Entri yang Diunggulkan

GENERASI PENDOBRAK JILID III

 Harian Rakyat Merdeka terbitan 20 April  2010,memuat artikel dengan judul “Bodoh Permanen” yang ditulis oleh Arif Gunawan. Tulisan tersebut...

Tampilkan postingan dengan label ORBA. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label ORBA. Tampilkan semua postingan

Minggu, 05 Juli 2015

Piye Kabare le, Kowe Goleki SUPERSEMAR , to...?

                                                        Oleh : Muhammad Sadji
     Menjelang Pemilu Legislatif dan Pemilihan Presiden/Wapres pada tahun 2014 sampai sekarang ini, marak beredar sticker dan kaos bergambar mantan presiden Soeharto mengangkat salah satu tangannya dengan seolah-olah  berucap :” Piye kabare, enak jamanku, toh?”. Atau ada lagi :” Jamanku harga bensin Rp 700,-, jamanmu piro le?”. Sepertinya keluarga  Soeharto dan para pendukungnya  yang banyak dananya  ingin menghidupkan kembali  nostalgia Soeharto yang pernah berkuasa selama 32 tahun dan masih tidak rela ketika dijatuhkan oleh massa rakyat pada tahun 1998  yang lalu. Pada hal, sejatinya Soeharto tidak pernah mengatakan kalimat seperti itu semasa hidupnya. Sehingga, kalimat itu sebenarnya hanya berhasil mempermalukan dua hal. Yang pertama, rezim setelah reformasi yang tidak kunjung berhasil membuat Indonesia menjadi lebih baik. Pada hal keterpurukan Indonesia seperti sekarang ini adalah merupakan sebab – akibat dari peninggalan rezim Soeharto (ORDE BARU) yang tumbang pada tahun 1998. Yang kedua, mempermalukan almarhum Soeharto sendiri karena dibuat seolah-olah arwahnya masih gentayangan dan mengeluarkan kalimat-kalimat seperti itu karena masih tidak rela sewaktu dijatuhkan massa rakyat  pada tahun 1998 itu. Kalau memang ingin mengangkat nama Soeharto ,sebaiknya carilah kata-kata bijaknya yang pernah dia ucapkan semasa hidupnya. Kata-kata bijak itulah yang  diharapkan bisa  menjadi pedoman bagi generasi berikutnya, bukan kata-kata ledekan atau sindiran yang sebenarnya  sama sekali tidak pernah ia ucapkan.
      Pada hal kalau ditelaah lebih dalam dan jujur, pembangunan ORBA selama 32 tahun sebenarnya tidak berhasil. Bukti yang membenarkan adalah ketika terjadi krisis ekonomi pada tahun 1997/1998 dan rakyat menuntut tanggung-jawab secara jalanan karena saluran resminya mampet. Pertumbuhan ekonomi  sebesar 7 % pertahun yang sering dibangga-banggakan ternyata tidak cukup tangguh untuk menanggulangi masa krisis dan hanya berhasil mengantarkan bangsa Indonesia tetap tinggal di landasan, bukannya berhasil memasuki tahap tinggal landas. Apalagi  kalau dihubungkan dengan teori  pembangunan berdasarkan rumusan input, proses, output (input + proses = output), maka dapat diungkit kembali berapa  input dihabiskan yang meliputi kekayaan alam  tambang dan hutan, , pinjaman, dan bantuan asing, prosesnya yang memerlukan waktu selama 32 tahun dengan penuh represif dan otoriter , mau menang sendiri, sementara outputnya setelah 32 tahun menghasilkan Indonesia yang hanya kocar-kacir setelah dilanda krisis ekonomi. Itu semua fakta yang seharusnya  tidak boleh kita lupakan sebagai pengetahuan sejarah. Sebab, sewaktu rezim ORBA berkuasa pada tahun 1967, mewarisi kekayaan alam yang masih tersimpan dengan baik. Kekayaan alam itu kemudian terkapling-kapling oleh negara asing setelah kebijakan PMA (Penanaman Modal Asing) oleh rezim ORBA. Kekayaan alam itu masih dikangkangi pihak asing sampai sekarang dan kita dibuatnya tidak berkutik karena terbelenggu dalam ketergantungan dari  segala segi  kehidupan berbangsa dan bernegara.
Supersemar
      Ada hal menarik setiap kali kita memasuki  bulan Maret. Bagi yang masih Soehartois, selalu kembali mengungkit peristiwa berdarah G 30 S dan sumpah serapah terhadap PKI serta menyanjung Soeharto dengan segala propagandanya. Mereka membuat garis pemisah antara yang dianggap pro PKI dan yang anti PKI. Mereka menganggap bahwa semua yang anti atau kritis terhadap Soeharto  diidentikkan  dengan PKI atau dicap berusaha hendak membangkitksn  kembali PKI dengan berbagai kedoknya (Anton Tabah, Republika, 10 Maret 2015). Mereka sangat mengagungkan Supersemar tetapi sama sekali mengabaikan kemisteriannya yang masih menghantui  bangsa Indonesia sampai sekarang. Surat Perintah itu sendiri sangat misterius karena tidak bernomor, dan yang diserahkan ke Arsip Nasional semuanya dinyatakan palsu. Lucunya, semuanya berbeda dan diserahkan oleh pihak atau lembaga yang berbeda-beda. Pada tahun 1990-an pernah dipertanyakan keberadaan Supersemar itu yang aslinya oleh berbagai pihak. Anehnya, jawaban yang diberikan berbeda-beda oleh penggede ORDE BARU yang berbeda-beda dan selalu menunjuk seseorang yang diduga menyimpan, tetapi juga berbeda-beda dan khalayak dibiarkan supaya menebak-nebak sendiri-sendiri. Bahkan ada jawaban yang dikembangkan pada waktu itu :” Supersemar asli itu tidak penting, yang terpenting bahwa surat perintah itu sudah dilaksanakan dengan baik oleh pengembannya, Jenderal Soeharto”. Lebih misterius lagi karena Soeharto sendiri tidak pernah mengeluarkan pernyataan, sementara  AH Nasution, Sudharmono, Moerdiono, Sudomo, Amir Machmud dan banyak lagi mengeluarkan pernyataan yang berbeda-beda mengenai keberadaan Supersemar aslinya. Sayangnya, Basuki Rachmat meninggal mendadak terlalu cepat di usianya yang relatif masih muda dan buku biografi M.Jusuf sudah diedit kembali sebelum terbit oleh sebuah tim yang antaralain ada Jusuf Kalla-nya sehingga besar kemungkinan ada bagian sangat penting yang dihilangkan.
      Sehingga timbul pertanyaan, kenapa dimisteriuskan dan tidak ada yang berusaha untuk mencarinya, terlebih sewaktu Soeharto masih hidup dan masih menjabat sebagai presiden. Inilah suatu bukti begitu kuat, betapa seram dan misteriusnya Soeharto sampa-sampai tidak ada seorangpun yang berani mempertanyakan kepadanya. Bahkan SBY pun sempat mengagungkan tanggal 11 Maret yang mungkin dianggapnya keramat dan bukan suatu kebetulan belaka. Bukti itu antaralain, ketika dia mengundurkan diri dari Kabinet Megawati karena mau mencalonkan diri sebagai Capres pada tahun 2004. Peristiwa lain, ketika dia meresmikan Universitas Pertahanan  beberapa tahun yang lalu juga memilih tanggal 11 Maret.
       Oleh karena itu yang benar sekarang ini bukan pernyataan :” Piye kabare, enak jamanku tho ?”, tetapi yang tepat adalah :” Piye kabare le, kowe goleki Supersemar to...?”. Yang artinya :” Apa kabarnya, kalian semua mencari Supersemar to...?”. Dan jawabnya, entahlah sampai kapan, barangkali sampai lebaran monyet pun tidak akan ketemu karena mungkin adanya unsur persekongkolan kebohongan, keculasan, kecurangan, kejahatan  dan kudeta dibalik itu yang terpaksa harus ditutup-tutupi terus entah sampai kapan dan oleh siapa.

