Pada tanggal 17 April 2019 yang lalu, bangsa Indonesia telah melaksanakan Pemilu serentak memilih Presiden/Wakil Presiden, Anggota Legislatif Pusat dan Daerah serta Anggota DPD. Masyarakat sangat antusias menyukseskan Pemilu tersebut, terbukti dengan meningkatnya prosentase jumlah pemilih dibanding Pemilu-Pemilu sebelumnya.
Patut dicatat,
bahwa di antara para pemilih tahun ini terdapat pemuda/di remaja yang lahir
pada tahun 1997/1998. Mereka mungkin ada yang tidak paham kenapa ada Pemilu
serentak yang semula diperkirakan cukup membingungkan, tetapi ternyata bisa
berhasil dengan baik, aman, damai, dan menggembirakan.
Bagi generasi muda
yang baru pertama kali menggunakan hak pilihnya, perlu membaca buku “Kita Hari
Ini 20 Tahun Yang Lalu”. Demikian juga para orang dewasa dan akademisi perlu
membaca buku ini untuk menyegarkan kembali ingatan peristiwa bersejarah yang
terjadi pada tahun 1998 yang melahirkan Orde Reformasi dan model demokrasi
seperti sekarang ini yang sedang menuju kedewasaan. Harian Kompas yang
mempunyai motto mengemban ‘Amanat Hati Nurani Rakyat” telah menyajikan sebagian
laporan utamanya dalam bentuk kliping yang disusun untuk menggambarkan serba
peristiwa yang terkait Reformasi 1998.
Dalam buku ini
diketengahkan empat tema utama, yaitu: Rezim Orde Baru beserta secuil
kekonyolannya, gambaran krisis ekonomi yang melanda sejak medio 1997 hingga Mei
1998, hari-hari menjelang lengsernya Soeharto, serta hari-hari menuju Pemilihan
Umum 1999.
Buku ini dibuka
dengan menampilkan komik bergambar Soeharto di penutup bagian belakang sebuah
mobil truk. Dalam gambar itu ada kata-kata yang seolah diucapkan oleh Soeharto
dengan nada mengejek rezim Reformasi yang berbunyi:“Piye kabare? Penak zamanku toh?”,
dengan tangan kanannya terangkat melambai seolah menyapa setiap orang sambil
ber “da- dah!”. Seorang anak muda digambarkan terpengaruh membacanya dan
bertekad untuk mengingat kembali masa-masa perjuangan menegakkan Reformasi pada
tahun 1998 yang lalu.
Menjelang Pemilu
2014 memang sudah marak spanduk, stiker, dan gambar di angkutan umum,
kemunculan gaung Soeharto dengan tema “Piye kabare?. Kalangan Soehartois dan pendukung
Soeharto agaknya ingin membangkitkan kembali nostalgia era Soeharto. Mereka
menganggap mungkin rakyat Indonesia
sudah lupa dan ini diulangi lagi menjelang Pemilu 2019 dengan tambahan
strategi baru, antara lain membentuk
partai politik baru.
Untung ada
pengingat. Sebagaimana slogan dalam buku ini yang berbunyi: “Verba Volant
Scripta Manen, yang terucap akan lenyap, yang tertulis akan abadi”, maka
penting membaca buku ini agar tragedi yang sama tidak terulang kembali.
Soeharto yang
menakhodai Orde Baru, berkuasa sejak 11 Maret 1966 sampai dengan 20 Mei 1998.
Pada awalnya mereka mencanangkan melaksanakan UUD 1945 dan Pancasila secara
murni dan konsekuen. Tetapi kemudian berkembang menjadi otoriter dan
militeristik melalui dwifungsi ABRI dengan mengatasnamakan menjaga stabilitas nasional.
Pembangunan
ekonomi memang digenjot melalui penanaman modal asing dan utang luar negeri
serta bantuan asing. Tetapi karena fondasi ekonominya ternyata keropos dan
sarat KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme) maka ketika diterpa gejolak moneter yang
menyerang Asia Tenggara pada medio 1997, menghempaskan kita kembali ke titik
awal dan rezim ORBA jatuh.
Kompas minggu 13 Maret 1994, mengutip wejangan Presiden
Soeharto di hadapan anggota KNPI di Bina Graha Jakarta. Dia bilang, tidak
berambisi jadi Presiden seumur hidup, oleh karena itu tidak perlu ribut-ribut.
Kaum muda diminta jangan khawatir tidak punya waktu giliran menghadapi suksesi.
Mungkin karena sinyal yang demikian itulah, maka dia bertindak otoriter dalam
mempertahankan kekuasaannya.
