Entri yang Diunggulkan

GENERASI PENDOBRAK JILID III

 Harian Rakyat Merdeka terbitan 20 April  2010,memuat artikel dengan judul “Bodoh Permanen” yang ditulis oleh Arif Gunawan. Tulisan tersebut...

Tampilkan postingan dengan label cerpen. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label cerpen. Tampilkan semua postingan

Minggu, 25 Mei 2025

Lia dan Si Gembul

Lia, seorang gadis kecil yang baru masuk Sekolah Dasar, sangat menyayangi kucing. Kalau dia main di mana saja, kucing yang dijumpai pasti disapanya, dibelai-belai bahkan ada yang sampai digendong-gendong. Karena suka menyediakan makanan di teras rumahnya, membuat banyak kucing singgah di rumahnya yang terkadang saling berkelahi karena berebut makanan. Suatu hari ada jenis kucing Himalaya singgah dan menyerang semua kucing yang ada di teras rumah Lia. Kucing cantik berbulu tebal itu sangat menarik bagi Lia dan meminta orang tuanya untuk memelihara. Kucing itu diam saja sewaktu dibelai dan digendong Lia lalu dibawanya masuk ke dalam rumah. “Eh, jangan dibawa masuk, itu kan kucing milik orang!”, kata Bapaknya. “Biar Pak, kita pelihara saja, kan mungkin tidak betah di rumahnya dan kemudian lari kemari! Lihat ini Pak, dia senang sekali saya gendong”, tangkis Lia meyakinkan Bapaknya. Berbulan-bulan lamanya kucing yang diberi nama Gembul itu tinggal di rumah Lia dan sangat disayang bagai sahabatnya. Diberinya makan dan minum, juga diajak bercanda-ria setiap hari. “Kamu sayang kucing boleh, tetapi jangan lupa belajar, ya Lia!”, tegur Ibunya suatu ketika. Oleh karena itu, sewaktu bercanda-ria dengan Gembul, tidak lupa Lia membawa buku untuk sambil belajar. Sudah selama lima bulan, Gembul sebagai sahabat Lia di rumah. Sangat akrab dan agaknya saling merindukan. Lia rindu akan kelucuannya dan Gembul juga terlihat sangat menikmati ketika digendong dan dielus-elus dibelai manja. Suatu hari, Bapaknya Lia kedatangan tiga orang tamu. Pintu ruang tamu dibuka lebar-lebar sehingga kesempatan bagi Gembul untuk keluar dan lari entah kemana. Lia dan Ibunya yang terbangun dari tidur siang, kaget karena Gembul tidak berada di tempatnya. Dicari ke segala sudut rumah, Gembul tidak kunjung ditemukan. Menangislah Lia, dan selalu memanggil-manggil Gembul. Beberapa hari kemudian,,sesudah makan siang, Lia tiduran di sofa panjang di ruang tamu, tempat biasanya bersama Gembul bercanda-ria. Saking sangat rindunya bersama Gembul, Lia tertidur pulas dan bermimpi ketemu Gembul yang dicari-cari. “Meeoong, apa kabar Lia?”, sapa Gembul. “Hai Gembul, kemana saja kamu selama ini?”, sahut Lia dengan suka cita. “Aku mau ke Himalaya, ke kampung halaman nenek-moyangku, ayo Lia ikut ya!”, ajak Gembul dengan semangat. “Ayo, nanti kenalkan ya sama saudara dan teman-temanmu!”, jawab Lia dengan sangat gembira. Perjalanan ternyata terasa sangat jauh dan terus mendaki, lalu sampailah ke suatu rumah yang bagus dan indah ukirannya. “Hai teman-teman, ini kenalkan teman mainku yang baik hati, selalu memberi makan dan minum serta dibelai-belainya aku dengan penuh kasih-sayang”, seru Gembul kepada para kucing yang banyak sekali, dan sangat lucu. Karena terasa lama sekali di rumah itu, tiba-tiba Lia ingin mengajak Gembul pulang. “Ayo Gembul kita pulang ke rumah, kita main di rumah saja”, bujuk Lia. Tetapi Gembul yang sudah digendongan Lia tiba-tiba meloncat dan lari kencang. Lia kaget lalu terbangun dan seketika menangis lagi sejadi-jadinya sambil teriak, Gembul, Gembul. “Kamu mimpi ya Lia. Diam sayang, jangan ditangisi, mungkin Gembul ingin pulang ke rumah asalnya lagi. Kamu berdoa saja, semoga Si Gembul pulang ke sini lagi!”, hibur Ibunya menenangkan Lia dengan penuh kasih sayang dan bujuk rayu.*****Bekasi, Mei 2025

