Entri yang Diunggulkan

GENERASI PENDOBRAK JILID III

 Harian Rakyat Merdeka terbitan 20 April  2010,memuat artikel dengan judul “Bodoh Permanen” yang ditulis oleh Arif Gunawan. Tulisan tersebut...

Tampilkan postingan dengan label Orde Baru. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Orde Baru. Tampilkan semua postingan

Kamis, 14 April 2022

MUTU INFRASTRUKTUR KITA

 

          

          Kompas com. tanggal 17 Januari 2022 memberitakan bahwa jembatan KW6 di Kelurahan Karangpawitan, Kecamatan Karawang Barat, Kabupaten Karawang – Jawa Barat, ambles. Pada hal jembatan yang dibangun dengan anggaran sebesar Rp 10 milyar itu belum satu bulan diresmikan oleh Bupati Karawang Cellica Nurrachadiana. Berdasar pantauan Tribun Bekasi, jembatan itu ambles pada bagian sisi dekat saluran irigasi sepanjang 200 meter. Material jembatan yang menempel pada sisi saluran irigasi itu longsor, sehingga  konstruksi jembatan mengalami ambles. Jembatan yang didesain dengan lebar 7 meter dan panjang 43,50 meter tersebut, menghubungkan Kecamatan Rawamerta dengan Kecamatan Karawang Barat. Jembatan yang populer disebut Jembatan Kepuh ini resmi beroperasi pada hari Rabu 29 Desember 2021 yang diresmikan dengan penandatanganan dan pengguntingan pita oleh Bupati didampingi Sekda Asep Jamhuri, Kepala Dinas PUPR dan Camat Karawang Barat. Jembatan ini juga diharapkan menjadi jalur alternatif ke obyek wisata sejarah Rawagede, dan juga untuk membangkitkan ekonomi masyarakat di sepanjang jalur.

           Kasus semacam ini sebenarnya banyak sekali terjadi di tanah-air kita. Suatu infrastruktur atau prasarana untuk umum baru dibangun, sudah banyak yang rusak dan jebol tak berumur panjang. Penulis yang pernah bertugas berpindah-pindah kota di hampir seluruh Indonesia menyaksikan dengan mata kepala sendiri, betapa bangunan peninggalan Hindia-Belanda umumnya berarsitektur yang indah, kokoh dan kuat sepanjang masa. Tetapi sekarang malah banyak yang tidak artistik dan mudah rusak serta mencelakakan. Jembatan Poso, Moutong dan Luwu di Sulawesi yang terbuat dari kayu, sampai tahun 2000-an masih kelihatan kokoh dan cantik dipandang, sementara bangunan baru di sebelahnya tampak memalukan dari segala aspek. Begitu juga selama bertugas di Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat, peninggalan Hindia-Belanda masih tampak megah, tetapi pembangunan penggantinya kelihatan tidak berseni sama sekali. Sewaktu di Timor-Timur tahun 1996/1997 juga demikian. Peninggalan Portugis semuanya indah dan megah serta artistik, sementara bangunan selama kita kuasai, sangat memalukan penampilannya. Gedung sekolah, pasar, perkantoran semuanya nampak lucu apabila dibandingkan dengan peninggalan Portugis. Sehingga kesimpulannya, bangsa Indonesia sebenarnya mengalami degradasi mutu apabila dinilai dari sektor pembangunan  infrastruktur. Contoh lain banyak yang bisa dikemukakan untuk mawas diri sebagai bangsa. Kota Gresik misalnya, Sekolah Dasar Negeri Bedilan yang indah dan menarik peninggalan Belanda, dirombak seenaknya sehingga kelihatan sumpek, tidak nyaman sebagai Lembaga Pendidikan yang seharusnya nyaman dari segi tata cahaya, tata suara dan tata udaranya. Dulu, sampai dengan tahun 1965, keberadaan tiang listrik maupun gardu listrik serta tiang telpon berdiri gagah, tegak lurus dan nampak simetris. Setelah jaman pembangunan, malah nampak  peang-peang dan semrawut di mana-mana, termasuk di kota-kota besar di seluruh Indonesia. Bahkan di Jabodetabek sendiri, apabila diperhatikan di sepanjang jalan raya, berdiri tiang-tiang berjejer umumnya lebih dari lima batang, ketinggian tidak sama, berdiri tidak tegak lurus, umumnya berkarat dan kabelnya pating slawir tidak beraturan. Degradasi mutu ini dirasakan jelas sekali setelah Orde Baru berkuasa sejak tahun 1966. Marak euforia pembangunan tetapi tidak disertai dengan mutu profesionalisme dan kontrol yang memadai dan maraknya perilaku koruptif yang merajalela. Kondisi degradasi mutu ini sebenarnya tidak perlu terjadi, karena pendidikan tinggi di bidang teknik cukup banyak dan ada di mana-mana.

          Presiden Joko Widodo sebenarnya sudah memberikan contoh dan teladan yang patut ditiru oleh aparat pemerintahan, bahkan dari tingkat RT sampai Kementerian. Manajemen blusukan ala Jokowi yang rajin memeriksa proyek Pemerintah pada setiap enam bulan adalah merupakan perilaku pemimpin yang bertanggungjawab terhadap pekerjaannya. Syukur apabila disertai perilaku profesional yang memadai, paling tidak oleh yang mendampingi selama blusukan dan bukan hanya dalam bentuk acara seremonial semata. Kalau bisanya cuma acara menandatangani, gunting pita dan cengengesan saja, ya itulah akibatnya, semuanya rusak melulu hasilnya.

Pemimpin yang DJAKARTA

          Pada tanggal 20 September 2016, penulis membuat artikel di blog dengan judul :”Dicari : Kepala Daerah Yang DJAKARTA”. Penulis berpendapat, agar pembangunan berhasil dengan baik dan tidak cuma tambal-sulam, sebentar rusak dan dibangun lagi, maka diperlukan pemimpin dan aparat yang kualitasnya DJAKARTA. Nama ibukota NKRI dalam ejaan lama tersebut merupakan akronim dari : D = Dedikasi, J = Jujur, A = Apresiatif, K = Kreatif, A = Asih dan Asuh, R= Ramah, T = Tegas, Trengginas, dan Teladan, serta A = Anjangsana.

           Bahwa seorang Kepala Daerah yang layak itu dituntut memiliki dedikasi yang tinggi dan berintegritas karena dia professional. Oleh karena itu, dia harus dan pasti jujur karena integritasnya, dan sebaliknya, dia bisa diduga akan berbuat curang dan KKN kalau tidak punya dedikasi dan integritas yang baik terhadap jabatan yang direbutnya. Untuk mendukung integritasnya, seorang Kepala Daerah dituntut punya watak dan kepribadian yang apresiatif, asih, asuh dan ramah kepada semua warganya. Dia harus kreatif untuk memajukan dan menyejahterakan daerahnya. Tetapi seorang Kepala Daerah juga dituntut tegas dalam keputusan dan tindakannya yang sesuai konstitusi dan perundangan yang berlaku dalam mencapai pemerintahan yang baik dan jujur. Juga trengginas dan memberikan teladan yang baik kepada seluruh warganya. Dan yang sangat penting, Kepala Daerah harus rajin beranjangsana alias blusukan untuk mengamati dan mengawasi perkembangan daerahnya langsung di lapangan. Mutu dan etos kerja aparatur pemerintahan, serta mutu dan perkembangan proyek yang sedang dikerjakan, seharusnya disambangi secara berkala sebagai metode control yang efektif. Dengan metode manajemen blusukan yang sudah dicontohkan oleh Presiden Jokowi dan dilakukan dengan profesionalisme yang mumpuni, diharapkan semua sarana dan prasarana yang dibangun akan bermutu dalam tampilan maupun kekuatannya. Dengan rajin blusukan yang disertai para staf dan pembantunya yang ahli dan professional, akan segera mengetahui kekurangan dan kesulitan yang dialami warganya, misalnya got mampet, sampah berserakan, jalan raya rusak sehingga membahayakan para pengguna jalan dan berbagai masalah lainnya.

