Entri yang Diunggulkan

GENERASI PENDOBRAK JILID III

 Harian Rakyat Merdeka terbitan 20 April  2010,memuat artikel dengan judul “Bodoh Permanen” yang ditulis oleh Arif Gunawan. Tulisan tersebut...

Minggu, 24 Februari 2013

SOEHARTO PAHLAWAN NASIONAL ?

Harian Pelita edisi 12 November 2012 memuat pandangan Wasekjen Partai  Demokrat Ramadhan Pohan yang berpendapat, bahwa Presiden RI kedua HM Soeharto tak layak diangkat menjadi pahlawan nasional. Alasannya, tidak pantas karena luka dan kerusakan negeri ini terlalu parah selama 32 tahun  kekuasaan Presiden Soeharto yang dianggapnya era fasis dan otoritarian.
Untuk menanggapi pendapat tersebut, ada baiknya kita mengutip nasihat orang bijak yang menyatakan, bahwa hidup adalah pilihan dan setiap individu tidak boleh menyesali atas setiap pilihannya. Oleh karena itu, seseorang  yang telah memilih bidang pekerjaan tertentu  harus menekuninya dengan penuh amanah  dan bertanggungjawab. Apabila seseorang  memilih jadi pencuri, maka jangan menyesal apabila suatu ketika tertangkap dan dihakimi  massa serta dipenjara. Atas dasar pilihan hidup, sikap, ucapan  dan tindakan itulah seseorang akan memperoleh imbalan di dunia hingga di akhirat kelak. Imbalan itu bisa berupa pujian, penghargaan dan mungkin kutukan.
Bangsa Indonesia misalnya, dalam kehidupan ketatanegaraannya antaralain memberikan penghargaan berupa gelar Pahlawan Nasional  kepada warganya yang  atas dasar pilihan hidupnya dianggap berjasa luar biasa terhadap bangsa dan negara dengan kriteria yang telah ditetapkan. Sekarang, sebagian  khalayak ramai mewacanakan  dan mengusulkan agar mantan  Presiden Soeharto ditetapkan sebagai  Pahlawan Nasional. Mereka berpendapat, bahwa Soeharto telah berjasa kepada bangsa dan negara, oleh karena itu layak menyandang gelar tersebut. Bahkan ada yang mewacanakan agar Soeharto  diberikan gelar Pahlawan Pembangunan. Sebaliknya, tidak sedikit yang menolak pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto dengan berbagai argumentasinya. Salah satunya adalah sebagaimana dikemukakan  oleh Ramadhan Pohan seperti dikutip  di atas. Dan perdebatan  pro dan kontra akan semakin panjang  manakala  masing-masing memaksakan kehendaknya.
Pertanyaannya adalah, perlukah seorang mantan presiden dipahlawankan ? Bukankah seorang Presiden dituntut melakukan dan menjalankan tugasnya dengan menjunjung tinggi nilai dan watak kepahlawanan,  dan oleh karena itu ia adalah otomatis seorang pahlawan bagi bangsanya ? Kecuali tentunya apabila terbukti  ia ternyata pengkhianat dan banyak merugikan bangsa dan negaranya.
Mengenai kasus Soeharto memang menarik untuk diperdebatkan. Ia mendapatkan tampuk pemerintahan  setelah terjadi  peristiwa berdarah  gugurnya para Pahlawan Revolusi  yang diculik dan dibunuh oleh Gerakan 30 September (G 30 S) pada tahun 1965. PKI dituduh sebagai pelakunya dan Presiden Soekarno dianggap ikut bertanggungjawab. Apakah masuk di akal, Presiden Soekarno yang sedang  mencanangkan Ganyang Malaysia dengan  memanfaatkan momentum dekolonisasi Inggris terhadap daerah jajahannya, tega menghabisi para Jendralnya ?   Lalu, melalui SP 11 Maret 1966 atau Supersemar , Soeharto yang telah diberi jabatan strategis untuk mengamankan jalannya pemerintahan  ternyata menikam dari belakang dengan cara yang berkedok seolah-olah konstitusional. Menarik untuk dikenang kembali, bahwa setelah peristiwa G 30 S meletus, terjadi pembunuhan  dan demonstrasi massa di mana-mana yang merongrong kewibawaan dan jalannya pemerintahan  Presiden Soekarno,  pada  hal  Soeharto ada di dalam struktur pemerintahan  sebagai Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) merangkap Menteri Panglima Angkatan Darat. Anehnya lagi, Surat Perintah itu tidak bernomor dan  dokumen aslinya raib sampai sekarang. Sehingga timbul pertanyaan,  kenapa orang-orang Orde Baru sekaliber Soeharto, Sudharmono, Murdiono, Sudomo dan lain-lain tidak cermat menyimpan dokumen sepenting itu atau memang sengaja beramai-ramai memusnahkan karena ada rahasia yang harus ditutupi rapat-rapat ? Ketika masalah hilangnya dokumen itu dipersoalkan pada tahun 90-an, pemerintah ORBA  tidak berusaha mencarinya, malahan memberikan jawaban yang diamini banyak orang, yaitu : dokumen itu tidak penting, karena yang terpenting perintah itu sudah dilaksanakan dengan baik. Dan kenyataannya, pengemban  SP 11 Maret itu memang mampu berkuasa selama 32 tahun  dengan strateginya yang jitu antaralain melalui desoekarnoisasi  di segala bidang dan mengecilkan arti Pembangunan Nasional Semesta Berencana 1 Januari 1961 s/d 31 Desember 1969 yang telah dirintis oleh Presiden Soekarno. Cuci otak yang ditanamkan kepada bangsa Indonesia melalui berbagai penataran dan penyuluhan  adalah, seolah-olah hanya