Minggu, 20 April 2025

Pak Guru Imam Subekti

Tahun ini kemarau panjang. Biasanya, selama bulan Agustus sudah mulai ada sesekali hujan turun seolah membasuh Sang Merah Putih yang sengaja dikibar selama peringatan bulan Proklamasi Kemerdekaan. Bahkan sampai di bulan Desember sama sekali belum ada tanda-tanda musim hujan tiba. Apalagi sepanjang bulan Ramadan ini suasana kering kerontang, sungai dan telaga serta sumur sudah mulai mengering. Karena cuaca yang terang benderang, seusai salat Idul Fithri, para jamaah langsung berhamburan, ada yang pulang ke rumah dulu untuk sarapan pagi dan ini memang disunahkan khusus pada hari pertama Idul Fithri. Tetapi tidak sedikit yang langsung pergi ke makam untuk melakukan ziarah kubur kepada orang tua dan sanak famili yang telah mendahului kembali ke haribaan-Nya. Aku mengajak istri dan anak – anakku langsung ke makam. Khutbah Idul Fithri tadi sangat menyentuh hati nuraniku. Tanpa embel-embel politik dan sindiran-sindiran yang terkadang kedengarannya lucu, karena khutbah yang seharusnya menyampaikan kebajikan kok seolah mengajak berantem. Bagiku, isi khutbah yang langsung sangat berkesan adalah ajakan pasca menjalankan ibadah puasa Ramadan. Bahwa kita wajib meminta maaf kepada kedua orangtua dan kerabat kita, serta kepada tetangga dan handai-taulan terutama yang pernah bermasalah dengan kita. Juga kepada para ustaz dan guru kita yang telah memberikan ilmu dan pengajaran kepada kita dengan penuh kesabaran dan ketekunan sehingga kita masing-masing bisa mencapai tingkat kehidupan seperti sekarang ini. Kepada yang sudah terlebih dahulu berpulang ke rahmatullah, dianjurkan agar kita menengadahkan tangan disertai membayangkan wajah mereka, memohonkan ampunan dan pahala kepada Allah Yang Mahakuasa bagi mereka semua. Setelah membeli bunga tabur beberapa bungkus dari penjual yang banyak berjajar di sekitar makam, kami langsung menziarahi makam orang tua dan kerabat, berdoa dan tabur bunga. Bagiku, ketika berusaha khusu’ berdoa di pusara Bapakku, tiba-tiba ingat segalanya. Ingat tentang keberhasilan hidup, ingat apakah aku sudah membalasnya dan semuanya menyeruak di benak dan hati sanubari yang paling dalam, teringat nasihat khatib ketika menyampaikan khutbah salat Idul Fithri tadi. Mungkin khutbah seperti itu seringkali kudengar. Tetapi cara penyampaian dan saat mendengar usiaku sudah masuk angka ke tujuhpuluh tahun, jadinya mengingatkan segala-galanya, menembus alam kubur seolah berjumpa langsung dengan Bapak, Emak dan Embok, nenekku yang sudah tiada beberapa tahun yang lalu. Juga wajah para Bapak dan Ibu Guru serta Ustaz yang telah berjasa dalam hidupku. Setelah ziarah, kami beranjak pulang. Ketika di pintu gerbang makam, aku berhenti dan tabur bunga serta berdoa. Bunga tabur yang kusisakan dua kantong, habis merata sepanjang pintu gerbang keluar – masuk makam. Anakku yang paling bungsu, yang sudah kelas tiga SMA nampak memperhatikan dengan seksama apa yang kulakukan. Dia tiba – tiba bertanya: “Tabur bunga untuk siapa, Pak? Kok di pintu gerbang?” Aku isyaratkan diam dulu dengan menempelkan ujung jari telunjuk ke mulut, dengan harapan agar doaku lebih khusu’, dan semoga Allah menerima, karena aku khusus menyampaikan doa yang kubaca buat Bapak Guru Imam Subekti almarhum. Sesampai di rumah, kami sarapan pagi menikmati ketupat sayur yang memang sengaja sudah dipersiapkan selama beberapa hari ini dengan membuat ketupat sendiri. Dengan sayur lodeh berbahan rebung dan pepaya muda, serta lauk-pauk ayam opor adalah menu tetap lebaran selama beberapa tahun ini. Lezat dan nikmat itulah kesan yang mendalam. Sambil bercerita dan komentar berbagai masalah, kembali anakku yang bungsu bertanya: “Tadi Bapak tabur bunga untuk siapa, Pak?”, “Untuk almarhum Bapak Imam Subekti”, kataku memulai bercerita, “Siapa itu ,Pak, kok tabur bunganya di pintu gerbang pemakaman? Kok tidak di makamnya, Pak?”, tanyanya lagi seolah menyelidik Semua mendengarkan dengan serius dan menyimak sambil menikmati sarapan pagi. “Dulu,”, aku memulai meneruskan bercerita. “Sewaktu kelas tiga di SD Negeri Benjeng pada tahun 60-an, di Benjeng kedatangan empat Bapak Guru baru, Pak Kusno, Pak Mu’in, Pak Sutoko, dan Pak Imam Subekti. Mereka menempati rumah kontrakan di seberang Masjid Jami Benjeng yang letaknya dekat dengan sekolah. Diantara berempat itu hanya Pak Imam Subekti yang mengajar di SDN Benjeng, sedangkan yang tiga orang lainnya berpencar di beberapa SD yang ada di Kecamatan Benjeng, Kabupaten Gresik. Pak Imam Subekti yang kelihatan tampil paling ngepop. Celana komprang dan rambut sedikit gondrong, penampilan dan tampang memang mirip John Lenon – The Beatles. Para beliau ini tampak sekali – sekali mengikuti salat wajib berjamaah di Masjid Jami Benjeng.” “Ketika naik ke kelas enam tahun 1962, Bapak pindah ke Gresik tinggal bersama Pakde dan Bude Sa’i. Sewaktu kelas tiga SMP tahun 1965, suasana politik memang ramai dan agak menghangat. Di tingkat SLTP saja sudah marak organisasi pelajar yang berafiliasi dengan partai politik tertentu. Mereka berlomba mencari pengaruh di sekolah – sekolah”. “ Lalu Bapak ikut yang mana, Pak?”, celetuk salah seorang anakku. “Kebetulan Bapak tidak ikut – ikutan dan hanya aktif di organisasi intra sekolah, yang sekarang dikenal namanya OSIS. Dulu, Bapak selalu ditunjuk sebagai Panitera, atau Sekretaris Persatuan Pelajar SMP Negeri I (PP SMPN I) sampai ketika duduk di kelas tiga. Oleh Bapak Sa’i, bapak memang dilarang ikut-ikutan masuk menjadi anggota Ormas Pelajar. Politik itu jahat, jangan ikut-ikutan, kata Bapak Sa’i.” “Pada waktu itu seringkali partai – partai politik jor – joran berlomba membuat acara, ada hiburan pertunjukan kesenian dan film, drum band dan sebagainya. Memang suatu ketika Bapak kaget, karena sewaktu HUT PKI tahun 1965 di Gresik, beberapa Bapak Guru dari Benjeng ada yang ikut pawai, diantaranya pak Imam Subekti.” ***** “Tiba-tiba terjadilah peristiwa menggemparkan yang dikenal dengan Gerakan 30 September tahun 1965. PKI dituduh sebagai dalang dan pelakunya. Beberapa Jenderal pimpinan TNI Angkatan Darat diculik dan dibunuh secara keji. Isu berseliweran. Beredar isu, kalau PKI menang, orang beragama akan digorok, dan dicungkili matanya. Suasana masa – masa itu hening dan suasana kehidupan dalam ketakutan yang luar biasa. Orang – orang yang ditengarai anggota dan simpatisan PKI dibunuhi seenaknya dan hukum tidak berlaku. Di Gresik, karena merupakan basis organisasi politik dan organisasi massa berazas agama, hampir semua kaum muda berbondong – bondong mengganyang PKI. Karena kalau tidak ikut beraksi, takut di tuduh sebagai PKI maka ada yang dengan ganas aktif beraksi. Tetapi tidak sedikit yang hanya sebagai penggembira karena takut berdosa, dan sebenarnya juga karena takut dituduh simpatisan G30S” “Banyak sekali korban pembunuhan pada waktu itu dan berbagai berita berseliweran setiap hari. Menyeramkan dan menakutkan. Salah satu korban yang dibunuh itu adalah Pak Imam Subekti.”. Sambil makan mengunyah pelan – pelan, anak – anak dengan tekun menyimak ceritaku. “Dulu, di Benjeng ada dua gedung Sekolah Dasar Negeri. Di Benjeng Barat terdiri dari dua ruang kelas untuk kelas satu dan kelas dua. Sedangkan di Benjeng Timur ada tiga ruang kelas, satu kelas untuk kantor dan yang dua kelas lainnya diatur pemakaiannya, kelas pagi untuk kelas lima dan kelas enam, sedangkan siangnya untuk kelas tiga dan kelas empat. “Pak Imam Subekti bertugas mengajar di kelas tiga atau kelas empat, Bapak tidak ingat lagi tepatnya”, lanjutku. “Dulu, seorang guru itu mengajar di suatu kelas secara penuh untuk semua mata pelajaran. Pak Imam Subekti ini agaknya memang seorang seniman dan tutur katanya sangat lemah lembut. Beliau mengajarkan juga kesenian, tari dan nyanyi. Kalau sore menjelang pulang atau bubaran sekolah, kelasnya pasti menyanyi secara serempak yang enak didengar sampai ke kampung penduduk. Apalagi kalau menyanyikan lagu “Desaku Yang Kucinta” dan “Rayuan Pulau Kelapa”, sangat merdu didengar, cukup menggetarkan dan bisa membangkitkan jiwa nasionalisme serta cinta tanah air.” “Konon kabarnya, pak Imam Subekti dijemput massa di suatu pagi buta setelah jam salat Subuh di rumah kontrakannya. Dia diseret beramai – ramai sampai ke desa Ngepung dan disiksa yang jaraknya sekitar dua kilometer dari rumah kontrakannya. Desa Ngepung ini bertetangga dengan desa Klampok, dan berita pembunuhan sampai ke desa itu. Almarhum Pak Nursam, yang kebetulan pengurus masjid Jami’ Klampok mendengar kabar bahwa ada guru PKI dibunuh dan mayatnya ditinggal begitu saja di pinggir jalan. Pak Nursam memanggil rapat para jamaah masjid bermaksud untuk mengecek kebenaran berita pembunuhan itu, apalagi kabarnya korban tersebut pak Imam Subekti guru yang cukup dikenal masyarakat. “Karena ada kesaksian, Pak Imam pernah salat ke masjid dan merupakan seorang guru yang banyak jasanya mengajarkan ilmu dan pengetahuan kepada anak – anak kita, sebagai muslim, adalah fardhu ain bagi kita untuk merawat jenazah itu, masak dibiarkan tergolek di pinggir jalan,” kata pak Nursam. “Sebagai muslim, kita makamkan saja secara Islam dengan segala tanggung jawabnya,” katanya lagi meyakinkan masyarakat yang hadir karena ada yang takut kalau dituduh simpati kepada orang PKI. Setelah saling bersitegang karena ada yang setuju, tetapi ada beberapa orang yang menolak karena takut dan lalu pergi menjauh, maka keputusan akhir, dimakamkanlah jenazah pak Imam Subekti di pemakaman Klampok secara Islam. Tetapi makam itu sudah tidak jelas di mana letaknya karena tidak ada yang berani merawat, takut kalau dituduh dan difitnah yang macam-macam. Bahkan di kalangan masyarakat beredar rumor yang sampai ke kalangan anak – anak kecil mengenai makam orang PKI, pak Bekti, yang diisukan seram – seram dengan berbagai ceritanya. Oleh karena itu, ketika ada kabar bahwa kerabat keluarga Pak Imam Subekti pernah datang dan menanyakan letak makam beliau, tidak ada yang bisa memberitahu. Hanya dikasih tahu, bahwa almarhum Pak Imam Subekti benar dimakamkan di pemakaman desa Klampok secara Islam. Kabar yang beredar, pak Bekti dibunuh oleh orang-orang dari daerah lain. Karena dikhawatirkan mereka salah faham dan ditakutkan akan menyerbu masyarakat yang memakamkan secara baik-baik, pak Nursam mengajak warga siskamling siang dan malam untuk siap menjelaskan seandainya diantara mereka ada yang datang. Namun, perdebatan terus saja terjadi. Yang ketakutan dituduh PKI tetap mempertanyakan dasar pemikiran kenapa dimakamkan secara Islam. Pak Nursam konon berdalih dan bertanya :”Kalau kita menemukan jenazah tak dikenali, bolehkah kita memakamkan secara Islam atau kita kubur begitu saja? Sebagai fardhu ain bagi setiap muslim, kita tentu wajib memakamkan sesuai keyakinan kita”. “Tetapi kan dia anggota PKI yang sudah jelas-jelas, Pak!”, sanggah seorang warga. Pak Nursam berusaha mempertegas memberikan penjelasan. “Kalau orang PKI meninggal dunia, atau menikah, kira-kira apakah dia mengakui agamanya atau tidak, ya? Sebab, nyatanya tidak ada kuburan khusus orang PKI atau menikah dengan cara PKI, sehingga cara pemakaman yang kita lakukan Insya Allah benar. Semoga Allah subhanallah taala meridhoi langkah kita sebagai muslim, sedangkan mengenai pribadi almarhum biarlah Allah Yang Mahakuasa yang berhak mengadili ”, jelas Pak Nursam. Di usia Bapak setua ini kemudian ingat jasa orang tua dan para guru yang mengajarkan, membimbing dan membuat pandai kita semua. Oleh karena itu Bapak berziarah seperti tadi. Semoga Allah subhanahullah taala mengabulkan doa Bapak”. Anak – anakku sampai berbinar – binar matanya, mungkin juga ikut prihatin dan simpati yang mendalam. “Kenapa mesti dibunuh, ya Pak, kasihan sekali beliau!” kata si bungsu yang memang mempunyai jiwa yang mudah trenyuh. Aku berusaha mencoba memecah keheningan dengan mengalihkan pembicaraan yang menyangkut silaturahim dan rencana halal bihalal. Selesai makan, kuminta semua mengheningkan cipta sambil berdoa dan membaca surat Al – Fatihah untuk almarhum Pak Guru Imam Subekti.***** Muhammad Sadji, adalah Pensiunan BUMN yang karya cerpennya dimuat di buku antologi : Kumpulan Cerkak Bahasa Jawa Asmarandana (Agustus 2020), Tersembunyi (Mei 2021) dan Tinggal Kenangan (April 2024).

