Entri yang Diunggulkan

GENERASI PENDOBRAK JILID III

 Harian Rakyat Merdeka terbitan 20 April  2010,memuat artikel dengan judul “Bodoh Permanen” yang ditulis oleh Arif Gunawan. Tulisan tersebut...

Tampilkan postingan dengan label soeharto. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label soeharto. Tampilkan semua postingan

Minggu, 16 Mei 2021

Tokoh Penting Itu Telah Tiada

 

Pada hari Selasa 31 Maret 2020 setahun yang lalu, telah berpulang ke rahmatullah, Mohamad Bob Hasan. Dia dikenal sebagai Ketua Umum Persatuan Atletik Seluruh Indonesia dan mantan Menteri Perindustrian dan Perdagangan dalam  kabinet Orde Baru yang terakhir.

Ada yang menarik, karena dalam ucapan bela sungkawa yang dimuat di media massa disebut nama lengkap Mohamad Hasan Gatot Soebroto dan dimakamkan di dekat almarhum Jenderal Gatot Soebroto. Karena ketertarikan itu, penulis mencoba membuka-buka kembali catatan dan beberapa buku yang memuat tentang ketokohan Bob Hasan.

Dalam buku “ Politik Huru Hara Mei 1998 “ oleh Fadli Zon, penerbit Fadli Zon Library cet. XI Mei 2013 pada hal. 18, Bob Hasan disebut sebagai pengusaha hutan dan orang dekat Soeharto.

Sementara itu, dalam suatu acara Indonesia Lawyer Club yang dipandu oleh Karni Ilyas tanggal 4 Oktober 2020 di TV One, ketika membahas peristiwa G30S 1965 antaralain pernah disebut-sebut nama Bob Hasan. Fadli Zon sebagai nara sumber mengaku pernah menanyakan langsung kepada mantan presiden Soeharto pada tahun 2007, apakah benar bahwa Kolonel Latief melapor dulu ke Soeharto sebelum menculik para Jenderal TNI-AD pada tanggal 1 Otober 1965. Yang konon dijawab, bahwa Latief  tidak melapor kepadanya karena bukan atasannya. Malah dia melapor ke Bob Hasan, coba tanya saja ke Bob Hasan. Anehnya, Kivlan Zen dalam forum yang sama justru memberikan keterangan yang berbeda, tetapi tidak ada seorang pun yang mempermasalahkan. Kivlan mengetahui, konon dari Jenderal Soeharto, bahwa malam itu Latief memang ke RSPAD mungkin juga mau menculik Soeharto tetapi karena banyak orang maka dia hanya melihat saja dari jauh dan pergi. Malam itu Soeharto sedang menunggui Tommy, anaknya yang sedang dirawat di RSPAD karena tersiram sop panas.

Fakta lain terdapat dalam buku “Profil Seorang Prajurit TNI” yang ditulis Amelia Yani, putri Jenderal A. Yani, Cet.I Pustaka Sinar Harapan 1988, diuraikan bahwa pada tanggal 30 September 1965 itu Jenderal Yani main golf bersama Bob Hasan, dari tengah  hari sampai jam 18.00.

Juga dalam buku Amelia Yani yang terbit pada bulan Juli 2002 terungkap, bahwa dalam kehidupan A.Yani muncul orang ketiga yang mengganggu ketenteraman rumah tangga keluarga A.Yani. Mungkinkah ada hubungannya antara peran Bob Hasan dengan kasus asmara itu, sehingga mampu berakrab-ria bermain golf segala ?. Disamping itu, ada fakta lain lagi yang perlu dikaji secara mendalam sebagaimana yang tertuang dalam buku Kronik ’65 oleh Kuncoro Hadi dkk. penerbit Media Pressindo cetakan pertama 2017. Pada halaman 165 disebutkan  bahwa pada Juni 1965, perusahaan Amerika Rockwell Standard mengadakan satu kontrak pengiriman 200 pesawat ringan untuk Angkatan Darat RI dan yang menjadi Komisi Keagenan dalam kontrak adalah Bob Hasan teman dekat Soeharto. Dilukiskan, bahwa pihak AS dekat dengan beberapa perwira AD seperti Nasution, Sarwo Edhie dan Soeharto.

Sebuah literatur juga ada yang menyebut, Bob Hasan muncul ketika penggalian para korban Pahlawan Revolusi di lokasi Lubang Buaya. Kedekatan Soeharto dengan Bob Hasan juga nampak dalam buku Salim Haji Said (Mizan cet. III Januari 2016) berjudul Gestapu 65, PKI, Aidit, Sukarno dan Soeharto hal. 122 yang menyebutkan bahwa Soeharto sebagai Panglima Kodam Diponegoro Semarang, pernah menjadi sasaran pemeriksaan Inspektur Jenderal Angkatan Darat karena terlibat penyelewengan barter liar, monopoli cengkeh dan penjualan besi tua bersama Liem Sioe Liong, Oei Tek Young dan Bob Hasan.

Dan dalam buku “Liem Sioe Liong dan Salim Group : Pilar Bisnis Soeharto” oleh Richard Borsuk dan Nancy CHNG terbitan Kompas Media Nusantara 2016 diuraikan secara panjang lebar mengenai peran Bob Hasan bersama Soeharto , bahkan Liem Sioe Liong bersama Bob Hasan mengaku dengan gamblang sebagai kroni terdekat Soeharto sampai akhir. Bob Hasan adalah kawan memancing dan bermain golf Soeharto seumur hidup (hal. 4-6).

 Ada lagi fakta menarik yang perlu diungkap sebagaimana dimuat dalam tabloid Detik edisi 29 September – 5 Oktober 1993, no. 030 tahun ke 17. Bahwa ketika kemelut politik sesudah peristiwa G30S 1965, pada pertengahan Oktober 1965 dan 20 Maret 1966, isteri Bung Karno keturunan Jepang Ratna Sari Dewi bermain golf dengan Jenderal Soeharto  di Padang Golf Rawamangun, konon dalam rangka menjembatani untuk menurunkan ketegangan antara Bung Karno dengan pihak militer. Yang mengatur pertemuan di padang golf itu disebutnya Bob Hasan.

Fakta lain, terdapat dalam buku “ Chaerul Saleh Tokoh Kontroversial “ karya Dra. Irna H.N, Hadi Soewito (cetakan pertama, 1993). Nama Bob Hasan dinyatakan dalam index terdapat di halaman 301, tetapi halaman tersebut dan halaman sebelumnya ternyata kosong atau tidak tercetak. Tetapi nama itu muncul di halaman 285 dalam tulisan kesan oleh Hasyim Ning. Disebutkan, bahwa dalam situasi kemelut 1965/1966, atas inisiatif Bob Hasan, Chaerul Saleh akan dipertemukan dengan Soeharto di rumahnya, Namun, Hasyim Ning dan Bob Hasan sangat kecewa karena ternyata Chaerul Saleh tidak muncul. Chaerul Saleh ternyata kemudian ditangkap rezim Soeharto setelah Supersemar 1966, dan meninggal dunia secara misterius di Rumah Tahanan Militer Jl, Budi Utomo Jakarta tanggal 8 Februari 1967.

Nah, sampai saat ini peristiwa G30S 1965 itu masih suatu misteri siapa dalangnya yang sebenarnya. Bahkan Prof. Dr. Salim Haji Said saja dalam acara ILC (Indonesia Lawyers Club) juga merasa mengalami kesulitan untuk menyimpulkan siapa dalang yang sesungguhnya karena para saksi kunci semuanya sudah meninggal dunia. Juga misteri hilangnya Surat Perintah 11 Maret 1966 yang anehnya tanpa nomor. Ketika orang ramai mempergunjingkan, ternyata Soeharto diam saja sampai meninggalnya, dan kita bangsa Indonesia disuguhi informasi yang simpang siur dari Sudharmono, Murdiono, Sudomo, Amir Machmud, M.Yusuf dan banyak lagi yang semuanya dibuat mengambang. Suatu pertanda mungkin ada bentuk manipulasi secara terstruktur, sistematis dan massif?.

Tidak semua  nara sumber yang berkompeten pernah ditanyai oleh para peneliti seputar perubahan kekuasaan 1965/1966 itu. Mungkin karena banyak yang menghindar. atau takut-takut karena masih banyak yang tidak ingin terbuka terang benderang dan masih banyak yang ingin terus menutup-nutupi. Tetapi satu hal yang sangat disayangkan, sepertinya tak ada satu pun yang pernah mewawancarai dan mengorek dari Bob Hasan yang ternyata ada indikasi tahu rahasia semuanya itu.

