Entri yang Diunggulkan

GENERASI PENDOBRAK JILID III

 Harian Rakyat Merdeka terbitan 20 April  2010,memuat artikel dengan judul “Bodoh Permanen” yang ditulis oleh Arif Gunawan. Tulisan tersebut...

Tampilkan postingan dengan label Presiden SBY. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Presiden SBY. Tampilkan semua postingan

Kamis, 15 September 2016

Upaya Memajukan Persepakbolaan di Indonesia



Perhatian masyarakat dunia selama bulan Ramadhan 2016 kemarin tercurah ke perhelatan Piala Amerika di Amerika Serikat dan Piala Eropa di Perancis. Tidak tanggung–tanggung, dari rakyat biasa sampai Presiden dan Raja serta Ratu menaruh perhatian yang besar terhadap jenis olahraga yang paling populer di muka bumi ini. Suatu bangsa boleh saja miskin atau saling bertikai,tetapi dengan sepak bola seolah semuanya menjadi tidak ada masalah. Dengan jumlah pemain  sebanyak 11 orang dalam setiap laga,sepak bola memang dapat dianggap bisa mewakili atau merupakan representasi suatu bangsa. Maka tidak heran apabila ada pimpinan negara sampai turun tangan dalam mempersiapkan tim negaranya dan terus mengikuti perkembangan sepak terjang timnya yang sedang berlaga. Gejala tersebut bisa jadi karena dalam perkembangannya,olah raga sepak bola apalagi perhelatan setingkat Piala Dunia mampu membangkitkan ekonomi kreatif bangsa – bangsa di seluruh dunia walaupun negara tersebut tidak ikut berlaga di Piala Dunia.
Sebagai contoh, Pemerintah Afsel yang pernah sebagai penyelenggara Piala Dunia 2010 yang lalu, mengaku mengalami pertumbuhan ekonomi yang cukup menjanjikan. Ada sekitar 600 ribu lapangan pekerjaan tercipta selama event berlangsung, dimana 200 ribu di antaranya menjadi permanen dan 100 ribu lainnya merupakan kegiatan insidentil. Afsel juga kebanjiran 500 ribu wisatawan penonton yang datang dari berbagai penjuru dunia (Media Indonesia,3 Juli 2010). Bahkan Spanyol juga sempat berharap bisa mengalami pertumbuhan ekonomi yang tinggi setelah berhasil menjadi juara Piala Dunia 2010. Spanyol berharap bisa seperti Italia yang mengalami pertumbuhan yang cukup tinggi di bidang pariwisata setelah berhasil menjadi juara Piala Dunia 2006 yang lalu.
Bagaimana dengan masyarakat kita di Indonesia?. Ternyata,kita pun dilanda demam bola. Sebagai contoh, anak – anak kecil di mana–mana terlihat banyak yang bermain bola. Apabila kita kilas balik menengok ke belakang, perhelatan nonton bareng juga diadakan di berbagai tempat. Bali yang terkenal dengan seni pahatnya, pada waktu Piala Dunia 2010 yang lalu  berhasil menciptakan boneka yang menggambarkan pemain – pemain favorit  dunia dan berhasil menarik perhatian para penonton dan penggemar bola di Afrika Selatan. Indomaret dan Alfamaret,sebagai contoh, juga ikut – ikutan menjual pernak –  pernik Piala Dunia yang berupa bola,kaos,gelas,dan lain – lain. Bahkan Presidan SBY pada waktu itu  bersama beberapa Menteri KIB II menyempatkan nonton bareng di Ballroom Puri Kencana Hotel Intercontinental – Bali pada laga pembukaan pada tanggal 11 Juni 2010 dan juga nonton bareng di kediaman Puri Cikeas. Yang menarik,Presiden SBY juga  sempat mempertanyakan dua hal kepada Menteri Negara Pemuda & Olah Raga pada masa itu, Andi Mallarangeng. Yang pertama,kapan PSSI bisa tampil di arena final Piala Dunia. Dan yang kedua,Presiden sempat mendiskusikan goal Meksiko atas Afrika Selatan yang dianulir wasit.
Pertanyaan Presiden SBY tersebut semestinya perlu mendapat  jawaban dalam rangka memajukan persepak bolaan di Indonesia. Sekaligus menindaklanjuti cita – cita Presiden yang pernah di sampaikan dalam kongres Sepak Bola Indonesia di Malang beberapa waktu yang lalu,yang menginginkan agar PSSI bisa berjaya kembali seperti yang pernah diraih pada masa lalu.
Jawaban itu sebenarnya antara lain sudah tersirat dalam percakapan antara Presiden dan Menegpora bahwa pesepak – bolaan Indonesia masih pada tahap kategori kelas ngambek manakala wasit dianggap keliru dalam mengambil keputusan (kata Menegpora). Lalu,wasit diburu dan disantet kalau tidak berhasil ditangkap (komentar Presiden).  Dan jawaban kedua,agaknya ada pada iklan Bodrex yang seolah,meledek mutu persepabolaan di Indonesia karena pada waktu itu  mengetengahkan pesepakbola Bambang Pamungkas,pemain utama PSSI,yang dilukiskan sedang sakit kepala. Iklan tersebut tampilkan dalam sela acara tayang Piala Dunia Afrika Selatan oleh RCTI,sehingga dapat diasosiasikan bahwa sepak bola di Indonesia sedang bermasalah.