Rezim ini juga
pernah membatalkan SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers) media cetak serta pelarangan beredarnya buku dalam kurun waktu 1991-1995 dengan alasan
yang berbeda-beda, dari tuduhan mengandung unsur SARA, pornografi, aliran kiri,
sampai yang dituduh memutarbalikkan sejarah serta merendahkan pemerintah ORBA.
Setelah berkuasa lebih
dari 30 tahun melalui cara-cara siasat dan kecurangan yang terencana,
terstruktur, sistematis, masif, dan brutal dalam segala segi, tiba-tiba krisis ekonomi
menerpa secara bergelombang. Semula di Thailand pada tanggal 2 Juli 1997,
gejolak moneter merembet ke Indonesia dan berujung pengambangan nilai tukar
rupiah terhadap US$ yang berlaku sejak 14 Agustus 1997. Dampaknya, nilai kurs
anjlok dan kita tidak mampu lagi membayar utang. Banyak perusahaan bangkrut, enambelas
bank dilikuidasi, berbagai proyek besar dihentikan dan jutaan orang di PHK.
Menanggapi kemelut
ekonomi saat itu, Sumitro
Djojohadikusumo yang sempat memperkuat Kabinet Soeharto pada awal-awal ORBA
menilai bahwa permasalahan yang terjadi bukan lagi menyangkut moneter dan
ekonomi masyarakat semata-mata, tetapi lebih luas lagi karena menyangkut krisis
kepercayaan yang menghinggapi seluruh kehidupan masyarakat politik terutama
yang terkait good governance.
Puncaknya, krisis ekonomi menjalar menjadi
kemelut politik karena pemerintah mengalami krisis kepercayaan dari masyarakat.
Monopoli cengkeh yang dilakukan oleh salah seorang anak Soeharto dan fasilitas
bea dan pajak mobil Timor jalan terus serta ketidakmampuan pemerintah mengatasi
krisis, memancing unjuk rasa masyarakat sejak awal 1998 hampir di seluruh kota
di Indonesia.
Sejak Februari
1998 demonstrasi semakin gencar dan berani menuntut Presiden Soeharto mundur.
Respon yang diberikan sejak Februari, Maret sampai Mei 1998 terjadi penculikan dan
pengamanan para aktivis. Aksi keprihatinan semakin keras ketika Soeharto
membentuk Kabinet Pembangunan pada periode kekuasaannya yang ketujuh pada
tanggal 16 Maret dan usaha menaikkan harga BBM per 4 Mei 1998. Hingga saat ini
ada 13 Aktivis yang tidak diketahui nasib dan keberadaannya.
Puncak tekanan gerakan reformasi yang dimotori
mahasiswa dan didukung oleh masyarakat luas yang berhasil menduduki Gedung
MPR/DPR pada tanggal 18-20 Mei 1998, adalah peristiwa yang berhasil memaksa Soeharto mundur dari
kekuasaannya pada tanggal 21 Mei 1998.
Seluruh rangkaian
kisah nyata yang menegangkan dan memilukan selama perjuangan reformasi dan
tercapainya alam demokrasi seperti sekarang ini, tertuang secara beruntun dan sistematis
dalam buku ini. Pencapaian kemajuan setelah
20 tahun reformasi juga dituangkan dalam buku ini.
Ada enam tuntutan
reformasi yang menjadi pekerjaan besar
kita bersama untuk dituntaskan, yaitu: penegakan supremasi hukum; mengadili
Soeharto dan kroninya; amandemen konstitusi; pencabutan dwifungsi TNI/POLRI; dan
pemberian otonomi daerah seluas-luasnya.
Oleh karena itu,
kalau ada yang mempertanyakan kenapa Seoharto tidak bisa ditetapkan sebagai
pahlawan nasional, barangkali karena evaluasi dan pertimbangannya terjawab
dalam buku ini. Belum lagi kalau dihubungkan dengan hilangnya dokumen penting Surat
Perintah 11 Maret 1966 (anehnya tanpa nomor) yang telah mengantarkan Soeharto bisa berkuasa
selama 32 tahun, serta kasus pelanggaran HAM berat 1965/1966 dan selama periode
kekuasaannya, semestinya juga patut menjadi bahan pertimbangan oleh rezim
manapun.. ***** Penulis adalah pemerhati
masalah sosial, ekonomi dan politik, lulusan S2 FISIP Universitas Indonesia.
|
Data Buku |
|
|
Judul: |
Kita Hari Ini 20 Tahun Yang Lalu |
|
Penulis dan Penyunting: |
KPG. Redaksi dan Litbang Kompas |
|
Penerbit: |
KPG (Kepusatakaan Populer Gramedia) |
|
Halaman: |
Viii+256 halaman |
|
Tahun Terbit: |
2018 |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar