondonglah perorangan, kelompok dan daerah beramai-ramai mengusulkan tokoh-tokohnya untuk diangkat atau ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional.
Salah kaprah kedua, karena adanya indikasi bahwa seseorang yang pernah melawan penjajah khususnya Belanda, selalu dengan mudah diangkat menjadi Pahlawan Nasional. Padahal kalau ditelaah lebih jauh, menjadi tidak logis dan tidak benar. Sebagai contoh, Pangeran Diponegoro, Imam Bonjol dan lain-lain yang pernah memberontak pada masa Hindia Belanda, dianggap sebagai Pahlawan Nasional. Bahkan sering kali ketokohan mereka disebut-sebut sebagai hasil politik devide et impera (politik pecah belah) Belanda, sehingga membuat perjuangan kemerdekaan selalu gagal dan tidak memperoleh hasil. Padahal kenyataannya, karena politik devide et impera itulah, maka timbulnya hegemoni Hindia Belanda yang kemudian kita warisi wilayahnya sebagai Indonesia merdeka.
Oleh karena itu mungkin tidak logis, tidak pantas dan tidak benar apabila tokoh pemberontakan dalam suatu kerajaan pada masa Hindia Belanda mendapat gelar pahlawan. Sebab seandainya pada waktu itu mereka berhasil, mungkin tidak ada Hindia Belanda seperti yang kita warisi seluas sekarang ini.
Salah kaprah ketiga, adalah fakta bahwa setiap tokoh yang melawan suatu rezim, dianggap pahlawan oleh rezim yang sealiran atau seideologi, apalagi kalau penetapannya menyangkut atau terkait dengan tujuan politik kekuasaan.
Salah kaprah keempat adalah, adanya kecenderungan mempahlawankan Presiden yang jatuh dari kekuasaannya. Sebagai contoh, Presiden Soekarno yang dijatuhkan oleh rezim Orde Baru dan termasuk kategori teraniaya pada akhir hayatnya karena politik, mendapat gelar Pahlawan Ploklamator. Gelar itu diberikan oleh rezim yang menjatuhkan atas desakan para pendukung Bung Karno yang tidak rela perintis kemerdekaan diperlakukan tidak santun dan cenderung dihapus segala jasa dan nama baiknya.
Presiden Soeharto yang jatuh karena tekanan rakyat yang tidak puas atas hasil pemerintahannya, sejak meninggal pada tahun 2008 para pendukung setianya serta keluarganya secara bertubi-tubi mengusulkan agar Soeharto ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional. Agaknya mereka ingin agar Presiden Soeharto yang mundur dari kekuasaannya, namanya terangkat kembali apabila mendapat gelar Pahlawan Nasional. Dalil yang mereka gunakan antara lain karena memperoleh gelar Bapak Pembangunan, berperan dalam Serangan Umum 1 Maret 1949, memimpin penumpasan PKI dan dipandang banyak jasanya ketika berkuasa selama 32 tahun.
Padahal kalau diteliti, semua peran tersebut banyak kelemahannya. Penetapan Presiden Soeharto sebagai Bapak Pembangunan adalah salah kaprah yang diperbuat oleh suatu rezim, karena seolah-olah hanya dia yang melaksanakan pembangunan. Mereka mengabaikan dan mengecilkan peran Presiden sebelumnya dan cenderung telah melakukan kebohongan publik.
Di mana pun, peran seorang Presiden dan Kepala Pemerintahan setiap negara adalah melaksanakan pembangunan bagi bangsa dan negaranya berdasarkan visi dan misi pemerintahannya serta tantangan pada zamannya
Sebagai Bapak Pembangunan, yang gelarnya diberikan selama dia berkuasa, menjadi tidak pantas, tidak logis dan tidak benar apabila diteliti berdasarkan kaidah-kaidah pembangunan.
Kaidah pembangunan mengandung parameter berapa utang dan sumber daya alam (tambang dan hutan) dikuras dan dibabat, berapa lama waktu diperlukan untuk berkuasa menghabiskan sumber daya tersebut, berapa pengorbanan rakyat dan harta benda sebagai akibat dari konsep stabilitas yang diterapkan sebagai dalih pelaksanaan pembangunan, lalu bagaimana hasil akhirnya. Belum lagi kalau melihat, betapa banyak kekayaan alam ditambang oleh perusahaan asing semasa Orba berkuasa.
