Entri yang Diunggulkan
GENERASI PENDOBRAK JILID III
Harian Rakyat Merdeka terbitan 20 April 2010,memuat artikel dengan judul “Bodoh Permanen” yang ditulis oleh Arif Gunawan. Tulisan tersebut...
Tampilkan postingan dengan label pemda DKI. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label pemda DKI. Tampilkan semua postingan
Rabu, 13 Februari 2019
Indonesia Juga Darurat Sampah
Sugih Arto yang menjabat Jaksa Agung pada masa awal rezim Orde Baru, pernah menulis surat pembaca di sebuah harian ibukota. Dia mengungkap bahwa suatu ketika dipanggil Presiden Sukarno yang memberi tahu bahwa dia akan diangkat sebagai Gubernur DKI tetapi dengan tugas utama mengatasi sampah yang sudah mulai memprihatinkan kondisi ibukota saat itu. Sugih Arto menggerutu, masak seorang gurbenur kok tugasnya mengurusi sampah. Di kemudian hari, yang diangkat sebagai Gubernur DKI Jakarta ternyata Ali Sadikin. Disini terbukti bahwa hanya Sukarno dan Jokowi, Presiden RI yang sangat tanggap terhadap masalah sampah. Presiden Jokowi bahkan pernah menyampaikan masalah ini dalam suatu sidang kabinet. Juga di Festival Khatulistiwa di Pontianak, Presiden Jokowi baru-baru ini menyatakan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang mempunyai tradisi air, oleh karena itu jangan kotori sungai-sungai kita.
Indonesia memang benar-benar mengalami darurat sampah, di samping darurat korupsi dan darurat narkoba sebagaimana yang sudah terlebih dahulu dinyatakan oleh Presiden Jokowi. Cobalah mari kita perhatikan, sampah ada dimana-mana. Di darat, di laut dan sungai, bahkan di udara pun banyak sampah. Bangkai layang-layang yang nyangkut dikabel listrik dan kabel telpon adalah merupakan sampah udara yang hanya terdapat di negeri yang kurang beradab dan kurang mengerti tentang pentingnya hidup bersih dan rapi. Bahkan terkesan banyak orang yang kurang kerjaan di negeri ini, diperkotaan kok main layang-layang.
Berbagai cara telah dilakukan untuk menanggulangi sampah. Peraturan Daerah (Perda) dimana-mana telah dibuat dengan berbagai ancaman sanksinya, tetapi tidak membawa hasil karena tidak jelas siapa yang harus mengawasi dan siapa yang berhak mewasiti para pelanggar Perda itu. Beberapa elemen masyarakat termasuk unsur TNI/POLRI secara dramatik sering show bergotong-royong membersihkan sampah di sungai dan ditempat umum. Tetapi sesudah itu sampah menumpuk lagi diberbagai sudut. Kalau begini, mana ada turis asing yang mau datang kemari. Pada hal kita ingin meningkatkan jumlah wisman itu ke tanah air kita. Kecuali barangkali hanya orang-orang yang ingin menikmati kejorokan suatu bangsa saja yang mau datang kemari.
Anak saya yang mengikuti les bahasa Inggris di LIA pernah bercerita. Ada seorang native speaker yang ketika diminta kesan-kesannya tentang Indonesia, secara mengejutkan dia menyebut Indonesia sebagai tempat/tong sampah terbesar di dunia karena semua penduduknya membuang sampah sembarangan dan seenaknya. Tentunya kita semua patut malu mendengar kesan negatif orang asing itu. Lalu bagaimanakah cara kita mengatasi darurat sampah yang sudah kronis ini?