Jawaban ketiga,karena faktanya memang persepakbolaan di Indonesia sedang mengalami kemunduran, bahkan hingga sekarang ini. Banyak yang tidak peduli lagi dengan olah raga rakyat ini. Sebagai contoh,kalau pada tahun 60 – an di daerah saya di Gresik ada lapangan bola di desa Benjeng dekat SD Negeri yang  menjadi tempat latihan rutin PSB (Persatuan Sepak Bola Benjeng),sekarang sudah tidak ada lagi. Dan demikian juga lapangan bola di Alun – alun kota Gresik,sekarang lapangan tersebut sudah tidak ada lagi,padahal dulu tempat  latihan rutin PSHW,PS Gapura, PS Sidolig, Persegres dan lain-lain.. Di Jalan Ratna,Jatiasih – Bekasi dekat tempat tinggal saya sekarang,sekitar beberapa tahun yang lalu masih ada lapangan bola yang justru letaknya dekat dengan SDN setempat. Tetapi sekarang,tanah lapang tersebut sudah berubah menjadi ruko. Konon Kepala Desa setempat terlibat dalam alih fungsi lahan ini. Di Jakarta sendiri,Lapangan Bola (Stadion) Menteng yang bersejarah telah diubah oleh Gubernurnya menjadi taman, dan hampir tidak ada yang berusaha menghalangi kebijakan alih fungsi stadion tersebut..Hal ini tidak mengherankan karena mantan Gubernur yang mengambil kebijakan pembongkaran ternyata lebih menyempatkan diri main wayang orang justru pada saat orang ramai nonton dan memperbincangkan final Piala Dunia di mana – mana.
Dan mungkin banyak lagi kasus seperti ini di seluruh Indonesia. Oleh karena itu jangan heran kalau anak – anak sekarang hanya bisa main bola di Futsal atau di jalan – jalan dan pekarangan kosong karena makin langkanya lapangan bola di sekitar kita. Mungkin sudah saatnya ada kebijakan resmi pemerintah yang menganjurkan agar setiap pengembang perumahan di wajibkan menyediakan lapangan bola yang representative.
Yang keempat,perlu pencanangan agar “Indonesia melamar menjadi tuan rumah Piala Dunia” walaupun untuk penyelenggaraan pada masa yang jauh  mendatang. Dan bersamaan pencanangan itu perlu ada gerakan massal yang menunjang pembinaan persepakbolaan oleh Pemerintah Pusat dan Daerah,sekolah,pengusaha,BUMN,Parpol,dan Ormas serta seluruh masyarakat luas. Juga perlunya cita – cita membangun stadion bertaraf internasional seperti Gelora Bung Karno sebanyak – banyaknya di seluruh Indonesia. Momentum penyelenggaraan PON (Pekan Olah Raga Nasional) bisa dimanfaatkan untuk membangun stadion ini,tetapi bukan asal jadi apalagi kalau besar korupsinya.
Jadikan gerakan demam sepak bola yang fair dan sportif kapan saja dan di mana saja dalam rangka mencapai cita – cita pertumbuhan ekonomi melalui sektor olah raga khususnya sepak-bola  dan pariwisata, dan dalam rangka mengubah citra negara yang dewasa ini hanya mampu sebagai pengekspor TKI murahan,menjadi negara pengekspor pemain bola yang handal.
Ada fakta sejarah yang perlu disadari oleh generasi sekarang maupun generasi yang akan datang bahwa Indonesia antara lain pernah dijajah Portugis dan Belanda dalam jangka waktu yang cukup lama. Dua negara itu termasuk kampiunnya sepak bola di muka bumi ini. Sehingga sepantasnya, apabila kita semua berharap agar bangsa Indonesia bisa mewarisi bakat sepak bola ini sebagaimana Brasil,Argentina,Ghana,dan lain – lain yang sanggup berprestasi menyusul negeri penjajahnya. Dan apabila dihubungkan dengan kesamaan kultur dan emosional, bisa saja kita melakukan pembibitan dan pembinaan yang seksama di kawasan Tapanuli, Sulawesi Utara, Maluku, Nusa Tenggara Timur dan Papua. 
Sebagai jawaban terakhir, mantan Presiden Bill Clinton saja mau menyempatkan diri hadir ke Afrika Selatan dalam rangka ikut kampanye Amerika Serikat melamar menjadi tuan rumah Piala Dunia lagi. Lalu,kapan para pemimpin Indonesia mau melibatk an diri ikut kampanye membudayakan sepak bola sebagai gerakan olah raga rakyat?. Itulah yang kita tunggu,dari sekarang,dalam rangka merevitalisasi persepak bolaan di Indonesia. Dalam hal ini kita perlu memberikan penghargaan kepada Kompas – Gramedia yang mau menyisakan sebagian keuntungannya untuk pembinaan sepak bola dengan menggulirkan Liga Kompas Indonesia U – 14. Semoga langkah ini diikuti juga oleh pengusaha – pengusaha besar lainnya di seluruh Indonesia. Demikian juga, upaya pada masa Presiden Jokowi yang sudah mulai mengadakan berbagai turnamen sepakbola dapat terus berlanjut, berkesinambungan dan semakin bermutu. Jangan sampai kita yang berpenduduk lebih dari 250 juta jiwa, kalah dengan Islandia yang penduduknya tidak sampai 350 ribu jiwa tetapi mampu eksis di Piala Eropa 2016.
Dengan  merevitalisasi persepakbolaan  di Indonesia dari sekarang secara bersungguh-sungguh dan dengan melibatkan berbagai komponen bangsa,semoga Indonesia memang bisa hebat ”dalam segala hal”, termasuk dalam dunia sepak-bola!. ****  