 Seperti yang tertuang dalam buku “Celotehan Linda” karya Linda Djalil, wartawan senior yang pernah bertugas di Istana Kepresidenan pada masa Presiden Soeharto dan BJ Habibie, terdapat uraian tentang Bob Hasan. Buku edisi I tahun 2012 pada halaman 253 mengungkap kata-kata Jacky, teman akrab Bob Hasan yang berdinas di lingkungan intel. Begini ucapannya dalam acara peluncuran buku Bob Hasan :” Waaah, dia banyak menyimpan rahasia . Bagaimana saya bisa lawan bicara ya, zaman Achmad Yani, dia sudah di lingkungan itu, dia anak angkat Gatot Soebroto, dia dekat Soeharto, jadi ya dia tahu persis semua deh”. Lalu pada halaman 135 menyebut, bahwa Bob Hasan, Liem Sioe Liong, Antoni Salim atau beberapa orang India produsen tekstil raksasa adalah orang-orang yang kerap kali datang ke Cendana (kediaman Soeharto) pada sore hari.

Juga ada fakta menarik lagi sebagaimana pernah ditulis oleh wartawan senior Rosihan Anwar di harian Kompas beberapa tahun yang lalu. Ketika korannya dibreidel pada waktu Menteri Penerangan Mashuri SH, dia mempertanyakan langsung kepadanya. Konon dia mengaku bahwa sebenarnya dia tidak mau membreidel, tetapi Presiden Soeharto bilang :” Wis pateni ae”. (Sudah, dimatiin saja). Beberapa tahun setelah kejatuhannya, dia dihubungi Bob Hasan. Konon Soeharto mempertanyakan bagaimana kondisi ekonomi wartawan yang pernah menemani ketika menjemput Jenderal Sudirman dari lokasi gerilya. Kalau ingin ketemu Soeharto, dia bersedia memfasilitasi. Agaknya, Bob Hasan juga kaki-tangan ketika menekuk para pengritiknya dan juga sebagai penghubung ketika  menebus dosa kekejamannya selama berkuasa.

Sayang dia sudah pergi bersama semua rahasia penting yang disimpannya itu untuk selama-lamanya. Selamat jalan Bob Hasan !. ***** Penulis, pemerhati masalah sosial, politik dan ekonomi, lulusan S-2 FISIP Universitas Indonesia.

Kamis, 01 April 2021

Rekaman Sejarah Reformasi 1998

     Pada tanggal 17 April 2019 yang lalu, bangsa Indonesia telah melaksanakan Pemilu serentak memilih Presiden/Wakil Presiden, Anggota Legislatif Pusat dan Daerah serta Anggota DPD. Masyarakat sangat antusias menyukseskan Pemilu tersebut,  terbukti dengan meningkatnya prosentase jumlah pemilih dibanding Pemilu-Pemilu sebelumnya.

Patut dicatat, bahwa di antara para pemilih tahun ini terdapat pemuda/di remaja yang lahir pada tahun 1997/1998. Mereka mungkin ada yang tidak paham kenapa ada Pemilu serentak yang semula diperkirakan cukup membingungkan, tetapi ternyata bisa berhasil dengan baik, aman, damai, dan menggembirakan.

Bagi generasi muda yang baru pertama kali menggunakan hak pilihnya, perlu membaca buku “Kita Hari Ini 20 Tahun Yang Lalu”. Demikian juga para orang dewasa dan akademisi perlu membaca buku ini untuk menyegarkan kembali ingatan peristiwa bersejarah yang terjadi pada tahun 1998 yang melahirkan Orde Reformasi dan model demokrasi seperti sekarang ini yang sedang menuju kedewasaan. Harian Kompas yang mempunyai motto mengemban ‘Amanat Hati Nurani Rakyat” telah menyajikan sebagian laporan utamanya dalam bentuk kliping yang disusun untuk menggambarkan serba peristiwa yang terkait Reformasi 1998.

Dalam buku ini diketengahkan empat tema utama, yaitu: Rezim Orde Baru beserta secuil kekonyolannya, gambaran krisis ekonomi yang melanda sejak medio 1997 hingga Mei 1998, hari-hari menjelang lengsernya Soeharto, serta hari-hari menuju Pemilihan Umum 1999.

Buku ini dibuka dengan menampilkan komik bergambar Soeharto di penutup bagian belakang sebuah mobil truk. Dalam gambar itu ada kata-kata yang seolah diucapkan oleh Soeharto dengan nada mengejek rezim Reformasi yang berbunyi:“Piye kabare? Penak zamanku toh?”, dengan tangan kanannya terangkat  melambai seolah menyapa setiap orang sambil ber “da- dah!”. Seorang anak muda digambarkan terpengaruh membacanya dan bertekad untuk mengingat kembali masa-masa perjuangan menegakkan Reformasi pada tahun 1998 yang lalu.

Menjelang Pemilu 2014 memang sudah marak spanduk, stiker, dan gambar di angkutan umum, kemunculan gaung Soeharto dengan tema “Piye kabare?. Kalangan Soehartois dan pendukung Soeharto agaknya ingin membangkitkan kembali nostalgia era Soeharto. Mereka menganggap mungkin rakyat Indonesia  sudah lupa dan ini diulangi lagi menjelang Pemilu 2019 dengan tambahan strategi baru, antara lain  membentuk partai politik baru.

Untung ada pengingat. Sebagaimana slogan dalam buku ini yang berbunyi: “Verba Volant Scripta Manen, yang terucap akan lenyap, yang tertulis akan abadi”, maka penting membaca buku ini agar tragedi yang sama tidak terulang kembali.

Soeharto yang menakhodai Orde Baru, berkuasa sejak 11 Maret 1966 sampai dengan 20 Mei 1998. Pada awalnya mereka mencanangkan melaksanakan UUD 1945 dan Pancasila secara murni dan konsekuen. Tetapi kemudian berkembang menjadi otoriter dan militeristik melalui dwifungsi ABRI dengan mengatasnamakan  menjaga stabilitas nasional.

Pembangunan ekonomi memang digenjot melalui penanaman modal asing dan utang luar negeri serta bantuan asing. Tetapi karena fondasi ekonominya ternyata keropos dan sarat KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme) maka ketika diterpa gejolak moneter yang menyerang Asia Tenggara pada medio 1997, menghempaskan kita kembali ke titik awal dan rezim ORBA jatuh.

Kompas minggu  13 Maret 1994, mengutip wejangan Presiden Soeharto di hadapan anggota KNPI di Bina Graha Jakarta. Dia bilang, tidak berambisi jadi Presiden seumur hidup, oleh karena itu tidak perlu ribut-ribut. Kaum muda diminta jangan khawatir tidak punya waktu giliran menghadapi suksesi. Mungkin karena sinyal yang demikian itulah, maka dia bertindak otoriter dalam mempertahankan kekuasaannya.

Rezim ini juga pernah membatalkan SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers) media cetak serta  pelarangan beredarnya  buku dalam kurun waktu 1991-1995 dengan alasan yang berbeda-beda, dari tuduhan mengandung unsur SARA, pornografi, aliran kiri, sampai yang dituduh memutarbalikkan sejarah serta merendahkan pemerintah ORBA.

Setelah berkuasa lebih dari 30 tahun melalui cara-cara siasat dan kecurangan yang terencana, terstruktur, sistematis, masif, dan brutal dalam segala segi, tiba-tiba krisis ekonomi menerpa secara bergelombang. Semula di Thailand pada tanggal 2 Juli 1997, gejolak moneter merembet ke Indonesia dan berujung pengambangan nilai tukar rupiah terhadap US$ yang berlaku sejak 14 Agustus 1997. Dampaknya, nilai kurs anjlok dan kita tidak mampu lagi membayar utang. Banyak perusahaan bangkrut, enambelas bank dilikuidasi, berbagai proyek besar dihentikan dan jutaan orang di PHK.

Menanggapi kemelut ekonomi saat itu,  Sumitro Djojohadikusumo yang sempat memperkuat Kabinet Soeharto pada awal-awal ORBA menilai bahwa permasalahan yang terjadi bukan lagi menyangkut moneter dan ekonomi masyarakat semata-mata, tetapi lebih luas lagi karena menyangkut krisis kepercayaan yang menghinggapi seluruh kehidupan masyarakat politik terutama yang terkait good governance.