Sebenarnya, ada teladan dari Korea Selatan yang dapat kita adopsi. Ini pernah diterapkan ketika Korsel akan menjadi tuan rumah Olympiade pada tahun 1988 yang lalu. Dua tahun menjelang pelaksanaan pesta olahraga internasional itu, pemerintah Korsel mengerahkan militer untuk mengawasi para pembuang sampah terutama yang mengotori sungai besar di Seoul. Sungai itu kelak dijadikan arena pembukaan Olympiade dengan mengetengahkan arak-arakan tentara kerajaan Korsel masa lampau yang menyusuri sungai besar di Seoul. Hukuman yang keras dan denda yang diterapkan secara konsisten selama 2 tahun berturut-turut tanpa berkedip dan melibatkan tentara, akhirnya budaya bersih bisa terwujud seperti sekarang ini. Nah, akankah Indonesia meniru jejak Korsel itu dengan memanfaatkan anggota TNI/POLRI pada masa damai ini bertugas memerangi pembuang sampah dan sekaligus menjaga ketertiban di jalan raya? Peran anggota TNI/POLRI atau termasuk SATPOL PP bukannya memunguti sampah seperti dalam acara seremonial yang sering kali kita lihat, melainkan harus bisa mengawasi, menangkap dan menindak para pembuang sampah di manapun, kapanpun dan sekecil apapun termasuk puntung rokok, dan tentu saja termasuk pengawasan terhadap dirinya sendiri. Apalagi Gubernur DKI Jakarta pernah mengusulkan akan memberikan tunjangan tambahan kepada anggota TNI/POLRI yang bertugas di DKI dengan harapan dapat membantu penertiban di Ibukota agar bisa menjadi kota yang bersih, aman, rapi, teratur dan beradab.
Dan sejalan dengan usulan Pemda DKI Jakarta tersebut, penulis ingin mengusulkan penerapan Padat Karya Tunai Penanggulangan Sampah (PKTPS) seperti yang sudah dijalankan di sektor pertanian di beberapa daerah. Pelaksana padat karya tersebut adalah para pasukan pembersih sampah (pasukan Oranye) dan para pemulung yang tersebar luas di seluruh tanah-air. Mereka dengan dibantu unsur TNI/POLRI dan Satpol PP mengawasi serta menertibkan para pembuang sampah dan bekerja selama 24 jam secara terus menerus, serta mengajari masyarakat tertib sampah sejak dari rumah dengan memilah jenis sampah berdasarkan warna plastik yang berbeda-beda (empat warna seperti di Singapura dan Jepang). Adanya tata kerja yang sinergi antara Petugas Kebersihan/Pemulung dan unsur TNI/POLRI serta Satpol PP yang mendapatkan tunjangan tambahan, diharapkan akan tertanggulangi masalah darurat sampah yang sudah pada tahap sangat memalukan ini; akan meningkatkatkan daya tarik pariwisata mancanegara karena kondisi lingkungan yang indah, bersih, rapi dan teratur; mengurangi bahaya banjir karena sampah; serta memungkinkan timbulnya kepastian dan peningkatan penghasilan bagi para aktivis penanggulangan sampah (Pasukan Oranye dan Pemulung). Dan memang, inilah yang sangat penting untuk menjadi perhatian para penguasa sebagai Administrator Pemerintahan.*****(Penulis adalah pemerhati masalah sosial dan lingkungan hidup, lulusan S-2 FISIP Universitas Indonesia)
-
-
tulisan ini dimuat di koran Sindo tanggal 26 Desember 2018 dengan judul yang sama.
Selasa, 20 September 2016
Dicari : Kepala Daerah yang DJAKARTA !
Salah satu hasil reformasi yang gegap gempita di Indonesia adalah dipilihnya Kepala Daerah secara langsung oleh rakyat melalui Pemilukada. Maka berbondong-bondonglah orang yang merasa mampu dan merasa bisa (rumongso biso), mendaftar jadi calon Bupati, Walikota, Gubernur bahkan Presiden. Gambar mereka terpampang dimana-mana dengan berbagai pose dan kata-kata mutiaranya. Lucunya, rata-rata gambar mereka tampil dengan senyum menyeringai bak mempertontonkan taringnya. Anak saya yang masih mahasiswa menyindir, bahwa itu menunjukkan jangan-jangan mereka hanya siap menerkam mangsa atau barang jarahan, alias korupsi.