Minggu, 05 Juli 2015

Piye Kabare le, Kowe Goleki SUPERSEMAR , to...?

                                                        Oleh : Muhammad Sadji
     Menjelang Pemilu Legislatif dan Pemilihan Presiden/Wapres pada tahun 2014 sampai sekarang ini, marak beredar sticker dan kaos bergambar mantan presiden Soeharto mengangkat salah satu tangannya dengan seolah-olah  berucap :” Piye kabare, enak jamanku, toh?”. Atau ada lagi :” Jamanku harga bensin Rp 700,-, jamanmu piro le?”. Sepertinya keluarga  Soeharto dan para pendukungnya  yang banyak dananya  ingin menghidupkan kembali  nostalgia Soeharto yang pernah berkuasa selama 32 tahun dan masih tidak rela ketika dijatuhkan oleh massa rakyat pada tahun 1998  yang lalu. Pada hal, sejatinya Soeharto tidak pernah mengatakan kalimat seperti itu semasa hidupnya. Sehingga, kalimat itu sebenarnya hanya berhasil mempermalukan dua hal. Yang pertama, rezim setelah reformasi yang tidak kunjung berhasil membuat Indonesia menjadi lebih baik. Pada hal keterpurukan Indonesia seperti sekarang ini adalah merupakan sebab – akibat dari peninggalan rezim Soeharto (ORDE BARU) yang tumbang pada tahun 1998. Yang kedua, mempermalukan almarhum Soeharto sendiri karena dibuat seolah-olah arwahnya masih gentayangan dan mengeluarkan kalimat-kalimat seperti itu karena masih tidak rela sewaktu dijatuhkan massa rakyat  pada tahun 1998 itu. Kalau memang ingin mengangkat nama Soeharto ,sebaiknya carilah kata-kata bijaknya yang pernah dia ucapkan semasa hidupnya. Kata-kata bijak itulah yang  diharapkan bisa  menjadi pedoman bagi generasi berikutnya, bukan kata-kata ledekan atau sindiran yang sebenarnya  sama sekali tidak pernah ia ucapkan.
      Pada hal kalau ditelaah lebih dalam dan jujur, pembangunan ORBA selama 32 tahun sebenarnya tidak berhasil. Bukti yang membenarkan adalah ketika terjadi krisis ekonomi pada tahun 1997/1998 dan rakyat menuntut tanggung-jawab secara jalanan karena saluran resminya mampet. Pertumbuhan ekonomi  sebesar 7 % pertahun yang sering dibangga-banggakan ternyata tidak cukup tangguh untuk menanggulangi masa krisis dan hanya berhasil mengantarkan bangsa Indonesia tetap tinggal di landasan, bukannya berhasil memasuki tahap tinggal landas. Apalagi  kalau dihubungkan dengan teori  pembangunan berdasarkan rumusan input, proses, output (input + proses = output), maka dapat diungkit kembali berapa  input dihabiskan yang meliputi kekayaan alam  tambang dan hutan, , pinjaman, dan bantuan asing, prosesnya yang memerlukan waktu selama 32 tahun dengan penuh represif dan otoriter , mau menang sendiri, sementara outputnya setelah 32 tahun menghasilkan Indonesia yang hanya kocar-kacir setelah dilanda krisis ekonomi. Itu semua fakta yang seharusnya  tidak boleh kita lupakan sebagai pengetahuan sejarah. Sebab, sewaktu rezim ORBA berkuasa pada tahun 1967, mewarisi kekayaan alam yang masih tersimpan dengan baik. Kekayaan alam itu kemudian terkapling-kapling oleh negara asing setelah kebijakan PMA (Penanaman Modal Asing) oleh rezim ORBA. Kekayaan alam itu masih dikangkangi pihak asing sampai sekarang dan kita dibuatnya tidak berkutik karena terbelenggu dalam ketergantungan dari  segala segi  kehidupan berbangsa dan bernegara.
