Entri yang Diunggulkan
GENERASI PENDOBRAK JILID III
Harian Rakyat Merdeka terbitan 20 April 2010,memuat artikel dengan judul “Bodoh Permanen” yang ditulis oleh Arif Gunawan. Tulisan tersebut...
Minggu, 25 Mei 2025
Lia dan Si Gembul
Minggu, 20 April 2025
Pak Guru Imam Subekti
Selasa, 07 Januari 2025
Pengalaman Mengikuti Lomba Menulis Surat
![]() |
| ilustrasi menulis surat. (sumber: Castorly Stock di Pexels) |
Pada awal tahun 2024 saya mengikuti lomba menulis surat. Temanya “Lomba Menulis Surat Kepada Sahabat”. Untuk melawan lupa dan menunda kepikunan, saya memang selalu berusaha menulis apa saja, juga mencoba mengikuti berbagai lomba menulis. Karena lomba itu iumumkan di media sosial, tentu saja pesertanya membludak. Dan ketika pengumuman, naskah surat saya termasuk yang terpilih untuk dibukukan. Juga disebut adanya tiga orang penulis surat yang dinyatakan terbaik sebagai pemenang.
Pada bulan Maret 2024 saya mengirim uang untuk memesan buku sebanyak tiga eksemplar senilai Rp 180.000,- Dapat diduga, peserta yang masuk nominasi untuk dibukukan pasti memesan buku yang berjudul “Surat Untuk Sahabat” dan sudah dinyatakan terdiri atas 300 halaman. Dan lucunya, buku yang saya pesan itu tak kunjung terkirim sampai sekarang dan panitia berikut penerbitnya susah untuk dihubungi. Pernah sempat tertemukan, penerbit itu beralamat di Lampung tetapi tidak bisa dihubungi dan malah kemudian menghilang. Karena naskah surat itu saya buat sesuai fakta, pengalaman dan kejadian sebenarnya, maka bagi saya,itu termasuk dokumen sejarah pribadi yang bisa menjadi bagian dari biografi saya. Oleh karena itu, perlu saya ungkap surat pribadi itu secara terbuka, dan inilah bunyi selengkapnya.
Buat sahabatku Afandi Zuhri di Kendal
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Sahabatku nan jauh,
Seperti pada pembicaraan kita via HP beberapa hari yang lalu, bahwa keadaanku di Bekasi sekeluarga baik-baik saja. Semoga sahabatku sekeluarga di Kendal demikian juga hendaknya. Saya kok tiba-tiba ingin menelpon sahabat. Dan ternyata sahabat baru pulang dari Malang karena Awuk, adik sahabat telah berpulang ke rahmatullah pada hari Sabtu tanggal 17 Februari 2024 yang lalu. Saya turut menyampaikan duka cita yang mendalam, semoga amal ibadah almarhumah Awuk diterima Allah subhanallahu taala.
Dalam usia di atas 70 tahun ini kegiatanku sehari-hari antaralain berbenah dan merapikan barang-barang koleksiku berupa suratkabar alias koran, majalah, buku, benda filateli dan numismatik serta surat-surat dari para sahabat dan kenalan. Beberapa waktu yang lalu, saya kebetulan menemukan surat sahabat beserta foto hitam putih. Saya jadi teringat, semenjak kepindahan keluarga sahabat ke Malang pada tahun 60-an kita belum pernah ketemu langsung sampai sekarang ini. Berkali-kali ingin merancang pertemuan antara saya, sahabat dan Mulyono sahabat kita yang juga pindah ke Sidayu, tidak pernah terlaksana.
Saya sangat kecewa dan terharu, karena Mulyono yang sempat kita pertanyakan karena sulit dihubungi, ternyata sudah lebih dulu berpulang ke rahmatullah. Saya sempat berkunjung ke rumahnya beberapa waktu yang lalu dan ketemu semua keluarganya. Mari kita bacakan surat Al Fatihah untuk almarhum Mulyono sahabat kita agar amal ibadah dan kebaikannya diterima Allah subhanahu wataala dan mendapat ganjaran pahala yang setimpal. Sungguh, saya baru sempat melihat raut wajah sahabat ketika pembicaraan via w/a beberapa hari yang lalu itu. Untuk kenangan, maka saya menulis surat ini semoga sahabat senang membacanya. Karena terakhir ini, saya selalu teringat semasa kanak-kanak ketika tinggal di Benjeng, sebuah desa setingkat kecamatan di wilayah Kabupaten Gresik. Sahabat pasti masih ingat, sebagai teman bertetangga kita selalu bermain bersama, bertiga bersama Mulyono. Sahabat yang setahun lebih tua, masuk sekolah duluan di Sekolah Dasar Negeri Benjeng. Kita ingat, kelas satu dan kelas dua waktu itu gedung sekolahnya berada di kampung Benjeng Barat. Kalau rindu mau bermain, saya selalu sudah menunggu di rumah sahabat dan sahabat kemudian selalu mengajari saya dengan menirukan bak seorang guru. Lucunya, saya selalu menurut saja. “Ji, saya tadi diajari berhitung, ini angka dan cara menghitungnya bisa pakai jari. Nanti harus pakai potongan batang kayu yang harus dibuat kecil-kecil sepanjang jari telunjuk tangan”, sahabat menjelaskan dengan meyakinkan dan saya selalu mengikutinya. Begitu juga ketika sahabat mengajarkan huruf dan menyanyi lagu Burung Kutilang, saya tirukan dengan bersungguh-sungguh. Karena hampir setiap hari bermain sekolah-sekolahan dengan sahabat begitu sepulang sekolah itulah, alhamdulillah saya menjadi terbiasa menyukai belajar sejak duduk di kelas satu Sekolah Dasar.
Ternyata bermain sekolah-sekolahan itu saya rasakan sebagai pengganti pendidikan tingkat Taman Kanak-kanak yang memang belum ada di desa kita waktu itu. Terimakasih sahabat, ini betul-betul kenangan indah dan berharga yang saya peroleh bersama sahabat dan selalu saya ceritakan pengalaman hidup ini kepada siapa saja. Itu adalah amal baik sahabat yang semoga mendapat pahala yang sepadan dari Allah subhanahullah taala . Sungguh saya telah banyak memperoleh manfaat keberuntungan karena di kemudian hari saya sempat mendapatkan pendidikan gratis dari perusahaan tempat saya mengabdi untuk jenjang D3 dan S1 Sarjana Ekonomi.