Mereka berebut ingin dipilih rakyat
dengan berbagai cara, kiat dan tipu dayanya. Sementara rakyat yang umumnya
belum cerdas, bingung bagaimana menentukan pilihannya. Ada kelompok masyarakat yang
secara terang-terangan mengakui bahwa mereka hanya mau memilih calon yang mau
kenal mereka, dan wujud perkenalan itu adalah uang. Siapa yang mengirim utusan
dan mau bagi-bagi uang, berarti dia mau mengenal mereka dan itulah yang layak
dipilih. Sehingga jangan heran apabila ada politik uang di negeri ini selagi
masih ada kemiskinan dan kebodohan.
Terlepas dari sisi negatif tersebut,
kiranya kepada para pemilih perlu diberikan gambaran bagaimana siasat menentukan
pilihan Kepala Daerah yang mendekati kebenaran atau ketepatan, bukan asal pilih
apalagi salah pilih.
DJAKARTA
Beberapa waktu yang lalu, Todung Mulya Lubis menulis artikel di sebuah
harian ibukota yang mengungkap pendapat Lech Walesa (Mantan Presiden Polandia)
mengenai mutu pembangunan suatu bangsa. Pada waktu itu dia sehabis memberikan Presidential Lecture di hadapan Presiden
SBY dan jajaran Kabinet Indonesia Bersatu II. Menurut Lech Walesa, mutu pembagunan
suatu bangsa itu dapat dilihat bagaimana penataan ibukotanya.Sebab, Ibukota
suatu Negara adalah cerminan kondisi suatu bangsa apakah semrawut, jorok,
amburadul atau tertib dan rapih.
Oleh karena itu dalam diskursus ini
penulis ingin mengambil nama “ibukota Negara Kita” sebagai sumber inspirasi,
bagaimana memilih Kepala Daerah yang tepat sasaran. Secara kebetulan, ibukota
RI adalah DJAKARTA (dengan ejaan lama), maka cukup tepat apabila kata itu kita
jadikan istilah umum untuk pedoman mengikuti Pemilukada di Indonesia. DJAKARTA
disini adalah merupakan akronim dari kata kunci: (D)edikasi, (J)ujur, (A)presiatif,
(K)reatif, (A)sih dan (A)suh, (R)amah, (T)egas, (T)rengginas serta (T)eladan dan (A)njangsana.
Dedikasi dimaksudkan, bahwa seseorang
yang mencalonkan diri haruslah yang mempunyai dedikasi terhadap profesinya,
untuk apa dia mencalonkan diri. Layaknya, orang yang punya dedikasi adalah
orang yang profesional dan siap mengabdikan segala jiwa raga dan pikirannya
untuk kepentingan rakyat, daerah dan Negara. Gambaran profesional seorang
kepala daerah adalah tahu segala masalah yang mendesak dan mampu mencari jalan
keluarnya serta berkarakter dan berjiwa pembelajar. Sosok pembelajar adalah
manusia yang selalu mau belajar, bertanya, dan mengamati serta mengikuti dan
mencontoh karya orang lain yang lebih baik.
Jujur adalah tuntutan karakter untuk orang yang punya dedikasi. Dia tidak
akan melakukan kecurangan walaupun punya kesempatan yang seluas-luasnya. Apresiatif adalah gambaran bahwa ia
penganut paham demokratis yang mau mendengar segala pendapat dan ide yang
berkembang dalam rangka membangun daerah dan Negara. Bahwa setiap pemimpin yang
apresiatif harus mampu menggali potensi rakyatnya untuk dikembangkan demi
kemajuan bersama.
Kreatif, bahwa seorang
pemimpin harusnya selalu kreatif dalam mengembangkan daerah dan negaranya.
