SALAH satu kehebatan kita sebagai bangsa adalah karena kita
memiliki Hari Pahlawan yang diperingati secara khidmat setiap tahun pada
tanggal 10 November.
Suatu hari nasional yang mengabadikan peristiwa kepahlawanan
mempertahankan kemerdekaan oleh arek-arek Surabaya itu mengandung pesan
yang sangat luhur yang patut dicamkan oleh generasi sekarang dan yang
akan datang.
Pertama, karena perang besar itu melibatkan berbagai elemen
masyarakat yang terpanggil secara sukarela dan bersenjatakan apa adanya
demi mempertahankan kemerdekaan yang baru saja diproklamirkan pada
tanggal 17 Agustus 1945.
Kedua, TNI yang baru dibentuk pada tanggal 5 Oktober 1945 , boleh
jadi belum terbentuk secara formal di Jawa Timur/Surabaya. Oleh karena
itu, pengorbanan nyawa dan harta benda masyarakat yang terlibat pada
waktu itu adalah benar-benar mempunyai nilai kepahlawanan karena
dilakukan tanpa pamrih dan penuh pengorbanan, karena semata-mata ingin
menunjukkan agar kemerdekaan tidak direbut kembali oleh para penjajah.
Belajar dari peristiwa Surabaya tersebut, maka pahlawan sebenarnya
adalah orang yang memiliki kriteria rela berkorban untuk orang lain dan
bangsanya. Berkorban harta dan jiwa raganya, tidak terpikir dan tidak
mengharapkan imbalan dari pengorbanannya, pantang menyerah dan yang
dikerjakan melampaui batas kewenangannya.
Dalam hal ini, seseorang yang melakukan sesuatu pekerjaan karena
memang tugasnya dan mendapatkan imbalan langsung dari pekerjaannya,
sebenarnya tidak layak dikategorikan sebagai pahlawan. Oleh karana itu
gelar pahlawan seharusnya mengikuti uji kriteria kepantasan, kelogisan
dan kebenaran.
Ketiga kriteria itu sebenarnya saling terkait dan tidak terpisah satu
sama lain. Sebagai contoh, seseorang menggagas tentang sesuatu yang
dinilai mempunyai dampak luas terhadap kehidupan berbangsa dan
bernegara. Penggagas itu mungkin pantas mendapat gelar pahlawan, tetapi
menjadi tidak logis apabila terbukti sebelumnya sudah ada yang pernah
menggagas dan bahkan mempraktekkan penerapannya. Karena tidak benar dia
sebagai penggagas yang pertama, maka tidak layak orang yang bersangkutan
mendapat gelar pahlawan.
Apabila diamati secara cermat, dalam perkembangannya, peringatan Hari
Pahlawan ternyata menjadi salah kaprah. Salah kaprah pertama, karena
setiap tahun sepertinya dituntut harus ada seseorang yang ditetapkan
sebagai Pahlawan Nasional. Maka ditetapkanlah tata cara pengusulan dan
ditunjuklah team penilai yang bekerja untuk pemerintah. Maka setiap
tahun pula berbondong-bondonglah perorangan, kelompok dan daerah
beramai-ramai mengusulkan tokoh-tokohnya untuk diangkat atau ditetapkan
sebagai Pahlawan Nasional.
Salah kaprah kedua, karena adanya indikasi bahwa seseorang yang
pernah melawan penjajah khususnya Belanda, selalu dengan mudah diangkat
menjadi Pahlawan Nasional. Padahal kalau ditelaah lebih jauh, menjadi
tidak logis dan tidak benar. Sebagai contoh, Pangeran Diponegoro, Imam
Bonjol dan lain-lain yang pernah memberontak pada masa Hindia Belanda,
dianggap sebagai Pahlawan Nasional. Bahkan sering kali ketokohan mereka
disebut-sebut sebagai hasil politik devide et impera (politik pecah
belah) Belanda, sehingga membuat perjuangan kemerdekaan selalu gagal dan
tidak memperoleh hasil. Padahal kenyataannya, karena politik devide et
impera itulah, maka timbulnya hegemoni Hindia Belanda yang kemudian kita
warisi wilayahnya sebagai Indonesia merdeka.