 Puncaknya, krisis ekonomi menjalar menjadi kemelut politik karena pemerintah mengalami krisis kepercayaan dari masyarakat. Monopoli cengkeh yang dilakukan oleh salah seorang anak Soeharto dan fasilitas bea dan pajak mobil Timor jalan terus serta ketidakmampuan pemerintah mengatasi krisis, memancing unjuk rasa masyarakat sejak awal 1998 hampir di seluruh kota di Indonesia.

Sejak Februari 1998 demonstrasi semakin gencar dan berani menuntut Presiden Soeharto mundur. Respon yang diberikan sejak Februari, Maret sampai Mei 1998 terjadi penculikan dan pengamanan para aktivis. Aksi keprihatinan semakin keras ketika Soeharto membentuk Kabinet Pembangunan pada periode kekuasaannya yang ketujuh pada tanggal 16 Maret dan usaha menaikkan harga BBM per 4 Mei 1998. Hingga saat ini ada 13 Aktivis yang tidak diketahui nasib dan keberadaannya.

 Puncak tekanan gerakan reformasi yang dimotori mahasiswa dan didukung oleh masyarakat luas yang berhasil menduduki Gedung MPR/DPR pada tanggal 18-20 Mei 1998, adalah peristiwa yang  berhasil memaksa Soeharto mundur dari kekuasaannya pada tanggal 21 Mei 1998.

Seluruh rangkaian kisah nyata yang menegangkan dan memilukan selama perjuangan reformasi dan tercapainya alam demokrasi seperti sekarang ini, tertuang secara beruntun dan sistematis  dalam buku ini. Pencapaian kemajuan setelah 20 tahun reformasi juga dituangkan dalam buku ini.

Ada enam tuntutan reformasi yang  menjadi pekerjaan besar kita bersama untuk dituntaskan, yaitu: penegakan supremasi hukum; mengadili Soeharto dan kroninya; amandemen konstitusi; pencabutan dwifungsi TNI/POLRI; dan pemberian otonomi daerah seluas-luasnya.

Oleh karena itu, kalau ada yang mempertanyakan kenapa Seoharto tidak bisa ditetapkan sebagai pahlawan nasional, barangkali karena evaluasi dan pertimbangannya terjawab dalam buku ini. Belum lagi kalau dihubungkan dengan hilangnya dokumen penting Surat Perintah 11 Maret 1966 (anehnya tanpa nomor)  yang telah mengantarkan Soeharto bisa berkuasa selama 32 tahun, serta kasus pelanggaran HAM berat 1965/1966 dan selama periode kekuasaannya, semestinya juga patut menjadi bahan pertimbangan oleh rezim manapun.. *****  Penulis adalah pemerhati masalah sosial, ekonomi dan politik, lulusan S2 FISIP Universitas Indonesia.

Data Buku

Judul:

Kita Hari Ini 20 Tahun Yang Lalu

Penulis dan Penyunting:

KPG. Redaksi dan Litbang Kompas

Penerbit:

KPG (Kepusatakaan Populer Gramedia)

Halaman:

Viii+256 halaman

Tahun Terbit:

2018

 

Selasa, 17 Desember 2019

Metode Screening Jaman Orde Baru

gambar: pexels.com Penulis dilahirkan pada tahun 1950. Oleh karena itu mengalami masa pemerintahan Presiden Soekarno, Orde Baru Soeharto, dan masa Reformasi. Karena diterima bekerja di BUMN selepas SLTA, maka penulis menikmati masa kerja selama 36 tahun. ketika pensiun pada tahun 2006. Mulai masuk kerja pada tahun 1970, maka ada catatatan penting selama masa itu karena kita baru saja berhasil menumpas PKI setelah terjadinya peristiwa berdarah G30S tahun 1965. Rezim Orba melakukan pembersihan besar-besaran terhadap unsur-unsur yang dituduh terlibat langsung maupun yang tidak langsung dengan peristiwa G30S. Setiap pencari kerja, selain wajib mengurus Surat Berkelakuan Baik di Kepolisian, juga wajib membuat Surat Bersih Diri, tidak terlibat dengan Peristiwa G30S. Sebutan pegawai BUMN kemudian diubah menjadi karyawan karena dikaitkan dengan Golongan Karya yang bukan merupakan organisasi politik. Setiap pegawai negeri dan pegawai BUMN dinyatakan tergabung ke dalam Korps Pegawai Negeri (KORPRI) yang aspirasi politiknya harus ke Golkar, bukan ke suatu partai politik manapun. Agar KORPRI pola pikir dan pola politiknya tidak terombang-ambing demi stabilitas dan suksesnya pembangunan nasional, dibentuklah metode screening oleh Badan atau Lembaga Litsus (Penelitian Khusus) yang ada di setiap kantor/instansi pemerintah dan BUMN. Selama menjadi karyawan BUMN dan tidak pernah berpindah-pindah, penulis mengalami setidaknya tiga kali screening. Yang pertama, ketika mulai masuk kerja pada tahun 1970. Yang kedua, ketika masuk pendidikan kedinasan pada tahun 1973, dan terakhir, ketika mau mengikuti Penataran Kewaspadan Nasional (Tarpadnas) paa tahun 1994. Ada kenangan yang membekas dari proses screening ini. Soal yang harus dijawab berbeda tergantung pendidikan dan perkembangan situasi dan kondisi. Pada waktu mulai masuk, pewawancaranya adalah tentara berpangkat mayor yang berstatus Kepala Sekuriti. Penulis sempat dapat pujian karena semua penulis jawab dengan panjang lebar seperti menjawab soal ujian di sekolah. Ketika ditanya kenapa tahu jawaban tentang PKI dan komunis, penulis jelaskan bahwa sewaktu SMP pernah mendapat pelajaran civics atau Kewarganegaraan. Sehingga dia memaklumi semua jawaban penulis. Kamu bagus, kamu jawab semua apa yang kamu tahu, Kemarin, katanya selanjutnya ,ada seorang Kepala Seksi yang saya marahi karena selalu menjawab “tidak tahu.” Yang terakhir, lebih terkesan lagi karena penulis harus menghadapi wawancara sampai 2 hari, padahal teman-teman cukup 3-4 jam saja. Pasalnya, penulis jawab semua pertanyaan dengan panjang lebar. Pertanyaan itu antara lain: apakah saudara setuju dengan demokrasi seperti di Amerika Serikat diterapkan di Indonesia; apakah ada teman saudara yang terlibat G30S/PKI, dan sebutkan namanya. Justru karena dijawab semua, penulis harus berdiskusi selama 2 hari. Karena tidak merasa terlibat dan tidak bersalah, ya tidak perlu takut. Sebenarnya, metode screening tersebut adalah model teror agar para karyawan takut dan cari aman saja untuk selalu mendukung pemerintah. Apabila ada orang yang terlibat G30S dan berhasil menghilangkan jejak, pasti akan bisa diketahui karena juga ditanyakan silsilah keluarganya secara lengkap dan dimana tinggalnya. Kalau aa yang meninggal dunia, ditanyakan di mana dan karena apa. Sejarah kita tinggal atau domisili juga diminta diungkap secara lengkap kurun waktu tinggal dan dimana saja. Dengan metode screening ini, banyak kasus terungkap dan ada yang kemudian dipecat atau dihambat karirnya sejauh mana kadar keterlibatannya. Pada waktu itu, musuh bersama telah ditetapkan yaitu komunis yang disebut unsur ekstrim kiri. Tetapi ketika berkembang adanya aksi-aksi unsur agama yang radikal khususnya penganut Islam, maka timbul istilah baru ”ekstrim kanan” yang muncul pada tahun 80-an. Untuk mengamankan jalannya pemerintahan dan pembangunan, rezim ORBA merumuskan kewaspadaan yang harus ditangkal sejak dini terhadap adanya Ancaman, Tantangan, Hambatan, dan Gangguan (ATHG) dari unsur ekstrim kiri maupun ekstrim kanan. Caranya melalui screening yang terbukti efektif karena berhasil mengantarkan rezim ORBA berkuasa selama 32 tahun. Setelah reformasi, Lembaga dan proses screening ini ditiadakan sesuai tuntutan dalam demokratisasi. Partai politik yang tadinya berhasil disederhanakan oleh rezim ORBA, berubah menjadi multi partai yang jumlahnya melebihi 10 parpol. Bahkan anak-anak Soeharto saja melanggar beleid ayahnya karena ikut-ikutan membuat partai baru. Yang menarik adalah, isu PKI/Komunis muncul lagi khususnya menjelang Pemilu 2014 dan 2019. Agaknya, dengan sasaran menghadang laju PDIP dengan menggunakan isu PKI/Komunis, mereka berharap PDIP dan setiap langkah PDIP bisa memudar. Anehnya, malah ekstrim kanan makin menghebat dengan berbagai strategi dan langkahnya. Mereka ceramah di masjid-masjid dan berbagai forum lainnya. Penulis sendiri sering mengalami di berbagai masjid di kota-kota dan komplek perumahan serta kantor BUMN. Bahkan rektor suatu perguruan tinggi negeri sewaktu pidato wisuda pernah berkata: “Disini boleh menuntut ilmu siapa saja dari berbagai kalangan dari Sabang-Merauke. Yang tidak boleh adalah orang komunis.” Pertanyaan dalam batin waktu itu: “ Bagaimana kalau mahasiswa China, Vietnam, Korea Utara, Rusia, atau Kuba bermaksud kuliah di tempatmu, apa tidak boleh?.” Maklum, dalam pidatonya dia buka seperti seorang Ustaz/Da’i. Lalu, dalam menghadapi kelompok radikal dan ekstrim ini, perlukah menerapkan metode screening kembali?. Ancaman itu nyata dan korban terus berjatuhan secara bergelombang. Indikasi terhadap pengaruh itu ada, yaitu hengkangnya 1000 perusahaan pada tahun 2018 ke negara lain, karena sikon yang dianggap tidak aman. Dalam hal ini, resep kita adalah, mencegah lebih baik daripada menindak atau menumpas!.***** (tulisan ini pernah dikirim ke Media Indonesia tanggal 22 November 2019, namun belum dimuat)

