Salah satu hasil reformasi yang gegap gempita di Indonesia adalah dipilihnya Kepala Daerah secara langsung oleh rakyat melalui Pemilukada. Maka berbondong-bondonglah orang yang merasa mampu dan merasa bisa (rumongso biso), mendaftar jadi calon Bupati, Walikota, Gubernur bahkan Presiden. Gambar mereka terpampang dimana-mana dengan berbagai pose dan kata-kata mutiaranya. Lucunya, rata-rata gambar mereka tampil dengan senyum menyeringai bak mempertontonkan taringnya. Anak saya yang masih mahasiswa menyindir, bahwa itu menunjukkan jangan-jangan mereka hanya siap menerkam mangsa atau barang jarahan, alias korupsi.
Mereka berebut ingin dipilih rakyat
dengan berbagai cara, kiat dan tipu dayanya. Sementara rakyat yang umumnya
belum cerdas, bingung bagaimana menentukan pilihannya. Ada kelompok masyarakat yang
secara terang-terangan mengakui bahwa mereka hanya mau memilih calon yang mau
kenal mereka, dan wujud perkenalan itu adalah uang. Siapa yang mengirim utusan
dan mau bagi-bagi uang, berarti dia mau mengenal mereka dan itulah yang layak
dipilih. Sehingga jangan heran apabila ada politik uang di negeri ini selagi
masih ada kemiskinan dan kebodohan.
Terlepas dari sisi negatif tersebut,
kiranya kepada para pemilih perlu diberikan gambaran bagaimana siasat menentukan
pilihan Kepala Daerah yang mendekati kebenaran atau ketepatan, bukan asal pilih
apalagi salah pilih.
DJAKARTA
Beberapa waktu yang lalu, Todung Mulya Lubis menulis artikel di sebuah
harian ibukota yang mengungkap pendapat Lech Walesa (Mantan Presiden Polandia)
mengenai mutu pembangunan suatu bangsa. Pada waktu itu dia sehabis memberikan Presidential Lecture di hadapan Presiden
SBY dan jajaran Kabinet Indonesia Bersatu II. Menurut Lech Walesa, mutu pembagunan
suatu bangsa itu dapat dilihat bagaimana penataan ibukotanya.Sebab, Ibukota
suatu Negara adalah cerminan kondisi suatu bangsa apakah semrawut, jorok,
amburadul atau tertib dan rapih.
Oleh karena itu dalam diskursus ini
penulis ingin mengambil nama “ibukota Negara Kita” sebagai sumber inspirasi,
bagaimana memilih Kepala Daerah yang tepat sasaran. Secara kebetulan, ibukota
RI adalah DJAKARTA (dengan ejaan lama), maka cukup tepat apabila kata itu kita
jadikan istilah umum untuk pedoman mengikuti Pemilukada di Indonesia. DJAKARTA
disini adalah merupakan akronim dari kata kunci: (D)edikasi, (J)ujur, (A)presiatif,
(K)reatif, (A)sih dan (A)suh, (R)amah, (T)egas, (T)rengginas serta (T)eladan dan (A)njangsana.
Dedikasi dimaksudkan, bahwa seseorang
yang mencalonkan diri haruslah yang mempunyai dedikasi terhadap profesinya,
untuk apa dia mencalonkan diri. Layaknya, orang yang punya dedikasi adalah
orang yang profesional dan siap mengabdikan segala jiwa raga dan pikirannya
untuk kepentingan rakyat, daerah dan Negara. Gambaran profesional seorang
kepala daerah adalah tahu segala masalah yang mendesak dan mampu mencari jalan
keluarnya serta berkarakter dan berjiwa pembelajar. Sosok pembelajar adalah
manusia yang selalu mau belajar, bertanya, dan mengamati serta mengikuti dan
mencontoh karya orang lain yang lebih baik.
Jujur adalah tuntutan karakter untuk orang yang punya dedikasi. Dia tidak
akan melakukan kecurangan walaupun punya kesempatan yang seluas-luasnya. Apresiatif adalah gambaran bahwa ia
penganut paham demokratis yang mau mendengar segala pendapat dan ide yang
berkembang dalam rangka membangun daerah dan Negara. Bahwa setiap pemimpin yang
apresiatif harus mampu menggali potensi rakyatnya untuk dikembangkan demi
kemajuan bersama.
Kreatif, bahwa seorang
pemimpin harusnya selalu kreatif dalam mengembangkan daerah dan negaranya.
Kreatifitas yang visioner sangat diperlukan, disertai kejujuran dan kecerdasan
seorang pemimpin. Sebagai contoh, perlukah sebuah patung penanda jalan harus
dibangun? Mengingat besarnya biaya dan permasalahan mendesak yang harus
dihadapi dan ditanggulangi, mungkin lebih bijaksana apabila anggaran yang ada
untuk perbaikan sekolah, prasarana, perumahan penduduk yang tidak layak,
pengerukan kali, dan lain-lain. Untuk pengingat jalan, sebaiknya cukup diinstruksikan
saja agar setiap kantor, instansi atau toko dan tempat/dunia usaha mencantumkan
juga nama jalan dan nomor serta kode posnya, maka itu lebih bermakna dibanding
membangun patung yang setiap orang mungkin tidak peduli.