Supersemar
      Ada hal menarik setiap kali kita memasuki  bulan Maret. Bagi yang masih Soehartois, selalu kembali mengungkit peristiwa berdarah G 30 S dan sumpah serapah terhadap PKI serta menyanjung Soeharto dengan segala propagandanya. Mereka membuat garis pemisah antara yang dianggap pro PKI dan yang anti PKI. Mereka menganggap bahwa semua yang anti atau kritis terhadap Soeharto  diidentikkan  dengan PKI atau dicap berusaha hendak membangkitksn  kembali PKI dengan berbagai kedoknya (Anton Tabah, Republika, 10 Maret 2015). Mereka sangat mengagungkan Supersemar tetapi sama sekali mengabaikan kemisteriannya yang masih menghantui  bangsa Indonesia sampai sekarang. Surat Perintah itu sendiri sangat misterius karena tidak bernomor, dan yang diserahkan ke Arsip Nasional semuanya dinyatakan palsu. Lucunya, semuanya berbeda dan diserahkan oleh pihak atau lembaga yang berbeda-beda. Pada tahun 1990-an pernah dipertanyakan keberadaan Supersemar itu yang aslinya oleh berbagai pihak. Anehnya, jawaban yang diberikan berbeda-beda oleh penggede ORDE BARU yang berbeda-beda dan selalu menunjuk seseorang yang diduga menyimpan, tetapi juga berbeda-beda dan khalayak dibiarkan supaya menebak-nebak sendiri-sendiri. Bahkan ada jawaban yang dikembangkan pada waktu itu :” Supersemar asli itu tidak penting, yang terpenting bahwa surat perintah itu sudah dilaksanakan dengan baik oleh pengembannya, Jenderal Soeharto”. Lebih misterius lagi karena Soeharto sendiri tidak pernah mengeluarkan pernyataan, sementara  AH Nasution, Sudharmono, Moerdiono, Sudomo, Amir Machmud dan banyak lagi mengeluarkan pernyataan yang berbeda-beda mengenai keberadaan Supersemar aslinya. Sayangnya, Basuki Rachmat meninggal mendadak terlalu cepat di usianya yang relatif masih muda dan buku biografi M.Jusuf sudah diedit kembali sebelum terbit oleh sebuah tim yang antaralain ada Jusuf Kalla-nya sehingga besar kemungkinan ada bagian sangat penting yang dihilangkan.
      Sehingga timbul pertanyaan, kenapa dimisteriuskan dan tidak ada yang berusaha untuk mencarinya, terlebih sewaktu Soeharto masih hidup dan masih menjabat sebagai presiden. Inilah suatu bukti begitu kuat, betapa seram dan misteriusnya Soeharto sampa-sampai tidak ada seorangpun yang berani mempertanyakan kepadanya. Bahkan SBY pun sempat mengagungkan tanggal 11 Maret yang mungkin dianggapnya keramat dan bukan suatu kebetulan belaka. Bukti itu antaralain, ketika dia mengundurkan diri dari Kabinet Megawati karena mau mencalonkan diri sebagai Capres pada tahun 2004. Peristiwa lain, ketika dia meresmikan Universitas Pertahanan  beberapa tahun yang lalu juga memilih tanggal 11 Maret.
       Oleh karena itu yang benar sekarang ini bukan pernyataan :” Piye kabare, enak jamanku tho ?”, tetapi yang tepat adalah :” Piye kabare le, kowe goleki Supersemar to...?”. Yang artinya :” Apa kabarnya, kalian semua mencari Supersemar to...?”. Dan jawabnya, entahlah sampai kapan, barangkali sampai lebaran monyet pun tidak akan ketemu karena mungkin adanya unsur persekongkolan kebohongan, keculasan, kecurangan, kejahatan  dan kudeta dibalik itu yang terpaksa harus ditutup-tutupi terus entah sampai kapan dan oleh siapa.