      Pada hal, setiap pemimpin sejati itu harus mampu menularkan kebaikan dan kejujuran kepada rakyatnya. Yang mampu membangun persatuan dan kesatuan serta melindungi seluruh rakyatnya. Bukannya yang mampu menebarkan kebohongan, teror, adu domba dan mengembangkan politik  belah bambu satu diangkat tetapi satunya lagi diinjak, apalagi meninggalkan teka-teki yang tak bertepi  kepada rakyatnya. Dari kasus misteriusnya Supersemar, dokumen negara yang sangat penting ini, barangkali tidak berlebihan apabila dijadikan tolok-ukur  pertimbangan apakah seseorang layak disebut pahlawan atau hanya sebagai pecundang.*****

Minggu, 24 Februari 2013

SOEHARTO PAHLAWAN NASIONAL ?

Harian Pelita edisi 12 November 2012 memuat pandangan Wasekjen Partai  Demokrat Ramadhan Pohan yang berpendapat, bahwa Presiden RI kedua HM Soeharto tak layak diangkat menjadi pahlawan nasional. Alasannya, tidak pantas karena luka dan kerusakan negeri ini terlalu parah selama 32 tahun  kekuasaan Presiden Soeharto yang dianggapnya era fasis dan otoritarian.
Untuk menanggapi pendapat tersebut, ada baiknya kita mengutip nasihat orang bijak yang menyatakan, bahwa hidup adalah pilihan dan setiap individu tidak boleh menyesali atas setiap pilihannya. Oleh karena itu, seseorang  yang telah memilih bidang pekerjaan tertentu  harus menekuninya dengan penuh amanah  dan bertanggungjawab. Apabila seseorang  memilih jadi pencuri, maka jangan menyesal apabila suatu ketika tertangkap dan dihakimi  massa serta dipenjara. Atas dasar pilihan hidup, sikap, ucapan  dan tindakan itulah seseorang akan memperoleh imbalan di dunia hingga di akhirat kelak. Imbalan itu bisa berupa pujian, penghargaan dan mungkin kutukan.
Bangsa Indonesia misalnya, dalam kehidupan ketatanegaraannya antaralain memberikan penghargaan berupa gelar Pahlawan Nasional  kepada warganya yang  atas dasar pilihan hidupnya dianggap berjasa luar biasa terhadap bangsa dan negara dengan kriteria yang telah ditetapkan. Sekarang, sebagian  khalayak ramai mewacanakan  dan mengusulkan agar mantan  Presiden Soeharto ditetapkan sebagai  Pahlawan Nasional. Mereka berpendapat, bahwa Soeharto telah berjasa kepada bangsa dan negara, oleh karena itu layak menyandang gelar tersebut. Bahkan ada yang mewacanakan agar Soeharto  diberikan gelar Pahlawan Pembangunan. Sebaliknya, tidak sedikit yang menolak pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto dengan berbagai argumentasinya. Salah satunya adalah sebagaimana dikemukakan  oleh Ramadhan Pohan seperti dikutip  di atas. Dan perdebatan  pro dan kontra akan semakin panjang  manakala  masing-masing memaksakan kehendaknya.
Pertanyaannya adalah, perlukah seorang mantan presiden dipahlawankan ? Bukankah seorang Presiden dituntut melakukan dan menjalankan tugasnya dengan menjunjung tinggi nilai dan watak kepahlawanan,  dan oleh karena itu ia adalah otomatis seorang pahlawan bagi bangsanya ? Kecuali tentunya apabila terbukti  ia ternyata pengkhianat dan banyak merugikan bangsa dan negaranya.