Kamis, 10 Maret 2016

Celoteh Prof. Yusril Ihza Mahendra


Pada tanggal 15 Februari 2016 di TVOne, entah dalam rangka pra kampanye karena ingin jadi Gubernur DKI Jakarta atau ada motif lain. Prof.Yusril Ihza Mahendra tiba-tiba memuji Soeharto, yang menurutnya hebat, karena mau mundur ketika mendapat perlawanan dari rakyat. Hal  ini berbeda dengan yang terjadi di Timur Tengah yang terus  bertahan memerintah ketika menghadapi protes rakyatnya,  sehingga sampai sekarang di kawasan itu masih kacau balau entah sampai kapan. Sebenarnya sih, bukan masalah mau mundur atau tidak mau mundur, tetapi yang harus dipahami adalah latar belakangnya kenapa ia/seorang pemimpin dipaksa mundur. Itulah yang perlu diingat dan jangan dikaburkan seolah-olah hebat. Sebab, kenyataan sejarah menunjukkan, bahwa sebenarnya Soeharto sudah beberapa kali diminta mundur atau tidak dicalonkan lagi sebagai presiden. Ingat peristiwa Malari 1974, aksi mahasiswa 1978/1979  dan 1984/1985, tetapi tetap bertahan dengan selalu menjadi Capres calon tunggal karena Panggabean, Benny Moerdani, Soedomo pandai mengawal dengan ganas dan mematikan. Rupanya tahun 1997/1998 sudah titi mangsane, Allah sudah tidak meridhoi sehingga terjadilah peristiwa yang seolah-olah konstitusional dan seakan-akan berjiwa besar. Padahal, mundurnya Soeharto dan tanpa gejolak di Indonesia, itu karena fakta sebagai berikut:
·         ABRI sudah tidak represif  lagi seperti masa-masa yang lalu.
·         Demokrasi yang sudah lama kita idamkan memang sudah bergulir dan tidak terbendung.
·         Kegiatan demonstrasi murni menuntut perubahan, bukan kudeta, sehingga tidak ada tokoh yang dielu-elukan yang kemudian mengambil- alih kekuasaan seperti yang terjadi pada tahun 1966 dari Presiden Soekarno kepada Jenderal Soeharto.
·         Bangsa Indonesia bukan bangsa Arab yang sepanjang sejarahnya memang suka bertengkar. Oleh karena itu para Nabi dan Rasul selalu diturunkan oleh Allah di tanah Arab. Sehingga jangan heran, ketika Soeharto mau mundur semua tenang-tenang saja, tidak ada kegaduhan.
·         Yang hebat sebenarnya para tokoh reformasi, yang berhasil menurunkan seorang diktator dengan cara-cara damai. Belum lagi bicara tentang keberhasilan pembangunan yang selalu mereka dengung-dengungkan, pertumbuhan 7% per tahun terutama selama PJPT I dan katanya menuju saat tinggal landas. Nyatanya, masih tinggal di landasan, padahal  kekayaan alam habis dikuras bangsa asing (emas, tembaga, nikel, minyak bumi, batubara) dan hutan digunduli dalam waktu 32 tahun. Belum lagi hutang dan bantuan asing yang dihambur-hamburkan, pada hal hasil akhirnya, ekonomi ringsek dan marak KKN sehingga ia dituntut mundur oleh masyarakat yang memahami keadaan yang sebenarnya.
·         Pada dasarnya bangsa Indonesia itu cinta damai,.hanya para elite dan para cecunguknyalah yang membuat gaduh. Sebagai contoh, Soeharto mungkin sudah tenang di alam baka sana, tetapi kenapa sejak menjelang Pemilu 2014 beredar gambar/ stiker sosok Soeharto yang seolah-olah berkata,”piye kabare, enak jamanku to?” atau ada yang berdalil, seolah Soeharto berjiwa besar karena mau mundur secara ksatria, walaupun kenyataannya tidak ksatria karena ketika mau diadili pura-pura sakit dengan berbagai rekayasanya. Padahal, dia mundur dengan terpaksa karena sebenarnya masih berambisi untuk terus berkuasa. Sebagai buktinya, ketika ketua KNPI dipegang oleh Aulia Rachman, dia dipanggil ke Cendana bersama pengurus KNPI yang lain. Sesudah itu dia (Aulia) memberikan konferensi pers yang menyatakan antara lain: “Bapak Presiden menyatakan, bahwa yang mengusulkan jabatan presiden harus dibatasi, itu mengebiri UUD 1945”. Nampaknya Soeharto bereaksi ketika ada wacana yang bergulir ingin adanya UU yang membatasi jabatan presiden.
·         Apabila kita ingin jujur sebagai bangsa, pernyataan yang benar seharusnya berbunyi: “piye kabare, kowe goleki Supersemar sing asli, to? Coba goleki sampek kiamat, mesti kowe ora bisa nemokke, hore!” atau “piye kabare, enak jamanku to? Kekayaan alam (Emas, tembaga, nikel, minyak bumi) lan hutan wis tak gunduli sampek entek, mulo aku biso awet kuoso to? He he, he,kowe saiki podo manyun mergo ngadepi putus kontrak opo ora, lan kowe ngalami kebakaran hutan di mana-mana saben taun to?.”
·         Ada lagi mengenai swa sembada beras yang terjadi sekali pada tahun 80-an. Melimpah panen karena kemurahan Tuhan yang memberikan iklim yang baik dan tidak ada bencana, itu yang berhak kita puja-puji ya Allah SWT. Kalau usaha swa sembada itu benar karena hasil rekayasa teknologi, maka swa sembada akan terjadi terus menerus tanpa tergantung cuaca, alias bukan cuma sekali dan selalu dibangga-banggakan, padahal itu terjadi karena kemurahan Tuhan.
·         Bahkan usaha mengagungkan Soeharto masih saja terus diupayakan. Kabar terakhir, ada yang mengusulkan agar Soeharto diangkat/dikukuhkan sebagai Pahlawan Nasional. Agaknya para pendukung Soeharto tidak rela ketika ia diturunkan dari singgasana, sehingga untuk memutihkan, mereka mengusulkannya sebagai Pahlawan Nasional. Pertanyaannya adalah, kok Presiden di pahlawankan lagi? Padahal, presiden dimana pun pastinya sudah seorang pahlawan, apalagi kalau memperoleh kekuasaannya dengan  cara yang baik dan benar, bekerja dengan benar, dan mengabdi kepada rakyat/bangsa/negara secara utuh, adil, dan bijaksana, bukan mengembangkan politik belah bambu, satu kelompok diangkat, kelompok lainnya diinjak demi kelangsungan kekuasaannya. Seyogyanya, setiap orang pasti tahu bahwa yang layak disebut pahlawan adalah  seseorang yang telah berjuang dengan jiwa, raga, pikiran, dan harta benda yang melebihi kapasitasnya. Sebagai contoh, seorang perempuan pergi ke luar negeri dengan modal seadanya, kemudian dia kirimkan penghasilannya untuk keluarganya dan buka usaha  yang membuka lapangan kerja bagi orang banyak, maka dia layak disebut pahlawan. Sebaliknya, seorang guru yang menerima gaji dengan layak, kemudian mendidik ribuan anak sehingga menjadi orang yang berguna dan bermartabat, bukanlah seorang pahlawan karena dia bekerja dan menerima gaji yang selayaknya dituntut harus selalu bekerja dengan baik dan bersungguh-sungguh.   
·         Dalam suatu acara diskusi beberapa tahun yang lalu, Prof.Yusril mengingatkan agar setiap rezim harus melanjutkan program rezim sebelumnya dan tidak berbuat seolah-olah dari nol lagi. Dicontohkan, bahwa rezim ORBA (Soeharto) pernah tidak mau membayar hutang rezim Soekarno kepada suatu negara tertentu, yang sebenarnya hal ini tidak boleh terjadi karena pada hakekatnya pemerintahan itu harus berkesinambungan. Bahkan Soeharto melancarkan tindakan desoekarnoisasi secara massif sejak awal kekuasaannya. Sebagai contoh, kota Soekarnopura ibukota Irian Barat (Irian Jaya) diganti dengan Jayapura. Jembatan Bung Karno di Palembang diganti dengan Jembatan Ampera dan Istana Olah Raga Gelora Bung Karno sempat diubah menjadi Gelora Senayan. Rezim Soeharto menamakan diri ORDE BARU dan menyebut rezim Soekarno sebagai ORDE LAMA, pada hal dia sendiri ada di dalamnya karena diangkat Presiden Soekarno sebagai Panglima Kostrad, kemudian Men/Pangad/Pangkopkamtib/Wakil Perdana Menteri tetapi  terbukti kemudian menggunting dalam lipatan.
Tulisan ini dibuat untuk berbagi pendapat,bahwa yang benar itu harus dikatakan dengan benar, dan para elit yang merasa punya pengaruh janganlah mengeluarkan pendapat yang berlebihan yang justru bisa mengobarkan kembali kebencian dan permusuhan sesama anak bangsa. Semoga bangsa Indonesia mendapat keridhoan Allah s.w.t. karena mengedepankan kejujuran dan kebenaran. Amien…..yaa robbal’alamin !