Itulah tentunya harapan kita semua! Belanda selama menjajah telah mengajarkan kepada kita selama 3,5 abad. Mestinya mutu bangsa Indonesia jangan sampai mengalami degradasi hanya karena digerogoti oleh watak dan perilaku KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) yang sudah pada tingkat darurat!*****

Kamis, 01 April 2021

MINIATUR INDONESIA DI BUMI PAPUA

Terus terang, akhir-akhir ini saya merasa miris apabila mengikuti perkembangan di Papua. Masih saja ada pertumpahan darah yang sia-sia. Kenapa kita tidak hidup damai saja, bersama-sama merajut kesejahteraan dan membangun kemajuan.

Saya memimpikan harapan ini karena mempunyai beberapa memori yang patut dikenang mengenai Papua, bahkan merasa ada ikatan emosional dengan Papua. Beberapa catatan dapat saya kemukakan berikut ini.

Pertama, pada tahun 1958/1959, saya duduk di kelas dua SR (Sekolah Rakyat, sekarang SD) Negeri Benjeng. Sebuah desa di Kabupaten Gresik. Ketika sedang asyik belajar, tiba-tiba sekolah kedatangan tamu Bapak Tentara. Setelah ketamuan itu semua siswa dipulangkan, dengan pesan dari Ibu Guru Karsiyah agar nanti apabila mendengar bunyi bedug di masjid dan kentongan di Balai Desa dan Pos Ronda secara serentak, semua harus diam, berdiri mengheningkan cipta disertai berdoa dan mengucapkan kata-kata :”Irian Barat hak milik kita!”. Ibu Guru menyuruh agar lekas pulang dan meyampaikan pesan tersebut kepada orang-tua masing-masing dan semua sanak famili.

Kedua, pada waktu pidato Trikora (Tri Komando Rakyat) oleh Presiden Soekarno tanggal 19 Desember 1961 di Jogyakarta, saya sudah di kelas lima SR. Pak Guru Legimin, membawa kami sekelas ke rumah Pengusaha tetangga sekolah yang mempunyai radio untuk mendengarkan pidato yang sangat bersejarah tersebut. Setelah kembali ke kelas, Pak Guru menanyakan isi Trikora tersebut dan menerangkan selengkapnya yang isinya :”Gagalkan negara boneka Papua buatan Belanda, kibarkan bendera Sang Saka Merah Putih di daratan Irian Barat sebelum ayam berkokok 1 Mei 1963, dan laksanakan mobilisasi umum bagi seluruh rakyat Indonesia untuk membebaskan Irian Barat dari penjajah Belanda.

Ketiga, pada tahun 1963/1966 saya duduk di bangku SMP. Suatu pagi ketika berangkat ke sekolah, saya menemukan sobekan kertas pamflet Departemen Penerangan, ada gambar peta Irian Barat dan tulisan tangan Presiden Soekarno . Karena tertarik, sobekan kertas itu saya pungut dan terbaca tulisan yang seingat saya berbunyi :”Bantulah Pembangunan Irian Barat” dengan tandatangan Presiden Soekarno. Waktu itu, sebagai pelajar SMP sudah mulai memikirkan bagaimana membuat tandatangan yang bagus. Kita antar teman di kelas suka saling pamer tandatangan untuk diadu mana yang bagus dan menarik disertai ledekan dan ramalan-ramalannya. Dari tandatangan Presiden Soekarno yang terdapat di atas peta Irian Barat itulah saya kemudian terinspirasi meniru “S”-nya dan masih saya pakai sampai sekarang sebagai tandatangan resmi sejak menandatangani ijazah SMP tahun 1966.

Keempat, pada tahun 1987 saya berkesempatan mengunjungi Papua dalam rangka dinas dari kantor. Kota yang saya kunjungi antaralain Jayapura, Biak, Sorong, dan Merauke. Tepat ketika peringatan detik-detik Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1987, bersama tim dan pengantar rombongan sedang sarapan pagi di suatu rumah makan khas masakan Jawa di Merauke. Ketika dibacakan teks Proklamasi :”….Atas nama bangsa Indonesia, Soekarno-Hatta”, pengantar yang bernama Pak Amas spontan berteriak. “Sejarah tidak bisa dihapus, Soekarno tidak bisa dihapus”, katanya berulang-ulang. Karena kaget dan heran, saya lalu menanyakan , Pak Amas lahir di mana, kapan dan di mana dibesarkan, kok mengenal Bung Karno. Dengan bangga dia bercerita, bahwa dia orang Papua, lahir dan besar di Papua. Dulu, sewaktu jaman Belanda, orang-tuanya suka mendengarkan melalui radio kalau Bung Karno berpidato, dengan sembunyi-sembunyi karena takut ketahuan Belanda atau orang-orang yang pro Belanda.

Juga ada kisah menarik untuk saya kenang. Waktu dinas itu status saya masih bujangan dan bersama rombongan menginap di Hotel Matoa Jayapura. Ada karyawati resepsionis hotel yang cantik blasteran, bapaknya anggota TNI asli Papua dan ibunya berasal dari Cimahi – Jawa Barat. Di bagian cafetaria ada karyawati pramusaji yang hitam manis , cantik khas Papua bernama Margaretha yang tinggal di jalan Ampera Jayapura. Kawan-kawan selalu menjodoh-jodohkan setiap kali sarapan pagi, dan jujur, saya memang tertarik juga. Suatu malam Minggu, saya coba mertamu ke rumahnya dengan maksud mau pendekatan. Tetapi oleh abangnya dibilang Eta sedang istirahat dan saya tidak sempat ngobrol karena tidak dipersilahkan masuk barang sejenak. Patah hatilah jadinya, baru berkhayal dan membayangkan pendekatan, sudah putus di tengah jalan karena harus kembali ke Jakarta besoknya. Pengalaman ini membuat saya masih suka berilusi, seandainya bisa berhasil menggaet Margaretha, mungkin keadaan Papua sekarang bisa menjadi tenteram dan damai. Oleh karena itu saya ingin menyampaikan “Salam Sejahtera!” buat Margaretha di mana pun saat ini berada, yang pada Juli/Agustus 1987 menjadi karyawati Hotel Matoa Jayapura di bagian Cafetaria.

Kesan saya selama bertugas, Papua memang sangat indah. Sebelum mendarat di Bandara Sentani, danau Sentani nampak mempesona dari ketinggian, demikian juga semua kota dan daerah yang saya singgahi sangat menakjubkan.