Kalau sahabat mengalami pindah ke Malang lalu bekerja dan menetap di Kendal, saya waktu naik ke kelas enam pindah ke Gresik kota sampai menyelesaikan SLTA. Setamat STM Kimia Industri saya diterima bekerja di sebuah BUMN, PT Pertamina (Persero), dan sempat menempuh pendidikan tugas belajar di Akamigas (Akademi Minyak dan Gas Bumi) Cepu pada tahun 1973 sampai dengan 1975 dan kemudian menetap di Bekasi, Jawa Barat hingga sekarang ini karena penempatan bekerja di Jakarta sejak tahun 1976. Sesekali sempat pulang kampung ke Benjeng karena masih punya sanak famili di sana. Benjeng sekarang sudah sangat berubah. Sekolah kita di Benjeng Barat yang dibangun Belanda dengan konstruksi besi dan tembok sudah dirobohkan. Seluruh kelas satu sampai kelas enam sudah terpusat di Benjeng Timur. Sekolah kita yang aslinya dibangun oleh Tuan Jepang dari bahan kayu masih kokoh berdiri. Masjid Jami Benjeng tempat kita mengaji Al Qur’an sehabis shalat Maghrib masih ada tetapi sudah dirombak. Telaga tempat kita mandi dan mengambil air wudhu sudah tidak ada dan rata sebagai daratan. Burung elang yang suka menyambar anak ayam dan sering diteriakin orang-orang dengan kata-kata “ulung….ulung, ulung….ulung!”, serta burung gelatik dan burung hantu, kata teman dan para orangtua sudah tidak ada lagi berkeliaran di desa kita seperti semasa kita kanak-kanak dulu. Benjeng sekarang sangat ramai karena penduduk semakin banyak. Sawah dan tambak ikan tempat kita dulu dan teman-teman suka buang air besar, sudah tidak tampak lagi dan banyak berubah menjadi perkampungan.
Mungkin surat saya cukup sekian dulu sahabat, lain waktu kita sambung lagi. Tolong segera dibalas karena saya ingin membandingkan tulisan tangan sahabat di usia lebih dari 70 tahun sekarang ini. Mari kembali kita budayakan menulis surat untuk menyimpan kenangan sebelum kita bisa bertemu langsung yang masih sangat saya idamkan. Salam kepada keluarga dan semoga senantiasa sehat wal’afiat serta sejahtera selalu. Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Bekasi, 29 Februari 2024.
Begitulah bunyi surat saya yang juga merupakan sebagian dari episode perjalanan hidup saya. Terntang uang yang sudah terlanjur terbayar sebesar Rp 180.000,- itu, biarlah merupakan amal jariah saya, semoga bermanfaat bagi yang memerlukannya. Walaupun kita seharusnya tidak boleh mentolerir segala bentuk penipuan, pencurian, penggelapan dan korupsi dengan berbagai cara dan sekecil apa pun nilainya. Yang menyesakkan hati, seandainya buku tersebut jadi dicetak, ia akan merupakan buku keduabelas yang memuat naskah karya saya secara antologi dalam bentuk cerita pendek (cerpen), puisi dan artikel bebas. Menuangkan kata hati, mengungkap pendapat, ide, kritik dan gagasan, alhamdulillah, inilah salah satu upaya kesibukan saya dalam memanfaatkan waktu luang. Semoga Allah subhanahullah ta’ala selalu membimbing jerih-payah hamba-Nya. Aamiien yarabbal alamiin.*****Selasa, 14 Mei 2024
Kisah Kodok Ijo dan Cicak
![]() |
| Ilustrasi Katak dan Cicak. (Sumber: NU Probolinggo) |
Taman Kanak-kanak (TK) Yudha Jatikramat Indah I Bekasi ramai anak sekolah sedang istirahat. Mereka berlarian dan bersenda-gurau ala anak-anak yang sebagian besar masih berusia balita. Seekor Cicak warna putih kehitaman yang sudah lama menghuni di Gedung TK Yudha ikut sibuk mengamati keceriaan anak-anak sambil memperhatikan makanan mereka yang tercecer karena masih pada belajar makan mandiri. Cicak itu selalu kenyang memakan ceceran makanan anak-anak yang beraneka macam jenis masakan.
Bel berbunyi, tanda istirahat sudah selesai. Anak-anak masuk kelas kembali dengan rapi dan teratur. Setelah anak-anak duduk rapi, Ibu Guru berseru :”Anak-anak, sekarang kita akan menyanyi! Lagunya berjudul “Cicak”. Siapa yang sudah tahu Cicak?”. Semua menjawab sambil mengangkat tangan :”Saya tahu Bu Guru!”. Baik, sekarang dengarkan semuanya, kata Bu Guru.
Karena mendengar namanya disebut-sebut, Cicak lalu beranjak masuk ke dalam kelas dan langsung merayap ke dinding kelas terus naik ke atas. Anak-anak ada yang mengamati. “He…..,itu Cicaknya!”, seru mereka sambil menuding ke arah Cicak yang sudah bertengger di dinding sekolah. “Iya,..lihat semuanya, itulah Cicak, dia ikut memperhatikan kalian! Ayo kita menyanyi yang baik!”, pinta Bu Guru.
Bu Guru memulai menyanyi dengan suara merdunya. “Cicak-cicak di dinding, diam-diam merayap. Datang seekor nyamuk, hap…hap…lalu ditangkap”, begitu berulang-ulang dan semua murid menyimak dan ada yang menirukan karena kebanyakan sudah diajari oleh orangtuanya di rumah. Cicak menyimak dengan senang hati karena namanya disebut dalam nyanyian. Sambil berjoget menyibak-nyibakkan ekornya, dia berpikir, nyamuk pasti enak, ya! Dia membayangkan :”Di mana ya bisa dapat nyamuk?”.
Lama-kelamaan si Cicak tahu wujud nyamuk yang biasa muncul pada malam hari dan sukanya menggigit manusia. Pada hal, pada malam hari di Sekolah TK Yudha tidak ada manusia sehingga tidak dijumpai nyamuk sama sekali. Tiap hari anak-anak menyanyikan lagu Cicak disertai gayanya masing-masing. Suatu hari Bu Guru bercerita tentang nyamuk, serangga berbahaya karena bisa menyebarkan dan menyebabkan berbagai jenis penyakit pada manusia yang digigit. Cicak jadi tahu bahwa nyamuk berkembang biak dengan bertelur di air, kemudian berubah menjadi jentik-jentik, dan beberapa lama kemudian berubah menjadi nyamuk. Diam-diam Cicak melakukan observasi, dia pergi ke got atau selokan dekat sekolah. Sepanjang pagi, siang dan malam dia mengamati got. Ternyata benar, dia tahu kapan nyamuk bertelur, jadi jenti-jentik dan setelah sampai waktunya, umumnya pada sore hari berubah menjadi nyamuk dan langsung terbang setelah bertengger di tempat daratan atau di atas daun tumbuh-tumbuhan sebelum terbang. Berhari-hari Cicak mengamati nyamuk yang baru berubah dari jentik-jentik menjadi nyamuk. Sesekali dia berancang-ancang ingin menangkap nyamuk sebelum terbang, tetapi dia selalu ragu-ragu takut jatuh ke air. Dan benar juga, ketika Cicak mau menyaplok nyamuk, tidak berhasil karena keburu terbang dan dia malah terjatuh ke dalam air. “Sialan !”, katanya sambil tertatih-tatih berusaha berenang ke daratan. Maksud hati ingin menikmati nyamuk malah tertelan air got. Untung masih bisa menyelamatkan diri dan kembali bertengger di atas daun. “Ah…,lebih nyaman menikmati ceceran makanan anak-anak TK yang beragam !”, gerutu Cicak.
Sedang asyik membayangkan rasa nyamuk, tiba-tiba datanglah seekor Kodok Ijo yang sedang santai berenang ria. “Hai Cicak, sedang ngapain kamu termenung di situ?”, sapa Kodok Ijo mengagetkan si Cicak. Kodok Ijo yang tiba-tiba menyembul ke permukaan, membuat Cicak tergeragap dan menjawab :”Aku sedang menunggu nyamuk tapi belum pernah dapat!”. Oh, kamu sebaiknya makan yang biasa kamu cari saja, Cicak! Biar aku yang makan jentik-jentiknya. Dan lagi, sudah lama ya kamu berjaga di sini?”, kata Kodok Ijo memberi saran kepada Cicak.