Selasa, 07 Januari 2025

Pengalaman Mengikuti Lomba Menulis Surat

 

ilustrasi menulis surat. (sumber: Castorly Stock di Pexels)


Pada awal tahun 2024 saya mengikuti lomba menulis surat. Temanya “Lomba Menulis Surat Kepada Sahabat”. Untuk melawan lupa dan menunda kepikunan, saya memang selalu berusaha menulis apa saja, juga mencoba mengikuti berbagai lomba menulis. Karena lomba itu iumumkan di media sosial, tentu saja pesertanya membludak. Dan ketika pengumuman, naskah surat saya termasuk yang terpilih untuk dibukukan. Juga disebut adanya tiga orang penulis surat yang dinyatakan terbaik sebagai pemenang.

       Pada bulan Maret 2024 saya mengirim uang untuk memesan buku sebanyak tiga eksemplar senilai Rp 180.000,- Dapat diduga, peserta yang masuk nominasi untuk dibukukan pasti memesan buku yang berjudul “Surat Untuk Sahabat” dan sudah dinyatakan terdiri atas 300 halaman. Dan lucunya, buku yang saya pesan itu tak kunjung terkirim sampai sekarang dan panitia berikut penerbitnya susah untuk dihubungi. Pernah sempat tertemukan, penerbit itu beralamat di Lampung tetapi tidak bisa dihubungi dan malah kemudian menghilang. Karena naskah surat itu saya buat sesuai fakta, pengalaman dan kejadian sebenarnya, maka bagi saya,itu termasuk dokumen sejarah pribadi yang bisa menjadi bagian dari biografi saya. Oleh karena itu, perlu saya ungkap surat pribadi itu secara terbuka, dan inilah bunyi selengkapnya.

Buat sahabatku Afandi Zuhri di Kendal

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Sahabatku nan jauh,

Seperti pada pembicaraan kita via HP beberapa hari yang lalu, bahwa keadaanku di Bekasi sekeluarga baik-baik saja. Semoga sahabatku sekeluarga di Kendal demikian juga hendaknya. Saya kok tiba-tiba ingin menelpon sahabat. Dan ternyata sahabat baru pulang dari Malang karena Awuk, adik sahabat telah berpulang ke rahmatullah pada hari Sabtu tanggal 17 Februari 2024 yang lalu. Saya turut menyampaikan duka cita yang mendalam, semoga amal ibadah almarhumah Awuk diterima Allah subhanallahu taala.

Dalam usia di atas 70 tahun ini kegiatanku sehari-hari antaralain berbenah dan merapikan barang-barang koleksiku berupa suratkabar alias koran, majalah, buku, benda filateli dan numismatik serta surat-surat dari para sahabat dan kenalan. Beberapa waktu yang lalu, saya kebetulan menemukan surat sahabat beserta foto hitam putih. Saya jadi teringat, semenjak kepindahan keluarga sahabat ke Malang pada tahun 60-an kita belum pernah ketemu langsung sampai sekarang ini. Berkali-kali ingin merancang pertemuan antara saya, sahabat dan Mulyono sahabat kita yang juga pindah ke Sidayu, tidak pernah terlaksana.

Saya sangat kecewa dan terharu, karena Mulyono yang sempat kita pertanyakan karena sulit dihubungi, ternyata sudah lebih dulu berpulang ke rahmatullah. Saya sempat berkunjung ke rumahnya beberapa waktu yang lalu dan ketemu semua keluarganya. Mari kita bacakan surat Al Fatihah untuk almarhum Mulyono sahabat kita agar amal ibadah dan kebaikannya diterima Allah subhanahu wataala dan mendapat ganjaran pahala yang setimpal. Sungguh, saya baru sempat melihat raut wajah sahabat ketika pembicaraan via w/a beberapa hari yang lalu itu. Untuk kenangan, maka saya menulis surat ini semoga sahabat senang membacanya. Karena terakhir ini, saya selalu teringat semasa kanak-kanak ketika tinggal di Benjeng, sebuah desa setingkat kecamatan di wilayah Kabupaten Gresik. Sahabat pasti masih ingat, sebagai teman bertetangga kita selalu bermain bersama, bertiga bersama Mulyono. Sahabat yang setahun lebih tua, masuk sekolah duluan di Sekolah Dasar Negeri Benjeng. Kita ingat, kelas satu dan kelas dua waktu itu gedung sekolahnya berada di kampung Benjeng Barat. Kalau rindu mau bermain, saya selalu sudah menunggu di rumah sahabat dan sahabat kemudian selalu mengajari saya dengan menirukan bak seorang guru. Lucunya, saya selalu menurut saja. “Ji, saya tadi diajari berhitung, ini angka dan cara menghitungnya bisa pakai jari. Nanti harus pakai potongan batang kayu yang harus dibuat kecil-kecil sepanjang jari telunjuk tangan”, sahabat menjelaskan dengan meyakinkan dan saya selalu mengikutinya. Begitu juga ketika sahabat mengajarkan huruf dan menyanyi lagu Burung Kutilang, saya tirukan dengan bersungguh-sungguh. Karena hampir setiap hari bermain sekolah-sekolahan dengan sahabat begitu sepulang sekolah itulah, alhamdulillah saya menjadi terbiasa menyukai belajar sejak duduk di kelas satu Sekolah Dasar.