Oleh karena itu mungkin tidak logis, tidak pantas dan tidak benar
apabila tokoh pemberontakan dalam suatu kerajaan pada masa Hindia
Belanda mendapat gelar pahlawan. Sebab seandainya pada waktu itu mereka
berhasil, mungkin tidak ada Hindia Belanda seperti yang kita warisi
seluas sekarang ini.
Salah kaprah ketiga, adalah fakta bahwa setiap tokoh yang melawan
suatu rezim, dianggap pahlawan oleh rezim yang sealiran atau seideologi,
apalagi kalau penetapannya menyangkut atau terkait dengan tujuan
politik kekuasaan.
Salah kaprah keempat adalah, adanya kecenderungan mempahlawankan
Presiden yang jatuh dari kekuasaannya. Sebagai contoh, Presiden Soekarno
yang dijatuhkan oleh rezim Orde Baru dan termasuk kategori teraniaya
pada akhir hayatnya karena politik, mendapat gelar Pahlawan Ploklamator.
Gelar itu diberikan oleh rezim yang menjatuhkan atas desakan para
pendukung Bung Karno yang tidak rela perintis kemerdekaan diperlakukan
tidak santun dan cenderung dihapus segala jasa dan nama baiknya.
Presiden Soeharto yang jatuh karena tekanan rakyat yang tidak puas
atas hasil pemerintahannya, sejak meninggal pada tahun 2008 para
pendukung setianya serta keluarganya secara bertubi-tubi mengusulkan
agar Soeharto ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional. Agaknya mereka ingin
agar Presiden Soeharto yang mundur dari kekuasaannya, namanya terangkat
kembali apabila mendapat gelar Pahlawan Nasional. Dalil yang mereka
gunakan antara lain karena memperoleh gelar Bapak Pembangunan, berperan
dalam Serangan Umum 1 Maret 1949, memimpin penumpasan PKI dan dipandang
banyak jasanya ketika berkuasa selama 32 tahun.
Padahal kalau diteliti, semua peran tersebut banyak kelemahannya.
Penetapan Presiden Soeharto sebagai Bapak Pembangunan adalah salah
kaprah yang diperbuat oleh suatu rezim, karena seolah-olah hanya dia
yang melaksanakan pembangunan. Mereka mengabaikan dan mengecilkan peran
Presiden sebelumnya dan cenderung telah melakukan kebohongan publik.
Di mana pun, peran seorang Presiden dan Kepala Pemerintahan setiap
negara adalah melaksanakan pembangunan bagi bangsa dan negaranya
berdasarkan visi dan misi pemerintahannya serta tantangan pada zamannya
Sebagai Bapak Pembangunan, yang gelarnya diberikan selama dia
berkuasa, menjadi tidak pantas, tidak logis dan tidak benar apabila
diteliti berdasarkan kaidah-kaidah pembangunan.
Kaidah pembangunan mengandung parameter berapa utang dan sumber daya
alam (tambang dan hutan) dikuras dan dibabat, berapa lama waktu
diperlukan untuk berkuasa menghabiskan sumber daya tersebut, berapa
pengorbanan rakyat dan harta benda sebagai akibat dari konsep stabilitas
yang diterapkan sebagai dalih pelaksanaan pembangunan, lalu bagaimana
hasil akhirnya. Belum lagi kalau melihat, betapa banyak kekayaan alam
ditambang oleh perusahaan asing semasa Orba berkuasa.
Seperti kita ketahui, Presiden Soeharto memerlukan kurun waktu lebih
dari tiga dekade tetapi dia jatuh setelah hasil pembangunannya tidak
cukup kuat menghadapi terpaan krisis ekonomi global. Bahkan pewarisnya
juga mengalami kesulitan membenahi sampai sekarang. Sebagai contoh
kecil, betapa banyaknya sekolah negeri dari Sabang sampai Merauke yang
dibangun semasa Orde Baru, sudah tidak layak pakai sehingga harus
direnovasi dengan biaya yang tidak sedikit.