“Nggak juga! Aku kan hanya ingin merasakan nyamuk seperti yang dinyanyikan anak-anak TK. Sehingga sampailah aku di tempat ini. Selama ini sih, aku dapat makanan dari anak-anak yang tercecer di kelas atau tempat bermain, karena mereka kan baru belajar makan mandiri!”, jelas si Cicak. “Temanmu banyak, ya Cicak? Kalau aku tinggal sendirian karena teman-temanku banyak ditangkap manusia untuk dijadikan santapan. Aku berhasil lari dan bersembunyi di sepanjang got di komplek perumahan ini. Dan ternyata lumayan, gotnya cukup bersih dan banyak nyamuk bertelur!”, cerita si Kodok Ijo sedikit memelas. “Kalau aku, temanku banyak karena tidak diburu manusia, dan aku bisa sembunyi di celah-celah yang aman”, jelas si Cicak. Kodok Ijo dengan matanya berkaca-kaca melanjutkan ceritanya :”Dulu temanku juga banyak sekali, karena tempat kita ini tadinya berupa persawahan yang luas. Menurut tetuaku, persawahan itu sangat luas dan hidup berbagai hewan air termasuk ular yang juga memangsa kelompokku. Ketika kemudian berubah menjadi kawasan perumahan, terjadi pengurugan lahan, dan sejak itu Kodok Ijo banyak terbunuh. Beruntung, kelompok biangku berhasil lari menyelamatkan diri. Disamping perburuan oleh manusia untuk diperdagangkan sebagai bahan santapan, manusia yang semakin banyak juga membuat kami punah karena got menjadi jorok dan banyak beracun. Sewaktu kami masih banyak, di malam hari kami selalu bernyanyi bersama. Orang bilang kami ber”ngorek” sehingga ada lagu tentang Kodok!”. Yang tiba-tiba memancing Cicak nyeletuk :”Coba kau nyanyikan lagumu itu, biar aku tahu!”.
Dengan sedikit tersenyum dan tertawa kecil, Kodok Ijo kemudian bernyanyi :”Kodok ngorek…Kodok ngorek,,,ngorek pinggir kali. Teot teblung…teot teblung…teot…teot teblung. Bocah pinter…bocah pinter…besuk dadi dokter”. Cicak sambil mengibaskan ekornya pertanda sangat suka, memberikan komentar :”Oei, lagumu bagus lho Kodok Ijo!”. Sambil membanggakan diri, Kodok Ijo menyambung ceritanya :”Ya, tetapi sekarang aku tidak pernah bernyanyi atau ber”ngorek” lagi, di samping karena sendirian, juga takut diketahui manusia atau ular yang kemudian memburuku. Maka aku hanya sembunyi terus sambil mencari serangga makananku. Aku paling suka makan jentik-jentik lho, Cicak! Jadi kamu tidak akan sempat mencoba makan nyamuk dari sepanjang got ini. Manusia mestinya berterimakasih kepadaku dan kawan-kawanku, karena nyamuk sudah kuberantas sejak baru menjadi jentik-jentik”.
Sedang asyiknya mereka berdua bersantai ria di pagi hari, tiba-tiba air got berombak cukup mengagetkan. Kodok Ijo dan Cicak sempat terjengkang dari tempatnya. Kodok Ijo sangat paham suasana demikian. “Cicak…., mungkin orang-orang sedang kerja bakti keruk-keruk got, Aku harus menyelamatkan diri, lari dari tempat ini! Aku harus segera mencari tempat yang aman!”, seru Kodok Ijo dengan tergopoh-gopoh dan segera lari dengan berenang.
Dengan perasaan iba, Cicak berteriak kepada Kodok Ijo yang sudah menjauh :”Selamat ya Kodok Ijo, semoga kamu dapat tempat yang aman dan nyaman. Semoga kamu ketemu teman-temanmu di tempat yang membahagiakan! Sambil menitikkan air matanya, Cicak terus mengamati Kodok Ijo yang berenang semakin menjauh dari pandangannya. Setelah hilang dari penglihatannya, Cicak pun segera beringsut menyembunyikan diri dan siap lari ke pelataran TK untuk mencari makanan anak-anak yang tercecer, sembari terus berdoa bagi keselamatan si Kodok Ijo, sahabat barunya yang tiba-tiba terputus dan berpisah. ***** Bekasi, pertengahan September 2022.
Minggu, 31 Juli 2022
Layang-Layang
![]() |
| Lukisan "Benjamin Franklin Drawing Electricity from the Sky" karya Benjamin West |
Indonesia yang terletak di garis khatulistiwa, mengalami dua musim, yaitu musim penghujan dan musim kemarau. Apabila normal, pergantian musim terjadi dalam setiap setengah tahun. Dan pada setiap pergantian musim yang disebut musim pancaroba, angin bertiup demikian kencang dan selalu dimanfaatkan oleh orang dewasa maupun anak-anak untuk bermain layang-layang. Bulan Juli telah tiba, yang merupakan musim pancaroba, perubahan dari musim penghujan ke musim kemarau. Awal bulan Juli adalah merupakan libur panjang bagi anak sekolah dan segera memasuki tahun ajaran baru.
Aji naik
ke kelas enam. Bapaknya mewanti-wanti :”Aji, kamu sekarang sudah kelas enam.
Sebentar lagi kamu akan masuk SMP. Kurangi bermain-main dan giatlah belajar
agar nilai ujianmu bagus supaya nanti bisa mendapat SMP yang baik!”. Aji
menyimak dan memperhatikan dengan baik nasihat Bapaknya. Sepulang sekolah,
setelah sholat, makan siang dan istirahat, dia sempatkan waktu untuk membaca dan
mengulang pelajaran yang didapat sepanjang hari tadi. Bapak si Aji sangat
gembira dan bahagia melihat anaknya semakin rajin belajar dan mengurangi waktu
bermain. Apalagi main HP dan menonton TV sudah sangat dia kurangi. Sesekali
sempat juga main sepakbola di lapangan bersama teman akrabnya, Mono, Amin, Tomo
dan Joni sambil bersenda-gurau.
Pada hari
Minggu pertengahan Juli, libur panjang seharian. Cuaca cerah dan panas
menyengat. Angin bertiup kencang menerbangkan debu dan dedaunan yang sudah layu
serta sampah ke segala arah. Terkadang diseling munculnya angin puting beliung
kecil yang bergerak berputar-putar menghempaskan debu dan sampah berterbangan.
Orang dewasa dan anak-anak ramai menerbangkan layang-layangnya yang
berwarna-warni dan beraneka bentuk. Ada juga yang saling mengadu. Layang-layang
dikendalikan menyambar kesana-kemari, menukik dan kemudian benang saling
bergesekan. Kalau ada yang putus, bersorak-sorailah mereka dan sering disertai
saling mengejek.
Empat sekawan,
Mono, Amin, Tomo dan Joni sedang asyik memainkan layang-layangnya disertai
canda-ria. Tiba-tiba mereka saling mempertanyakan kenapa kok Aji tidak muncul
main layang-layang seperti biasanya. Aji memang tidak lagi main layang-layang
seperti dulu. Bapaknya menasihati, bahwa main layang-layang itu hanya
membuang-buang waktu. Kalau ada layang -layang putus, anak-anak pada berlarian
mengejar dan tidak tahu lagi bahaya yang mengancam misalnya ada yang terjatuh,
atau tertabrak kendaraan bermotor. Lebih baik belajar, kata Bapaknya. Sore hari
selepas main layang-layang, empat sekawan teman Aji sepakat mampir ke rumah
Aji. “Assalamualaikum…..”, teriak mereka, yang disambut Ibunya Aji :”Waalaikum
salaam, cari Aji ya! Tunggu ya, Aji sedang mandi. Ayo masuk!”. Ketika masuk ke ruang
tamu, teman Aji kaget. Ternyata Aji punya banyak layang-layang yang dipajang di
ruang tamu dan ada yang menumpuk di meja tamu. “Dia punya banyak layang-layang,
tetapi kenapa tidak dimainkan, ya?”, tanya salah seorang keheranan sambil
bergumam.
Aji
selesai mandi dan segera menemui teman-temannya :”Hai….., asyik ya mainnya!”.
Temannya menjawab hampir serempak :”Iya asyik, kenapa kok kamu nggak ikut
keluar seperti dulu, Aji?”. Aji kemudian menjelaskan secara panjang lebar
kepada teman-temannya :”Begini teman-teman! Kita ini kan sudah naik ke kelas
enam dan sebentar lagi mau ujian lalu mencari SMP. Bapak bilang, kurangi
bermain dan banyaklah belajar agar mendapat nilai yang baik dan mendapat SMP
yang baik. Layang-layang atau benangnya yang nyangkut di kabel listrik, bisa
menyebabkan korsleting dan bisa timbul kebakaran, kan daerah kita padat
perumahan dan banyak kabel listrik serta yang lain berselawiran. Banyak bangkai
layang-layang yang nyangkut di kabel-kabel, atap rumah dan di pepohonan yang
tidak sedap dipandang mata, kata Ibuku juga. Dari pada membuang-buang waktu
lebih baik dipakai belajar, kata Bapakku!”. Tiba-tiba seorang di antara mereka
menangkis :”Kan kita perlu juga refreshing dan bersuka-cita, Aji, jangan
belajar terus, bisa pusing lho! Dan lagi, kok layang-layangmu kamu pajang, dan
gambarnya bagus-bagus, beli di mana, ya?”. Aji menjawab :”Aku beli warna polos
lalu kulukis sebagai refreshingku”. Seorang lagi menanyakan :”Lho, kok ada
gambar kakek-kakek bermain layang-layang, kakekmu ya?”. Teman-temannya yang
lain ikut menimpali tetapi disertai tertawa kecil kegelian sambil memperhatikan
gambar seorang tua berkepala botak tetapi gondrong ke belakang yang dikiranya
kakeknya Aji. Tetapi buru-buru Aji menjelaskan :”Oh bukan, itu Benjamin Franklin
tokoh negarawan Amerika Serikat yang pernah bermaksud membuktikan listrik
statis dari awan, kilat dan petir dengan
menerbangkan layang-layang setinggi mungkin sewaktu langit berawan mendung”.
Wee…..hebat,
Aji banyak membaca dan belajar, pengetahuannya banyak!”, seru si Amin dan
bertanya :”Listrik statis itu apa ya, Aji?”. “Oh nanti, kita pasti tahu pada
waktunya, belajar saja dulu sekarang dan sekolah terus!”, kelit Aji sambil
tersenyum menjawab pertanyaan teman-temannya. Setelah melahap jamuan yang
disuguhkan oleh Ibunya Aji, mereka pamit pulang. Di perjalanan, sambil masing-masing
menenteng layang-layangnya, mereka saling bergumam :”Kita sebaiknya ikut rajin belajar
seperti Aji, ya!”.*****
Bekasi,
Juli 2022
Minggu, 03 Juli 2022
KURANG GARAM, KURANG CABE

Anak Kecil Sedang Bernyanyi. (Sumber: Pexels oleh Katya Wolf)
Setiap datang hari Rabu, Darso pasti
merasa sedih. Mata pelajaran kesenian selalu membuatnya keringat dingin,
inginnya segera pulang kalau saja tidak takut dihukum atau dimarahi Ibunya
karena membolos. Setiap pelajaran kesenian, dalam batin dia berdoa, semoga
pelajarannya diisi dengan melukis atau menggambar, atau prakarya saja, jangan
seni suara atau menyanyi. Kalau pelajaran menyanyi pasti mati kutu, deg-degan
sepanjang pelajaran, karena takut mendapat giliran. Kalau kebetulan mendapat
giliran, senangnya Darso menyanyikan lagu yang cepat, biar cepat selesai. Yang
membuat Darso sedih dan malu, karena setiap menyanyi pasti disoraki
teman-temannya dan diteriaki bersahut-sahutan :” Hee…suaranya fals, kurang
garam!. Iya…kurang garam!”.
Alam pikiran murid kelas tiga Sekolah
Dasar kebanyakan percaya saja. Pada hal pelajaran seni suara adalah suasana
kegembiraan dan penuh senda-gurauan serta gelak-tawa. Tetapi Darso suka
baperan, selalu dibawa ke perasaan. Maka setiap jajan waktu istirahat, yang
dituju Darso selalu tukang bakso atau mie ayam dan minta garam yang banyak.
Tukang bakso sampai dibuat keheranan. Anehnya, setiap menyanyi kok
teman-temannya masih saja teriak kurang garam bersaut-sautan sehingga membuat
Darso juga heran. “Ah, mungkin lagunya yang harus ganti! “, pikirnya dalam
hati. Maka dihapalkannya lagu lain, dengan harapan tidak dibulli lagi oleh
teman-temannya.
Tiap mandi, Darso bernyanyi dengan lagu
baru pilihannya. Ibunya keheranan, karena Darso sekarang suka bernyanyi dan
dengan suaranya keras-keras. Ketika tampil dengan lagu baru, teman-temannya
malah berubah teriakannya dan saling bersautan:” Oe…lagu baru choi! Tapi masih
fals, kurang cabe, kurang sambal pedas!, Iya…, kurang nyaring, kurang cabe !”.
Darso mikir lagi, bagaimana suara bisa nyaring, ya? Maka tak berpikir panjang,
setiap istirahat, Darso selalu lari ke tukang bakso dengan sambal dibanyaki dan
terkadang sampai gaber-gaber. Tukang bakso dibuat heran lagi. Beberapa hari
yang lalu suka garam, kok sekarang ganti suka sambal. Bahkan suatu kali, tukang
bakso sampai marah dan ngomel-ngomel menuduh Darso yang menghabisi sambal.