Mengenai kasus Soeharto memang menarik untuk diperdebatkan. Ia mendapatkan tampuk pemerintahan  setelah terjadi  peristiwa berdarah  gugurnya para Pahlawan Revolusi  yang diculik dan dibunuh oleh Gerakan 30 September (G 30 S) pada tahun 1965. PKI dituduh sebagai pelakunya dan Presiden Soekarno dianggap ikut bertanggungjawab. Apakah masuk di akal, Presiden Soekarno yang sedang  mencanangkan Ganyang Malaysia dengan  memanfaatkan momentum dekolonisasi Inggris terhadap daerah jajahannya, tega menghabisi para Jendralnya ?   Lalu, melalui SP 11 Maret 1966 atau Supersemar , Soeharto yang telah diberi jabatan strategis untuk mengamankan jalannya pemerintahan  ternyata menikam dari belakang dengan cara yang berkedok seolah-olah konstitusional. Menarik untuk dikenang kembali, bahwa setelah peristiwa G 30 S meletus, terjadi pembunuhan  dan demonstrasi massa di mana-mana yang merongrong kewibawaan dan jalannya pemerintahan  Presiden Soekarno,  pada  hal  Soeharto ada di dalam struktur pemerintahan  sebagai Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) merangkap Menteri Panglima Angkatan Darat. Anehnya lagi, Surat Perintah itu tidak bernomor dan  dokumen aslinya raib sampai sekarang. Sehingga timbul pertanyaan,  kenapa orang-orang Orde Baru sekaliber Soeharto, Sudharmono, Murdiono, Sudomo dan lain-lain tidak cermat menyimpan dokumen sepenting itu atau memang sengaja beramai-ramai memusnahkan karena ada rahasia yang harus ditutupi rapat-rapat ? Ketika masalah hilangnya dokumen itu dipersoalkan pada tahun 90-an, pemerintah ORBA  tidak berusaha mencarinya, malahan memberikan jawaban yang diamini banyak orang, yaitu : dokumen itu tidak penting, karena yang terpenting perintah itu sudah dilaksanakan dengan baik. Dan kenyataannya, pengemban  SP 11 Maret itu memang mampu berkuasa selama 32 tahun  dengan strateginya yang jitu antaralain melalui desoekarnoisasi  di segala bidang dan mengecilkan arti Pembangunan Nasional Semesta Berencana 1 Januari 1961 s/d 31 Desember 1969 yang telah dirintis oleh Presiden Soekarno. Cuci otak yang ditanamkan kepada bangsa Indonesia melalui berbagai penataran dan penyuluhan  adalah, seolah-olah hanya Soeharto yang melaksanakan pembangunan. Pada hal kalau ditelaah lebih jauh, pembangunan yang telah dilaksanakan oleh ORBA patut dipertanyakan melalui beberapa parameter untuk mengujinya. Pertama, mengenai seberapa banyak sumbangan, hutang dan sumberdaya alam telah dikeruk dan dikorbankan selama 32 tahun Soeharto berkuasa.Yang jelas, tambang tembaga , nikel, emas, minyak  dan beberapa jenis komoditas lain  dikuasai  bangsa asing  semenjak ORBA berkuasa dengan menjungkirbalikkan  politik Berdikari yang telah dicanangkan oleh Bung Karno. Ketika Presiden Soekarno berhasil ditumbangkan, langkah awal yang dilakukan rezim ORBA adalah membuat UU Penanaman Modal Asing (PMA), yang merupakan pintu masuknya bangsa asing menjarah kekayaan alam bangsa Indonesia dan susah memintanya kembali sampai sekarang.
Yang kedua adalah  mengenai  proses  pelaksanaannya ketika memanfaatkan berbagai sumberdaya tadi. Dalam hal ini, seberapa lama waktu diperlukan (32 tahun), adakah demokrasi dan keterbukaan, serta sejauh mana HAM telah dilanggar  dalam rangka mempertahankan kekuasaannya dan sejauh mana kadar korupsinya. Sepertinya ada hubungan yang sistematis antara lamanya Soeharto berkuasa dengan kontrak karya penguasaan SDA  oleh bangsa asing yang rata-rata dibuat selama 30 tahun dan kemudian diperpanjang sebelum masanya berakhir. Sehingga bisa saja kita menuduh rezim Soeharto  sebagai  antek Asing yang juga sangat  didewakan dan dihormati oleh Lee Kuan Yew dan Mahathir Mohammad  karena Soeharto-lah yang  menghentikan konfrontasi dengan Malaysia. Di kemudian hari, Singapura dan Malaysia sangat diuntungkan  secara ekonomi dan geografis selama rezim  Soeharto berkuasa.