Bandingkan dengan sekolah peninggalan Hindia Belanda yang tetap gagah dan nyaman sampai puluhan tahun lamanya.
Mengenai Serangan Umum 1 Maret 1949, di samping masih simpang siur
siapa penggagas dan pemimpinnya, tetapi yang jelas bangsa Indonesia pada
waktu itu sudah memiliki tentara yang terorganisasi. Yang menjadi
pertanyaan dan perlu pertanggung jawaban adalah, mengapa Belanda sampai
bisa menyerang Ibukota Negara Yogyakarta dan sampai bisa menangkap
Presiden dan Wapres beserta beberapa menterinya.
Oleh karena itu wajar apabila TNI pula yang merebut kembali setelah
konsolidasi bersama segenap kekuatan yang ada. Justru yang berhak
mendapat gelar pahlawan adalah masyarakat non militer yang secara
sukarela mau ikut berjuang, bertaruh harta benda dan nyawanya.
Lalu, ada juga yang mengusulkan agar mantan Presiden Abdurrachman
Wahid ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional. Alasannya, karena Gus Dur
dianggap sebagai tokoh atau Bapak Penganjur Pluralisme. Padahal kalau
diteliti lebih jauh gagasan pluralisme bukan barang baru di Indonesia
karena sudah muncul dan diterapkan oleh para founding fathers negeri ini
dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika.
Pengusulan agar Gus Dur ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional mungkin
karena ada yang masih tidak rela ketika dia dijatuhkan karena suatu
masalah kenegaraan. Padahal, bagaimanapun seseorang yang pernah menjadi
Presiden RI, pasti tetap tercatat dengan tinta emas dalam sejarah
perjalanan Republik Indonesia. Bahkan Presiden suatu negara pasti secara
otomatis merupakan pahlawan bagi bangsanya.
Terlepas dari bagaimana proses kejatuhannya, perlu diakui bahwa
seorang Presiden mempunyai kiat dan perilakunya masing-masing dengan
segala kelebihan dan kekurangannya yang tidak boleh ditutup-tutupi
sebagai pelajaran berharga dalam berbangsa dan bernegara.
Oleh karena itu penetapan mantan Presiden sebagai Pahlawan Nasional
adalah pekerjaan yang mengada-ada karena tidak pantas, tidak logis,
tidak benar dan menjadi salah kaprah.
Sebentar lagi kita akan kembali memperingati Hari Pahlawan tahun
2010. Departemen Sosial dan Team yang dibentuk Pemerintah pasti sangat
sibuk dalam mempersiapkan peringatan hari yang bersejarah tersebut.
Harapan kita, peri kepahlawanan yang pantas, logis dan benar, hendaknya
didasarkan atas azas adil dan beradab yang didukung dengan penelitian
dan bukti sejarah yang benar oleh para ahlinya. Sebab kalau tidak, azas
kelatahan, balas dendam, pertemanan, balas budi dan KKN menjadi salah
kaprah yang terus menerus di negeri ini.
Satu hal yang pasti, hingga saat ini bangsa Indonesia masih mempunyai
pekerjaan besar, yaitu meneliti kembali kenapa Surat Perintah 11 Maret
1966 tanpa nomor dan dokumen aslinya hilang sampai sekarang?
Administrasi suatu rezim yang amburadul atau sengaja dihilangkan?
Kalau ya, kenapa ini mereka lakukan? Barangkali masalah ini juga bisa
menjadi bahan pertimbangan, apakah seseorang bisa disebut sebagai
pahlawan atau pembangkang. Wallahu alam bis sawab.***
(pernah dimuat dalam Media Indonesia, Citizen Journalism pada tanggal 26 Oktober 2010)