Tiba-tiba Darso tidak masuk sekolah,
kabarnya sakit perut. Karena sudah tiga hari ijin sakitnya, Guru Wali Kelas dan teman-temannya kemudian
pergi menjenguk ke rumah Darso. Berjalan kaki mereka beriringan menuju ke rumah
Darso sepulang sekolah. Dengan pucat dan masih lemah, Darso didampingi Ibundanya
tertawa meringis karena geli ketika diminta Ibu Guru bercerita pengalamannya
supaya didengar teman-temannya. Darso mengaku dengan jujur semua pengalamannya
yang aneh dan lucu, sambil tertawa geli dan berharap mendapat simpati. Sambil menatap
temannya yang paling garang meledek sewaktu dia bernyanyi,, Darso meneruskan
ceritanya :”Karena setiap menyanyi selalu diolok-olok teman-teman, katanya suara
fals kurang garam dan kurang cabe, maka diam-diam sewaktu jajan bakso atau mie
ayam, saya selalu suka makan sambal dan mungkin terlalu banyak. Sakit perut ini
kata dokter, karena kebanyakan makan sambal yang pedas sehingga mengganggu
pencernaan”. Ibunda Darso ikut menimpali sambil tersenyum geli :”Dipikirnya,
dengan banyak makan sambal dikiranya bisa bernyanyi seperti artis penyanyi, tak
tahunya ternyata perutnya yang jadi terkikis”. Mendengar cerita Darso, semua
yang menjenguk tertawa terkekeh-kekeh.
Cukup
lama mereka menjenguk Darso, saling mengobrol dan bercanda-ria. Ibu Guru tiba-tiba
menghentikan acara kangen-kangenan Darso dengan teman-temannya dan berujar :”Anak-anak,
Darso perlu istirahat yang banyak. Mari kita berdoa menurut agama dan
kepercayaan kalian masing-masing agar Tuhan Yang Mahakuasa segera memberikan kesembuhan
kepada Darso sehingga bisa segera masuk sekolah kembali. Nanti kalian jangan
lagi saling meledek atau membulli dan harus saling akur dengan sesama teman.
Bagi yang beragama Islam mari kita bacakan Surat Al-Fatihah. Hayo, mari kita berdoa!”.
Setelah dinasihati Ibu Guru Wali Kelas, semenjak itu tidak ada lagi
buli-membuli di kelas terutama sewaktu pelajaran menyanyi atau seni suara.*****(dikembangkan dari
cerpen karya Penulis dalam Bahasa Jawa yang berjudul “Kurang Uyah lan Kurang
Lombok” dan dimuat dalam buku : Asmarandana, penerbit Graf Literasi, cetakan
pertama Agustus 2020 hal. 97-98).
Senin, 13 Juni 2022
Hobi Surat Menyurat
Suatu hari, Uci bongkar-bongkar koleksi hobi Bapaknya. Selama pandemi
Covid-19 ini, dia banyak berdiam diri saja di rumah. Setelah belajar via medsos
mengenai pelajaran di sekolah, biasanya kemudian nonton TV, lalu banyak main
gawai sambil bermalas-malasan.
“Wei, ini apa Pak kok banyak sekali?”, teriak si Uci ketika menemukan
tumpukan post card atau kartu pos yang diperoleh Bapaknya sewaktu masih sekolah
dulu. “Oh, itu kartu pos koleksi Bapak waktu masih sekolah di SMP dan STM.
Bapak dulu suka berkirim surat!”, jelas Bapaknya. “Kamu suka?”, tanyanya
kemudian. “Iya Pak, untuk Uci ya? Gambarnya bagus-bagus, Uci senang dan suka
sekali untuk menyimpannya!”, jawabnya.
“Nah, kalau begitu, kamu harus mulai cari sendiri. Punya Bapak boleh
kamu simpan, jangan sampai rusak apalagi hilang, karena itu kenang-kenangan
Bapak!”, pesan Bapak si Uci. “Cari atau beli di mana, Pak?”, tanyanya.
“Caranya, kamu harus menulis surat untuk meminta post card, buku atau majalah.
Kebetulan, radio luar negeri siaran Bahasa Indonesia mungkin alamatnya masih
tetap sama!”, jelas Bapaknya.
“Bagaimana caranya menulis surat, Pak, saya belum tahu, belum pernah
diajarkan di sekolah”, jelasnya menghiba. “Coba, kamu kan sudah kelas lima, buat
surat minta dikirim post card mengenai Australia ke Radio Australia. Nanti juga
ke Radio Asing lainnya!”, kata Bapaknya memberi semangat. Uci lalu mencari buku
tulis sisa kelas empat yang belum habis terpakai. Dicobanya membuat surat lalu
disodorkan kepada Bapaknya. “Ya, bagus! Tetapi harusnya singkat saja, kenalkan
kamu kelas berapa, ingin mendapatkan post card dan apa saja, lalu berikan
alamatmu sekolah atau rumah dan ucapan terimakasih! Coba ulang lagi membuat
suratnya!”, kata Bapaknya sambil memuji.
Setelah dianggap cukup baik dan dicoba ditulis rapi di kartu pos,
diajaklah si Uci ke Kantor Pos. Mereka membeli sejumlah kartu pos dan prangko,
sehingga tahulah Uci seluk beluk Kantor Pos. Diajarilah Uci menulis surat di
kartu pos dengan tulis tangan dan menempelkan prangkonya sesuai tarip yang
berlaku. Tahap awal dikirim ke Radio Australia, Suara Amerika, BBC Inggris,
Radio Beijing dan Radio Nederland. Sambil menunggu dan berdoa, diterimalah
balasan dari semuanya secara beruntun beberapa lama kemudian. Ada yang
memberikan post card, majalah, dan jadwal acara siaran radio. Bukan main
senangnya si Uci karena mendapat mainan baru, hobi menulis surat. Semua kiriman
dari siaran radio luar negeri tersebut, setelah serius belajar, dibolak-balik
untuk dibaca dan dinikmati keindahan gambar-gambarnya. “Sekarang kamu boleh
mencoba menulis surat kepada siapa saja! Cobalah buat surat kepada
sanak-saudara kita di kampung. Berceritalah mengenai apa saja, kabar tentang kesehatan,
perkembangan sekolahmu dan lain-lain. Dengan belajar menulis surat, kelak kamu
bisa jadi penulis. Juga bisa jadi pegawai yang baik dan kelak akan mudah ketika
membuat skripsi sewaktu menjadi mahasiswa. Oleh karena itu mulailah mencari
sahabat pena untuk saling menulis surat”, nasihat Bapaknya, dan Uci menyimak sambil
memeluk kiriman pos yang baru diterimanya. Hobi surat-menyurat menjadi hiburan
si Uci. Bekal atau uang saku yang diterima dari orang-tuanya selalu sebagian disisihkan
untuk membeli kartu pos, amplop, kertas surat, serta prangko guna memenuhi hobi
barunya yang ditekuni dengan rajin. Uci sangat menyimak kata-kata Bapaknya yang
mengutip nasihat orang Barat :”Tekunilah hobi agar menjadi sahabat yang karib
bagimu!”.*****
Selasa, 08 Februari 2022
Surat Orang Utan dan kawan-kawan kepada Presiden Jokowi
Cerpen ini dimuat di majalah Clapeyronmedia, sebagai tulisan ke 4 yg terbit pada bulan Februari 2022
Dua sejoli Orang Utan yang biasanya
bergelayutan di puncak pohon besar itu berjalan bergandengan di daratan bak
penganten baru yang sedang berbulan madu. Sesekali mereka berlompatan ke pohon
besar, bergelantungan dan tetap berduaan. Mereka berdua sangat bahagia karena
beberapa waktu terakhir ini terhindar dari kebakaran hutan dan penebangan pohon
yang biasanya suaranya berdesing memekakkan telinga semua penghuni hutan. Si
Jantan memulai pembicaraan. “ Dinda, hidup kita ini terancam, lho! Coba kau pikir!