Setelah membicarakan input sebagai modal atau masukan pembangunan dan prosesnya, yang ketiga adalah kita membicarakan masalah  output atau hasil akhirnya. Sebagaimana faktanya, Presiden Soeharto mengundurkan diri setelah dilantik menjadi presiden untuk yang ketujuh kalinya karena desakan massa rakyat yang menggugat kegagalan pembangunan. Pada akhir kekuasaannya, ekonomi ambruk  sehingga semua penggantinya mengalami  kesulitan untuk membenahi. Daya saing bangsa juga  mengalami  kemunduran di berbagai bidang. Sebagai salah satu contoh nyata adalah, betapa banyak gedung sekolah yang dibangun pada tahun 70 – 80-an pada ambruk karena mutu pembangunannya yang rendah dan sarat dengan korupsi berjamaah. Belum lagi prasarana yang lain yang dibangun selama euforia pembangunan tersebut;  banyak yang tidak bermutu dan bahkan banyak bangunan kategori cagar budaya yang dirusak dan diambrukkan, pada hal penting untuk modal pengembangan pariwisata sejarah dan arsitektur.
Walhasil, Soeharto telah memilih jalan hidupnya sendiri yang tentunya dengan kesadarannya yang tinggi pula. Banyak pengikutnya dan tidak sedikit pula yang menentang, apalagi menapaknya dengan politik belah bambu, satu diangkat dan satunya lagi diinjak sampai tidak berkutik sama sekali selama bertahun-tahun. Soeharto telah menikmati pilihan hidupnya, sementara ada kalangan kritis yang memiliki catatan sejarah yang kelam mengenai sepakterjangnya. Lalu, masihkah ada pihak-pihak yang ingin memperjuangkan Soeharto agar ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional ?. Dan kira-kira masih perlukah gelar itu seandainya  bisa dipertanyakan  langsung kepada Soeharto ?. Mungkin ada baiknya kita merenungkan suatu khotbah yang pernah penulis dengar. Konon pada hari pembalasan ada seseorang yang protes karena direkomendasikan masuk neraka. Dia protes karena selama hidup  di dunia sebagai pejabat merasa telah berbuat banyak untuk orang lain dan taat beribadah. Karena protesnya sangat kencang dan keras, maka Tuhan memberikan penjelasan : bahwa memang benar menurut catatan yang ada, amalannya memang banyak, naik haji berkali-kali, zakatnya berlimpah, ibadah puasa dan  shalatnya tidak pernah bolong. Tetapi sayang sekali, semua kebaikan itu dia peroleh dengan cara yang tidak benar karena penuh intrik, tipu daya, memfitnah tanpa dasar dan membunuh  seenaknya. Oleh karena itu, amalan yang dia rasakan sangat banyak tadi tidak cukup untuk menutupi segala kejahatannya dan  sebagai ganjarannya harus masuk neraka. Mendengar penjelasan itu, sang mantan pejabat tadi baru menyadari  dosa-dosanya.  Tetapi sayangnya, pintu  tobat sudah tertutup dan dia harus masuk neraka.
Kisah di atas kiranya dapat membimbing kita untuk berpikir dan bertindak secara jernih, jujur, adil dan bijaksana dalam menghadapi berbagai masalah, termasuk apakah masih perlu  kita mengusulkan mantan Presiden Soeharto sebagai Pahlawan Nasional  kalau pada akhirnya banyak orang yang  mengungkit semua kekurangan, kejelekan dan kejahatannya.*****