Seperti kita ketahui, Presiden Soeharto memerlukan kurun waktu lebih dari tiga dekade tetapi dia jatuh setelah hasil pembangunannya tidak cukup kuat menghadapi terpaan krisis ekonomi global. Bahkan pewarisnya juga mengalami kesulitan membenahi sampai sekarang. Sebagai contoh kecil, betapa banyaknya sekolah negeri dari Sabang sampai Merauke yang dibangun semasa Orde Baru, sudah tidak layak pakai sehingga harus direnovasi dengan biaya yang tidak sedikit.
Bandingkan dengan sekolah peninggalan Hindia Belanda yang tetap gagah dan nyaman sampai puluhan tahun lamanya.
Mengenai Serangan Umum 1 Maret 1949, di samping masih simpang siur siapa penggagas dan pemimpinnya, tetapi yang jelas bangsa Indonesia pada waktu itu sudah memiliki tentara yang terorganisasi. Yang menjadi pertanyaan dan perlu pertanggung jawaban adalah, mengapa Belanda sampai bisa menyerang Ibukota Negara Yogyakarta dan sampai bisa menangkap Presiden dan Wapres beserta beberapa menterinya.
Oleh karena itu wajar apabila TNI pula yang merebut kembali setelah konsolidasi bersama segenap kekuatan yang ada. Justru yang berhak mendapat gelar pahlawan adalah masyarakat non militer yang secara sukarela mau ikut berjuang, bertaruh harta benda dan nyawanya.
Lalu, ada juga yang mengusulkan agar mantan Presiden Abdurrachman Wahid ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional. Alasannya, karena Gus Dur dianggap sebagai tokoh atau Bapak Penganjur Pluralisme. Padahal kalau diteliti lebih jauh gagasan pluralisme bukan barang baru di Indonesia karena sudah muncul dan diterapkan oleh para founding fathers negeri ini dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika.
Pengusulan agar Gus Dur ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional mungkin karena ada yang masih tidak rela ketika dia dijatuhkan karena suatu masalah kenegaraan. Padahal, bagaimanapun seseorang yang pernah menjadi Presiden RI, pasti tetap tercatat dengan tinta emas dalam sejarah perjalanan Republik Indonesia. Bahkan Presiden suatu negara pasti secara otomatis merupakan pahlawan bagi bangsanya.
Terlepas dari bagaimana proses kejatuhannya, perlu diakui bahwa seorang Presiden mempunyai kiat dan perilakunya masing-masing dengan segala kelebihan dan kekurangannya yang tidak boleh ditutup-tutupi sebagai pelajaran berharga dalam berbangsa dan bernegara.
Oleh karena itu penetapan mantan Presiden sebagai Pahlawan Nasional adalah pekerjaan yang mengada-ada karena tidak pantas, tidak logis, tidak benar dan menjadi salah kaprah.
Sebentar lagi kita akan kembali memperingati Hari Pahlawan tahun 2010. Departemen Sosial dan Team yang dibentuk Pemerintah pasti sangat sibuk dalam mempersiapkan peringatan hari yang bersejarah tersebut. Harapan kita, peri kepahlawanan yang pantas, logis dan benar, hendaknya didasarkan atas azas adil dan beradab yang didukung dengan penelitian dan bukti sejarah yang benar oleh para ahlinya. Sebab kalau tidak, azas kelatahan, balas dendam, pertemanan, balas budi dan KKN menjadi salah kaprah yang terus menerus di negeri ini.
Satu hal yang pasti, hingga saat ini bangsa Indonesia masih mempunyai pekerjaan besar, yaitu meneliti kembali kenapa Surat Perintah 11 Maret 1966 tanpa nomor dan dokumen aslinya hilang sampai sekarang?
Administrasi suatu rezim yang amburadul atau sengaja dihilangkan? Kalau ya, kenapa ini mereka lakukan? Barangkali masalah ini juga bisa menjadi bahan pertimbangan, apakah seseorang bisa disebut sebagai pahlawan atau pembangkang. Wallahu alam bis sawab.***

(pernah dimuat dalam Media Indonesia, Citizen Journalism pada tanggal 26 Oktober 2010)