Manusia di bumi ini semakin banyak,
berkembang pesat sekali dan semakin maju serta pintar. Mereka membutuhkan
segala macam dan banyak sekali. Mereka butuh lahan untuk persawahan dan perkebunan kelapa sawit juga kayu-kayu
besar hunian kita ini. Lalu mengincar tanah kita, membabat dan membakar hutan
tempat tinggal kita ini seenaknya “, kata si Jantan penuh emosi.
“
Eh kanda, kau bilang ini tanah kita?”, tanya si Betina. Si Jantan langsung
menyambar penuh keyakinan :” Ya, iyalah! Tuhan menciptakan alam ini seisinya. Sebelum
didatangi manusia, pasti nenek moyang kita lah yang lebih dulu menghuni hutan
ini secara turun-menurun. Sayangnya, pertumbuhan perkembang-biakan kita ini
lamban, sedangkan manusia cepat sekali, maka kita terdesak dan terusir”. “Tetapi,
ada orang pintar yang berpendapat, konon manusia itu dulunya merupakan evolusi dari
bangsa kita lho, Kanda, sehingga boleh dibilang kita ini bersaudara dengan
manusia”, celetuk si Betina meredam si Jantan yang semakin emosional. “Ya,
malah ada bukti, bahwa DNA kelompok kita ini hampir mirip dengan DNA manusia, Sehingga
pendapat orang pintar tadi mungkin ada benarnya, walau pun disanggah oleh para
ilmuwan lain, terutama para ahli agama, karena pendapat itu bertentangan dengan
kitab suci agama apa pun! Oh ya, saya punya pertanyaan , Dinda harus jawab”,
kata si Jantan mulai mengendorkan emosinya. “Kalau orang yang tinggal di desa, namanya
kan orang desa. Kalau orang yang tinggal di kota, namanya apa ya?”, tanya si
Jantan, dan langsung dijawab oleh si Betina :”Ya, orang kota lah!”. “Kalau
orang yang tinggal di kampung?”, tanya si Jantan kemudian. Juga langsung
dijawab oleh si Betina :”Itu orang kampung, namanya”. “Nah, kalau orang yang
tinggal di hutan, namanya apa?”, tanya si Jantan sambil mencolek pipi si Betina
dengan genit. “Haa, itu kita ya, Kanda. Orang Utan, sebagaimana mereka memberi
nama kepada kelompok kita”, jawab si Betina sambil tertawa terkekeh penuh
bangga. “Berarti ada pengakuan dari mereka tho?”, tegas si Jantan. “Tetapi,
bagaimana dengan ulah manusia yang terus menebangi hutan tempat tinggal kita
ini, lalu membakari seenaknya, Kanda?”, tanya si Betina. “Pada hal, dunia sudah
mengingatkan, lho! Untuk menjaga iklim dan lingkungan seluruh jagad, negara
yang memiliki hutan agar menjaga kelestariannya. Jadi, hutan kita ini mestinya
harus dijaga, bukan dibabat dan dibakari seenaknya!”, jelas si Jantan. “Masalahnya,
kita ini di negeri yang masih miskin, sehingga kreativitasnya masih sebatas
membabat kekayaan hutannya”, kata si Betina dengan nada seperti mencibir. “Ya,
memang susah. Negara kaya membutuhkan berbagai macam barang atau produk dari
tanah yang kita huni ini, sehingga ya saling membutuhkan, dan tidak
terbendung”, jelas si Jantan. “Wah, kita bakal musnah dong, nanti hanya sebagai
tontonan di kebun-kebun binatang saja. Kita harus segera bertindak, jangan diam
saja, Kanda!”, usul si Betina. “Memang, saya punya ide. Saya akan mengumpulkan
para tokoh penghuni hutan ini untuk membahas masa depan kita”, ujar si Jantan
dengan optimis, bahwa pertemuan harus segera terlaksana.
Maka dibuatlah pengumuman yang
ditulis pada daun-daun yang lebar, dipampang pada batang pohon-pohon besar
mengenai undangan rapat itu. Juga dibuat spanduk dari dedaunan dan dibentangkan
di pohon-pohon yang berisi undangan rapat dengan menyebut tempat dan waktu
pertemuan. Tentu saja, undangan versi tutur-tinular yang paling cepat sampai
kepada semua hewan penghuni hutan. Berbagai jenis kera, burung, ular dan berbagai
binatang melata lainnya sampai berbagai jenis serangga menyanggupi untuk hadir dalam
pertemuan yang sangat penting tersebut. Pada hari yang ditentukan, perwakilan
penghuni hutan sudah berkumpul di kawasan tempat pertemuan. Bahkan sudah ada
yang menginap berhari-hari di atas dan di bawah pepohonan yang rindang dan
asri.
Pertemuan pun dimulai. Di dahan pohon
besar, si Jantan Orang Utan sambil duduk berwibawa, membuka pertemuan.
“Kawan-kawan penghuni hutan yang berbahagia,…..apakah kita saat ini sedang
berada di tempat yang tenteram dan damai?”, tanya si Jantan Orang Utan. Yang
dijawab dengan serempak bersahutan :”Ya, kita semua nyaman dan damai!”. “Tetapi
sebenarnya, kita ini hidup terancam. Coba kita lihat, manusia setiap hari
membabat pohon-pohon hunian dan makanan pokok kita. Mereka tak terbendung dan semakin
merajalela. Adakah pemikiran dan usul kalian?”, teriak si Jantan Orang Utan. Burung
Enggang, yang merupakan spesies aneh karena burung betinanya bersama anaknya bersarang di dalam rongga pohon
langsung menyampaikan kekhawatirannya. Seolah mewakili suara burung Pekakak yang
paling banyak diburu orang untuk dikoleksi, juga burung Mina yang brilian serta
burung-burung lain yang banyak jumlahnya, berujar :”Ya, Kanda Orang Utan, kami
semua khawatir akan punah karena diburu secara serampangan, dan terhempas karena
alam hidup kita terampas oleh manusia”. Demikian juga hewan yang lain, semua
mendukung pernyataan burung Enggang. “Bagaimana kalau kita lawan mereka?”, usul
Buaya dan Ular Cobra hampir serempak bak jagoan yang hebat. “Maksud kalian?”,
tanya si Jantan Orang Utan. “Ya, kita lawan serempak dan bersatu, kita serang
dan usir mereka begitu datang ke tempat kita ini!”, tandas si Buaya. “Semua
yang punya kemampuan bela diri agar ditunjukkan kehebatan kita kepada mereka!”,
kata si Ular Cobra bagaikan sesumbar dan menghasut sejawatnya di hutan
Kalimantan yang lebat itu.
Orang Utan yang biasa membuat sarang
dari ranting dan cabang kayu di puncak pohon dan sering berteriak lantang kalau
marah dan mengamuk, tertawa terbahak-bahak. Lalu ucapnya :”Pernah suatu ketika,
sewaktu kalian semua lari, saya justru terus bertahan di puncak pohon besar.
