Entri yang Diunggulkan

GENERASI PENDOBRAK JILID III

 Harian Rakyat Merdeka terbitan 20 April  2010,memuat artikel dengan judul “Bodoh Permanen” yang ditulis oleh Arif Gunawan. Tulisan tersebut...

Tampilkan postingan dengan label BUMN. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label BUMN. Tampilkan semua postingan

Senin, 09 November 2020

Peranan Komisaris BUMN

 Pada tahun 1994 penulis pernah mengikuti Kursus Kader Pimpinan (Suspi) Migas selama tiga bulan. Ada materi kuliah yang sangat membekas bagi penulis karena penting dalam tata kelola perusahaan yang baik. Pertama, oleh Ir. Palgunadi. Dia pensiunan Pindad yang kemudian disalurkan ke PT Astra. Ketika ditempatkan di bagian pengembangan usaha, dia setiap tahun mencari 100 orang mahasiswa terbaik di seluruh Indonesia maupun yang ada di luar negeri. Seratus orang tersebut umumnya di rangking 10 terbaik dari berbagai jurusan sesuai rencana usaha yang akan dikembangkan ke depan. Maka tidak heran apabila PT Astra kemudian maju pesat seperti sekarang ini. Yang kedua, Ir. Kuntoro Mangkusubroto yang memberikan materi pengalaman restrukturisasi di PT Timah. Setelah melakukan riset dan penelitian, kenapa PT Timah waktu itu hancur, dia berkesimpulan bahwa karyawan terlalu banyak dan umumnya tidak profesional. Ketika presentasi di hadapan Presiden Soeharto, dia kemukakan bahwa karyawan PT Timah yang berjumlah 15.000 orang harus dipangkas menjadi 7.000 atau 8.000 orang saja. Nasihat Presiden, kita harus hati – hati karena dulu di PT Timah banyak ditempatkan ex ABRI untuk mengamankan dari unsur – unsur yang ditengarai terlibat G30S/PKI. Dan restrukturisasi PT Timah jalan terus dengan konskuensi penentangan yang luar biasa dari para karyawan yang tidak setuju.

Seorang teman pernah menyampaikan materi kuliah di S2 Magister Manajemen, ada teori yang menyatakan bahwa apabila suatu perusahaan salah dalam merekrut SDM, akan dirasakan dua puluh enam tahun kemudian, makin maju atau malah mundur. Ternyata, Indonesia memiliki setidaknya 140 perusahaan BUMN. Selama ini BUMN dikenal sebagai Badan Usaha Milik Negara atau perusahaan pelat merah. Dulu, BUMN sering dijargonkan atau diimpikan sebagai sokoguru perekonomian atau agen pembangunan di Indonesia. Kalau saja impian itu benar karena langkahnya yang benar, bukan main masa depan Indonesia. Seperti Korea Selatan, kemajuannya karena dimotori oleh BUMN-nya. Ketika Park Chung Hee mengambil alih kekuasaan pada tahun 1961dan berkuasa sampai 1979, yang dibenahi pertama kali adalah masalah pendidikan. Dia mencanangkan, bahwa pendidikan harus menghasilkan SDM yang bisa menjadi agen pembangunan, bukan menjadi beban pembangunan. Maka moto pendidikan adalah harus berhasil mencetak SDM yang jujur, kreatif, inovatif dan pekerja keras. Sistem dan prasarana pendidikan dia benahi secara besar – beasaran dan terarah. Pendidikan berdasarkan link and match dia terapkan sesuai kebutuhan perencanaan pembangunan. Karena terencana dengan baik, maka semua lulusan pasti akan terserap oleh lapangan kerja yang sudah dipersiapkan. Bukannya ngawur asal ada perguruan tinggi dengan prodi semau – maunya dan sesudah itu membludak para penganggur dimana – mana. Dari sistem pendidikan yang telah dibenahi itulah yang kemudian mengisi lapangan kerja di BUMN, maka majulah Korsel seperti sekarang ini dan akan semakin maju dalam segala bidang.

Lalu bagaimana dengan Indonesia? Suka atau tidak suka, kenyataan menunjukkan, bahwa BUMN di Indonesia berubah kepanjangannya menjadi Bancaan untuk Maling dan Nepotisme. Dari kasus PT Timah pada masa Orde Baru dan kasus mutakhir, misalnya Garuda Indonesia adalah suatu bukti nyata. BUMN adalah ajang nepotisme yang empuk dan menggiurkan dari pengisian pegawai rendah sampai tingkat pucaknya, tidak lepas dari cara – cara nepotisme dengan berbagai modus dan motivasinya. Padahal BUMN juga dilengkapi dengan tim Komisaris yang seharusnya berfungsi sebagai pembina dan penasihat perusahaan yang bersangkutan. Tetapi kenapa bisa sampai terjadi seperti PT Garuda Indonesiai itu dan beberapa BUMN yang lain. Lalu apa saja kerja para Komisaris di BUMN tersebut? Ada lagi contoh. Bagi yang sering menggunakan jasa angkutan KRL yang melintasi Stasiun KA Manggarai, mungkin tidak banyak yang tanggap kenapa banyak besi – besi konstruksi proyek yang sedang dibangun, kok banyak yang sudah kelihatan berkarat. Timbul pertanyaan, apakah para Dewan Komisaris BUMN itu tahu dan mengerti lalu mempertanyakan benarkah mutu dan spesifikasi besi yang digunakan. Disini bisa terjadi hubungan korelasi antara besi yang mudah berkarat atau korosif tadi, dengan watak – watak korupsi. Sebagai perbandingan, besi – besi yang pernah lama terpancang sewaktu Gurbenur Sutiyoso dulu, tidak ada yang berkarat walaupun terbuka telanjang selama bertahun – tahun.