Minggu, 05 Juli 2015

Piye Kabare le, Kowe Goleki SUPERSEMAR , to...?

                                                        Oleh : Muhammad Sadji
     Menjelang Pemilu Legislatif dan Pemilihan Presiden/Wapres pada tahun 2014 sampai sekarang ini, marak beredar sticker dan kaos bergambar mantan presiden Soeharto mengangkat salah satu tangannya dengan seolah-olah  berucap :” Piye kabare, enak jamanku, toh?”. Atau ada lagi :” Jamanku harga bensin Rp 700,-, jamanmu piro le?”. Sepertinya keluarga  Soeharto dan para pendukungnya  yang banyak dananya  ingin menghidupkan kembali  nostalgia Soeharto yang pernah berkuasa selama 32 tahun dan masih tidak rela ketika dijatuhkan oleh massa rakyat pada tahun 1998  yang lalu. Pada hal, sejatinya Soeharto tidak pernah mengatakan kalimat seperti itu semasa hidupnya. Sehingga, kalimat itu sebenarnya hanya berhasil mempermalukan dua hal. Yang pertama, rezim setelah reformasi yang tidak kunjung berhasil membuat Indonesia menjadi lebih baik. Pada hal keterpurukan Indonesia seperti sekarang ini adalah merupakan sebab – akibat dari peninggalan rezim Soeharto (ORDE BARU) yang tumbang pada tahun 1998. Yang kedua, mempermalukan almarhum Soeharto sendiri karena dibuat seolah-olah arwahnya masih gentayangan dan mengeluarkan kalimat-kalimat seperti itu karena masih tidak rela sewaktu dijatuhkan massa rakyat  pada tahun 1998 itu. Kalau memang ingin mengangkat nama Soeharto ,sebaiknya carilah kata-kata bijaknya yang pernah dia ucapkan semasa hidupnya. Kata-kata bijak itulah yang  diharapkan bisa  menjadi pedoman bagi generasi berikutnya, bukan kata-kata ledekan atau sindiran yang sebenarnya  sama sekali tidak pernah ia ucapkan.
      Pada hal kalau ditelaah lebih dalam dan jujur, pembangunan ORBA selama 32 tahun sebenarnya tidak berhasil. Bukti yang membenarkan adalah ketika terjadi krisis ekonomi pada tahun 1997/1998 dan rakyat menuntut tanggung-jawab secara jalanan karena saluran resminya mampet. Pertumbuhan ekonomi  sebesar 7 % pertahun yang sering dibangga-banggakan ternyata tidak cukup tangguh untuk menanggulangi masa krisis dan hanya berhasil mengantarkan bangsa Indonesia tetap tinggal di landasan, bukannya berhasil memasuki tahap tinggal landas. Apalagi  kalau dihubungkan dengan teori  pembangunan berdasarkan rumusan input, proses, output (input + proses = output), maka dapat diungkit kembali berapa  input dihabiskan yang meliputi kekayaan alam  tambang dan hutan, , pinjaman, dan bantuan asing, prosesnya yang memerlukan waktu selama 32 tahun dengan penuh represif dan otoriter , mau menang sendiri, sementara outputnya setelah 32 tahun menghasilkan Indonesia yang hanya kocar-kacir setelah dilanda krisis ekonomi. Itu semua fakta yang seharusnya  tidak boleh kita lupakan sebagai pengetahuan sejarah. Sebab, sewaktu rezim ORBA berkuasa pada tahun 1967, mewarisi kekayaan alam yang masih tersimpan dengan baik. Kekayaan alam itu kemudian terkapling-kapling oleh negara asing setelah kebijakan PMA (Penanaman Modal Asing) oleh rezim ORBA. Kekayaan alam itu masih dikangkangi pihak asing sampai sekarang dan kita dibuatnya tidak berkutik karena terbelenggu dalam ketergantungan dari  segala segi  kehidupan berbangsa dan bernegara.
Supersemar
      Ada hal menarik setiap kali kita memasuki  bulan Maret. Bagi yang masih Soehartois, selalu kembali mengungkit peristiwa berdarah G 30 S dan sumpah serapah terhadap PKI serta menyanjung Soeharto dengan segala propagandanya. Mereka membuat garis pemisah antara yang dianggap pro PKI dan yang anti PKI. Mereka menganggap bahwa semua yang anti atau kritis terhadap Soeharto  diidentikkan  dengan PKI atau dicap berusaha hendak membangkitksn  kembali PKI dengan berbagai kedoknya (Anton Tabah, Republika, 10 Maret 2015). Mereka sangat mengagungkan Supersemar tetapi sama sekali mengabaikan kemisteriannya yang masih menghantui  bangsa Indonesia sampai sekarang. Surat Perintah itu sendiri sangat misterius karena tidak bernomor, dan yang diserahkan ke Arsip Nasional semuanya dinyatakan palsu. Lucunya, semuanya berbeda dan diserahkan oleh pihak atau lembaga yang berbeda-beda. Pada tahun 1990-an pernah dipertanyakan keberadaan Supersemar itu yang aslinya oleh berbagai pihak. Anehnya, jawaban yang diberikan berbeda-beda oleh penggede ORDE BARU yang berbeda-beda dan selalu menunjuk seseorang yang diduga menyimpan, tetapi juga berbeda-beda dan khalayak dibiarkan supaya menebak-nebak sendiri-sendiri. Bahkan ada jawaban yang dikembangkan pada waktu itu :” Supersemar asli itu tidak penting, yang terpenting bahwa surat perintah itu sudah dilaksanakan dengan baik oleh pengembannya, Jenderal Soeharto”. Lebih misterius lagi karena Soeharto sendiri tidak pernah mengeluarkan pernyataan, sementara  AH Nasution, Sudharmono, Moerdiono, Sudomo, Amir Machmud dan banyak lagi mengeluarkan pernyataan yang berbeda-beda mengenai keberadaan Supersemar aslinya. Sayangnya, Basuki Rachmat meninggal mendadak terlalu cepat di usianya yang relatif masih muda dan buku biografi M.Jusuf sudah diedit kembali sebelum terbit oleh sebuah tim yang antaralain ada Jusuf Kalla-nya sehingga besar kemungkinan ada bagian sangat penting yang dihilangkan.
      Sehingga timbul pertanyaan, kenapa dimisteriuskan dan tidak ada yang berusaha untuk mencarinya, terlebih sewaktu Soeharto masih hidup dan masih menjabat sebagai presiden. Inilah suatu bukti begitu kuat, betapa seram dan misteriusnya Soeharto sampa-sampai tidak ada seorangpun yang berani mempertanyakan kepadanya. Bahkan SBY pun sempat mengagungkan tanggal 11 Maret yang mungkin dianggapnya keramat dan bukan suatu kebetulan belaka. Bukti itu antaralain, ketika dia mengundurkan diri dari Kabinet Megawati karena mau mencalonkan diri sebagai Capres pada tahun 2004. Peristiwa lain, ketika dia meresmikan Universitas Pertahanan  beberapa tahun yang lalu juga memilih tanggal 11 Maret.
       Oleh karena itu yang benar sekarang ini bukan pernyataan :” Piye kabare, enak jamanku tho ?”, tetapi yang tepat adalah :” Piye kabare le, kowe goleki Supersemar to...?”. Yang artinya :” Apa kabarnya, kalian semua mencari Supersemar to...?”. Dan jawabnya, entahlah sampai kapan, barangkali sampai lebaran monyet pun tidak akan ketemu karena mungkin adanya unsur persekongkolan kebohongan, keculasan, kecurangan, kejahatan  dan kudeta dibalik itu yang terpaksa harus ditutup-tutupi terus entah sampai kapan dan oleh siapa.