Ternyata bermain sekolah-sekolahan itu saya rasakan sebagai pengganti pendidikan tingkat Taman Kanak-kanak yang memang belum ada di desa kita waktu itu. Terimakasih sahabat, ini betul-betul kenangan indah dan berharga yang saya peroleh bersama sahabat dan selalu saya ceritakan pengalaman hidup ini kepada siapa saja. Itu adalah amal baik sahabat yang semoga mendapat pahala yang sepadan dari Allah subhanahullah taala . Sungguh saya telah banyak memperoleh manfaat keberuntungan karena di kemudian hari saya sempat mendapatkan pendidikan gratis dari perusahaan tempat saya mengabdi untuk jenjang D3 dan S1 Sarjana Ekonomi.

Kalau sahabat mengalami pindah ke Malang lalu bekerja dan menetap di Kendal, saya waktu naik ke kelas enam pindah ke Gresik kota sampai menyelesaikan SLTA. Setamat STM Kimia Industri saya diterima bekerja di sebuah BUMN, PT Pertamina (Persero), dan sempat menempuh pendidikan tugas belajar di Akamigas (Akademi Minyak dan Gas Bumi) Cepu pada tahun 1973 sampai dengan 1975 dan kemudian menetap di Bekasi, Jawa Barat hingga sekarang ini karena penempatan bekerja di Jakarta sejak tahun 1976. Sesekali sempat pulang kampung ke Benjeng karena masih punya sanak famili di sana. Benjeng sekarang sudah sangat berubah. Sekolah kita di Benjeng  Barat yang dibangun Belanda dengan konstruksi besi dan tembok sudah dirobohkan. Seluruh kelas satu sampai kelas enam sudah terpusat di Benjeng Timur. Sekolah kita yang aslinya dibangun oleh Tuan Jepang dari bahan kayu masih kokoh berdiri. Masjid Jami Benjeng tempat kita mengaji Al Qur’an sehabis shalat Maghrib masih ada tetapi sudah dirombak. Telaga tempat kita mandi dan mengambil air wudhu sudah tidak ada dan rata sebagai daratan. Burung elang yang suka menyambar anak ayam dan sering diteriakin orang-orang dengan kata-kata “ulung….ulung, ulung….ulung!”, serta burung gelatik dan burung hantu, kata teman dan para orangtua sudah tidak ada lagi berkeliaran di desa kita seperti semasa kita kanak-kanak dulu. Benjeng sekarang sangat ramai karena penduduk semakin banyak. Sawah dan tambak ikan tempat kita dulu dan teman-teman suka buang air besar, sudah tidak tampak lagi dan banyak berubah menjadi perkampungan.

Mungkin surat saya cukup sekian dulu sahabat, lain waktu kita sambung lagi. Tolong segera dibalas karena saya ingin membandingkan tulisan tangan sahabat di usia lebih dari 70 tahun sekarang ini. Mari kembali kita budayakan menulis surat untuk menyimpan kenangan sebelum kita bisa bertemu langsung yang masih sangat saya idamkan. Salam kepada keluarga dan semoga senantiasa sehat wal’afiat serta sejahtera selalu. Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Bekasi, 29 Februari 2024.

Begitulah bunyi surat saya yang juga merupakan sebagian dari episode perjalanan hidup saya. Terntang uang yang sudah terlanjur terbayar sebesar Rp 180.000,- itu, biarlah merupakan amal jariah saya, semoga bermanfaat bagi yang memerlukannya. Walaupun kita seharusnya tidak boleh mentolerir segala bentuk penipuan, pencurian, penggelapan dan korupsi dengan berbagai cara dan sekecil apa pun nilainya. Yang menyesakkan hati, seandainya buku tersebut jadi dicetak, ia akan merupakan buku keduabelas yang memuat naskah karya saya secara antologi dalam bentuk cerita pendek (cerpen), puisi dan artikel bebas. Menuangkan kata hati, mengungkap pendapat, ide, kritik dan gagasan, alhamdulillah, inilah salah satu upaya kesibukan saya dalam memanfaatkan waktu luang. Semoga Allah subhanahullah ta’ala selalu membimbing jerih-payah hamba-Nya. Aamiien yarabbal alamiin.*****        

Selasa, 14 Mei 2024

Kisah Kodok Ijo dan Cicak

 

Ilustrasi Katak dan Cicak. (Sumber: NU Probolinggo)

Taman Kanak-kanak (TK) Yudha Jatikramat Indah I Bekasi ramai anak sekolah sedang istirahat. Mereka berlarian dan bersenda-gurau ala anak-anak yang sebagian besar masih berusia balita. Seekor Cicak warna putih kehitaman yang sudah lama menghuni di Gedung TK Yudha ikut sibuk mengamati keceriaan anak-anak sambil memperhatikan makanan mereka yang tercecer karena masih pada belajar makan mandiri. Cicak itu selalu kenyang memakan ceceran makanan anak-anak yang beraneka macam jenis masakan.

       Bel berbunyi, tanda istirahat sudah selesai. Anak-anak masuk kelas kembali dengan rapi dan teratur. Setelah anak-anak duduk rapi, Ibu Guru berseru :”Anak-anak, sekarang kita akan menyanyi! Lagunya berjudul “Cicak”. Siapa yang sudah tahu Cicak?”. Semua menjawab sambil mengangkat tangan :”Saya tahu Bu Guru!”. Baik, sekarang dengarkan semuanya, kata Bu Guru.

Karena mendengar namanya disebut-sebut, Cicak lalu beranjak masuk ke dalam kelas dan langsung merayap ke dinding kelas terus naik ke atas. Anak-anak ada yang mengamati. “He…..,itu Cicaknya!”, seru mereka sambil menuding ke arah Cicak yang sudah bertengger di dinding sekolah. “Iya,..lihat semuanya, itulah Cicak, dia ikut memperhatikan kalian! Ayo kita menyanyi yang baik!”, pinta Bu Guru.

Bu Guru memulai menyanyi dengan suara merdunya. “Cicak-cicak di dinding, diam-diam merayap. Datang seekor nyamuk, hap…hap…lalu ditangkap”, begitu berulang-ulang dan semua murid menyimak dan ada yang menirukan karena kebanyakan sudah diajari oleh orangtuanya di rumah. Cicak menyimak dengan senang hati karena namanya disebut dalam nyanyian. Sambil berjoget menyibak-nyibakkan ekornya, dia berpikir, nyamuk pasti enak, ya! Dia membayangkan :”Di mana ya bisa dapat nyamuk?”.