Kelima, sekitar tahun 2002 saya mendapat kunjungan Johanes Aury yang mau pamitan karena dipindah-tugaskan ke Jayapura. Johanes Aury adalah pemain sepakbola nasional yang diterima sebagai karyawan PT Pertamina (Persero), beristerikan wanita NTT (Nusa Tenggara Timur). Ketika ngobrol dan berbincang-bincang, saya tanyakan kenapa kok beberapa oknum masyarakat Papua masih ada yang ingin merdeka. Dia bilang masyarakat Papua banyak yang kecewa. Dulu, sewaktu jaman Belanda, seseorang yang tamatan sekolah rendah saja bisa jadi Kepala Gudang dan hidup sejahtera. Sedangkan sekarang, harus sekolah yang cukup untuk bisa memegang jabatan yang sama. Fasilitas yang seharusnya untuk masyarakat Papua ternyata banyak dinikmati para pendatang, masyarakat Papua banyak terpinggirkan. Banyak pendatang yang sengaja datang untuk menikmati hak yang seharusnya hanya diberikan kepada masyarakat Papua. Dari situlah antara lain masyarakat Papua mengalami kekecewaan. Saya hanya menyampaikan pesan persaudaraan kepada Johanes Aury, mendoakan sukses dalam bertugas dan berkarir serta harapan saya kalau bisa mengembangkan persepakbolaan di Jayapura dan Papua secara keseluruhan.

Keenam, mengenai ibukota Provinsi Papua. Dulu, setelah kembali ke pangkuan NKRI, ibukota Irian Barat/Papua yang semula bernama Holandia (7 Maret 1910 – 1962), kemudian sempat berubah menjadi Kotabaru, dan oleh Presiden Soekarno diubah lagi menjadi Sukarnapura (1964) Tetapi oleh rezim Orde Baru Soeharto, Irian Barat diubah menjadi Irian Jaya, Sukarnapura diganti menjadi Jayapura (1968) dan Puncak Sukarno yang terdapat salju abadi di dunia, diubah menjadi Puncak Jayawijaya. Lalu, sewaktu saya masih di SMP antara 1963/1964 sampai 1965/1966, film di bioskop selalu didahului dengan pemutaran film penerangan dari Departemen Penerangan. Di antara film-film itu ada tentang kunjungan Presiden Soekarno ke Irian Barat dan ada adegan Presiden berangkulan mesra dengan para Kepala Suku di Papua. Lagi-lagi saya berilusi, kalau saja ibukota Papua masih Sukarnopura dan film Presiden Soekarno ke Papua ini selalu diputar kembali, mungkin kedamaian akan terwujud di tanah Papua yang indah dan mempesona itu. Bahkan, kalau saja Bung Karno tidak jatuh pasca peristiwa G30S tahun 1965, pasti pertambangan Freeport yang mengandung tembaga, emas dan uranium itu bukan dikuasai asing, melainkan kita kelola sendiri untuk kemakmuran bersama, khususnya dan terutama bagi masyarakat Papua.

Ketujuh, mengenai pembangunan di Papua. Saya mempertanyakan, kenapa pembangunan smelter PT Freeport kok di tanah kelahiran saya, Gresik Jawa-Timur. Kenapa tidak di Papua saja khususnya di pantai Selatan. Saya curiga jangan-jangan ada kesengajaan, ketika mengangkut bongkahan tanah tambang ada yang akan diselewengkan ke smelter awalnya di luar negeri ketika kita lalai dan lengah tidak mampu mengawasi perairan kita yang luas ini. Bongkahan itu mengandung  tembaga, emas dan uranium yang tidak ternilai. Seandainya smelter Freeport dan industri yang lain dibangun di Papua, lalu mengutamakan masyarakat Papua sebagai SDM melalui pembibitan dan pembinaan pemuda/pemudi yang berpotensi dan berkualitas, niscaya kedamaian akan tercapai karena terciptanya kesejahteraan bersama yang adil dan beradab.

Kedelapan, mengenai hobi koleksi benda filateli. Sejak di SMP, saya mempunyai hobi mengoleksi benda filateli yang terdiri atas prangko, sampul surat berikut cap posnya, kartu pos serta benda pos lainnya. Di antaranya, saya mengoleksi tematik mengenai Irian Barat/Papua. Dari benda filateli itu saya bisa mengetahui lebih banyak mengenai tanah Papua misalnya peta bumi, flora-fauna, seni-budaya, kekayaan alam, dan kota-kota melalui cap posnya serta Sampul Hari Pertama (SHP) penerbitan prangko bercap pos Sukarnapura yang sudah langka dikoleksi para pehobi filateli.

Kesembilan, ketika berkunjung ke Sorong pada tahun 2004 dalam rangka tugas ke Kilang Minyak Pertamina Sorong. Saya berkesimpulan, kilang minyak Sorong layak dikembangkan sekalian untuk membangun Kawasan Indonesia Timur dan tercapainya satu harga BBM yang seragam dari Sabang sampai Merauke. Bersamaan dengan itu, kita wajib mencari bibit-bibit anak terbaik asli Papua untuk dididik berbagai cabang ilmu yang terkait dengan teknologi dan tata kota. Mereka diperlukan untuk membangun Papua yang indah dan maju di masa depan. Pesona alam, kekayaan adat-istiadat, seni dan budaya seta flora dan fauna yang khas bisa merupakan modal pengembangan pariwisata yang akan mendatangkan kedamaian dan kemakmuran.

Kesepuluh, pada tahun 2012 saya pernah menulis “Surat Pembaca” ke beberapa media massa cetak. Saya menyampaikan keprihatinan karena Monumen Pembebasan Irian Barat di Lapangan Banteng Jakarta kondisinya rusak parah, dikanibal dan ditempati para gelandangan. Monumen yang diresmikan oleh Presiden Soekarno pada tanggal 18 Agustus 1963 itu, pintu dan pagarnya yang terbuat dari logam stainless-steel banyak yang hilang dicopoti oleh orang-orang liar. Monumen itu tidak terjaga setelah Terminal Bus Kota Lapangan Banteng dihapus sehingga situasinya menjadi sepi dan lengang sepanjang hari. Kalau di kemudian hari Monumen itu direnovasi total oleh Pemda DKI Jakarta, saya “GR”, semoga itu karena “Surat Pembaca” yang juga sempat saya “google”-kan pada tanggal 24 Agustus 2012 itu telah dibaca dan diperhatikan oleh banyak orang. Sekarang, Monumen itu menjadi salah satu ikon dan destinasi pariwisata DKI Jakarta.

Kesebelas, adalah harapan kedamaian. Papua adalah bagian dari Bhinneka Tunggal Ika kita. Untuk membangun kesejahteraan dan kedamaian bersama dari Sabang sampai Merauke, antaralain perlu pendekatan pendidikan sesuai rencana pembangunan yang ingin dicapai dan dilaksanakan. Beasiswa di bidang teknologi dan kedokteran serta tata-kota perlu diperbanyak dan disebar ke seluruh wilayah tanah air untuk pembelajaran dan agar mereka saling kenal-mengenal sesama anak bangsa.

Keduabelas, perlunya membangun Papua dengan system gotong-royong sesuai anjuran Presiden Soekarno :” Bantulah Pembangunan Irian Barat !”. Konsepnya adalah dengan menciptakan miniatur Indonesia di bumi Papua. Dalam konsep ini, masing-masing provinsi di Indonesia, diundang dan diwajibkan membangun desa atau Kawasan Hunian bagi masyarakat Papua. Sehingga kelak ada kampung RW atau Kelurahan Daerah Istimewa Aceh, Sumatera Utara dan seterusnya yang dihuni oleh penduduk asli Papua lengkap dengan fasilitas sekolah, olahraga, sanggar seni-budaya untuk sarana pelestarian kekayaan seni-budaya local. Perkampungan itu diharapkan tertata rapi, bersih, menarik dan manusiawi, terbebas dari bencana banjir dan tanah longsor serta layak sebagai obyek pariwisata. Pembangunan perkampungan itu bisa juga oleh kelompok perorangan, BUMN dan lain-lain, sehingga kelak juga ada perkampungan Aburizal Bakri, Pegadaian dan lain-lain para penyumbang dalam rangka merekatkan persatuan dan kesatuan bangsa dari Sabang sampai Merauke.