Saya melempari mereka dengan dahan dan ranting dengan harapan agar mereka
mengurungkan niatnya, Yang terjadi malah pohon itu tetap ditebang dengan
peralatan modern yang suaranya menderu-deru memekakkan telinga. Ketika pohon-pohon
pada tumbang saya tidak sempat lari. Rupanya saya ikut roboh, terpelanting dan
pingsan tertimpa pohon. Setelah siuman, tahu-tahu saya sudah di kota, dalam
kerangkeng besi. Untung ada pecinta lingkungan dan hayati yang tahu dan
kemudian membantu sehingga saya dikembalikan ke hutan ini, ketemu lagi dengan kalian”.
Bekantan, sejenis kera yang memiliki hidung berdaging panjang dan Gibbon yang
baru dilepas-liarkan karena sempat dipelihara oleh orang kaya di kota, tampak termenung
dari awal. Dia nampaknya ditugasi oleh kelompoknya untuk mengikuti pertemuan. “Kok
kalian berdua bengong saja! Ada yang kalian pikirkan atau ada usul?”, tanya si Jantan
Orang Utan. “Ya, Kanda!”, kata si Bekantan dengan suara memelas. “Presiden Republik
Indonesia, Joko Widodo atau yang dikenal dengan Jokowi, malah mau memindahkan
ibukota RI ke wilayah kita ini”, jelasnya. “Waah, di mana?”, teriak semua yang
hadir hampir serempak. “Rencana sih di Kalimantan Timur”, sahut si Gibbon. “Oh,
jauh ya dari tempat kita”, celetuk si Jantan Orang Utan. “Tetapi pasti
orang-orang akan berdatangan ke wilayah kita ini, membangun segala macam lalu
kita akan tergusur dan mungkin punah dari muka bumi”, gerutu para hewan yang
lain dengan perasaan kaget dan khawatir yang teramat sangat. “Eh, saya dengar,
Presiden Jokowi itu orang hutan juga ya?”, tanya si Burung Hantu asal nyeletuk.
“Hee, jangan sembarangan kau ucap, ya! Nanti kamu bisa ditangkap karena
termasuk mencemarkan nama baik dan menghina”, kata si Jantan Orang Utan
menyadarkan. Tetapi si Burung Hantu buru-buru menjelaskan lebih lanjut :”Bahwa
Presiden Jokowi itu seorang Sarjana Ilmu Kehutanan bertitel Insinyur atau Ir. Sehingga
bisa kita bilang orang hutan, orang yang
tahu segala seluk-beluk tentang hutan. Gitu lho, maksud saya! Dan lagi, sewaktu
menjadi Gubernur DKI Jakarta , pak Jokowi itu pernah melarang “Topeng Monyet” lho!
Mencari makan kok menyiksa hewan, sungguh tidak berperi-kehewanan, begitu kira-kira
pola pikir pak Jokowi”, jelas si Burung Hantu lebih lanjut bak seorang guru
menerangkan kepada murid-muridnya. “Baik kawan-kawan, saya punya usul! Menyongsong
ibu kota baru NKRI di wilayah kita ini, mari kita kirim surat kepada Presiden Jokowi.
Mari kita bikin usul rame-rame!”, ujar si Jantan Orang Utan dengan yakin seolah pandai menulis surat. “Hayo mari
kita rumuskan bersama! Burung Hantu, cari ranting yang runcing untuk menulis!
Kera, kau cari daun-daun lebar yang bisa dipakai untuk menulis!”, lanjut si
Jantan Orang Utan, sepertinya tidak sabar lagi. “Ya, mari kita mulai!”, ujarnya
sambil menerawang ke atas dan jari telunjuk yang kanan ditaruh di jidat bak
pemikir yang sedang memeras otaknya. “Kepada Presiden Jokowi di Jakarta. Kami
penghuni hutan pulau Kalimantan, mendengar, bahwa ibukota NKRI akan pindah dari
Jakarta ke kawasan kami, ya Pak? Kalau ya, kami semua senang tetapi takut jika
kami nanti tergusur dan punah, Pak! Lalu apa kata dunia? Oleh karena itu kami punya
usul, agar kawasan kami ini tetap terjaga, hutan serta kehidupan kami yang unik
ini! Mohon pak Presiden pikirkan agar dibuat jalanan semacam tembok Cina yang
meliuk-liuk sepanjang hutan dan sungai, tetapi terlindung atas-bawah agar
kawan-kawan saya yang besar maupun yang kecil-kecil tidak bisa masuk mengganggu
manusia. Biarlah manusia dari segala penjuru dunia melalui jalanan itu bisa
menyaksikan kami dengan kedamaian dan saling membutuhkan penghidupan serta
hiburan. Perpindahan penduduk dan pertumbuhannya juga mestinya terkendali
dengan baik, dan huniannya tertata dengan baik supaya bisa menarik para
wisatawan karena lingkungan yang indah. Juga sungai-sungai sebaiknya ditata
dengan bersungguh-sungguh sehingga bukan lagi sebagai tontonan banjir, tetapi
sebagai sarana pariwisata alam untuk bercengkerama dengan kami. Sebagai kawasan
ibukota, mestinya banyak anggota TNI dan POLRI yang menjaga, dan bersamaan
dengan itu mohon ikut menjaga kelestarian hutan, dan mengamankan kami sebagai penghuninya.
Terimakasih Bapak Presiden, mohon maaf kami tidak bermaksud menggurui,
melainkan hanya sekedar sumbang saran. Hormat kami, atas nama penghuni hutan
Kalimantan, tertanda “Orang Utan”.
Ternyata semua tokoh penghuni hutan
yang hadir ikut mencatat surat yang didiktekan oleh si Jantan Orang Utan.
“Hee….., apa yang kalian tulis, Buaya dan lain-lain yang juga mengumpulkan
naskah? Huruf apa yang kalian tulis?”, tanya si Jantan Orang Utan dengan bangga
karena semua mendukung langkahnya. “Ini huruf-huruf di lingkungan kami, Kanda! Biarlah kita kirim
saja, siapa tahu di Pemerintahan ada yang paham tulisan kami ini”, jelas mereka
saling mendukung. Dengan penuh suka-cita dan mengucap terimakasih kepada semua
yang hadir, si Jantan Orang Utan menutup pertemuan yang sangat bersahabat
tersebut. Tetapi sebelum bubar, tiba-tiba si Kera tarik suara dengan lantang
:”Kanda, kebetulan saya menemukan bekas amplop-amplop besar dan koran-koran milik
petugas atau pejabat pembabat hutan yang ditinggal di hutan. Kita bisa pilih huruf-hurufnya
untuk dimanfaatkan berkirim surat agar bisa sampai ke tangan pak Jokowi dengan
selamat!”.
Surat dari dedaunan itu segera dilipat
rapi dan kepada Kera yang lincah, bersama Anjing sebagai pengawal, diminta
untuk mengirim atau menaruh surat itu ke Kantor Pos. Atau meletakkan di Kantor
Pemerintahan, atau markas TNI/ POLRI dan mana saja yang terdekat, dengan
harapan bisa disampaikan kepada Presiden Joko Widodo.*****
Senin, 21 Juni 2021
Cerpen Para Sastrawan Baru
Pepatah Inggris mengatakan: “Birds of the same feather
flock together”, yang artinya, burung yang sama bulunya akan hinggap bersama.