Soeharto yang melaksanakan pembangunan. Pada hal kalau ditelaah lebih jauh, pembangunan yang telah dilaksanakan oleh ORBA patut dipertanyakan melalui beberapa parameter untuk mengujinya. Pertama, mengenai seberapa banyak sumbangan, hutang dan sumberdaya alam telah dikeruk dan dikorbankan selama 32 tahun Soeharto berkuasa.Yang jelas, tambang tembaga , nikel, emas, minyak  dan beberapa jenis komoditas lain  dikuasai  bangsa asing  semenjak ORBA berkuasa dengan menjungkirbalikkan  politik Berdikari yang telah dicanangkan oleh Bung Karno. Ketika Presiden Soekarno berhasil ditumbangkan, langkah awal yang dilakukan rezim ORBA adalah membuat UU Penanaman Modal Asing (PMA), yang merupakan pintu masuknya bangsa asing menjarah kekayaan alam bangsa Indonesia dan susah memintanya kembali sampai sekarang.
Yang kedua adalah  mengenai  proses  pelaksanaannya ketika memanfaatkan berbagai sumberdaya tadi. Dalam hal ini, seberapa lama waktu diperlukan (32 tahun), adakah demokrasi dan keterbukaan, serta sejauh mana HAM telah dilanggar  dalam rangka mempertahankan kekuasaannya dan sejauh mana kadar korupsinya. Sepertinya ada hubungan yang sistematis antara lamanya Soeharto berkuasa dengan kontrak karya penguasaan SDA  oleh bangsa asing yang rata-rata dibuat selama 30 tahun dan kemudian diperpanjang sebelum masanya berakhir. Sehingga bisa saja kita menuduh rezim Soeharto  sebagai  antek Asing yang juga sangat  didewakan dan dihormati oleh Lee Kuan Yew dan Mahathir Mohammad  karena Soeharto-lah yang  menghentikan konfrontasi dengan Malaysia. Di kemudian hari, Singapura dan Malaysia sangat diuntungkan  secara ekonomi dan geografis selama rezim  Soeharto berkuasa.
Setelah membicarakan input sebagai modal atau masukan pembangunan dan prosesnya, yang ketiga adalah kita membicarakan masalah  output atau hasil akhirnya. Sebagaimana faktanya, Presiden Soeharto mengundurkan diri setelah dilantik menjadi presiden untuk yang ketujuh kalinya karena desakan massa rakyat yang menggugat kegagalan pembangunan. Pada akhir kekuasaannya, ekonomi ambruk  sehingga semua penggantinya mengalami  kesulitan untuk membenahi. Daya saing bangsa juga  mengalami  kemunduran di berbagai bidang. Sebagai salah satu contoh nyata adalah, betapa banyak gedung sekolah yang dibangun pada tahun 70 – 80-an pada ambruk karena mutu pembangunannya yang rendah dan sarat dengan korupsi berjamaah. Belum lagi prasarana yang lain yang dibangun selama euforia pembangunan tersebut;  banyak yang tidak bermutu dan bahkan banyak bangunan kategori cagar budaya yang dirusak dan diambrukkan, pada hal penting untuk modal pengembangan pariwisata sejarah dan arsitektur.
Walhasil, Soeharto telah memilih jalan hidupnya sendiri yang tentunya dengan kesadarannya yang tinggi pula. Banyak pengikutnya dan tidak sedikit pula yang menentang, apalagi menapaknya dengan politik belah bambu, satu diangkat dan satunya lagi diinjak sampai tidak berkutik sama sekali selama bertahun-tahun. Soeharto telah menikmati pilihan hidupnya, sementara ada kalangan kritis yang memiliki catatan sejarah yang kelam mengenai sepakterjangnya. Lalu, masihkah ada pihak-pihak yang ingin memperjuangkan Soeharto agar ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional ?. Dan kira-kira masih perlukah gelar itu seandainya  bisa dipertanyakan  langsung kepada Soeharto ?. Mungkin ada baiknya kita merenungkan suatu khotbah yang pernah penulis dengar. Konon pada hari pembalasan ada seseorang yang protes karena direkomendasikan masuk neraka. Dia protes karena selama hidup  di dunia sebagai pejabat merasa telah berbuat banyak untuk orang lain dan taat beribadah. Karena protesnya sangat kencang dan keras, maka Tuhan memberikan penjelasan : bahwa memang benar menurut catatan yang ada, amalannya memang banyak, naik haji berkali-kali, zakatnya berlimpah, ibadah puasa dan  shalatnya tidak pernah bolong. Tetapi sayang sekali, semua kebaikan itu dia peroleh dengan cara yang tidak benar karena penuh intrik, tipu daya, memfitnah tanpa dasar dan membunuh  seenaknya. Oleh karena itu, amalan yang dia rasakan sangat banyak tadi tidak cukup untuk menutupi segala kejahatannya dan  sebagai ganjarannya harus masuk neraka. Mendengar penjelasan itu, sang mantan pejabat tadi baru menyadari  dosa-dosanya.  Tetapi sayangnya, pintu  tobat sudah tertutup dan dia harus masuk neraka.
Kisah di atas kiranya dapat membimbing kita untuk berpikir dan bertindak secara jernih, jujur, adil dan bijaksana dalam menghadapi berbagai masalah, termasuk apakah masih perlu  kita mengusulkan mantan Presiden Soeharto sebagai Pahlawan Nasional  kalau pada akhirnya banyak orang yang  mengungkit semua kekurangan, kejelekan dan kejahatannya.*****








(tulisan ini pernah dikirim ke redaksi Harian Pelita)