Oleh
: Muhammad Sadji
Menjelang Pemilu Legislatif dan Pemilihan
Presiden/Wapres pada tahun 2014 sampai sekarang ini, marak beredar sticker dan
kaos bergambar mantan presiden Soeharto mengangkat salah satu tangannya dengan
seolah-olah berucap :” Piye kabare, enak
jamanku, toh?”. Atau ada lagi :” Jamanku harga bensin Rp 700,-, jamanmu piro
le?”. Sepertinya keluarga Soeharto dan
para pendukungnya yang banyak
dananya ingin menghidupkan kembali nostalgia Soeharto yang pernah berkuasa
selama 32 tahun dan masih tidak rela ketika dijatuhkan oleh massa rakyat pada
tahun 1998 yang lalu. Pada hal, sejatinya
Soeharto tidak pernah mengatakan kalimat seperti itu semasa hidupnya. Sehingga,
kalimat itu sebenarnya hanya berhasil mempermalukan dua hal. Yang pertama,
rezim setelah reformasi yang tidak kunjung berhasil membuat Indonesia menjadi
lebih baik. Pada hal keterpurukan Indonesia seperti sekarang ini adalah
merupakan sebab – akibat dari peninggalan rezim Soeharto (ORDE BARU) yang
tumbang pada tahun 1998. Yang kedua, mempermalukan almarhum Soeharto sendiri
karena dibuat seolah-olah arwahnya masih gentayangan dan mengeluarkan
kalimat-kalimat seperti itu karena masih tidak rela sewaktu dijatuhkan massa
rakyat pada tahun 1998 itu. Kalau memang
ingin mengangkat nama Soeharto ,sebaiknya carilah kata-kata bijaknya yang
pernah dia ucapkan semasa hidupnya. Kata-kata bijak itulah yang diharapkan bisa menjadi pedoman bagi generasi berikutnya,
bukan kata-kata ledekan atau sindiran yang sebenarnya sama sekali tidak pernah ia ucapkan.
Pada hal kalau ditelaah lebih dalam dan
jujur, pembangunan ORBA selama 32 tahun sebenarnya tidak berhasil. Bukti yang
membenarkan adalah ketika terjadi krisis ekonomi pada tahun 1997/1998 dan
rakyat menuntut tanggung-jawab secara jalanan karena saluran resminya mampet.
Pertumbuhan ekonomi sebesar 7 % pertahun
yang sering dibangga-banggakan ternyata tidak cukup tangguh untuk menanggulangi
masa krisis dan hanya berhasil mengantarkan bangsa Indonesia tetap tinggal di
landasan, bukannya berhasil memasuki tahap tinggal landas. Apalagi kalau dihubungkan dengan teori pembangunan berdasarkan rumusan input,
proses, output (input + proses = output), maka dapat diungkit kembali
berapa input dihabiskan yang meliputi
kekayaan alam tambang dan hutan, ,
pinjaman, dan bantuan asing, prosesnya yang memerlukan waktu selama 32 tahun
dengan penuh represif dan otoriter , mau menang sendiri, sementara outputnya
setelah 32 tahun menghasilkan Indonesia yang hanya kocar-kacir setelah dilanda
krisis ekonomi. Itu semua fakta yang seharusnya
tidak boleh kita lupakan sebagai pengetahuan sejarah. Sebab, sewaktu
rezim ORBA berkuasa pada tahun 1967, mewarisi kekayaan alam yang masih
tersimpan dengan baik. Kekayaan alam itu kemudian terkapling-kapling oleh
negara asing setelah kebijakan PMA (Penanaman Modal Asing) oleh rezim ORBA.
Kekayaan alam itu masih dikangkangi pihak asing sampai sekarang dan kita
dibuatnya tidak berkutik karena terbelenggu dalam ketergantungan dari segala segi
kehidupan berbangsa dan bernegara.
Supersemar
Ada hal menarik setiap kali kita
memasuki bulan Maret. Bagi yang masih
Soehartois, selalu kembali mengungkit peristiwa berdarah G 30 S dan sumpah
serapah terhadap PKI serta menyanjung Soeharto dengan segala propagandanya.
Mereka membuat garis pemisah antara yang dianggap pro PKI dan yang anti PKI.