      Pada hal, setiap pemimpin sejati itu harus mampu menularkan kebaikan dan kejujuran kepada rakyatnya. Yang mampu membangun persatuan dan kesatuan serta melindungi seluruh rakyatnya. Bukannya yang mampu menebarkan kebohongan, teror, adu domba dan mengembangkan politik  belah bambu satu diangkat tetapi satunya lagi diinjak, apalagi meninggalkan teka-teki yang tak bertepi  kepada rakyatnya. Dari kasus misteriusnya Supersemar, dokumen negara yang sangat penting ini, barangkali tidak berlebihan apabila dijadikan tolok-ukur  pertimbangan apakah seseorang layak disebut pahlawan atau hanya sebagai pecundang.*****

Senin, 10 Februari 2014

KENAPA JALAN RAYA MUDAH RUSAK? (edisi revisi februari 2014)

George Soraya, senior consultant Bank Dunia, pernah ngomel karena jalan yang dibangun dua tahun yang lalu telah rusak parah. Jalan tersebut terletak di kawasan  Kelurahan Sukaresmi ,Kecamatan Tanah Sareal, Kota  Bogor yang dibangun dari dana PNPM (Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat) yang berasal dari Bank Dunia. Atas pertanyaan George Soraya, Lurah Sukaresmi mengaku, bahwa jalan raya tersebut dibangun dengan dana PNPM yang diterima sebesar Rp 15 juta tetapi kenyataannya menghabiskan Rp. 19 juta dan pelaksanaan pengerjaannya dilakukan oleh masyarakat sendiri. Berita tersebut dimuat di Harian Republika edisi 28 April 2010 dengan judul :”Jalan Rusak, Bank Dunia Ngomel”. Terakhir, pemerintah menyatakan tanggap darurat untuk memprioritaskan perbaikan jalan yang rusak parah akibat bencana alam khususnya banjir yang disaksikan langsung oleh Presiden SBY bersama tim kabinetnya ketika kunjungan kerja ke Jawa Barat dan Jawa Tengah awal pekan Februari 2014 ini.

Kasus jalan  rusak sebenarnya banyak sekali terjadi. Tetapi seringkali tidak muncul ke  permukaan  karena masyarakat umumnya mendiamkan masalah pelayanan publik yang sebenarnya banyak yang  tidak memuaskan. Seharusnya seluruh masyarakat Indonesia mencontoh pejabat Bank Dunia tersebut. Yang selalu mengawasi dan mengontrol fasilitas umum yang dibiayai dari dana rakyat melalui pembayaran pajak, apalagi kalau berasal dari utang. Kesadaran bernegara sebagaimana dicontohkan oleh Senior Consultant Bank Dunia itu seharusnya menjadi budaya bagi seluruh masyarakat Indonesia , apapun statusnya . Tujuannya adalah agar pelaksanaan
pembangunan dapat berhasil dengan sangat memuaskan, bukan asal tambal sulam seperti apa yang dikesankan selama ini.