(tulisan ini pernah dikirim ke redaksi Harian Pelita)

Sabtu, 01 September 2012

Salah Kaprah Gelar Pahlawan


SALAH satu kehebatan kita sebagai bangsa adalah karena kita memiliki Hari Pahlawan yang diperingati secara khidmat setiap tahun pada tanggal 10 November.
Suatu hari nasional yang mengabadikan peristiwa kepahlawanan mempertahankan kemerdekaan oleh arek-arek Surabaya itu mengandung pesan yang sangat luhur yang patut dicamkan oleh generasi sekarang dan yang akan datang.
Pertama, karena perang besar itu melibatkan berbagai elemen masyarakat yang terpanggil secara sukarela dan bersenjatakan apa adanya demi mempertahankan kemerdekaan yang baru saja diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945.
Kedua, TNI yang baru dibentuk pada tanggal 5 Oktober 1945 , boleh jadi belum terbentuk secara formal di Jawa Timur/Surabaya. Oleh karena itu, pengorbanan nyawa dan harta benda masyarakat yang terlibat pada waktu itu adalah benar-benar mempunyai nilai kepahlawanan karena dilakukan tanpa pamrih dan penuh pengorbanan, karena semata-mata ingin menunjukkan agar kemerdekaan tidak direbut kembali oleh para penjajah.
Belajar dari peristiwa Surabaya tersebut, maka pahlawan sebenarnya adalah orang yang memiliki kriteria rela berkorban untuk orang lain dan bangsanya. Berkorban harta dan jiwa raganya, tidak terpikir dan tidak mengharapkan imbalan dari pengorbanannya, pantang menyerah dan yang dikerjakan melampaui batas kewenangannya.
Dalam hal ini, seseorang yang melakukan sesuatu pekerjaan karena memang tugasnya dan mendapatkan imbalan langsung dari pekerjaannya, sebenarnya tidak layak dikategorikan sebagai pahlawan. Oleh karana itu gelar pahlawan seharusnya mengikuti uji kriteria kepantasan, kelogisan dan kebenaran.
Ketiga kriteria itu sebenarnya saling terkait dan tidak terpisah satu sama lain. Sebagai contoh, seseorang menggagas tentang sesuatu yang dinilai mempunyai dampak luas terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara. Penggagas itu mungkin pantas mendapat gelar pahlawan, tetapi menjadi tidak logis apabila terbukti sebelumnya sudah ada yang pernah menggagas dan bahkan mempraktekkan penerapannya. Karena tidak benar dia sebagai penggagas yang pertama, maka tidak layak orang yang bersangkutan mendapat gelar pahlawan.
Apabila diamati secara cermat, dalam perkembangannya, peringatan Hari Pahlawan ternyata menjadi salah kaprah. Salah kaprah pertama, karena setiap tahun sepertinya dituntut harus ada seseorang yang ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional. Maka ditetapkanlah tata cara pengusulan dan ditunjuklah team penilai yang bekerja untuk pemerintah. Maka setiap tahun pula berbondong-bondonglah perorangan, kelompok dan daerah beramai-ramai mengusulkan tokoh-tokohnya untuk diangkat atau ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional.
Salah kaprah kedua, karena adanya indikasi bahwa seseorang yang pernah melawan penjajah khususnya Belanda, selalu dengan mudah diangkat menjadi Pahlawan Nasional. Padahal kalau ditelaah lebih jauh, menjadi tidak logis dan tidak benar. Sebagai contoh, Pangeran Diponegoro, Imam Bonjol dan lain-lain yang pernah memberontak pada masa Hindia Belanda, dianggap sebagai Pahlawan Nasional. Bahkan sering kali ketokohan mereka disebut-sebut sebagai hasil politik devide et impera (politik pecah belah) Belanda, sehingga membuat perjuangan kemerdekaan selalu gagal dan tidak memperoleh hasil. Padahal kenyataannya, karena politik devide et impera itulah, maka timbulnya hegemoni Hindia Belanda yang kemudian kita warisi wilayahnya sebagai Indonesia merdeka.
Oleh karena itu mungkin tidak logis, tidak pantas dan tidak benar apabila tokoh pemberontakan dalam suatu kerajaan pada masa Hindia Belanda mendapat gelar pahlawan. Sebab seandainya pada waktu itu mereka berhasil, mungkin tidak ada Hindia Belanda seperti yang kita warisi seluas sekarang ini.
Salah kaprah ketiga, adalah fakta bahwa setiap tokoh yang melawan suatu rezim, dianggap pahlawan oleh rezim yang sealiran atau seideologi, apalagi kalau penetapannya menyangkut atau terkait dengan tujuan politik kekuasaan.
Salah kaprah keempat adalah, adanya kecenderungan mempahlawankan Presiden yang jatuh dari kekuasaannya. Sebagai contoh, Presiden Soekarno yang dijatuhkan oleh rezim Orde Baru dan termasuk kategori teraniaya pada akhir hayatnya karena politik, mendapat gelar Pahlawan Ploklamator. Gelar itu diberikan oleh rezim yang menjatuhkan atas desakan para pendukung Bung Karno yang tidak rela perintis kemerdekaan diperlakukan tidak santun dan cenderung dihapus segala jasa dan nama baiknya.
Presiden Soeharto yang jatuh karena tekanan rakyat yang tidak puas atas hasil pemerintahannya, sejak meninggal pada tahun 2008 para pendukung setianya serta keluarganya secara bertubi-tubi mengusulkan agar Soeharto ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional. Agaknya mereka ingin agar Presiden Soeharto yang mundur dari kekuasaannya, namanya terangkat kembali apabila mendapat gelar Pahlawan Nasional. Dalil yang mereka gunakan antara lain karena memperoleh gelar Bapak Pembangunan, berperan dalam Serangan Umum 1 Maret 1949, memimpin penumpasan PKI dan dipandang banyak jasanya ketika berkuasa selama 32 tahun.