      Pada hal, setiap pemimpin sejati itu harus mampu menularkan kebaikan dan kejujuran kepada rakyatnya. Yang mampu membangun persatuan dan kesatuan serta melindungi seluruh rakyatnya. Bukannya yang mampu menebarkan kebohongan, teror, adu domba dan mengembangkan politik  belah bambu satu diangkat tetapi satunya lagi diinjak, apalagi meninggalkan teka-teki yang tak bertepi  kepada rakyatnya. Dari kasus misteriusnya Supersemar, dokumen negara yang sangat penting ini, barangkali tidak berlebihan apabila dijadikan tolok-ukur  pertimbangan apakah seseorang layak disebut pahlawan atau hanya sebagai pecundang.*****

Minggu, 24 Februari 2013

SOEHARTO PAHLAWAN NASIONAL ?

Harian Pelita edisi 12 November 2012 memuat pandangan Wasekjen Partai  Demokrat Ramadhan Pohan yang berpendapat, bahwa Presiden RI kedua HM Soeharto tak layak diangkat menjadi pahlawan nasional. Alasannya, tidak pantas karena luka dan kerusakan negeri ini terlalu parah selama 32 tahun  kekuasaan Presiden Soeharto yang dianggapnya era fasis dan otoritarian.
Untuk menanggapi pendapat tersebut, ada baiknya kita mengutip nasihat orang bijak yang menyatakan, bahwa hidup adalah pilihan dan setiap individu tidak boleh menyesali atas setiap pilihannya. Oleh karena itu, seseorang  yang telah memilih bidang pekerjaan tertentu  harus menekuninya dengan penuh amanah  dan bertanggungjawab. Apabila seseorang  memilih jadi pencuri, maka jangan menyesal apabila suatu ketika tertangkap dan dihakimi  massa serta dipenjara. Atas dasar pilihan hidup, sikap, ucapan  dan tindakan itulah seseorang akan memperoleh imbalan di dunia hingga di akhirat kelak. Imbalan itu bisa berupa pujian, penghargaan dan mungkin kutukan.
Bangsa Indonesia misalnya, dalam kehidupan ketatanegaraannya antaralain memberikan penghargaan berupa gelar Pahlawan Nasional  kepada warganya yang  atas dasar pilihan hidupnya dianggap berjasa luar biasa terhadap bangsa dan negara dengan kriteria yang telah ditetapkan. Sekarang, sebagian  khalayak ramai mewacanakan  dan mengusulkan agar mantan  Presiden Soeharto ditetapkan sebagai  Pahlawan Nasional. Mereka berpendapat, bahwa Soeharto telah berjasa kepada bangsa dan negara, oleh karena itu layak menyandang gelar tersebut. Bahkan ada yang mewacanakan agar Soeharto  diberikan gelar Pahlawan Pembangunan. Sebaliknya, tidak sedikit yang menolak pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto dengan berbagai argumentasinya. Salah satunya adalah sebagaimana dikemukakan  oleh Ramadhan Pohan seperti dikutip  di atas. Dan perdebatan  pro dan kontra akan semakin panjang  manakala  masing-masing memaksakan kehendaknya.
Pertanyaannya adalah, perlukah seorang mantan presiden dipahlawankan ? Bukankah seorang Presiden dituntut melakukan dan menjalankan tugasnya dengan menjunjung tinggi nilai dan watak kepahlawanan,  dan oleh karena itu ia adalah otomatis seorang pahlawan bagi bangsanya ? Kecuali tentunya apabila terbukti  ia ternyata pengkhianat dan banyak merugikan bangsa dan negaranya.
Mengenai kasus Soeharto memang menarik untuk diperdebatkan. Ia mendapatkan tampuk pemerintahan  setelah terjadi  peristiwa berdarah  gugurnya para Pahlawan Revolusi  yang diculik dan dibunuh oleh Gerakan 30 September (G 30 S) pada tahun 1965. PKI dituduh sebagai pelakunya dan Presiden Soekarno dianggap ikut bertanggungjawab. Apakah masuk di akal, Presiden Soekarno yang sedang  mencanangkan Ganyang Malaysia dengan  memanfaatkan momentum dekolonisasi Inggris terhadap daerah jajahannya, tega menghabisi para Jendralnya ?   Lalu, melalui SP 11 Maret 1966 atau Supersemar , Soeharto yang telah diberi jabatan strategis untuk mengamankan jalannya pemerintahan  ternyata menikam dari belakang dengan cara yang berkedok seolah-olah konstitusional. Menarik untuk dikenang kembali, bahwa setelah peristiwa G 30 S meletus, terjadi pembunuhan  dan demonstrasi massa di mana-mana yang merongrong kewibawaan dan jalannya pemerintahan  Presiden Soekarno,  pada  hal  Soeharto ada di dalam struktur pemerintahan  sebagai Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) merangkap Menteri Panglima Angkatan Darat. Anehnya lagi, Surat Perintah itu tidak bernomor dan  dokumen aslinya raib sampai sekarang. Sehingga timbul pertanyaan,  kenapa orang-orang Orde Baru sekaliber Soeharto, Sudharmono, Murdiono, Sudomo dan lain-lain tidak cermat menyimpan dokumen sepenting itu atau memang sengaja beramai-ramai memusnahkan karena ada rahasia yang harus ditutupi rapat-rapat ? Ketika masalah hilangnya dokumen itu dipersoalkan pada tahun 90-an, pemerintah ORBA  tidak berusaha mencarinya, malahan memberikan jawaban yang diamini banyak orang, yaitu : dokumen itu tidak penting, karena yang terpenting perintah itu sudah dilaksanakan dengan baik. Dan kenyataannya, pengemban  SP 11 Maret itu memang mampu berkuasa selama 32 tahun  dengan strateginya yang jitu antaralain melalui desoekarnoisasi  di segala bidang dan mengecilkan arti