Kreatifitas yang visioner sangat diperlukan, disertai kejujuran dan kecerdasan
seorang pemimpin. Sebagai contoh, perlukah sebuah patung penanda jalan harus
dibangun? Mengingat besarnya biaya dan permasalahan mendesak yang harus
dihadapi dan ditanggulangi, mungkin lebih bijaksana apabila anggaran yang ada
untuk perbaikan sekolah, prasarana, perumahan penduduk yang tidak layak,
pengerukan kali, dan lain-lain. Untuk pengingat jalan, sebaiknya cukup diinstruksikan
saja agar setiap kantor, instansi atau toko dan tempat/dunia usaha mencantumkan
juga nama jalan dan nomor serta kode posnya, maka itu lebih bermakna dibanding
membangun patung yang setiap orang mungkin tidak peduli.
Asih dan Asuh dimaksudkan
bahwa seorang pemimpin adalah yang mampu mengasihi dan membimbing rakyatnya, Mampu
mengatasi kemacetan, kesemrawutan, sampah, ledakan penduduk, ketertiban dan
keamanan adalah suatu bentuk profesionalisme yang asih dan asuh seorang Kepala
Daerah terhadap permasalahan rakyatnya. Sebaliknya, pembiaran terhadap masalah
kemacetan, banjir, kekumuhan dan polusi adalah salah satu bentuk sikap tidak
asih dan tidak asuh, kurang dedikasi dan tidak profesional.
Ramah, bahwa seorang pemimpin
haruslah selalu bersikap ramah terhadap seluruh rakyatnya tanpa dibuat-buat.
Sikap arogan dan angkuh adalah sifat yang harus dijauhi oleh seorang pemimpin
agar kepemimpinannya dapat berhasil dengan baik secara sinergis, efisien, dan
efektif.
Tegas, Trengginas, dan Teladan
(3T), adalah tiga sikap yang mutlak harus dimiliki oleh seorang pemimpin
agar pencapaian visi dan misinya dapat berhasil dengan baik. Penghargaan dan
penegakan hukum serta pemberian sanksi haruslah diterapkan secara tegas dan
konsisten melalui pengamatan dan evaluasi yang trengginas dalam arti dilakukan
secara terus menerus, menyeluruh, terukur, tepat dan cepat. Sebagai contoh,
penertiban PKL itu seharusnya dilakukan secara terus menerus dengan adil dan
bijaksana. Tidak boleh sampai meleng alias lengah dan sesudah itu
mengobrak-abrik lagi. Juga jangan sampai ada renovasi sekolah tidak bermutu
tetapi tidak terdeteksi sehingga ambruk dan membawa korban. Ada anak sekolah menyeberang
sungai tanpa jembatan, serta wilayah di pelupuk matanya banjir parah tanpa bisa
diketahui penyebabnya, padahal Gubernurnya mengantongi bejibun tanda
penghargaan dan Wagubnya pandai beriklan, adalah merupakan petunjuk bahwa
keduanya agaknya kurang blusukan dan kurang professional. Kepala Daerah
harusnya memberikan teladan bagi rakyatnya, bukan pecandu narkoba, jujur dan
tidak korup, disiplin serta kerja keras.
Dan yang terakhir adalah Anjangsana.
Bahwa seorang pemimpin yang profesional dan penuh dedikasi adalah seseorang
yang selalu rajin beranjangsana dan blusukan terhadap wilayah kerjanya. Dia
bukanlah orang yang gila hormat dan selalu duduk manis di belakang meja dengan
mengandalkan laporan ABS (Asal Bapak Senang). Rajin beranjangsana ke seluruh
pelosok wilayah kerjanya adalah ciri pemimpin yang berdedikasi tinggi sebagai administrator
pemerintahan. Melalui anjangsana langsung memungkinkan seorang pemimpin
mengetahui dengan pasti semua persoalan yang dihadapi rakyatnya. Jangan sampai
ada seorang Gubernur yang wilayahnya kecil, marah-marah gara-gara masjid yang
diresmikan, bentuknya atau pekerjaannya kurang rapi. Ini bukti bahwa Kepala
Daerah itu kurang profesional dan kurang blusukan, padahal Presiden Jokowi
sudah mengajarkan mengenai manajemen blusukan yang sangat terkenal sebagai alat
control dan pengawasan di lapangan. Bahkan pada waktu sekarang ini, masih ada
seorang Walikota tetangga Ibukota RI, membangun stadion mini yang super jelek
karena tanpa sentuhan arsitek dan oleh pelaksana yang terkesan asal-asalan.