Lama-kelamaan si Cicak tahu wujud nyamuk yang biasa muncul pada malam hari dan sukanya menggigit manusia. Pada hal, pada malam hari di Sekolah TK Yudha tidak ada manusia sehingga tidak dijumpai nyamuk sama sekali. Tiap hari anak-anak menyanyikan lagu Cicak disertai gayanya masing-masing. Suatu hari Bu Guru bercerita tentang nyamuk, serangga berbahaya karena bisa menyebarkan dan menyebabkan berbagai jenis penyakit pada manusia yang digigit. Cicak jadi tahu bahwa nyamuk berkembang biak dengan bertelur di air, kemudian berubah menjadi jentik-jentik, dan beberapa lama kemudian berubah menjadi nyamuk. Diam-diam Cicak melakukan observasi, dia pergi ke got atau selokan dekat sekolah. Sepanjang pagi, siang dan malam dia mengamati got. Ternyata benar, dia tahu kapan nyamuk bertelur, jadi jenti-jentik dan setelah sampai waktunya, umumnya pada sore hari berubah menjadi nyamuk dan langsung terbang setelah bertengger di tempat daratan atau di atas daun tumbuh-tumbuhan sebelum terbang. Berhari-hari Cicak mengamati nyamuk yang baru berubah dari jentik-jentik menjadi nyamuk. Sesekali dia berancang-ancang ingin menangkap nyamuk sebelum terbang, tetapi dia selalu ragu-ragu takut jatuh ke air. Dan benar juga, ketika Cicak mau menyaplok nyamuk, tidak berhasil karena keburu terbang dan dia malah terjatuh ke dalam air. “Sialan !”, katanya sambil tertatih-tatih berusaha berenang ke daratan. Maksud hati ingin menikmati nyamuk malah tertelan air got. Untung masih bisa menyelamatkan diri dan kembali bertengger di atas daun. “Ah…,lebih nyaman menikmati ceceran makanan anak-anak TK yang beragam !”, gerutu Cicak.

       Sedang asyik membayangkan rasa nyamuk, tiba-tiba datanglah seekor Kodok Ijo yang sedang santai berenang ria. “Hai Cicak, sedang ngapain kamu termenung di situ?”, sapa Kodok Ijo mengagetkan si Cicak. Kodok Ijo yang tiba-tiba menyembul ke permukaan, membuat Cicak tergeragap dan menjawab :”Aku sedang menunggu nyamuk tapi belum pernah dapat!”. Oh, kamu sebaiknya makan yang biasa kamu cari saja, Cicak! Biar aku yang makan jentik-jentiknya. Dan lagi, sudah lama ya kamu berjaga di sini?”, kata Kodok Ijo memberi saran kepada Cicak.

“Nggak juga! Aku kan hanya ingin merasakan nyamuk seperti yang dinyanyikan anak-anak TK. Sehingga sampailah aku di tempat ini. Selama ini sih, aku dapat makanan dari anak-anak yang tercecer di kelas atau tempat bermain, karena mereka kan baru belajar makan mandiri!”, jelas si Cicak. “Temanmu banyak, ya Cicak? Kalau aku tinggal sendirian karena teman-temanku banyak ditangkap manusia untuk dijadikan santapan. Aku berhasil lari dan bersembunyi di sepanjang got di komplek perumahan ini. Dan ternyata lumayan, gotnya cukup bersih dan banyak nyamuk bertelur!”, cerita si Kodok Ijo sedikit memelas. “Kalau aku, temanku banyak karena tidak diburu manusia, dan aku bisa sembunyi di celah-celah yang aman”, jelas si Cicak. Kodok Ijo dengan matanya berkaca-kaca melanjutkan ceritanya :”Dulu temanku juga banyak sekali, karena tempat kita ini tadinya berupa persawahan yang luas. Menurut tetuaku, persawahan itu sangat luas dan hidup berbagai hewan air termasuk ular yang juga memangsa kelompokku. Ketika kemudian berubah menjadi kawasan perumahan, terjadi pengurugan lahan, dan sejak itu Kodok Ijo banyak terbunuh. Beruntung, kelompok biangku berhasil lari menyelamatkan diri. Disamping perburuan oleh manusia untuk diperdagangkan sebagai bahan santapan, manusia yang semakin banyak juga membuat kami punah karena got menjadi jorok dan banyak beracun. Sewaktu kami masih banyak, di malam hari kami selalu bernyanyi bersama. Orang bilang kami ber”ngorek” sehingga ada lagu tentang Kodok!”. Yang tiba-tiba memancing Cicak nyeletuk :”Coba kau nyanyikan lagumu itu, biar aku tahu!”.

       Dengan sedikit tersenyum dan tertawa kecil, Kodok Ijo kemudian bernyanyi :”Kodok ngorek…Kodok ngorek,,,ngorek pinggir kali. Teot teblung…teot teblung…teot…teot teblung. Bocah pinter…bocah pinter…besuk dadi dokter”. Cicak sambil mengibaskan ekornya pertanda sangat suka, memberikan komentar :”Oei, lagumu bagus lho Kodok Ijo!”. Sambil membanggakan diri, Kodok Ijo menyambung ceritanya :”Ya, tetapi sekarang aku tidak pernah bernyanyi atau ber”ngorek” lagi, di samping karena sendirian, juga takut diketahui manusia atau ular yang kemudian memburuku. Maka aku hanya sembunyi terus sambil mencari serangga makananku. Aku paling suka makan jentik-jentik lho, Cicak! Jadi kamu tidak akan sempat mencoba makan nyamuk dari sepanjang got ini. Manusia mestinya berterimakasih kepadaku dan kawan-kawanku, karena nyamuk sudah kuberantas sejak baru menjadi jentik-jentik”.

       Sedang asyiknya mereka berdua bersantai ria di pagi hari, tiba-tiba air got berombak cukup mengagetkan. Kodok Ijo dan Cicak sempat terjengkang dari tempatnya. Kodok Ijo sangat paham suasana demikian. “Cicak…., mungkin orang-orang sedang kerja bakti keruk-keruk got, Aku harus menyelamatkan diri, lari dari tempat ini! Aku harus segera mencari tempat yang aman!”, seru Kodok Ijo dengan tergopoh-gopoh dan segera lari dengan berenang.

       Dengan perasaan iba, Cicak berteriak kepada Kodok Ijo yang sudah menjauh :”Selamat ya Kodok Ijo, semoga kamu dapat tempat yang aman dan nyaman. Semoga kamu ketemu teman-temanmu di tempat yang membahagiakan! Sambil menitikkan air matanya, Cicak terus mengamati Kodok Ijo yang berenang semakin menjauh dari pandangannya. Setelah hilang dari penglihatannya, Cicak pun segera beringsut menyembunyikan diri dan siap lari ke pelataran TK untuk mencari makanan anak-anak yang tercecer, sembari terus berdoa bagi keselamatan si Kodok Ijo, sahabat barunya yang tiba-tiba terputus dan berpisah. ***** Bekasi, pertengahan September 2022.

Minggu, 31 Juli 2022

Layang-Layang

      

Lukisan "Benjamin Franklin Drawing Electricity from the Sky" karya Benjamin West

        Indonesia yang terletak di garis khatulistiwa, mengalami dua musim, yaitu musim penghujan dan musim kemarau. Apabila normal, pergantian musim terjadi dalam setiap setengah tahun. Dan pada setiap pergantian musim yang disebut musim pancaroba, angin bertiup demikian kencang dan selalu dimanfaatkan oleh orang dewasa maupun anak-anak untuk bermain layang-layang. Bulan Juli telah tiba, yang merupakan musim pancaroba, perubahan dari musim penghujan ke musim kemarau. Awal bulan Juli adalah merupakan libur panjang bagi anak sekolah dan segera memasuki tahun ajaran baru.

       Aji naik ke kelas enam. Bapaknya mewanti-wanti :”Aji, kamu sekarang sudah kelas enam. Sebentar lagi kamu akan masuk SMP. Kurangi bermain-main dan giatlah belajar agar nilai ujianmu bagus supaya nanti bisa mendapat SMP yang baik!”. Aji menyimak dan memperhatikan dengan baik nasihat Bapaknya. Sepulang sekolah, setelah sholat, makan siang dan istirahat, dia sempatkan waktu untuk membaca dan mengulang pelajaran yang didapat sepanjang hari tadi. Bapak si Aji sangat gembira dan bahagia melihat anaknya semakin rajin belajar dan mengurangi waktu bermain. Apalagi main HP dan menonton TV sudah sangat dia kurangi. Sesekali sempat juga main sepakbola di lapangan bersama teman akrabnya, Mono, Amin, Tomo dan Joni sambil bersenda-gurau.