Padahal kalau diteliti, semua peran tersebut banyak kelemahannya. Penetapan Presiden Soeharto sebagai Bapak Pembangunan adalah salah kaprah yang diperbuat oleh suatu rezim, karena seolah-olah hanya dia yang melaksanakan pembangunan. Mereka mengabaikan dan mengecilkan peran Presiden sebelumnya dan cenderung telah melakukan kebohongan publik.
Di mana pun, peran seorang Presiden dan Kepala Pemerintahan setiap negara adalah melaksanakan pembangunan bagi bangsa dan negaranya berdasarkan visi dan misi pemerintahannya serta tantangan pada zamannya
Sebagai Bapak Pembangunan, yang gelarnya diberikan selama dia berkuasa, menjadi tidak pantas, tidak logis dan tidak benar apabila diteliti berdasarkan kaidah-kaidah pembangunan.
Kaidah pembangunan mengandung parameter berapa utang dan sumber daya alam (tambang dan hutan) dikuras dan dibabat, berapa lama waktu diperlukan untuk berkuasa menghabiskan sumber daya tersebut, berapa pengorbanan rakyat dan harta benda sebagai akibat dari konsep stabilitas yang diterapkan sebagai dalih pelaksanaan pembangunan, lalu bagaimana hasil akhirnya. Belum lagi kalau melihat, betapa banyak kekayaan alam ditambang oleh perusahaan asing semasa Orba berkuasa.
Seperti kita ketahui, Presiden Soeharto memerlukan kurun waktu lebih dari tiga dekade tetapi dia jatuh setelah hasil pembangunannya tidak cukup kuat menghadapi terpaan krisis ekonomi global. Bahkan pewarisnya juga mengalami kesulitan membenahi sampai sekarang. Sebagai contoh kecil, betapa banyaknya sekolah negeri dari Sabang sampai Merauke yang dibangun semasa Orde Baru, sudah tidak layak pakai sehingga harus direnovasi dengan biaya yang tidak sedikit.
Bandingkan dengan sekolah peninggalan Hindia Belanda yang tetap gagah dan nyaman sampai puluhan tahun lamanya.
Mengenai Serangan Umum 1 Maret 1949, di samping masih simpang siur siapa penggagas dan pemimpinnya, tetapi yang jelas bangsa Indonesia pada waktu itu sudah memiliki tentara yang terorganisasi. Yang menjadi pertanyaan dan perlu pertanggung jawaban adalah, mengapa Belanda sampai bisa menyerang Ibukota Negara Yogyakarta dan sampai bisa menangkap Presiden dan Wapres beserta beberapa menterinya.
Oleh karena itu wajar apabila TNI pula yang merebut kembali setelah konsolidasi bersama segenap kekuatan yang ada. Justru yang berhak mendapat gelar pahlawan adalah masyarakat non militer yang secara sukarela mau ikut berjuang, bertaruh harta benda dan nyawanya.
Lalu, ada juga yang mengusulkan agar mantan Presiden Abdurrachman Wahid ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional. Alasannya, karena Gus Dur dianggap sebagai tokoh atau Bapak Penganjur Pluralisme. Padahal kalau diteliti lebih jauh gagasan pluralisme bukan barang baru di Indonesia karena sudah muncul dan diterapkan oleh para founding fathers negeri ini dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika.
Pengusulan agar Gus Dur ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional mungkin karena ada yang masih tidak rela ketika dia dijatuhkan karena suatu masalah kenegaraan. Padahal, bagaimanapun seseorang yang pernah menjadi Presiden RI, pasti tetap tercatat dengan tinta emas dalam sejarah perjalanan Republik Indonesia. Bahkan Presiden suatu negara pasti secara otomatis merupakan pahlawan bagi bangsanya.
Terlepas dari bagaimana proses kejatuhannya, perlu diakui bahwa seorang Presiden mempunyai kiat dan perilakunya masing-masing dengan segala kelebihan dan kekurangannya yang tidak boleh ditutup-tutupi sebagai pelajaran berharga dalam berbangsa dan bernegara.
Oleh karena itu penetapan mantan Presiden sebagai Pahlawan Nasional adalah pekerjaan yang mengada-ada karena tidak pantas, tidak logis, tidak benar dan menjadi salah kaprah.
Sebentar lagi kita akan kembali memperingati Hari Pahlawan tahun 2010. Departemen Sosial dan Team yang dibentuk Pemerintah pasti sangat sibuk dalam mempersiapkan peringatan hari yang bersejarah tersebut. Harapan kita, peri kepahlawanan yang pantas, logis dan benar, hendaknya didasarkan atas azas adil dan beradab yang didukung dengan penelitian dan bukti sejarah yang benar oleh para ahlinya. Sebab kalau tidak, azas kelatahan, balas dendam, pertemanan, balas budi dan KKN menjadi salah kaprah yang terus menerus di negeri ini.
Satu hal yang pasti, hingga saat ini bangsa Indonesia masih mempunyai pekerjaan besar, yaitu meneliti kembali kenapa Surat Perintah 11 Maret 1966 tanpa nomor dan dokumen aslinya hilang sampai sekarang?
Administrasi suatu rezim yang amburadul atau sengaja dihilangkan? Kalau ya, kenapa ini mereka lakukan? Barangkali masalah ini juga bisa menjadi bahan pertimbangan, apakah seseorang bisa disebut sebagai pahlawan atau pembangkang. Wallahu alam bis sawab.***