Asih dan Asuh dimaksudkan
bahwa seorang pemimpin adalah yang mampu mengasihi dan membimbing rakyatnya, Mampu
mengatasi kemacetan, kesemrawutan, sampah, ledakan penduduk, ketertiban dan
keamanan adalah suatu bentuk profesionalisme yang asih dan asuh seorang Kepala
Daerah terhadap permasalahan rakyatnya. Sebaliknya, pembiaran terhadap masalah
kemacetan, banjir, kekumuhan dan polusi adalah salah satu bentuk sikap tidak
asih dan tidak asuh, kurang dedikasi dan tidak profesional.
Ramah, bahwa seorang pemimpin
haruslah selalu bersikap ramah terhadap seluruh rakyatnya tanpa dibuat-buat.
Sikap arogan dan angkuh adalah sifat yang harus dijauhi oleh seorang pemimpin
agar kepemimpinannya dapat berhasil dengan baik secara sinergis, efisien, dan
efektif.
Tegas, Trengginas, dan Teladan
(3T), adalah tiga sikap yang mutlak harus dimiliki oleh seorang pemimpin
agar pencapaian visi dan misinya dapat berhasil dengan baik. Penghargaan dan
penegakan hukum serta pemberian sanksi haruslah diterapkan secara tegas dan
konsisten melalui pengamatan dan evaluasi yang trengginas dalam arti dilakukan
secara terus menerus, menyeluruh, terukur, tepat dan cepat. Sebagai contoh,
penertiban PKL itu seharusnya dilakukan secara terus menerus dengan adil dan
bijaksana. Tidak boleh sampai meleng alias lengah dan sesudah itu
mengobrak-abrik lagi. Juga jangan sampai ada renovasi sekolah tidak bermutu
tetapi tidak terdeteksi sehingga ambruk dan membawa korban. Ada anak sekolah menyeberang
sungai tanpa jembatan, serta wilayah di pelupuk matanya banjir parah tanpa bisa
diketahui penyebabnya, padahal Gubernurnya mengantongi bejibun tanda
penghargaan dan Wagubnya pandai beriklan, adalah merupakan petunjuk bahwa
keduanya agaknya kurang blusukan dan kurang professional. Kepala Daerah
harusnya memberikan teladan bagi rakyatnya, bukan pecandu narkoba, jujur dan
tidak korup, disiplin serta kerja keras.
Dan yang terakhir adalah Anjangsana.
Bahwa seorang pemimpin yang profesional dan penuh dedikasi adalah seseorang
yang selalu rajin beranjangsana dan blusukan terhadap wilayah kerjanya. Dia
bukanlah orang yang gila hormat dan selalu duduk manis di belakang meja dengan
mengandalkan laporan ABS (Asal Bapak Senang). Rajin beranjangsana ke seluruh
pelosok wilayah kerjanya adalah ciri pemimpin yang berdedikasi tinggi sebagai administrator
pemerintahan. Melalui anjangsana langsung memungkinkan seorang pemimpin
mengetahui dengan pasti semua persoalan yang dihadapi rakyatnya. Jangan sampai
ada seorang Gubernur yang wilayahnya kecil, marah-marah gara-gara masjid yang
diresmikan, bentuknya atau pekerjaannya kurang rapi. Ini bukti bahwa Kepala
Daerah itu kurang profesional dan kurang blusukan, padahal Presiden Jokowi
sudah mengajarkan mengenai manajemen blusukan yang sangat terkenal sebagai alat
control dan pengawasan di lapangan. Bahkan pada waktu sekarang ini, masih ada
seorang Walikota tetangga Ibukota RI, membangun stadion mini yang super jelek
karena tanpa sentuhan arsitek dan oleh pelaksana yang terkesan asal-asalan.
Alhasil, pemimpin yang ideal adalah yang memiliki pribadi dan karakter
serta mutu yang DJAKARTA sebagaimana diuraikan secara garis besarnya di atas.
Semoga kita tidak salah memilih Kepala Daerah, sehingga seluruh daerah di
Indonesia bisa menjadi Singapura-Singapura yang indah, maju dan mandiri, tidak serba terbelakang seperti sekarang ini.
Sebab, pada dasarnya, Kota Administratif/Kabupaten dan Provinsi di negeri kita
ini adalah merupakan singapura-singapura yang banyak jumlahnya. Kalau saja para
Kepala Daerahnya bermutu “DJAKARTA” dan sekaliber pemimpin di Singapura, bukan
mustahil, seluruh Indonesia yang indah dan kaya raya akan tercapai. Tetapi
entah, sampai kapan ?!*****