Alhasil, pemimpin yang ideal adalah yang memiliki pribadi dan karakter
serta mutu yang DJAKARTA sebagaimana diuraikan secara garis besarnya di atas.
Semoga kita tidak salah memilih Kepala Daerah, sehingga seluruh daerah di
Indonesia bisa menjadi Singapura-Singapura yang indah, maju dan mandiri, tidak serba terbelakang seperti sekarang ini.
Sebab, pada dasarnya, Kota Administratif/Kabupaten dan Provinsi di negeri kita
ini adalah merupakan singapura-singapura yang banyak jumlahnya. Kalau saja para
Kepala Daerahnya bermutu “DJAKARTA” dan sekaliber pemimpin di Singapura, bukan
mustahil, seluruh Indonesia yang indah dan kaya raya akan tercapai. Tetapi
entah, sampai kapan ?!*****
Label:
basuki tjahja purnama,
cagub DKI,
gubernur jakarta,
indonesia,
jakarta,
kepala daerah,
Korupsi,
pemda DKI,
pemerintah,
pemimpin,
wakil rakyat
Jumat, 24 Agustus 2012
nasib monumen pembebasan irian barat
Salah satu peninggalan Presiden I RI Soekarno adalah Monumen Pembebasan Irian Barat yang terdapat di Lapangan Banteng dan diresmikan pada tanggal 18 Agustus 1963. Monumen itu dibangun dalam rangka memperingati kembalinya Irian Barat kepangkuan Ibu Pertiwi setelah melalui perjuangan yang panjang.
Wartawan kawakan Rosihan Anwar (alm), menyebut bahwa kembalinya Irian Barat ke pangkuan Ibu Pertiwi adalah berkat perjuangan Bung Karno yang konsisten dari awal sampai berhasil dengan mencanangkan Tri Komando Rakyat (Trikora) yang dikomandokan di Jogjakarta pada tanggal 19 desember 1961.
Ketika Irian Barat resmi diserahkan ke pangkuan RI oleh PBB pada tanggal 1 Mei 1963, banyak perubahan yang dilakukan oleh Pemerintah RI yang sah pada waktu itu. Sebagai contoh, ibu kota Irian Barat yang pada masa kekuasaan Belanda bernama Hollandia,sempat diubah menjadi Kota Baru, lalu diubah lagi menjadi Sukarnapura sebagai penghormatan atas perjuangan Bung Karno mengutuhkan wilayah Republik Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Demikian juga puncak tertinggi di Irian Barat dinamakan Puncak Sukarno.
Tetapi ketika Suharto berkuasa,semua itu diganti; mungkin dalam rangka desukarnoisasi yang dilakukan secara sistematis selama rezim ORBA tersebut. Sukarnapura kemudian diubah menjadi Jayapura, sementara Puncak Sukarno juga diubah menjadi Puncak Jaya Wijaya. Bukan itu saja, kekayaan alam (pertambangan dan hutan) yang terdapat di Irian Barat hanya menjadi jarahan PMA (Penanaman Modal Asing) selama rezim ORBA berkuasa sampai sekarang, sementara rakyat Papua sebagian besar masih terbelakang hingga saat ini.
Yang memprihatinkan lagi, monumen pembebasan Irian Barat yang dulu tentunya dibuat dengan bahan yang mahal dan mutunya patut mendapat pujian, sekarang rusak parah. Monumen yang dulunya penuh dengan pagar dan pintu dari bahan stainless steel, sudah banyak yang hilang. Lampu – lampunya di setiap sudut sudah hilang semua dan tidak terawat. Menurut hemat penulis yang telah masuk Jakarta pada tahun 1976, kerusakan terjadi setelah kepindahan Terminal Lapangan Banteng dan setelah kawasan itu diubah menjadi tempat pameran tetap tahunan flora dan fauna. Lalu,siapa yang harus bertanggung jawab terhadap monumen yang seharusnya bisa menjadi salah satu ikon ibukota RI selain Monas itu?. Gubernur DKI Jakarta, Menteri Pariwisata & Ekonomi Kreatif, Menteri Pendidikan & Kebudayaan, Sekretariat Negara atau siapa yang harus menjaga kekayaan seni , budaya, dan karya intelektual yang bernilai sejarah itu?.