(pernah dimuat dalam Media Indonesia, Citizen Journalism pada tanggal 26 Oktober 2010) 

Jumat, 24 Agustus 2012

nasib monumen pembebasan irian barat

Salah satu peninggalan Presiden I RI Soekarno adalah Monumen Pembebasan Irian Barat yang terdapat di Lapangan Banteng dan diresmikan pada tanggal 18 Agustus 1963.  Monumen itu dibangun dalam rangka memperingati kembalinya Irian Barat kepangkuan Ibu Pertiwi setelah melalui perjuangan yang panjang.
Wartawan kawakan Rosihan Anwar (alm), menyebut bahwa kembalinya Irian Barat ke pangkuan Ibu Pertiwi adalah berkat perjuangan Bung Karno yang konsisten dari awal sampai berhasil dengan mencanangkan Tri Komando Rakyat (Trikora) yang dikomandokan di Jogjakarta pada tanggal 19 desember 1961.
Ketika Irian Barat resmi diserahkan ke pangkuan RI oleh PBB pada tanggal 1 Mei 1963, banyak perubahan yang dilakukan oleh  Pemerintah RI yang sah pada waktu itu. Sebagai contoh,         ibu kota Irian Barat yang pada masa kekuasaan Belanda bernama Hollandia,sempat diubah menjadi Kota Baru, lalu diubah lagi menjadi Sukarnapura sebagai penghormatan atas perjuangan Bung Karno mengutuhkan wilayah Republik Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Demikian juga puncak tertinggi di Irian Barat dinamakan Puncak Sukarno.
Tetapi ketika Suharto berkuasa,semua itu diganti; mungkin dalam rangka desukarnoisasi yang dilakukan secara sistematis selama rezim ORBA tersebut. Sukarnapura kemudian diubah menjadi Jayapura, sementara Puncak Sukarno juga diubah menjadi Puncak Jaya Wijaya. Bukan itu saja, kekayaan alam (pertambangan dan hutan)  yang terdapat di Irian Barat hanya menjadi jarahan PMA (Penanaman Modal  Asing) selama rezim ORBA berkuasa sampai sekarang, sementara rakyat Papua sebagian besar masih terbelakang hingga saat ini.
Yang memprihatinkan lagi, monumen pembebasan Irian Barat yang dulu tentunya dibuat dengan bahan yang mahal dan mutunya patut mendapat pujian, sekarang rusak parah. Monumen yang  dulunya  penuh dengan pagar dan pintu dari bahan stainless steel, sudah banyak yang  hilang. Lampu – lampunya di setiap sudut sudah hilang semua dan tidak  terawat. Menurut hemat penulis yang telah masuk Jakarta pada tahun 1976, kerusakan terjadi setelah kepindahan Terminal Lapangan Banteng dan setelah kawasan itu diubah menjadi tempat pameran tetap tahunan flora dan fauna. Lalu,siapa yang harus bertanggung jawab terhadap monumen yang seharusnya bisa menjadi salah satu ikon ibukota RI selain Monas itu?. Gubernur DKI Jakarta,  Menteri Pariwisata & Ekonomi Kreatif, Menteri Pendidikan & Kebudayaan, Sekretariat Negara atau siapa yang harus menjaga kekayaan seni , budaya, dan karya intelektual  yang bernilai sejarah itu?.
Oleh karena itu jangan heran apabila saat ini Papua terus bergejolak. Salah satu sebabnya barangkali   mungkin karena generasi penerus telah lalai dan menyalahgunakan kekuasaan yang sudah disandangnya. Wahai bangsa  Indonesia  terutama yang menjadi pemimpin, sadar dan amanahlah sebagai generasi penerus yang mewarisi pusaka dari para pendahulu, jangan sampai kita mendapat predikat hanya pandai merusaknya!. ****