Pembangunan Nasional Semesta Berencana 1 Januari 1961 s/d 31 Desember 1969 yang telah dirintis oleh Presiden Soekarno. Cuci otak yang ditanamkan kepada bangsa Indonesia melalui berbagai penataran dan penyuluhan  adalah, seolah-olah hanya Soeharto yang melaksanakan pembangunan. Pada hal kalau ditelaah lebih jauh, pembangunan yang telah dilaksanakan oleh ORBA patut dipertanyakan melalui beberapa parameter untuk mengujinya. Pertama, mengenai seberapa banyak sumbangan, hutang dan sumberdaya alam telah dikeruk dan dikorbankan selama 32 tahun Soeharto berkuasa.Yang jelas, tambang tembaga , nikel, emas, minyak  dan beberapa jenis komoditas lain  dikuasai  bangsa asing  semenjak ORBA berkuasa dengan menjungkirbalikkan  politik Berdikari yang telah dicanangkan oleh Bung Karno. Ketika Presiden Soekarno berhasil ditumbangkan, langkah awal yang dilakukan rezim ORBA adalah membuat UU Penanaman Modal Asing (PMA), yang merupakan pintu masuknya bangsa asing menjarah kekayaan alam bangsa Indonesia dan susah memintanya kembali sampai sekarang.
Yang kedua adalah  mengenai  proses  pelaksanaannya ketika memanfaatkan berbagai sumberdaya tadi. Dalam hal ini, seberapa lama waktu diperlukan (32 tahun), adakah demokrasi dan keterbukaan, serta sejauh mana HAM telah dilanggar  dalam rangka mempertahankan kekuasaannya dan sejauh mana kadar korupsinya. Sepertinya ada hubungan yang sistematis antara lamanya Soeharto berkuasa dengan kontrak karya penguasaan SDA  oleh bangsa asing yang rata-rata dibuat selama 30 tahun dan kemudian diperpanjang sebelum masanya berakhir. Sehingga bisa saja kita menuduh rezim Soeharto  sebagai  antek Asing yang juga sangat  didewakan dan dihormati oleh Lee Kuan Yew dan Mahathir Mohammad  karena Soeharto-lah yang  menghentikan konfrontasi dengan Malaysia. Di kemudian hari, Singapura dan Malaysia sangat diuntungkan  secara ekonomi dan geografis selama rezim  Soeharto berkuasa.
Setelah membicarakan input sebagai modal atau masukan pembangunan dan prosesnya, yang ketiga adalah kita membicarakan masalah  output atau hasil akhirnya. Sebagaimana faktanya, Presiden Soeharto mengundurkan diri setelah dilantik menjadi presiden untuk yang ketujuh kalinya karena desakan massa rakyat yang menggugat kegagalan pembangunan. Pada akhir kekuasaannya, ekonomi ambruk  sehingga semua penggantinya mengalami  kesulitan untuk membenahi. Daya saing bangsa juga  mengalami  kemunduran di berbagai bidang. Sebagai salah satu contoh nyata adalah, betapa banyak gedung sekolah yang dibangun pada tahun 70 – 80-an pada ambruk karena mutu pembangunannya yang rendah dan sarat dengan korupsi berjamaah. Belum lagi prasarana yang lain yang dibangun selama euforia pembangunan tersebut;  banyak yang tidak bermutu dan bahkan banyak bangunan kategori cagar budaya yang dirusak dan diambrukkan, pada hal penting untuk modal pengembangan pariwisata sejarah dan arsitektur.
Walhasil, Soeharto telah memilih jalan hidupnya sendiri yang tentunya dengan kesadarannya yang tinggi pula. Banyak pengikutnya dan tidak sedikit pula yang menentang, apalagi menapaknya dengan politik belah bambu, satu diangkat dan satunya lagi diinjak sampai tidak berkutik sama sekali selama bertahun-tahun. Soeharto telah menikmati pilihan hidupnya, sementara ada kalangan kritis yang memiliki catatan sejarah yang kelam mengenai sepakterjangnya. Lalu, masihkah ada pihak-pihak yang ingin memperjuangkan Soeharto agar ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional ?. Dan kira-kira masih perlukah gelar itu seandainya  bisa dipertanyakan  langsung kepada Soeharto ?. Mungkin ada baiknya kita merenungkan suatu khotbah yang pernah penulis dengar. Konon pada hari pembalasan ada seseorang yang protes karena direkomendasikan masuk neraka. Dia protes karena selama hidup  di dunia sebagai pejabat merasa telah berbuat banyak untuk orang lain dan taat beribadah. Karena protesnya sangat kencang dan keras, maka Tuhan memberikan penjelasan : bahwa memang benar menurut catatan yang ada, amalannya memang banyak, naik haji berkali-kali, zakatnya berlimpah, ibadah puasa dan  shalatnya tidak pernah bolong. Tetapi sayang sekali, semua kebaikan itu dia peroleh dengan cara yang tidak benar karena penuh intrik, tipu daya, memfitnah tanpa dasar dan membunuh  seenaknya. Oleh karena itu, amalan yang dia rasakan sangat banyak tadi tidak cukup untuk menutupi segala kejahatannya dan  sebagai ganjarannya harus masuk neraka. Mendengar penjelasan itu, sang mantan pejabat tadi baru menyadari  dosa-dosanya.  Tetapi sayangnya, pintu  tobat sudah tertutup dan dia harus masuk neraka.
Kisah di atas kiranya dapat membimbing kita untuk berpikir dan bertindak secara jernih, jujur, adil dan bijaksana dalam menghadapi berbagai masalah, termasuk apakah masih perlu  kita mengusulkan mantan Presiden Soeharto sebagai Pahlawan Nasional  kalau pada akhirnya banyak orang yang  mengungkit semua kekurangan, kejelekan dan kejahatannya.*****








(tulisan ini pernah dikirim ke redaksi Harian Pelita)

Sabtu, 01 September 2012

Salah Kaprah Gelar Pahlawan


SALAH satu kehebatan kita sebagai bangsa adalah karena kita memiliki Hari Pahlawan yang diperingati secara khidmat setiap tahun pada tanggal 10 November.
Suatu hari nasional yang mengabadikan peristiwa kepahlawanan mempertahankan kemerdekaan oleh arek-arek Surabaya itu mengandung pesan yang sangat luhur yang patut dicamkan oleh generasi sekarang dan yang akan datang.
Pertama, karena perang besar itu melibatkan berbagai elemen masyarakat yang terpanggil secara sukarela dan bersenjatakan apa adanya demi mempertahankan kemerdekaan yang baru saja diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945.
Kedua, TNI yang baru dibentuk pada tanggal 5 Oktober 1945 , boleh jadi belum terbentuk secara formal di Jawa Timur/Surabaya. Oleh karena itu, pengorbanan nyawa dan harta benda masyarakat yang terlibat pada waktu itu adalah benar-benar mempunyai nilai kepahlawanan karena dilakukan tanpa pamrih dan penuh pengorbanan, karena semata-mata ingin menunjukkan agar kemerdekaan tidak direbut kembali oleh para penjajah.
Belajar dari peristiwa Surabaya tersebut, maka pahlawan sebenarnya adalah orang yang memiliki kriteria rela berkorban untuk orang lain dan bangsanya. Berkorban harta dan jiwa raganya, tidak terpikir dan tidak mengharapkan imbalan dari pengorbanannya, pantang menyerah dan yang dikerjakan melampaui batas kewenangannya.
Dalam hal ini, seseorang yang melakukan sesuatu pekerjaan karena memang tugasnya dan mendapatkan imbalan langsung dari pekerjaannya, sebenarnya tidak layak dikategorikan sebagai pahlawan. Oleh karana itu gelar pahlawan seharusnya mengikuti uji kriteria kepantasan, kelogisan dan kebenaran.
Ketiga kriteria itu sebenarnya saling terkait dan tidak terpisah satu sama lain. Sebagai contoh, seseorang menggagas tentang sesuatu yang dinilai mempunyai dampak luas terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara. Penggagas itu mungkin pantas mendapat gelar pahlawan, tetapi menjadi tidak logis apabila terbukti sebelumnya sudah ada yang pernah menggagas dan bahkan mempraktekkan penerapannya. Karena tidak benar dia sebagai penggagas yang pertama, maka tidak layak orang yang bersangkutan mendapat gelar pahlawan.
Apabila diamati secara cermat, dalam perkembangannya, peringatan Hari Pahlawan ternyata menjadi salah kaprah. Salah kaprah pertama, karena setiap tahun sepertinya dituntut harus ada seseorang yang ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional. Maka ditetapkanlah tata cara pengusulan dan ditunjuklah team penilai yang bekerja untuk pemerintah. Maka setiap tahun pula berbondong-bondonglah perorangan, kelompok dan daerah beramai-ramai mengusulkan tokoh-tokohnya untuk diangkat atau ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional.
Salah kaprah kedua, karena adanya indikasi bahwa seseorang yang pernah melawan penjajah khususnya Belanda, selalu dengan mudah diangkat menjadi Pahlawan Nasional. Padahal kalau ditelaah lebih jauh, menjadi tidak logis dan tidak benar. Sebagai contoh, Pangeran Diponegoro, Imam Bonjol dan lain-lain yang pernah memberontak pada masa Hindia Belanda, dianggap sebagai Pahlawan Nasional. Bahkan sering kali ketokohan mereka disebut-sebut sebagai hasil politik devide et impera (politik pecah belah) Belanda, sehingga membuat perjuangan kemerdekaan selalu gagal dan tidak memperoleh hasil. Padahal kenyataannya, karena politik devide et impera itulah, maka timbulnya hegemoni Hindia Belanda yang kemudian kita warisi wilayahnya sebagai Indonesia merdeka.
Oleh karena itu mungkin tidak logis, tidak pantas dan tidak benar apabila tokoh pemberontakan dalam suatu kerajaan pada masa Hindia Belanda mendapat gelar pahlawan. Sebab seandainya pada waktu itu mereka berhasil, mungkin tidak ada Hindia Belanda seperti yang kita warisi seluas sekarang ini.
Salah kaprah ketiga, adalah fakta bahwa setiap tokoh yang melawan suatu rezim, dianggap pahlawan oleh rezim yang sealiran atau seideologi, apalagi kalau penetapannya menyangkut atau terkait dengan tujuan politik kekuasaan.
Salah kaprah keempat adalah, adanya kecenderungan mempahlawankan Presiden yang jatuh dari kekuasaannya. Sebagai contoh, Presiden Soekarno yang dijatuhkan oleh rezim Orde Baru dan termasuk kategori teraniaya pada akhir hayatnya karena politik, mendapat gelar Pahlawan Ploklamator. Gelar itu diberikan oleh rezim yang menjatuhkan atas desakan para pendukung Bung Karno yang tidak rela perintis kemerdekaan diperlakukan tidak santun dan cenderung dihapus segala jasa dan nama baiknya.
Presiden Soeharto yang jatuh karena tekanan rakyat yang tidak puas atas hasil pemerintahannya, sejak meninggal pada tahun 2008 para pendukung setianya serta keluarganya secara bertubi-tubi mengusulkan agar Soeharto ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional. Agaknya mereka ingin agar Presiden Soeharto yang mundur dari kekuasaannya, namanya terangkat kembali apabila mendapat gelar Pahlawan Nasional. Dalil yang mereka gunakan antara lain karena memperoleh gelar Bapak Pembangunan, berperan dalam Serangan Umum 1 Maret 1949, memimpin penumpasan PKI dan dipandang banyak jasanya ketika berkuasa selama 32 tahun.
Padahal kalau diteliti, semua peran tersebut banyak kelemahannya. Penetapan Presiden Soeharto sebagai Bapak Pembangunan adalah salah kaprah yang diperbuat oleh suatu rezim, karena seolah-olah hanya dia yang melaksanakan pembangunan. Mereka mengabaikan dan mengecilkan peran Presiden sebelumnya dan cenderung telah melakukan kebohongan publik.
Di mana pun, peran seorang Presiden dan Kepala Pemerintahan setiap negara adalah melaksanakan pembangunan bagi bangsa dan negaranya berdasarkan visi dan misi pemerintahannya serta tantangan pada zamannya
Sebagai Bapak Pembangunan, yang gelarnya diberikan selama dia berkuasa, menjadi tidak pantas, tidak logis dan tidak benar apabila diteliti berdasarkan kaidah-kaidah pembangunan.
Kaidah pembangunan mengandung parameter berapa utang dan sumber daya alam (tambang dan hutan) dikuras dan dibabat, berapa lama waktu diperlukan untuk berkuasa menghabiskan sumber daya tersebut, berapa pengorbanan rakyat dan harta benda sebagai akibat dari konsep stabilitas yang diterapkan sebagai dalih pelaksanaan pembangunan, lalu bagaimana hasil akhirnya. Belum lagi kalau melihat, betapa banyak kekayaan alam ditambang oleh perusahaan asing semasa Orba berkuasa.
Seperti kita ketahui, Presiden Soeharto memerlukan kurun waktu lebih dari tiga dekade tetapi dia jatuh setelah hasil pembangunannya tidak cukup kuat menghadapi terpaan krisis ekonomi global. Bahkan pewarisnya juga mengalami kesulitan membenahi sampai sekarang. Sebagai contoh kecil, betapa banyaknya sekolah negeri dari Sabang sampai Merauke yang dibangun semasa Orde Baru, sudah tidak layak pakai sehingga harus direnovasi dengan biaya yang tidak sedikit.
Bandingkan dengan sekolah peninggalan Hindia Belanda yang tetap gagah dan nyaman sampai puluhan tahun lamanya.
Mengenai Serangan Umum 1 Maret 1949, di samping masih simpang siur siapa penggagas dan pemimpinnya, tetapi yang jelas bangsa Indonesia pada waktu itu sudah memiliki tentara yang terorganisasi. Yang menjadi pertanyaan dan perlu pertanggung jawaban adalah, mengapa Belanda sampai bisa menyerang Ibukota Negara Yogyakarta dan sampai bisa menangkap Presiden dan Wapres beserta beberapa menterinya.
Oleh karena itu wajar apabila TNI pula yang merebut kembali setelah konsolidasi bersama segenap kekuatan yang ada. Justru yang berhak mendapat gelar pahlawan adalah masyarakat non militer yang secara sukarela mau ikut berjuang, bertaruh harta benda dan nyawanya.
Lalu, ada juga yang mengusulkan agar mantan Presiden Abdurrachman Wahid ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional. Alasannya, karena Gus Dur dianggap sebagai tokoh atau Bapak Penganjur Pluralisme. Padahal kalau diteliti lebih jauh gagasan pluralisme bukan barang baru di Indonesia karena sudah muncul dan diterapkan oleh para founding fathers negeri ini dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika.
Pengusulan agar Gus Dur ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional mungkin karena ada yang masih tidak rela ketika dia dijatuhkan karena suatu masalah kenegaraan. Padahal, bagaimanapun seseorang yang pernah menjadi Presiden RI, pasti tetap tercatat dengan tinta emas dalam sejarah perjalanan Republik Indonesia. Bahkan Presiden suatu negara pasti secara otomatis merupakan pahlawan bagi bangsanya.
Terlepas dari bagaimana proses kejatuhannya, perlu diakui bahwa seorang Presiden mempunyai kiat dan perilakunya masing-masing dengan segala kelebihan dan kekurangannya yang tidak boleh ditutup-tutupi sebagai pelajaran berharga dalam berbangsa dan bernegara.
Oleh karena itu penetapan mantan Presiden sebagai Pahlawan Nasional adalah pekerjaan yang mengada-ada karena tidak pantas, tidak logis, tidak benar dan menjadi salah kaprah.
Sebentar lagi kita akan kembali memperingati Hari Pahlawan tahun 2010. Departemen Sosial dan Team yang dibentuk Pemerintah pasti sangat sibuk dalam mempersiapkan peringatan hari yang bersejarah tersebut. Harapan kita, peri kepahlawanan yang pantas, logis dan benar, hendaknya didasarkan atas azas adil dan beradab yang didukung dengan penelitian dan bukti sejarah yang benar oleh para ahlinya. Sebab kalau tidak, azas kelatahan, balas dendam, pertemanan, balas budi dan KKN menjadi salah kaprah yang terus menerus di negeri ini.
Satu hal yang pasti, hingga saat ini bangsa Indonesia masih mempunyai pekerjaan besar, yaitu meneliti kembali kenapa Surat Perintah 11 Maret 1966 tanpa nomor dan dokumen aslinya hilang sampai sekarang?
Administrasi suatu rezim yang amburadul atau sengaja dihilangkan? Kalau ya, kenapa ini mereka lakukan? Barangkali masalah ini juga bisa menjadi bahan pertimbangan, apakah seseorang bisa disebut sebagai pahlawan atau pembangkang. Wallahu alam bis sawab.***

(pernah dimuat dalam Media Indonesia, Citizen Journalism pada tanggal 26 Oktober 2010)