Pangkal dari semua itu, kedamaian akan tercapai kalau saja pemikiran dan pelaksanaannya perlu dilakukan dengan amanah, integritas tinggi dan penuh kejujuran di semua lini pemerintahan. Satu yang perlu dicamkan oleh semua pihak, bahwa pertumpahan darah dan penghilangan nyawa orang lain adalah perbuatan percuma yang akan menambah dosa saja. Dan itu pasti dilarang oleh agama, apa pun agama itu!. *****

 

 

Rekaman Sejarah Reformasi 1998

     Pada tanggal 17 April 2019 yang lalu, bangsa Indonesia telah melaksanakan Pemilu serentak memilih Presiden/Wakil Presiden, Anggota Legislatif Pusat dan Daerah serta Anggota DPD. Masyarakat sangat antusias menyukseskan Pemilu tersebut,  terbukti dengan meningkatnya prosentase jumlah pemilih dibanding Pemilu-Pemilu sebelumnya.

Patut dicatat, bahwa di antara para pemilih tahun ini terdapat pemuda/di remaja yang lahir pada tahun 1997/1998. Mereka mungkin ada yang tidak paham kenapa ada Pemilu serentak yang semula diperkirakan cukup membingungkan, tetapi ternyata bisa berhasil dengan baik, aman, damai, dan menggembirakan.

Bagi generasi muda yang baru pertama kali menggunakan hak pilihnya, perlu membaca buku “Kita Hari Ini 20 Tahun Yang Lalu”. Demikian juga para orang dewasa dan akademisi perlu membaca buku ini untuk menyegarkan kembali ingatan peristiwa bersejarah yang terjadi pada tahun 1998 yang melahirkan Orde Reformasi dan model demokrasi seperti sekarang ini yang sedang menuju kedewasaan. Harian Kompas yang mempunyai motto mengemban ‘Amanat Hati Nurani Rakyat” telah menyajikan sebagian laporan utamanya dalam bentuk kliping yang disusun untuk menggambarkan serba peristiwa yang terkait Reformasi 1998.

Dalam buku ini diketengahkan empat tema utama, yaitu: Rezim Orde Baru beserta secuil kekonyolannya, gambaran krisis ekonomi yang melanda sejak medio 1997 hingga Mei 1998, hari-hari menjelang lengsernya Soeharto, serta hari-hari menuju Pemilihan Umum 1999.

Buku ini dibuka dengan menampilkan komik bergambar Soeharto di penutup bagian belakang sebuah mobil truk. Dalam gambar itu ada kata-kata yang seolah diucapkan oleh Soeharto dengan nada mengejek rezim Reformasi yang berbunyi:“Piye kabare? Penak zamanku toh?”, dengan tangan kanannya terangkat  melambai seolah menyapa setiap orang sambil ber “da- dah!”. Seorang anak muda digambarkan terpengaruh membacanya dan bertekad untuk mengingat kembali masa-masa perjuangan menegakkan Reformasi pada tahun 1998 yang lalu.

Menjelang Pemilu 2014 memang sudah marak spanduk, stiker, dan gambar di angkutan umum, kemunculan gaung Soeharto dengan tema “Piye kabare?. Kalangan Soehartois dan pendukung Soeharto agaknya ingin membangkitkan kembali nostalgia era Soeharto. Mereka menganggap mungkin rakyat Indonesia  sudah lupa dan ini diulangi lagi menjelang Pemilu 2019 dengan tambahan strategi baru, antara lain  membentuk partai politik baru.

Untung ada pengingat. Sebagaimana slogan dalam buku ini yang berbunyi: “Verba Volant Scripta Manen, yang terucap akan lenyap, yang tertulis akan abadi”, maka penting membaca buku ini agar tragedi yang sama tidak terulang kembali.

Soeharto yang menakhodai Orde Baru, berkuasa sejak 11 Maret 1966 sampai dengan 20 Mei 1998. Pada awalnya mereka mencanangkan melaksanakan UUD 1945 dan Pancasila secara murni dan konsekuen. Tetapi kemudian berkembang menjadi otoriter dan militeristik melalui dwifungsi ABRI dengan mengatasnamakan  menjaga stabilitas nasional.

Pembangunan ekonomi memang digenjot melalui penanaman modal asing dan utang luar negeri serta bantuan asing. Tetapi karena fondasi ekonominya ternyata keropos dan sarat KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme) maka ketika diterpa gejolak moneter yang menyerang Asia Tenggara pada medio 1997, menghempaskan kita kembali ke titik awal dan rezim ORBA jatuh.

Kompas minggu  13 Maret 1994, mengutip wejangan Presiden Soeharto di hadapan anggota KNPI di Bina Graha Jakarta. Dia bilang, tidak berambisi jadi Presiden seumur hidup, oleh karena itu tidak perlu ribut-ribut. Kaum muda diminta jangan khawatir tidak punya waktu giliran menghadapi suksesi. Mungkin karena sinyal yang demikian itulah, maka dia bertindak otoriter dalam mempertahankan kekuasaannya.

Rezim ini juga pernah membatalkan SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers) media cetak serta  pelarangan beredarnya  buku dalam kurun waktu 1991-1995 dengan alasan yang berbeda-beda, dari tuduhan mengandung unsur SARA, pornografi, aliran kiri, sampai yang dituduh memutarbalikkan sejarah serta merendahkan pemerintah ORBA.

Setelah berkuasa lebih dari 30 tahun melalui cara-cara siasat dan kecurangan yang terencana, terstruktur, sistematis, masif, dan brutal dalam segala segi, tiba-tiba krisis ekonomi menerpa secara bergelombang. Semula di Thailand pada tanggal 2 Juli 1997, gejolak moneter merembet ke Indonesia dan berujung pengambangan nilai tukar rupiah terhadap US$ yang berlaku sejak 14 Agustus 1997. Dampaknya, nilai kurs anjlok dan kita tidak mampu lagi membayar utang. Banyak perusahaan bangkrut, enambelas bank dilikuidasi, berbagai proyek besar dihentikan dan jutaan orang di PHK.

Menanggapi kemelut ekonomi saat itu,  Sumitro Djojohadikusumo yang sempat memperkuat Kabinet Soeharto pada awal-awal ORBA menilai bahwa permasalahan yang terjadi bukan lagi menyangkut moneter dan ekonomi masyarakat semata-mata, tetapi lebih luas lagi karena menyangkut krisis kepercayaan yang menghinggapi seluruh kehidupan masyarakat politik terutama yang terkait good governance.

 Puncaknya, krisis ekonomi menjalar menjadi kemelut politik karena pemerintah mengalami krisis kepercayaan dari masyarakat. Monopoli cengkeh yang dilakukan oleh salah seorang anak Soeharto dan fasilitas bea dan pajak mobil Timor jalan terus serta ketidakmampuan pemerintah mengatasi krisis, memancing unjuk rasa masyarakat sejak awal 1998 hampir di seluruh kota di Indonesia.

Sejak Februari 1998 demonstrasi semakin gencar dan berani menuntut Presiden Soeharto mundur. Respon yang diberikan sejak Februari, Maret sampai Mei 1998 terjadi penculikan dan pengamanan para aktivis. Aksi keprihatinan semakin keras ketika Soeharto membentuk Kabinet Pembangunan pada periode kekuasaannya yang ketujuh pada tanggal 16 Maret dan usaha menaikkan harga BBM per 4 Mei 1998. Hingga saat ini ada 13 Aktivis yang tidak diketahui nasib dan keberadaannya.