Jalan Rusak
Jalan rusak hampir dapat kita temui di semua ruas jalan dari Sabang sampai Merauke. Apabila kita membaca dengan seksama pemberitaan di media massa, hampir selalu ada berita mengenai jalan yang rusak, dari yang ringan sampai yang parah. Pada hal ,jalan raya adalah urat nadinya perekonomian  dan berbagai kegiatan lainnya bagi masyarakat. Tetapi kenyataannya ,di Ibukota Negara  Jakarta saja  masih sering terjadi kecelakaan lalulintas yang disebabkan oleh jalan yang rusak.
Ada beberapa sebab kenapa jalan mudah sekali rusak. Tetapi apabila dibuat pembuktian terbalik, ujung-ujungnya adalah disebabkan oleh ulah korupsi. Mengenai hal ini ada contoh menarik yang bisa dikemukakan untuk pembelajaran, yaitu ketika perbaikan ruas jalan utama Surabaya – Gresik  pada tahun 1973/1974 yang lalu. Jalan raya yang merupakan uratnadi perhubungan antar kota itu seringkali rusak parah sehingga sangat mengganggu kelancaran lalulintas. Ketika perbaikan, pelaksananya adalah kontraktor dari Korea Selatan yang terlihat karena  papan namanya denga huruf Korea serta bahasa Inggris terpampang dengan jelas di lokasi proyek. Pada waktu itu, mahasiswa Surabaya protes kepada  pemerintah karena dinilai tidak melibatkan perusahaan dalam negeri untuk perbaikan jalan tersebut. Oleh Pemda, para aktivis mendapat penjelasan ,bahwa perbaikan jalan tersebut dibiayai oleh Bank Dunia. Sebagai penyandang dana, Bank Dunia mempersyaratkan agar pelaksana proyek hanya boleh memilih perusahaan dari Jepang, Korea Selatan atau Taiwan. Kebetulan pemenangnya adalah kontraktor dari Korea Selatan. Dijelaskan juga kepada para mahasiswa bahwa bangsa Indonesia harus malu karena tidak dipercaya oleh Bank Dunia. Alasannya, karena kalau proyek tersebut dikerjakan oleh kontraktor Indonesia, dikhawatirkan bukan jalan-raya”nya yang bagus, tetapi para pemegang proyek dan pelaksanalah yang akan makmur karena dikorupsi. Dan kenyataannya, setelah proyek selesai, ruas jalan tersebut memang sangat bagus dan bisa bertahan lebih lama. Padahal sebelumnya, setiap 3 sampai 6 bulan sudah harus diperbaiki lagi. Bagi pengguna jalan yang melintasi proyek  pada waktu itu sering mengamati apa keistimewaan kontraktor Korsel dalam memperbaiki jalan tersebut. Yang  sangat menonjol dan sering menjadi pembicaraan, adalah karena orang Korselnya selalu terlibat langsung dan melakukan supervisi di lapangan dengan cermat. Pasir dan batunya .terlihat selalu dicuci dengan  disiram air sebelum digunakan.
Kasus di atas agaknya masih relevan dikemukakan sebagai bahan rujukan untuk mengevaluasi mutu jalan di tanah – air kita saat ini. Yang perlu diwaspadai adalah dugaan terkait perilaku korupsi yang dapat berakibat menggerogoti mutu jalan raya di sekitar kita dengan modus yang standar dan merata di seluruh tanah-air serta dilakukan berulang-ulang tanpa ada yang mengoreksi. Beberapa perilaku buruk itu dapat dikemukakan berikut ini.
      Pertama, seringkali jalan dibuat tanpa saluran air atau got sehingga cepat rusak karena genangan air yang terjadi sewaktu musim hujan. Kalau toh dibuat saluran got,biasanya dikerjakan tidak simultan atau tidak bersamaan ketika  pembangunan jalan. Tujuannya ,supaya proyek selalu ada terus. Proyek pembenahan sistem drainase ini sering dijadikan alasan para Pemda di mana-mana yang ujung-ujungnya bisa diduga karena kesengajaan atau kurangnya pemahaman terhadap pentingnya saluran air pada setiap ruas jalan.