Oleh karena itu jangan heran apabila saat ini Papua terus bergejolak. Salah satu sebabnya barangkali mungkin karena generasi penerus telah lalai dan menyalahgunakan kekuasaan yang sudah disandangnya. Wahai bangsa Indonesia terutama yang menjadi pemimpin, sadar dan amanahlah sebagai generasi penerus yang mewarisi pusaka dari para pendahulu, jangan sampai kita mendapat predikat hanya pandai merusaknya!. ****
Wartawan kawakan Rosihan Anwar (alm), menyebut bahwa kembalinya Irian Barat ke pangkuan Ibu Pertiwi adalah berkat perjuangan Bung Karno yang konsisten dari awal sampai berhasil dengan mencanangkan Tri Komando Rakyat (Trikora) yang dikomandokan di Jogjakarta pada tanggal 19 desember 1961.
Ketika Irian Barat resmi diserahkan ke pangkuan RI oleh PBB pada tanggal 1 Mei 1963, banyak perubahan yang dilakukan oleh Pemerintah RI yang sah pada waktu itu. Sebagai contoh, ibu kota Irian Barat yang pada masa kekuasaan Belanda bernama Hollandia,sempat diubah menjadi Kota Baru, lalu diubah lagi menjadi Sukarnapura sebagai penghormatan atas perjuangan Bung Karno mengutuhkan wilayah Republik Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Demikian juga puncak tertinggi di Irian Barat dinamakan Puncak Sukarno.
Tetapi ketika Suharto berkuasa,semua itu diganti; mungkin dalam rangka desukarnoisasi yang dilakukan secara sistematis selama rezim ORBA tersebut. Sukarnapura kemudian diubah menjadi Jayapura, sementara Puncak Sukarno juga diubah menjadi Puncak Jaya Wijaya. Bukan itu saja, kekayaan alam (pertambangan dan hutan) yang terdapat di Irian Barat hanya menjadi jarahan PMA (Penanaman Modal Asing) selama rezim ORBA berkuasa sampai sekarang, sementara rakyat Papua sebagian besar masih terbelakang hingga saat ini.
Yang memprihatinkan lagi, monumen pembebasan Irian Barat yang dulu tentunya dibuat dengan bahan yang mahal dan mutunya patut mendapat pujian, sekarang rusak parah. Monumen yang dulunya penuh dengan pagar dan pintu dari bahan stainless steel, sudah banyak yang hilang. Lampu – lampunya di setiap sudut sudah hilang semua dan tidak terawat. Menurut hemat penulis yang telah masuk Jakarta pada tahun 1976, kerusakan terjadi setelah kepindahan Terminal Lapangan Banteng dan setelah kawasan itu diubah menjadi tempat pameran tetap tahunan flora dan fauna. Lalu,siapa yang harus bertanggung jawab terhadap monumen yang seharusnya bisa menjadi salah satu ikon ibukota RI selain Monas itu?. Gubernur DKI Jakarta, Menteri Pariwisata & Ekonomi Kreatif, Menteri Pendidikan & Kebudayaan, Sekretariat Negara atau siapa yang harus menjaga kekayaan seni , budaya, dan karya intelektual yang bernilai sejarah itu?.
Oleh karena itu jangan heran apabila saat ini Papua terus bergejolak. Salah satu sebabnya barangkali mungkin karena generasi penerus telah lalai dan menyalahgunakan kekuasaan yang sudah disandangnya. Wahai bangsa Indonesia terutama yang menjadi pemimpin, sadar dan amanahlah sebagai generasi penerus yang mewarisi pusaka dari para pendahulu, jangan sampai kita mendapat predikat hanya pandai merusaknya!. ****
Langganan:
Komentar (Atom)