Mengenai peran Komisaris perusahaan, penulis pernah mengalami langsung. Bagian atau biro tempat penulis suatu ketika mengajukan impor produk pada hal perusahaan juga mampu memproduksi dengan mutu dan fungsi yang sama. Penulis dipanggil dan ditanya apakah produk yang diajukan impor ada padanannya dengan produksi perusahaan. Penulis jawab ada, dan jelaskan bahwa konsumennya minta yang produk impor. Setelah mengetahui bahwa pabrik masih under capacity (kapasitas tidak penuh), maka Dewan Komisaris menyurati Direksi agar meningkatkan promosi disertai kampanye yang bersungguh-sungguh dalam rangka berusaha  meningkatkan kapasitas produksi pabrik.

Disinilah letak pentingnya peran Komisaris BUMN yang dituntut profesional dan tanggap terhadap jatuh – bangun dan tumbuh – kembang perusahaan. Bukan cuma mahir berhura – hura bersama para direksi yang mungkin juga belum tentu profesional apalagi kalau pengangkatannya berbau nepotisme. Yang fatal lagi, kalau penunjukan para komisaris juga berbau ada indikasi nepotisme karena hanya atas dasar berbagi – bagi kekuasaan atau balas jasa, atau karena ada kedekatan secara pribadi dengan yang mengangkat atau yang menunjuk. Sudah saatnya perlunya dihindari pengangkatan SDM di BUMN (apalagi sekelas pimpinan dan komisarisnya) hanya bermutu sebagai pendompleng, ada tetapi sebenarnya tidak ada karena tidak berfungsi sesuai harapan.  Tahun 2045 adalah merupakan tahun keseratus NKRI. Impian sebagai negara besar bisa terwujud, antaralain ditentukan oleh sejauh mana mutu BUMN-nya. Dalam hal ini, mutu SDM di semua BUMN dari tingkat bawah sampai tingkat puncak dan apalagi para komisarisnya dituntut untuk bermutu, profesional dan berdedikasi tinggi serta penuh integritas.*****

Selasa, 17 Desember 2019

Metode Screening Jaman Orde Baru

gambar: pexels.com Penulis dilahirkan pada tahun 1950. Oleh karena itu mengalami masa pemerintahan Presiden Soekarno, Orde Baru Soeharto, dan masa Reformasi. Karena diterima bekerja di BUMN selepas SLTA, maka penulis menikmati masa kerja selama 36 tahun. ketika pensiun pada tahun 2006. Mulai masuk kerja pada tahun 1970, maka ada catatatan penting selama masa itu karena kita baru saja berhasil menumpas PKI setelah terjadinya peristiwa berdarah G30S tahun 1965. Rezim Orba melakukan pembersihan besar-besaran terhadap unsur-unsur yang dituduh terlibat langsung maupun yang tidak langsung dengan peristiwa G30S. Setiap pencari kerja, selain wajib mengurus Surat Berkelakuan Baik di Kepolisian, juga wajib membuat Surat Bersih Diri, tidak terlibat dengan Peristiwa G30S. Sebutan pegawai BUMN kemudian diubah menjadi karyawan karena dikaitkan dengan Golongan Karya yang bukan merupakan organisasi politik. Setiap pegawai negeri dan pegawai BUMN dinyatakan tergabung ke dalam Korps Pegawai Negeri (KORPRI) yang aspirasi politiknya harus ke Golkar, bukan ke suatu partai politik manapun. Agar KORPRI pola pikir dan pola politiknya tidak terombang-ambing demi stabilitas dan suksesnya pembangunan nasional, dibentuklah metode screening oleh Badan atau Lembaga Litsus (Penelitian Khusus) yang ada di setiap kantor/instansi pemerintah dan BUMN. Selama menjadi karyawan BUMN dan tidak pernah berpindah-pindah, penulis mengalami setidaknya tiga kali screening. Yang pertama, ketika mulai masuk kerja pada tahun 1970. Yang kedua, ketika masuk pendidikan kedinasan pada tahun 1973, dan terakhir, ketika mau mengikuti Penataran Kewaspadan Nasional (Tarpadnas) paa tahun 1994. Ada kenangan yang membekas dari proses screening ini. Soal yang harus dijawab berbeda tergantung pendidikan dan perkembangan situasi dan kondisi. Pada waktu mulai masuk, pewawancaranya adalah tentara berpangkat mayor yang berstatus Kepala Sekuriti. Penulis sempat dapat pujian karena semua penulis jawab dengan panjang lebar seperti menjawab soal ujian di sekolah. Ketika ditanya kenapa tahu jawaban tentang PKI dan komunis, penulis jelaskan bahwa sewaktu SMP pernah mendapat pelajaran civics atau Kewarganegaraan. Sehingga dia memaklumi semua jawaban penulis. Kamu bagus, kamu jawab semua apa yang kamu tahu, Kemarin, katanya selanjutnya ,ada seorang Kepala Seksi yang saya marahi karena selalu menjawab “tidak tahu.” Yang terakhir, lebih terkesan lagi karena penulis harus menghadapi wawancara sampai 2 hari, padahal teman-teman cukup 3-4 jam saja. Pasalnya, penulis jawab semua pertanyaan dengan panjang lebar. Pertanyaan itu antara lain: apakah saudara setuju dengan demokrasi seperti di Amerika Serikat diterapkan di Indonesia; apakah ada teman saudara yang terlibat G30S/PKI, dan sebutkan namanya. Justru karena dijawab semua, penulis harus berdiskusi selama 2 hari. Karena tidak merasa terlibat dan tidak bersalah, ya tidak perlu takut. Sebenarnya, metode screening tersebut adalah model teror agar para karyawan takut dan cari aman saja untuk selalu mendukung pemerintah. Apabila ada orang yang terlibat G30S dan berhasil menghilangkan jejak, pasti akan bisa diketahui karena juga ditanyakan silsilah keluarganya secara lengkap dan dimana tinggalnya. Kalau aa yang meninggal dunia, ditanyakan di mana dan karena apa. Sejarah kita tinggal atau domisili juga diminta diungkap secara lengkap kurun waktu tinggal dan dimana saja. Dengan metode screening ini, banyak kasus terungkap dan ada yang kemudian dipecat atau dihambat karirnya sejauh mana kadar keterlibatannya. Pada waktu itu, musuh bersama telah ditetapkan yaitu komunis yang disebut unsur ekstrim kiri. Tetapi ketika berkembang adanya aksi-aksi unsur agama yang radikal khususnya penganut Islam, maka timbul istilah baru ”ekstrim kanan” yang muncul pada tahun 80-an. Untuk mengamankan jalannya pemerintahan dan pembangunan, rezim ORBA merumuskan kewaspadaan yang harus ditangkal sejak dini terhadap adanya Ancaman, Tantangan, Hambatan, dan Gangguan (ATHG) dari unsur ekstrim kiri maupun ekstrim kanan. Caranya melalui screening yang terbukti efektif karena berhasil mengantarkan rezim ORBA berkuasa selama 32 tahun. Setelah reformasi, Lembaga dan proses screening ini ditiadakan sesuai tuntutan dalam demokratisasi. Partai politik yang tadinya berhasil disederhanakan oleh rezim ORBA, berubah menjadi multi partai yang jumlahnya melebihi 10 parpol. Bahkan anak-anak Soeharto saja melanggar beleid ayahnya karena ikut-ikutan membuat partai baru. Yang menarik adalah, isu PKI/Komunis muncul lagi khususnya menjelang Pemilu 2014 dan 2019. Agaknya, dengan sasaran menghadang laju PDIP dengan menggunakan isu PKI/Komunis, mereka berharap PDIP dan setiap langkah PDIP bisa memudar. Anehnya, malah ekstrim kanan makin menghebat dengan berbagai strategi dan langkahnya. Mereka ceramah di masjid-masjid dan berbagai forum lainnya. Penulis sendiri sering mengalami di berbagai masjid di kota-kota dan komplek perumahan serta kantor BUMN. Bahkan rektor suatu perguruan tinggi negeri sewaktu pidato wisuda pernah berkata: “Disini boleh menuntut ilmu siapa saja dari berbagai kalangan dari Sabang-Merauke. Yang tidak boleh adalah orang komunis.” Pertanyaan dalam batin waktu itu: “ Bagaimana kalau mahasiswa China, Vietnam, Korea Utara, Rusia, atau Kuba bermaksud kuliah di tempatmu, apa tidak boleh?.” Maklum, dalam pidatonya dia buka seperti seorang Ustaz/Da’i. Lalu, dalam menghadapi kelompok radikal dan ekstrim ini, perlukah menerapkan metode screening kembali?. Ancaman itu nyata dan korban terus berjatuhan secara bergelombang. Indikasi terhadap pengaruh itu ada, yaitu hengkangnya 1000 perusahaan pada tahun 2018 ke negara lain, karena sikon yang dianggap tidak aman. Dalam hal ini, resep kita adalah, mencegah lebih baik daripada menindak atau menumpas!.***** (tulisan ini pernah dikirim ke Media Indonesia tanggal 22 November 2019, namun belum dimuat)