 Puncak tekanan gerakan reformasi yang dimotori mahasiswa dan didukung oleh masyarakat luas yang berhasil menduduki Gedung MPR/DPR pada tanggal 18-20 Mei 1998, adalah peristiwa yang  berhasil memaksa Soeharto mundur dari kekuasaannya pada tanggal 21 Mei 1998.

Seluruh rangkaian kisah nyata yang menegangkan dan memilukan selama perjuangan reformasi dan tercapainya alam demokrasi seperti sekarang ini, tertuang secara beruntun dan sistematis  dalam buku ini. Pencapaian kemajuan setelah 20 tahun reformasi juga dituangkan dalam buku ini.

Ada enam tuntutan reformasi yang  menjadi pekerjaan besar kita bersama untuk dituntaskan, yaitu: penegakan supremasi hukum; mengadili Soeharto dan kroninya; amandemen konstitusi; pencabutan dwifungsi TNI/POLRI; dan pemberian otonomi daerah seluas-luasnya.

Oleh karena itu, kalau ada yang mempertanyakan kenapa Seoharto tidak bisa ditetapkan sebagai pahlawan nasional, barangkali karena evaluasi dan pertimbangannya terjawab dalam buku ini. Belum lagi kalau dihubungkan dengan hilangnya dokumen penting Surat Perintah 11 Maret 1966 (anehnya tanpa nomor)  yang telah mengantarkan Soeharto bisa berkuasa selama 32 tahun, serta kasus pelanggaran HAM berat 1965/1966 dan selama periode kekuasaannya, semestinya juga patut menjadi bahan pertimbangan oleh rezim manapun.. *****  Penulis adalah pemerhati masalah sosial, ekonomi dan politik, lulusan S2 FISIP Universitas Indonesia.

Data Buku

Judul:

Kita Hari Ini 20 Tahun Yang Lalu

Penulis dan Penyunting:

KPG. Redaksi dan Litbang Kompas

Penerbit:

KPG (Kepusatakaan Populer Gramedia)

Halaman:

Viii+256 halaman

Tahun Terbit:

2018

 

Senin, 09 November 2020

FAKTA LAIN TENTANG PANCASILA

Pada waktu menjadi anggota BEM Fakultas Ekonomi Program Extension Universitas Indonesia, penulis pernah menghadiri undangan ceramah Menteri Agama Alamsyah Ratuperwiranegara di Aula Fakultas Kedokteran UI Salemba Jakarta. Acaranya, dalam rangka peringatan Maulid Nabi Muhammad s.a.w. yang diselenggarakan oleh Senat Mahasiswa FKUI.

Ceramah itu menarik untuk diungkap sekarang ini. Pertama, dia mengaku, bahwa dialah yang ingin mengisi ceramah di acara yang penting tersebut karena ingin menjelaskan seputar pengangkatannya sebagai Menteri Agama yang biasanya diberikan kepada Ulama Pesantren atau dari IAIN. Dia mengaku sempat mempertanyakan kepada Presiden Soeharto yang konon dijawab: “Saya memerlukan Menteri Agama yang berani bersuara dan berani bertindak, maka saya perlu seorang tentara”. Yang kedua, dia menceriterakan tentang gebrakan yang dilakukan pada awal mengemban jabatannya. Langkah pertama yang kemudian dilakukan adalah menemui Mr. Kasman Singodimedjo yang dikenal sebagai tokoh Muhammadiyah dan mengetahui seputar Proklamasi Kemerdekaan RI dan lahirnya Pancasila. Diperoleh penjelasan, bahwa sewaktu Piagam Jakarta mau dimasukkan sebagai Pembukaan UUD 1945, wakil dari Indonesia Timur menolak. Lebih baik tidak ikut RI apabila bunyinya : “….ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Maka berembuglah dengan sengit antara tokoh Islam dengan tokoh nasionalis, yang kemudian dicapai kompromi seperti bunyinya sekarang ini, yaitu:” …berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa”. Konon Kasman Singodimedjo sempat menuturkan, bahwa sebagai Shodancho, dialah yang bersenjata pada waktu itu. Seandainya mereka yang tidak setuju itu saya tembaki, habis perkara, tetapi Indonesia Merdeka mungkin tidak seutuh seperti sekarang ini. Itulah bukti, kata Alamsyah Ratuperwiranegara, bahwa Pancasila adalah merupakan hadiah terbesar umat Islam kepada bangsa Indonesia. Ucapan tersebut, waktu itu sedang bergulir untuk meredam pemikiran beberapa oknum yang ingin mengungkit kembali Piagam Jakarta. Tetapi sebaliknya, umat Nasrani sangat keberatan dengan dalil tersebut dan bereaksi. Rezim Orde Baru sebenarnya sudah sibuk menghadapi masalah ini. Bahkan berani bertindak tegas dan keras. Pada suatu masa, bahkan pernah para khatib/da’i diminta menyusun dulu naskah khutbah/ceramah untuk diperiksa oleh Laksus/Kopkamtib. Sayangnya, bersamaan itu rezim Orde Baru juga melakukan desoekarnoisasi secara sistematis, terstruktur dan massif. Antaralain, rezim Orba melarang peringatan Hari Lahir Pancasila 1 Juni. Pernah ada peristiwa tragis yang perlu diingat kembali sekarang ini. AM Fatwa dilarang tampil sebagai khatib di suatu tempat shalat Idul Fithri setelah bahan ceramahnya diteliti oleh Laksusda Jaya. Dia datang di tempat shalat itu dan berorasi di mimbar, bahwa dia dilarang menjadi khatib hari itu. Khatib pengganti yang tampil, KH Kosim Nurseha, dilempari sandal oleh para Jemaah. Ceramah tetap jalan, dan begitu selesai/bubaran, AM Fatwa langsung dicokok oleh aparat, dibawa dan digebugi lalu diturunkan/dibuang di suatu tempat.

Masalah ini muncul lagi menjelang peringatan Hari Lahir Pancasila 1 Juni 2020. Cuitan di medsos berseliweran. Ada yang mempertanyakan keabsahan kelahiran  Pancasila 1 Juni 1945. Ada yang berargumen, belum ada negara kok sudah ada dasar negara. NKRI itu diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 dan UUD 1945 ditetapkan berlaku terhitung mulai tanggal 18 Agustus 1945. Pancasila termaktub dalam Pembukaan UUD 1945 itu, maka mereka beranggapan bahwa harlah Pancasila yang benar adalah 18 Agustus 1945. Pada masa Presiden SBY, tanggal 18 Agustus ini telah ditetapkan sebagai Hari Konstitusi yang diperingati setiap tahun.  Agaknya, ada yang ingin menentang dan melakukan pembangkangan terhadap Keputusan Presiden Joko Widodo yang menetapkan 1 Juni sebagai Hari Lahir Pancasila. Acara peringatan dilaksanakan di Gedung Pancasila Pejambon Jakarta yang dipimpin langsung oleh Presiden. Pada hal, menurut sejarawan Anhar Gonggong, peringatan Harlah Pancasila ini sudah dilakukan sejak jaman Presiden Soekarno, ketika para Perintis Kemerdekaan masih ada dan tidak timbul masalah. Rezim Orde Baru melalui sejarawan Nugroho Notosusanto yang mulai dengan gencar melakukan desoekarnoisasi dan menyebarkan tesis yang ingin menganulir peran Bung Karno. Pada hal, apabila ditelusuri secara mendalam dengan berprasangka, pikiran dan niat yang baik, maka akan tampak jelas alur faktanya.

BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) yang dipimpin oleh dr. Radjiman Wedyodiningrat mengundang sidang, mempertanyakan kepada para anggota, apa dasar negara yang akan kita bentuk. Maka berbicaralah para tokoh menyampaikan konsepsi dan pendapatnya. Bung Karno yang berpidato pada tanggal 1 Juni 1945 menyampaikan Pancasila yang bisa diamalkan dengan konsep Trisila dan Ekasila yang bermakna gotong-royong. Oleh Ketua BPUPKI kemudian dibentuk Panitia Sembilan untuk merumuskan lebih matang dan kemudian lahirlah Piagam Jakarta yang antaralain menyebutkan bahwa Indonesia merdeka dibentuk berdasarkan ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Piagam Jakarta itu lahir pada tanggal 22 Juni 1945 atas pemikiran Panitia Sembilan yang terdiri atas golongan nasionalis Islam yaitu, Ir. Soekarno, Drs. Mohammad Hatta, Mr. Muhammad Yamin, Mr. Achmad Soebardjo, nasionalis Nasrani Mr. A.A.Maramis, dan golongan Islam yaitu KH. Wachid Hasjim, H.Agus Salim, Abikusno Tjokrosuyoso dan Abdul Kahar Muzakir. Kemudian oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang dipimpin oleh Ir. Soekarno dan wakilnya Drs. Mohammad Hatta, Piagam Jakarta tersebut dijadikan Pembukaan UUD 1945 dengan perubahan sesuai permufakatan bersama seperti diuraikan di atas.

Lalu, bagaimana dengan Hari Lahir Pancasila? Faktanya, bahwa Ir. Soekarno adalah penggagas yang mengaku sebagai penggali Pancasila dalam pidato yang memukau di dalam sidang BPUPKI pada tanggal 1 Juni 1945. Dia kemudian terlibat langsung merumuskan Piagam Jakarta dalam Panitia Sembilan, dan sebagai Ketua PPKI, dia terlibat menyusun, merumuskan dan mensahkan UUD 1945. Nah, kalau begitu kapankah si jabang bayi Pancasila itu lahir yang sebenarnya? Bisa diibaratkan seperti si Polan yang lahir pada tanggal 1 April 1945, kemudian disunat (dikhitan) pada tanggal 5 Agustus 1957. Jadi sarjana tahun 1970 dan namanya berubah menjadi Polan SH, lalu kerja dan menikah pada tanggal 20  Januari 1974. Kemudian berhasil menjadi pejabat tinggi pada tahun 1985, apakah tanggal lahirnya si Polan ikut berubah atau tetap 1 April? Sebagai bagian dari ulah desoekarnoisasi secara terpola dan brutal, harlah Pancasila kemudian diotak-atik. Bahkan di kemudian hari, ada yang gusar ketika  ada pemikiran pembuatan UU Haluan Ideologi Pancasila (UU HIP) yang dimaksudkan sebagai penguatan pedoman berbangsa dan bernegara. Tuduhan yang menyeramkan adalah karena dibilang ingin menghidupkan kembali PKI, hanya karena tidak mencantumkan sebagai konsideran, Ketetapan MPRS mengenai pembubaran PKI dan larangan ajaran Komunisme, Marxisme dan Leninisme di bumi NKRI. Samasekali mereka tidak ada yang mempertanyakan kenapa dalam Tap MPRS itu tidak menyebut larangan terhadap ajaran Komunis Cina Maoisme? Pada hal katanya G30S/PKI tahun 1965 itu disokong oleh Cina Komunis yang penganutnya sudah milyaran jiwa, dan keterlibatan ini ada dalam narasi film Pengkhianatan G30S/PKI yang dibuat oleh rezim Soeharto/Orba. Pertanyaannya, ada apa pada tahun 1966 itu, dan apa pula yang mempengaruhi Sidang MPRS waktu itu?

Semenjak usai Perang Dunia II, para negara besar terutama negara kapitalis dan imperialis mengembangkan perang proxy. Mereka mengincar kekayaan alam semua negara bekas jajahan dengan mengadu-domba potensi konflik di suatu negara. Mereka membantu dan menyokong untuk kemudian menguasai kekayaan alam negara itu melalui rezim baru yang mereka bantu ketika merebut kekuasaan. Dan, perang proxy itu masih mengancam kita. Masalahnya, maukah kita menjadi seperti Kawasan Timur Tengah yang hancur lebur bertikai sesama agama dan suku bangsa karena mudah diadu-domba? Sejarah perkembangan bangsa Indonesia telah membuktikan dan kelompok-kelompok aneh masih selalu lahir dan gentayangan serta menggoreng terus. Inilah yang perlu kewaspadaan seluruh komponen bangsa yang cinta damai! *****

 