Mereka menganggap bahwa semua yang anti atau kritis terhadap Soeharto diidentikkan
dengan PKI atau dicap berusaha hendak membangkitksn kembali PKI dengan berbagai kedoknya (Anton
Tabah, Republika, 10 Maret 2015). Mereka sangat mengagungkan Supersemar tetapi
sama sekali mengabaikan kemisteriannya yang masih menghantui bangsa Indonesia sampai sekarang. Surat
Perintah itu sendiri sangat misterius karena tidak bernomor, dan yang
diserahkan ke Arsip Nasional semuanya dinyatakan palsu. Lucunya, semuanya
berbeda dan diserahkan oleh pihak atau lembaga yang berbeda-beda. Pada tahun
1990-an pernah dipertanyakan keberadaan Supersemar itu yang aslinya oleh
berbagai pihak. Anehnya, jawaban yang diberikan berbeda-beda oleh penggede ORDE
BARU yang berbeda-beda dan selalu menunjuk seseorang yang diduga menyimpan,
tetapi juga berbeda-beda dan khalayak dibiarkan supaya menebak-nebak
sendiri-sendiri. Bahkan ada jawaban yang dikembangkan pada waktu itu :”
Supersemar asli itu tidak penting, yang terpenting bahwa surat perintah itu
sudah dilaksanakan dengan baik oleh pengembannya, Jenderal Soeharto”. Lebih
misterius lagi karena Soeharto sendiri tidak pernah mengeluarkan pernyataan,
sementara AH Nasution, Sudharmono,
Moerdiono, Sudomo, Amir Machmud dan banyak lagi mengeluarkan pernyataan yang
berbeda-beda mengenai keberadaan Supersemar aslinya. Sayangnya, Basuki Rachmat
meninggal mendadak terlalu cepat di usianya yang relatif masih muda dan buku
biografi M.Jusuf sudah diedit kembali sebelum terbit oleh sebuah tim yang
antaralain ada Jusuf Kalla-nya sehingga besar kemungkinan ada bagian sangat
penting yang dihilangkan.
Sehingga timbul pertanyaan, kenapa
dimisteriuskan dan tidak ada yang berusaha untuk mencarinya, terlebih sewaktu
Soeharto masih hidup dan masih menjabat sebagai presiden. Inilah suatu bukti
begitu kuat, betapa seram dan misteriusnya Soeharto sampa-sampai tidak ada
seorangpun yang berani mempertanyakan kepadanya. Bahkan SBY pun sempat
mengagungkan tanggal 11 Maret yang mungkin dianggapnya keramat dan bukan suatu
kebetulan belaka. Bukti itu antaralain, ketika dia mengundurkan diri dari
Kabinet Megawati karena mau mencalonkan diri sebagai Capres pada tahun 2004.
Peristiwa lain, ketika dia meresmikan Universitas Pertahanan beberapa tahun yang lalu juga memilih tanggal
11 Maret.
Oleh karena itu yang benar sekarang ini
bukan pernyataan :” Piye kabare, enak jamanku tho ?”, tetapi yang tepat adalah
:” Piye kabare le, kowe goleki Supersemar to...?”. Yang artinya :” Apa
kabarnya, kalian semua mencari Supersemar to...?”. Dan jawabnya, entahlah
sampai kapan, barangkali sampai lebaran monyet pun tidak akan ketemu karena
mungkin adanya unsur persekongkolan kebohongan, keculasan, kecurangan,
kejahatan dan kudeta dibalik itu yang
terpaksa harus ditutup-tutupi terus entah sampai kapan dan oleh siapa.
Pada hal, setiap pemimpin sejati itu
harus mampu menularkan kebaikan dan kejujuran kepada rakyatnya. Yang mampu
membangun persatuan dan kesatuan serta melindungi seluruh rakyatnya. Bukannya
yang mampu menebarkan kebohongan, teror, adu domba dan mengembangkan
politik belah bambu satu diangkat tetapi
satunya lagi diinjak, apalagi meninggalkan teka-teki yang tak bertepi kepada rakyatnya. Dari kasus misteriusnya
Supersemar, dokumen negara yang sangat penting ini, barangkali tidak berlebihan
apabila dijadikan tolok-ukur
pertimbangan apakah seseorang layak disebut pahlawan atau hanya sebagai
pecundang.*****