Harian Kompas telah berhasil mengumpulkan orang-orang
yang mempunyai hobi yang sama dan minat yang sama, yaitu menulis cerpen. Setiap
tahun, Kompas menyelenggarakan Kelas Cerpen Kompas. Kali ini Kelas Cerpen
Kompas 2018 berhasil mengumpulkan sebanyak kurang lebih 100 orang, 21 orang
dari kelas itu telah melahirkan karya pilihannya yang terhimpun dalam tema
urban, yang berjudul “Urban (is) Me”. Dengan cover buku yang dibuat menarik
karya Adi Putra Febrian yang tidak lain adalah salah seorang cerpenis dalam
buku ini. Berlatar belakang pendidikan Seni Rupa dan Desain yang mulai menekuni
dunia tulis menulis, berhasil menciptakan desain grafis yang menggambarkan
semua tema cerpen yang ada dalam buku. Cerpennya sendiri yang berjudul Aji
Mantra, berkisah menarik tentang kecemburuan sosial dan asmara, percaya pada
perdukunan yang berakhir tragis sebagai penyesalan menebus dosa.
Tujuan seseorang menulis memang bermacam-macam. Ada
yang karena ideologis, misalnya mengenai agama. Tujuan akademis karena tugas
sekolah atau kuliah. Tujuan ekonomis, sebagai mata pencaharian. Karena faktor
psikologis misalnya menyalurkan perasaan kebahagiaan atau kesedihan. Tujuan
politis yang terkait dengan politik praktis juga ada. Karena tujuan pedagogis
atau pendidikan. Atau bertujuan menjaga
kesehatan melalui menulis agar tidak mudah pikun. Dan yang paling umum yaitu
tujuan praktis, misalnya karena ingin populer.
Agaknya, semua tujuan penulis sudah terangkum dalam
kumpulan cerpen ini. Dengan ukuran 14x20 cm dan dicetak ukuran huruf besar
dalam format spasi renggang, buku ini enak dibaca oleh segala usia. Apalagi
rata-rata penulis hanya bercerita dalam 10 sampai 16 halaman sehingga tidak
perlu bertele-tele dan sampai bosan untuk baca satu cerita saja.
Umumnya para cerpenis menyoroti kondisi masyarakat
kita yang berkembang akhir-akhir ini. Tentang sulitnya berurusan dengan rumah
sakit melalui BPJS sebagaimana yang dikisahkan oleh Sion Pinem yang memang
menapaki profesi sebagai penulis. Juga masih ada yang percaya perdukunan dan
membuat anak kandungnya sendiri tewas ditangan Ibunya. Kisah memilukan ini bisa
dibaca dalam cerpen Sayang Ujang karya Januarsyah Sutan yang berlatar belakang
sebagai pengajar Bahasa Inggris. Tentang lelaki bergajul dan yang lupa diri
karena nikah siri dan keluarganya menjadi terlantar sebagaimana dikisahkan oleh
Renny DJ. Dan ternyata, lelaki Korea pun ada yang tega meninggalkan keluarganya
seperti dikisahkan oleh penulis yang berlatar belakang pendidikan Sastra
Inggris. Muhamad Aditya berkisah tentang keluarga Korea itu dengan judul cerpen
Myung Hee.
Ada beberapa cerpen mengenai jatuh cinta tetapi
kemudian kecewa dan menyesal. Sebagai contoh, Ranang Aji SP yang memang seorang
pengarang, berkisah tentang lelaki yang jatuh cinta lewat face book, saling
merayu dan puja-puji. Tetapi betapa kecewanya, karena begitu bertemu langsung
di tempat dan waktu yang disepakati, ternyata mendapatkan sesama lelaki yang
kemayu. Cerpen yang agak menggelikan ini ditulis dengan judul yang cukup
panjang, Aku Mencintaimu Seperti Khalil Gibran Pada May Zaidah. Insan Budi Maulana
yang berlatar belakang sebagai Guru Besar di beberapa Universitas dan advokat bercerita tentang dialog dua sahabat,
seorang pengarang dengan seorang dai yang berhasil berdakwah di daerah
terpencil melalui pendekatan pertanian dan peternakan serta toleransi beragama.
Tetapi ada juga yang bercerita mengenai sosok pemuda yang sok alim dan tidak
toleran yang ditemui di bus umum angkutan kota. Kisah ini diolah oleh Nur Husna
Annisa yang menekuni profesi kepenulisan dalam cerpennya yang berjudul “Dismenore
di Bus Trans Jakarta”.Mengenai kearifan lokal yang masih berlaku dan dipercayai
banyak orang juga mengilhami beberapa cerpenis. Misalnya anak yang lahir sama hari
dengan orang tuanya maka ia harus dipisah dengan kedua orangtuanya, ditulis
oleh Indah Ariani yang berprofesi di bidang komunikasi dan publikasi dalam
cerpennya yang berjudul Ara. Tentang budaya sedekah laut di daerah Tegal,
diceritakan dengan menarik dengan judul “Isteri Lelaki Garam” oleh Hajar Intan
Pertiwi yang agaknya mewarisi bakat sastra turun menurun dari bapaknya. Kearifan
lokal Tampu Sissi yang merupakan legenda tentang ular raksasa yang pernah
membuat perjanjian dengan nenek moyang masyarakat Sulawesi yang bernama Lasupu,
barangkali cukup menarik apabila dikembangkan menjadi film. Cerita ini menarik
karena melibatkan negara adi daya yang dieksplor dengan cukup dramatis. Cerpen
ini dikhayalkan oleh Edy Abdullah yang bekerja sebagai Aparat Sipil Negara
(ASN) dan Widyaiswara pada Lembaga Administrasi Negara RI sehingga punya
tradisi atau budaya literatur yang mumpuni.
Tidak ada satu pun cerpen yang bercerita tentang
kelucuan atau humor. Semuanya serius dan bak merekam permasalahan bangsa dan
masyarakat yang berkembang akhir-akhir ini. Cerpen memang dituntut menyampaikan
cerita yang serba ringkas tetapi mampu mengemukakan secara lebih banyak dari
yang sekadar apa yang diceritakan. Latar cerita para tokohnya dan alur
masing-masing cerpen mudah dipahami dan dicerna untuk dihayati. Dalam hal ini,
pemilihan tema dan kepaduannya sangat mengena dalam penerbitan antologi cerpen
oleh para Alumnus Kelas Cerpen Kompas 2018 ini.
Walhasil, cerpen sebagai karya sastra juga bisa merupakan
sumber sejarah apabila mengambil setting peristiwa penting dalam suatu waktu
dan kawasan. Oleh karena itu, buku ini layak dibaca oleh siapa saja, kapan saja
dan di mana saja. Disamping untuk hiburan, juga untuk penambah pengetahuan*****.
|
Data Buku |
|
|
Judul Buku: |
Urban (Is) Me Sekumpulan Cerita Pendek |
|
Penulis: |
Alumni Kelas Cerpen Kompas 2018 |
|
Penerbit: |
Binsar Hiras Publishing Cipujung, Sukaraja - Bogor |
|
Cetakan: |
I, Februari 2020 |
|
Jumlah Halaman: |
285 + ix halaman |
|
Harga: |
Rp 70.000,- |




_-_Benjamin_Franklin_Drawing_Electricity_from_the_Sky_-_Google_Art_Project.jpg)