Selasa, 17 Desember 2019

Metode Screening Jaman Orde Baru

gambar: pexels.com Penulis dilahirkan pada tahun 1950. Oleh karena itu mengalami masa pemerintahan Presiden Soekarno, Orde Baru Soeharto, dan masa Reformasi. Karena diterima bekerja di BUMN selepas SLTA, maka penulis menikmati masa kerja selama 36 tahun. ketika pensiun pada tahun 2006. Mulai masuk kerja pada tahun 1970, maka ada catatatan penting selama masa itu karena kita baru saja berhasil menumpas PKI setelah terjadinya peristiwa berdarah G30S tahun 1965. Rezim Orba melakukan pembersihan besar-besaran terhadap unsur-unsur yang dituduh terlibat langsung maupun yang tidak langsung dengan peristiwa G30S. Setiap pencari kerja, selain wajib mengurus Surat Berkelakuan Baik di Kepolisian, juga wajib membuat Surat Bersih Diri, tidak terlibat dengan Peristiwa G30S. Sebutan pegawai BUMN kemudian diubah menjadi karyawan karena dikaitkan dengan Golongan Karya yang bukan merupakan organisasi politik. Setiap pegawai negeri dan pegawai BUMN dinyatakan tergabung ke dalam Korps Pegawai Negeri (KORPRI) yang aspirasi politiknya harus ke Golkar, bukan ke suatu partai politik manapun. Agar KORPRI pola pikir dan pola politiknya tidak terombang-ambing demi stabilitas dan suksesnya pembangunan nasional, dibentuklah metode screening oleh Badan atau Lembaga Litsus (Penelitian Khusus) yang ada di setiap kantor/instansi pemerintah dan BUMN. Selama menjadi karyawan BUMN dan tidak pernah berpindah-pindah, penulis mengalami setidaknya tiga kali screening. Yang pertama, ketika mulai masuk kerja pada tahun 1970. Yang kedua, ketika masuk pendidikan kedinasan pada tahun 1973, dan terakhir, ketika mau mengikuti Penataran Kewaspadan Nasional (Tarpadnas) paa tahun 1994. Ada kenangan yang membekas dari proses screening ini. Soal yang harus dijawab berbeda tergantung pendidikan dan perkembangan situasi dan kondisi. Pada waktu mulai masuk, pewawancaranya adalah tentara berpangkat mayor yang berstatus Kepala Sekuriti. Penulis sempat dapat pujian karena semua penulis jawab dengan panjang lebar seperti menjawab soal ujian di sekolah. Ketika ditanya kenapa tahu jawaban tentang PKI dan komunis, penulis jelaskan bahwa sewaktu SMP pernah mendapat pelajaran civics atau Kewarganegaraan. Sehingga dia memaklumi semua jawaban penulis. Kamu bagus, kamu jawab semua apa yang kamu tahu, Kemarin, katanya selanjutnya ,ada seorang Kepala Seksi yang saya marahi karena selalu menjawab “tidak tahu.” Yang terakhir, lebih terkesan lagi karena penulis harus menghadapi wawancara sampai 2 hari, padahal teman-teman cukup 3-4 jam saja. Pasalnya, penulis jawab semua pertanyaan dengan panjang lebar. Pertanyaan itu antara lain: apakah saudara setuju dengan demokrasi seperti di Amerika Serikat diterapkan di Indonesia; apakah ada teman saudara yang terlibat G30S/PKI, dan sebutkan namanya. Justru karena dijawab semua, penulis harus berdiskusi selama 2 hari. Karena tidak merasa terlibat dan tidak bersalah, ya tidak perlu takut. Sebenarnya, metode screening tersebut adalah model teror agar para karyawan takut dan cari aman saja untuk selalu mendukung pemerintah. Apabila ada orang yang terlibat G30S dan berhasil menghilangkan jejak, pasti akan bisa diketahui karena juga ditanyakan silsilah keluarganya secara lengkap dan dimana tinggalnya. Kalau aa yang meninggal dunia, ditanyakan di mana dan karena apa. Sejarah kita tinggal atau domisili juga diminta diungkap secara lengkap kurun waktu tinggal dan dimana saja. Dengan metode screening ini, banyak kasus terungkap dan ada yang kemudian dipecat atau dihambat karirnya sejauh mana kadar keterlibatannya. Pada waktu itu, musuh bersama telah ditetapkan yaitu komunis yang disebut unsur ekstrim kiri. Tetapi ketika berkembang adanya aksi-aksi unsur agama yang radikal khususnya penganut Islam, maka timbul istilah baru ”ekstrim kanan” yang muncul pada tahun 80-an. Untuk mengamankan jalannya pemerintahan dan pembangunan, rezim ORBA merumuskan kewaspadaan yang harus ditangkal sejak dini terhadap adanya Ancaman, Tantangan, Hambatan, dan Gangguan (ATHG) dari unsur ekstrim kiri maupun ekstrim kanan. Caranya melalui screening yang terbukti efektif karena berhasil mengantarkan rezim ORBA berkuasa selama 32 tahun. Setelah reformasi, Lembaga dan proses screening ini ditiadakan sesuai tuntutan dalam demokratisasi. Partai politik yang tadinya berhasil disederhanakan oleh rezim ORBA, berubah menjadi multi partai yang jumlahnya melebihi 10 parpol. Bahkan anak-anak Soeharto saja melanggar beleid ayahnya karena ikut-ikutan membuat partai baru. Yang menarik adalah, isu PKI/Komunis muncul lagi khususnya menjelang Pemilu 2014 dan 2019. Agaknya, dengan sasaran menghadang laju PDIP dengan menggunakan isu PKI/Komunis, mereka berharap PDIP dan setiap langkah PDIP bisa memudar. Anehnya, malah ekstrim kanan makin menghebat dengan berbagai strategi dan langkahnya. Mereka ceramah di masjid-masjid dan berbagai forum lainnya. Penulis sendiri sering mengalami di berbagai masjid di kota-kota dan komplek perumahan serta kantor BUMN. Bahkan rektor suatu perguruan tinggi negeri sewaktu pidato wisuda pernah berkata: “Disini boleh menuntut ilmu siapa saja dari berbagai kalangan dari Sabang-Merauke. Yang tidak boleh adalah orang komunis.” Pertanyaan dalam batin waktu itu: “ Bagaimana kalau mahasiswa China, Vietnam, Korea Utara, Rusia, atau Kuba bermaksud kuliah di tempatmu, apa tidak boleh?.” Maklum, dalam pidatonya dia buka seperti seorang Ustaz/Da’i. Lalu, dalam menghadapi kelompok radikal dan ekstrim ini, perlukah menerapkan metode screening kembali?. Ancaman itu nyata dan korban terus berjatuhan secara bergelombang. Indikasi terhadap pengaruh itu ada, yaitu hengkangnya 1000 perusahaan pada tahun 2018 ke negara lain, karena sikon yang dianggap tidak aman. Dalam hal ini, resep kita adalah, mencegah lebih baik daripada menindak atau menumpas!.***** (tulisan ini pernah dikirim ke Media Indonesia tanggal 22 November 2019, namun belum dimuat)

Minggu, 03 Maret 2019

Proxy War Sebagai Ancaman Bangsa Indonesia

Jenderal Gatot Nurmantyo sewaktu menjabat sebagai Panglima TNI, dalam berbagai kesempatan telah mengidentifikasi isu proxy war yang merupakan ancaman utama bagi bangsa Indonesia pada abad ke 21 ini. Proxy war adalah perang dimana pihak yang berkepentingan tidak ikut terlibat langsung pada saat perang tersebut terjadi, tahu-tahu mendapatkan keuntungan dan manfaat dari hasil peperangan itu. Pada hal, perang adalah upaya suatu bangsa atau negara untuk melumpuhkan bangsa atau negara lain. Tujuannya bermacam-macam, antara lain karena ingin menguasai bangsa lain untuk mengangkangi kekayaan alamnya atau akan mengangkangi pasar potensialnya. Juga, untuk menguasai geopolitik maupun geostrategisnya serta membuat suatu bangsa atau negara lain tetap dalam keadaan tak berdaya, merana, walau pun sebernarnya kaya raya. Dalam proxy war, negara yang berkepentingan, memanfaatkan potensi konflik di negara sasaran, misalnya isu sara, melumpuhkan otak dan raga melalui penyebaran narkoba, miras, dan pornografi serta maraknya perilaku KKN sehingga terciptanya ketidak adilan yang menyebabkan timbulnya kerawanan kesenjangan dan konflik sosial yang berkepanjangan. Apabila ditelaah lebih dalam dan jujur, agaknya tidak usah menunggu abad 21, sekarang pun, dan bahkan sebelumnya, sebenarnya bangsa Indonesia sudah merupakan korban proxy war. Perang dingin antara Blok Barat dan Blok Timur yang timbul setelah berakhirnya Perang Dunia II telah membuat Indonesia menjadi sasaran perebutan kedua kubu tersebut karena kekayaan alamnya yang beraneka ragam serta letak geografisnya yang sangat strategis. Berbagai pemberontakan yang terjadi setelah proklamasi kemerdekaan tanggal 17 agustus 1945, bukan mustahil merupakan ulah proxy war kedua kubu tersebut. Pemberontakan DI/TII di Jawa Barat/Aceh/Sulawesi Selatan, PKI Madiun, PRRI/ Permesta dan berbagai gerakan seperatisme telah berhasil diatasi dengan pengorbanan yang tidak sedikit. Tetapi puncaknya, pemberontakan G30S yang terjadi pada tahun 1965 telah merubah segala tatanan bernegara dan berbangsa. Menurut Presiden Soekarno sebagaimana yang disampaikan dalam pidato pertanggung jawaban kepada MPRS, bahwa peristiwa G30S bisa terjadi karena tiga sebab, yaitu keblingernya orang-orang PKI, adanya oknum yang tidak bertanggung jawab dan karena kelihaian neokolonialisme. Padahal pada waktu itu, Presiden Soekarno sedang mencanangkan Ganyang Malaysia dengan membantu kelompok di Kalimantan Utara yang ingin merdeka, tidak mau bergabung dengan Malaysia yang dibentuk Inggris ketika proses dekolonisasi. Boleh jadi, Presiden Soekarno ingin memanfaatkan momentum dekolonisasi itu untuk mencaplok Kalimantan Utara sehingga tercapai dan terwujudnya keutuhan pulau Kalimantan. Apalagi Presiden Soekarno pada tahun 1957 telah menggagas menetapkan Palangkaraya di pulau Kalimantan sebagai ibukota RI pengganti Jakarta. Pasca peristiwa G30S, keadaan dan situasi Indonesia berubah demikian cepat. Kehidupan perekonomian demikian sulit dan bunuh-membunuh sesama anak bangsa di berbagai tempat menjadi biasa dan tidak tersentuh hukum. Kesulitan ekonomi ini boleh jadi karena pergulatan yang panjang dalam rangka mengatasi berbagai pemberontakan di dalam negeri dan perjuangan merebut Irian Barat (Irian Jaya) serta bukan mustahil merupakan rangkaian sabotase nasional oleh sindikat yang bermaksud merebut kekuasaan secara merangkak. Demonstrasi massa terjadi dimana-mana disertai pengrusakan. Dalam keadaan terpaksa atau dipaksa, Presiden Soekarno mengeluarkan Surat Perintah tanggal 11 Maret 1966 (tetapi tidak bernomor) yang memerintahkan Jenderal Suharto untuk memulihkan keadaan dan ketertiban serta kewibawaan pemerintah. Ironisnya, dengan SP 11 Maret lah pemerintahan Presiden Soekarno terguling dan semuanya kemudian berubah dengan drastis. Munculah rezim baru yang menyebut dirinya sebagai Orde Baru. Mereka menyebut rezim sebelumnya (Presiden Soekarno) sebagai rezim Orde Lama, padahal mereka juga ada dalam struktur pemerintahan sehingga dalam kasus ini bisa dikatagorikan sebagai menggunting dalam lipatan alias berkhianat. Rezim baru ini dimotori oleh militer dan kelompok ekonom yang sering disebut sebagai mafia Berkeley. Diantara kelompok ini ada Prof.Dr.Ali Wardhana yang telah meninggal dunia beberapa waktu lalu. Di tangan mereka inilah Indonesia memasuki zaman neoliberal dan neokapitalisme sebagai antitesa berdikarinya Bung Karno dan Pembangunan Nasional Semesta Berencana tahap I yang sedang berjalan dari tanggal 1 Januari 1961 sampai dengan 31 Desember 1969. Puja-puji disampaikan dari berbagai kalangan untuk Prof. Ali Wardhana bahkan Mari Pangestu dalam tulisan abituarinya yang dimuat sebuah harian ibukota melontarkan kata-kata: “..... apa jadinya Indonesia tanpa dia”. Agaknya banyak orang mendustakan keadaan yang sebenarnya. Padahal buah karya mereka sudah jelas, butuh waktu lebih dari tiga dekade dengan kekayaan alam terkuras oleh bangsa asing, KKN merajalela di berbagai sektor, hutang dan besarnya dana yang dikorbankan serta ribuan gedung sekolah yang dibangun mutunya tidak memenuhi syarat dari segi mutu bangunan dan bahan bangunan, luas lahan serta tata ruangnya, dan mudah rusak yang terkadang mencelakai anak murid yang sedang belajar. Ironisnya lagi, dalam kurun waktu selama itu Indonesia masih berada di landasan (bukan tinggal landas seperti yang selalu dikhayalkan), ekspor TKI/TKW yang sering dilecehkan bangsa lain, dan ekspor asap yang terjadi secara rutin sejak tahun 1997 sampai sekarang. Asap itu sebagai akibat kebakaran hutan yang telah dibabat secara membabi buta karena pembangunan yang indah dalam konsep tetapi ngawur dalam pelaksanaannya. Asap itu meracuni anak bangsa kita yang akan berpengaruh terhadap kesehatan serta kemampuan berpikirnya. Alhasil, itulah nasib suatu bangsa korban proxy war melalui kaki tangannya yang ada di dalam negeri yang secara tidak sadar justru sering kita puja-puji setinggi langit.. Kondisi bangsa Indonesia saat ini sebagaimana dinyatakan oleh Menteri Koordiantor Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (MENKO PMK) baru-baru ini bahwa penduduk Indonesia diperkirakan mencapai 255 juta orang tetapi menghadapi masalah yang sangat memprihatinkan dalam berbagai hal. Kesenjangan sosial adalah merupakan masalah yang utama karena 20% kelas atas menguasai hampir 50% konsumsi perekonomian Indonesia, sedangkan penduduk kelas terbawah yang jumlahnya mencapai 40% hanya menguasai 20% konsumsi perekonomian. Pada saat ini 45% penduduk Indonesia memiliki kemampuan pengeluaran hanya Rp 500.000 per bulan. Menko Puan juga menyebutkan, jumlah penduduk yang menganggur atau sama sekali tidak bekerja saat ini diperkirakan berjumalah 7,2 juta jiwa dan lebih kurang 40 juta lainnya masih harus berjuang untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih layak. Apalagi laju pertumbuhan penduduk Indonesia masih sulit dikendalikan dengan angka kelahiran bayi mencapai 4,5 juta bayi per tahun (Rakyat Merdeka 22/09/2015). Sementara itu Wakil Preiden Yusuf Kalla dalam penutupan Rakernas dan konsolidasi pemenangan pilkada partai Nasdem di Jakarta pada tanggal 22 September 2015 mengingatkan bahwa berpolitik, termasuk mengikuti pemilihan kepala daerah adalah bertujuan untuk membayar utang kepada masyarakat dengan melayani rakyat apabila memenangi pemilihan. Bagi seseorang yang merasa sudah banyak menerima dari Indonesia, maka berpolitik adalah untuk membayar utang kepada masyarakat, berpolitik dan memimpin itu untuk memajukan rakyat, bukan menggunakan perhitungan untung rugi. Menurut Wapres, bangsa Indonesia terlalu besar untuk tidak mengalami kemajuan. Berpartai dan berpolitiklah dengan kesadaran tidak untuk diri pribadi. Berpolitiklah untuk mengurus daerah, generasi muda dan masyarakat kita di kampung-kampung. Berpolitik untuk mendapatkan rahmat Tuhan (Kompas, 23/09/2015). Dalam hal ini berpolitik tidak dalam rangka berbuat penyelewengan dan berbuat dosa karena seluruh bangsa yang juga terkena azab, bencana, dan kutukan. Sementara itu, anggota majelis tinggi partai Nasdem Lestari Moerdijat mengatakan, bahwa Nasdem tetap berpegang pada komitmen sejak didirikan, yaitu sebagai gerakan perubahan, restorasi Indonesia, yang menjunjung tinggi molaritas, integritas, dan kejujuran serta mewujudkan tegaknya hukum di Indonesia. Sikap partai Nasdem yang terbuka, transparan, dan konsisten dalam setiap menegakkan hukum (Jawa Pos, 26/09/215). Agaknya, pesan Wapres Jusuf Kalla, data yang pernah disampaikan oleh Menko Puan Maharani, serta sikap tokoh partai Nasdem di atas, bisa diadopsi oleh semua Parpol dan Ormas yang hidup di Indonesia dan diterapkan secara konsisten serta bertanggungjawab dalam rangka kewaspadaan dan menangkal ancaman proxy war yang terus mengintai dan membayangi bangsa Indonesia.***** . . tulisan ini dimuat di Koran Sindo tanggal 9 Januari 2019.