       Pada hari Minggu pertengahan Juli, libur panjang seharian. Cuaca cerah dan panas menyengat. Angin bertiup kencang menerbangkan debu dan dedaunan yang sudah layu serta sampah ke segala arah. Terkadang diseling munculnya angin puting beliung kecil yang bergerak berputar-putar menghempaskan debu dan sampah berterbangan. Orang dewasa dan anak-anak ramai menerbangkan layang-layangnya yang berwarna-warni dan beraneka bentuk. Ada juga yang saling mengadu. Layang-layang dikendalikan menyambar kesana-kemari, menukik dan kemudian benang saling bergesekan. Kalau ada yang putus, bersorak-sorailah mereka dan sering disertai saling mengejek.

       Empat sekawan, Mono, Amin, Tomo dan Joni sedang asyik memainkan layang-layangnya disertai canda-ria. Tiba-tiba mereka saling mempertanyakan kenapa kok Aji tidak muncul main layang-layang seperti biasanya. Aji memang tidak lagi main layang-layang seperti dulu. Bapaknya menasihati, bahwa main layang-layang itu hanya membuang-buang waktu. Kalau ada layang -layang putus, anak-anak pada berlarian mengejar dan tidak tahu lagi bahaya yang mengancam misalnya ada yang terjatuh, atau tertabrak kendaraan bermotor. Lebih baik belajar, kata Bapaknya. Sore hari selepas main layang-layang, empat sekawan teman Aji sepakat mampir ke rumah Aji. “Assalamualaikum…..”, teriak mereka, yang disambut Ibunya Aji :”Waalaikum salaam, cari Aji ya! Tunggu ya, Aji sedang mandi. Ayo masuk!”. Ketika masuk ke ruang tamu, teman Aji kaget. Ternyata Aji punya banyak layang-layang yang dipajang di ruang tamu dan ada yang menumpuk di meja tamu. “Dia punya banyak layang-layang, tetapi kenapa tidak dimainkan, ya?”, tanya salah seorang keheranan sambil bergumam.

       Aji selesai mandi dan segera menemui teman-temannya :”Hai….., asyik ya mainnya!”. Temannya menjawab hampir serempak :”Iya asyik, kenapa kok kamu nggak ikut keluar seperti dulu, Aji?”. Aji kemudian menjelaskan secara panjang lebar kepada teman-temannya :”Begini teman-teman! Kita ini kan sudah naik ke kelas enam dan sebentar lagi mau ujian lalu mencari SMP. Bapak bilang, kurangi bermain dan banyaklah belajar agar mendapat nilai yang baik dan mendapat SMP yang baik. Layang-layang atau benangnya yang nyangkut di kabel listrik, bisa menyebabkan korsleting dan bisa timbul kebakaran, kan daerah kita padat perumahan dan banyak kabel listrik serta yang lain berselawiran. Banyak bangkai layang-layang yang nyangkut di kabel-kabel, atap rumah dan di pepohonan yang tidak sedap dipandang mata, kata Ibuku juga. Dari pada membuang-buang waktu lebih baik dipakai belajar, kata Bapakku!”. Tiba-tiba seorang di antara mereka menangkis :”Kan kita perlu juga refreshing dan bersuka-cita, Aji, jangan belajar terus, bisa pusing lho! Dan lagi, kok layang-layangmu kamu pajang, dan gambarnya bagus-bagus, beli di mana, ya?”. Aji menjawab :”Aku beli warna polos lalu kulukis sebagai refreshingku”. Seorang lagi menanyakan :”Lho, kok ada gambar kakek-kakek bermain layang-layang, kakekmu ya?”. Teman-temannya yang lain ikut menimpali tetapi disertai tertawa kecil kegelian sambil memperhatikan gambar seorang tua berkepala botak tetapi gondrong ke belakang yang dikiranya kakeknya Aji. Tetapi buru-buru Aji menjelaskan :”Oh bukan, itu Benjamin Franklin tokoh negarawan Amerika Serikat yang pernah bermaksud membuktikan listrik statis dari  awan, kilat dan petir dengan menerbangkan layang-layang setinggi mungkin sewaktu langit berawan mendung”.

       Wee…..hebat, Aji banyak membaca dan belajar, pengetahuannya banyak!”, seru si Amin dan bertanya :”Listrik statis itu apa ya, Aji?”. “Oh nanti, kita pasti tahu pada waktunya, belajar saja dulu sekarang dan sekolah terus!”, kelit Aji sambil tersenyum menjawab pertanyaan teman-temannya. Setelah melahap jamuan yang disuguhkan oleh Ibunya Aji, mereka pamit pulang. Di perjalanan, sambil masing-masing menenteng layang-layangnya, mereka saling bergumam :”Kita sebaiknya ikut rajin belajar seperti Aji, ya!”.*****

Bekasi, Juli 2022

Minggu, 03 Juli 2022

KURANG GARAM, KURANG CABE

 

Anak Kecil Sedang Bernyanyi. (Sumber: Pexels oleh Katya Wolf)

      Setiap datang hari Rabu, Darso pasti merasa sedih. Mata pelajaran kesenian selalu membuatnya keringat dingin, inginnya segera pulang kalau saja tidak takut dihukum atau dimarahi Ibunya karena membolos. Setiap pelajaran kesenian, dalam batin dia berdoa, semoga pelajarannya diisi dengan melukis atau menggambar, atau prakarya saja, jangan seni suara atau menyanyi. Kalau pelajaran menyanyi pasti mati kutu, deg-degan sepanjang pelajaran, karena takut mendapat giliran. Kalau kebetulan mendapat giliran, senangnya Darso menyanyikan lagu yang cepat, biar cepat selesai. Yang membuat Darso sedih dan malu, karena setiap menyanyi pasti disoraki teman-temannya dan diteriaki bersahut-sahutan :” Hee…suaranya fals, kurang garam!. Iya…kurang garam!”.

      Alam pikiran murid kelas tiga Sekolah Dasar kebanyakan percaya saja. Pada hal pelajaran seni suara adalah suasana kegembiraan dan penuh senda-gurauan serta gelak-tawa. Tetapi Darso suka baperan, selalu dibawa ke perasaan. Maka setiap jajan waktu istirahat, yang dituju Darso selalu tukang bakso atau mie ayam dan minta garam yang banyak. Tukang bakso sampai dibuat keheranan. Anehnya, setiap menyanyi kok teman-temannya masih saja teriak kurang garam bersaut-sautan sehingga membuat Darso juga heran. “Ah, mungkin lagunya yang harus ganti! “, pikirnya dalam hati. Maka dihapalkannya lagu lain, dengan harapan tidak dibulli lagi oleh teman-temannya.

      Tiap mandi, Darso bernyanyi dengan lagu baru pilihannya. Ibunya keheranan, karena Darso sekarang suka bernyanyi dan dengan suaranya keras-keras. Ketika tampil dengan lagu baru, teman-temannya malah berubah teriakannya dan saling bersautan:” Oe…lagu baru choi! Tapi masih fals, kurang cabe, kurang sambal pedas!, Iya…, kurang nyaring, kurang cabe !”. Darso mikir lagi, bagaimana suara bisa nyaring, ya? Maka tak berpikir panjang, setiap istirahat, Darso selalu lari ke tukang bakso dengan sambal dibanyaki dan terkadang sampai gaber-gaber. Tukang bakso dibuat heran lagi. Beberapa hari yang lalu suka garam, kok sekarang ganti suka sambal. Bahkan suatu kali, tukang bakso sampai marah dan ngomel-ngomel menuduh Darso yang menghabisi sambal.