       Kedua, mutu bahan yang sering dipalsu atau dikurangi porsinya. Jangan dikira,bahwa batu dan pasir juga sangat mudah dipalsu atau ditukar mutunya. Apalagi aspalnya, seringkali dipalsu atau dicampur dengan komponen Bahan Bakar Minyak khususnya jenis residu atau minyak bakar dengan dalih untuk pengenceran. Sebagai akibatnya, daya rekat aspal menjadi berkurang dan mudah lumer ketika musim kemarau. Porsi bahan yang dikurangi bisa berakibat kepada ketebalan yang tidak memenuhi syarat dan pasti berakibat mengurangi kekuatan jalan-raya. Pengurangan porsi bahan ini juga bisa terjadi pada jalan beton yang dibuat dengan perekat semen.
       Ketiga, mutu pengerjaan. Ini menyangkut teknologi, mutu SDM dan sistem pengerjaannya. Mutu SDM walaupun hebat , tetapi kalau jiwanya korup ,tahu beres dan tidak pernah mau mengawasi langsung di lapangan, maka teknologi dan sistem .yang baik  akan bisa dengan mudah dilanggar. Yang ideal adalah, teknologi dan sistem pembuatan jalan yang baik , dijalankan oleh SDM yang bermutu dan bertanggungjawab kepada diri sendiri, profesi, masyarakat, negara dan Tuhan.
        Keempat,karena lemahnya pengawasan sejak perencanaan hingga pelaksanaan selama proyek berjalan. Kelemahan ini bisa terjadi karena praktek kongkalikong atau bisa karena kurang profesional sehingga tidak tahu apa yang harus dikritisi dan tidak tahu bagaimana mengawasinya. Bahkan bisa dikesankan ,Pemda dan instansi yang terkait tidak pernah mengawasi proyek yang sedang berjalan sehingga hasil akhirnya umumnya sangat mengecewakan. Seringkali kita mempertanyakan , kenapa sih Gubernur, Bupati, Walikota dan jajarannya kok seolah-olah tidak pernah meninjau proyek pembuatan atau perbaikan jalan yang sedang dikerjakan. Sehingga sering kita rasakan, pembangunannya lamban, tidak beraturan, sepotong-sepotong dan terkesan tidak pernah ada yang menegur atau memperingatkan.
        Kelima, pembangunan jalan seringkali tidak terintegrasi  dengan baik bersama instansi lain. Jalan yang sudah baik tiba-tiba digali untuk pemasangan kabel listrik, telkom, saluran air dan keperluan lain tetapi kemudian tidak dipulihkan lagi seperti keadaan asalnya.
         Keenam, masyarakat hanya mendiamkan semua keadaan di atas, seolah semuanya itu sudah biasa dan wajar-wajar saja. Paling banter masyarakat hanya bisa ngedumel atau mengeluh tanpa tahu apa yang harus diperbuat. Berita di media massa pun hampir tidak pernah mendapat tanggapan dengan cepat ,cekatan dan benar oleh Pemerintah  Pusat maupun Pemerintah Daerah.

Itulah wajah tanah-air kita dari penggalan yang namanya jalan raya yang merupakan urat nadi perekonomian dan prasarana vital suatu bangsa. Pada hal ada petunjuk dan nasehat  yang sangat populer yang menyatakan bahwa mutu suatu bangsa itu antaralain ada di jalan-raya. Karena dari mutu jalan-raya dapat  mencerminkan seberapa jauh mutu kejujuran, keahlian, kesungguhan dan tanggungjawabnya  terhadap profesi oleh para pelaku dan pemangku kepentingan dari masa perencanaan sampai ke pelaksanaan proyek pembuatan jalan. Termasuk di dalamnya adalah yang menyangkut mutu trotoar, sistem drainase, rambu-rambu lalu-lintas, marka jalan dan berbagai perangkat jalan-raya lainnya.

Dan tentunya, semua ini adalah menjadi tanggung jawab Pemerintah dalam melayani rakyatnya yang dituntut lebih profesional agar tercipta kenyamanan,dan keamanan secara terus menerus dalam berbagai sektor, di mana saja dan kapan saja, termasuk di “jalan-raya”. *****.

(ditulis oleh Muhammad Sadji pada tahun 2012 di blog yang sama)