      Tiba-tiba Darso tidak masuk sekolah, kabarnya sakit perut. Karena sudah tiga hari ijin  sakitnya, Guru Wali Kelas dan teman-temannya kemudian pergi menjenguk ke rumah Darso. Berjalan kaki mereka beriringan menuju ke rumah Darso sepulang sekolah. Dengan pucat dan masih lemah, Darso didampingi Ibundanya tertawa meringis karena geli ketika diminta Ibu Guru bercerita pengalamannya supaya didengar teman-temannya. Darso mengaku dengan jujur semua pengalamannya yang aneh dan lucu, sambil tertawa geli dan berharap mendapat simpati. Sambil menatap temannya yang paling garang meledek sewaktu dia bernyanyi,, Darso meneruskan ceritanya :”Karena setiap menyanyi selalu diolok-olok teman-teman, katanya suara fals kurang garam dan kurang cabe, maka diam-diam sewaktu jajan bakso atau mie ayam, saya selalu suka makan sambal dan mungkin terlalu banyak. Sakit perut ini kata dokter, karena kebanyakan makan sambal yang pedas sehingga mengganggu pencernaan”. Ibunda Darso ikut menimpali sambil tersenyum geli :”Dipikirnya, dengan banyak makan sambal dikiranya bisa bernyanyi seperti artis penyanyi, tak tahunya ternyata perutnya yang jadi terkikis”. Mendengar cerita Darso, semua yang menjenguk tertawa terkekeh-kekeh.

       Cukup lama mereka menjenguk Darso, saling mengobrol dan bercanda-ria. Ibu Guru tiba-tiba menghentikan acara kangen-kangenan Darso dengan teman-temannya dan berujar :”Anak-anak, Darso perlu istirahat yang banyak. Mari kita berdoa menurut agama dan kepercayaan kalian masing-masing agar Tuhan Yang Mahakuasa segera memberikan kesembuhan kepada Darso sehingga bisa segera masuk sekolah kembali. Nanti kalian jangan lagi saling meledek atau membulli dan harus saling akur dengan sesama teman. Bagi yang beragama Islam mari kita bacakan Surat Al-Fatihah. Hayo, mari kita berdoa!”. Setelah dinasihati Ibu Guru Wali Kelas, semenjak itu tidak ada lagi buli-membuli di kelas terutama sewaktu pelajaran menyanyi atau seni suara.*****(dikembangkan dari cerpen karya Penulis dalam Bahasa Jawa yang berjudul “Kurang Uyah lan Kurang Lombok” dan dimuat dalam buku : Asmarandana, penerbit Graf Literasi, cetakan pertama  Agustus 2020 hal. 97-98).

Senin, 13 Juni 2022

Hobi Surat Menyurat

 

Suatu hari, Uci bongkar-bongkar koleksi hobi Bapaknya. Selama pandemi Covid-19 ini, dia banyak berdiam diri saja di rumah. Setelah belajar via medsos mengenai pelajaran di sekolah, biasanya kemudian nonton TV, lalu banyak main gawai sambil bermalas-malasan.

“Wei, ini apa Pak kok banyak sekali?”, teriak si Uci ketika menemukan tumpukan post card atau kartu pos yang diperoleh Bapaknya sewaktu masih sekolah dulu. “Oh, itu kartu pos koleksi Bapak waktu masih sekolah di SMP dan STM. Bapak dulu suka berkirim surat!”, jelas Bapaknya. “Kamu suka?”, tanyanya kemudian. “Iya Pak, untuk Uci ya? Gambarnya bagus-bagus, Uci senang dan suka sekali untuk menyimpannya!”, jawabnya.

“Nah, kalau begitu, kamu harus mulai cari sendiri. Punya Bapak boleh kamu simpan, jangan sampai rusak apalagi hilang, karena itu kenang-kenangan Bapak!”, pesan Bapak si Uci. “Cari atau beli di mana, Pak?”, tanyanya. “Caranya, kamu harus menulis surat untuk meminta post card, buku atau majalah. Kebetulan, radio luar negeri siaran Bahasa Indonesia mungkin alamatnya masih tetap sama!”, jelas Bapaknya.

“Bagaimana caranya menulis surat, Pak, saya belum tahu, belum pernah diajarkan di sekolah”, jelasnya menghiba. “Coba, kamu kan sudah kelas lima, buat surat minta dikirim post card mengenai Australia ke Radio Australia. Nanti juga ke Radio Asing lainnya!”, kata Bapaknya memberi semangat. Uci lalu mencari buku tulis sisa kelas empat yang belum habis terpakai. Dicobanya membuat surat lalu disodorkan kepada Bapaknya. “Ya, bagus! Tetapi harusnya singkat saja, kenalkan kamu kelas berapa, ingin mendapatkan post card dan apa saja, lalu berikan alamatmu sekolah atau rumah dan ucapan terimakasih! Coba ulang lagi membuat suratnya!”, kata Bapaknya sambil memuji.

Setelah dianggap cukup baik dan dicoba ditulis rapi di kartu pos, diajaklah si Uci ke Kantor Pos. Mereka membeli sejumlah kartu pos dan prangko, sehingga tahulah Uci seluk beluk Kantor Pos. Diajarilah Uci menulis surat di kartu pos dengan tulis tangan dan menempelkan prangkonya sesuai tarip yang berlaku. Tahap awal dikirim ke Radio Australia, Suara Amerika, BBC Inggris, Radio Beijing dan Radio Nederland. Sambil menunggu dan berdoa, diterimalah balasan dari semuanya secara beruntun beberapa lama kemudian. Ada yang memberikan post card, majalah, dan jadwal acara siaran radio. Bukan main senangnya si Uci karena mendapat mainan baru, hobi menulis surat. Semua kiriman dari siaran radio luar negeri tersebut, setelah serius belajar, dibolak-balik untuk dibaca dan dinikmati keindahan gambar-gambarnya. “Sekarang kamu boleh mencoba menulis surat kepada siapa saja! Cobalah buat surat kepada sanak-saudara kita di kampung. Berceritalah mengenai apa saja, kabar tentang kesehatan, perkembangan sekolahmu dan lain-lain. Dengan belajar menulis surat, kelak kamu bisa jadi penulis. Juga bisa jadi pegawai yang baik dan kelak akan mudah ketika membuat skripsi sewaktu menjadi mahasiswa. Oleh karena itu mulailah mencari sahabat pena untuk saling menulis surat”, nasihat Bapaknya, dan Uci menyimak sambil memeluk kiriman pos yang baru diterimanya. Hobi surat-menyurat menjadi hiburan si Uci. Bekal atau uang saku yang diterima dari orang-tuanya selalu sebagian disisihkan untuk membeli kartu pos, amplop, kertas surat, serta prangko guna memenuhi hobi barunya yang ditekuni dengan rajin. Uci sangat menyimak kata-kata Bapaknya yang mengutip nasihat orang Barat :”Tekunilah hobi agar menjadi sahabat yang karib bagimu!”.*****

Selasa, 08 Februari 2022

Surat Orang Utan dan kawan-kawan kepada Presiden Jokowi

 Cerpen ini dimuat di majalah Clapeyronmedia, sebagai tulisan ke 4 yg terbit pada bulan Februari 2022  

        Dua sejoli Orang Utan yang biasanya bergelayutan di puncak pohon besar itu berjalan bergandengan di daratan bak penganten baru yang sedang berbulan madu. Sesekali mereka berlompatan ke pohon besar, bergelantungan dan tetap berduaan. Mereka berdua sangat bahagia karena beberapa waktu terakhir ini terhindar dari kebakaran hutan dan penebangan pohon yang biasanya suaranya berdesing memekakkan telinga semua penghuni hutan. Si Jantan memulai pembicaraan. “ Dinda, hidup kita ini terancam, lho! Coba kau pikir! Manusia  di bumi ini semakin banyak, berkembang pesat sekali dan semakin maju serta pintar. Mereka membutuhkan segala macam dan banyak sekali. Mereka butuh lahan untuk persawahan  dan perkebunan kelapa sawit juga kayu-kayu besar hunian kita ini. Lalu mengincar tanah kita, membabat dan membakar hutan tempat tinggal kita ini seenaknya “, kata si Jantan penuh emosi.

“ Eh kanda, kau bilang ini tanah kita?”, tanya si Betina. Si Jantan langsung menyambar penuh keyakinan :” Ya, iyalah! Tuhan menciptakan alam ini seisinya. Sebelum didatangi manusia, pasti nenek moyang kita lah yang lebih dulu menghuni hutan ini secara turun-menurun. Sayangnya, pertumbuhan perkembang-biakan kita ini lamban, sedangkan manusia cepat sekali, maka kita terdesak dan terusir”. “Tetapi, ada orang pintar yang berpendapat, konon manusia itu dulunya merupakan evolusi dari bangsa kita lho, Kanda, sehingga boleh dibilang kita ini bersaudara dengan manusia”, celetuk si Betina meredam si Jantan yang semakin emosional. “Ya, malah ada bukti, bahwa DNA kelompok kita ini hampir mirip dengan DNA manusia, Sehingga pendapat orang pintar tadi mungkin ada benarnya, walau pun disanggah oleh para ilmuwan lain, terutama para ahli agama, karena pendapat itu bertentangan dengan kitab suci agama apa pun! Oh ya, saya punya pertanyaan , Dinda harus jawab”, kata si Jantan mulai mengendorkan emosinya. “Kalau orang yang tinggal di desa, namanya kan orang desa. Kalau orang yang tinggal di kota, namanya apa ya?”, tanya si Jantan, dan langsung dijawab oleh si Betina :”Ya, orang kota lah!”. “Kalau orang yang tinggal di kampung?”, tanya si Jantan kemudian. Juga langsung dijawab oleh si Betina :”Itu orang kampung, namanya”. “Nah, kalau orang yang tinggal di hutan, namanya apa?”, tanya si Jantan sambil mencolek pipi si Betina dengan genit. “Haa, itu kita ya, Kanda. Orang Utan, sebagaimana mereka memberi nama kepada kelompok kita”, jawab si Betina sambil tertawa terkekeh penuh bangga. “Berarti ada pengakuan dari mereka tho?”, tegas si Jantan. “Tetapi, bagaimana dengan ulah manusia yang terus menebangi hutan tempat tinggal kita ini, lalu membakari seenaknya, Kanda?”, tanya si Betina. “Pada hal, dunia sudah mengingatkan, lho! Untuk menjaga iklim dan lingkungan seluruh jagad, negara yang memiliki hutan agar menjaga kelestariannya. Jadi, hutan kita ini mestinya harus dijaga, bukan dibabat dan dibakari seenaknya!”, jelas si Jantan. “Masalahnya, kita ini di negeri yang masih miskin, sehingga kreativitasnya masih sebatas membabat kekayaan hutannya”, kata si Betina dengan nada seperti mencibir. “Ya, memang susah. Negara kaya membutuhkan berbagai macam barang atau produk dari tanah yang kita huni ini, sehingga ya saling membutuhkan, dan tidak terbendung”, jelas si Jantan. “Wah, kita bakal musnah dong, nanti hanya sebagai tontonan di kebun-kebun binatang saja. Kita harus segera bertindak, jangan diam saja, Kanda!”, usul si Betina. “Memang, saya punya ide. Saya akan mengumpulkan para tokoh penghuni hutan ini untuk membahas masa depan kita”, ujar si Jantan dengan optimis, bahwa pertemuan harus segera terlaksana.

          Maka dibuatlah pengumuman yang ditulis pada daun-daun yang lebar, dipampang pada batang pohon-pohon besar mengenai undangan rapat itu. Juga dibuat spanduk dari dedaunan dan dibentangkan di pohon-pohon yang berisi undangan rapat dengan menyebut tempat dan waktu pertemuan. Tentu saja, undangan versi tutur-tinular yang paling cepat sampai kepada semua hewan penghuni hutan. Berbagai jenis kera, burung, ular dan berbagai binatang melata lainnya sampai berbagai jenis serangga menyanggupi untuk hadir dalam pertemuan yang sangat penting tersebut. Pada hari yang ditentukan, perwakilan penghuni hutan sudah berkumpul di kawasan tempat pertemuan. Bahkan sudah ada yang menginap berhari-hari di atas dan di bawah pepohonan yang rindang dan asri.

          Pertemuan pun dimulai. Di dahan pohon besar, si Jantan Orang Utan sambil duduk berwibawa, membuka pertemuan. “Kawan-kawan penghuni hutan yang berbahagia,…..apakah kita saat ini sedang berada di tempat yang tenteram dan damai?”, tanya si Jantan Orang Utan. Yang dijawab dengan serempak bersahutan :”Ya, kita semua nyaman dan damai!”. “Tetapi sebenarnya, kita ini hidup terancam. Coba kita lihat, manusia setiap hari membabat pohon-pohon hunian dan makanan pokok kita. Mereka tak terbendung dan semakin merajalela. Adakah pemikiran dan usul kalian?”, teriak si Jantan Orang Utan. Burung Enggang, yang merupakan spesies aneh karena burung betinanya bersama  anaknya bersarang di dalam rongga pohon langsung menyampaikan kekhawatirannya. Seolah mewakili suara burung Pekakak yang paling banyak diburu orang untuk dikoleksi, juga burung Mina yang brilian serta burung-burung lain yang banyak jumlahnya, berujar :”Ya, Kanda Orang Utan, kami semua khawatir akan punah karena diburu secara serampangan, dan terhempas karena alam hidup kita terampas oleh manusia”. Demikian juga hewan yang lain, semua mendukung pernyataan burung Enggang. “Bagaimana kalau kita lawan mereka?”, usul Buaya dan Ular Cobra hampir serempak bak jagoan yang hebat. “Maksud kalian?”, tanya si Jantan Orang Utan. “Ya, kita lawan serempak dan bersatu, kita serang dan usir mereka begitu datang ke tempat kita ini!”, tandas si Buaya. “Semua yang punya kemampuan bela diri agar ditunjukkan kehebatan kita kepada mereka!”, kata si Ular Cobra bagaikan sesumbar dan menghasut sejawatnya di hutan Kalimantan yang lebat itu.

         Orang Utan yang biasa membuat sarang dari ranting dan cabang kayu di puncak pohon dan sering berteriak lantang kalau marah dan mengamuk, tertawa terbahak-bahak. Lalu ucapnya :”Pernah suatu ketika, sewaktu kalian semua lari, saya justru terus bertahan di puncak pohon besar. Saya melempari mereka dengan dahan dan ranting dengan harapan agar mereka mengurungkan niatnya, Yang terjadi malah pohon itu tetap ditebang dengan peralatan modern yang suaranya menderu-deru memekakkan telinga. Ketika pohon-pohon pada tumbang saya tidak sempat lari. Rupanya saya ikut roboh, terpelanting dan pingsan tertimpa pohon. Setelah siuman, tahu-tahu saya sudah di kota, dalam kerangkeng besi. Untung ada pecinta lingkungan dan hayati yang tahu dan kemudian membantu sehingga saya dikembalikan ke hutan ini, ketemu lagi dengan kalian”. Bekantan, sejenis kera yang memiliki hidung berdaging panjang dan Gibbon yang baru dilepas-liarkan karena sempat dipelihara oleh orang kaya di kota, tampak termenung dari awal. Dia nampaknya ditugasi oleh kelompoknya untuk mengikuti pertemuan. “Kok kalian berdua bengong saja! Ada yang kalian pikirkan atau ada usul?”, tanya si Jantan Orang Utan. “Ya, Kanda!”, kata si Bekantan dengan suara memelas. “Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo atau yang dikenal dengan Jokowi, malah mau memindahkan ibukota RI ke wilayah kita ini”, jelasnya. “Waah, di mana?”, teriak semua yang hadir hampir serempak. “Rencana sih di Kalimantan Timur”, sahut si Gibbon. “Oh, jauh ya dari tempat kita”, celetuk si Jantan Orang Utan. “Tetapi pasti orang-orang akan berdatangan ke wilayah kita ini, membangun segala macam lalu kita akan tergusur dan mungkin punah dari muka bumi”, gerutu para hewan yang lain dengan perasaan kaget dan khawatir yang teramat sangat. “Eh, saya dengar, Presiden Jokowi itu orang hutan juga ya?”, tanya si Burung Hantu asal nyeletuk. “Hee, jangan sembarangan kau ucap, ya! Nanti kamu bisa ditangkap karena termasuk mencemarkan nama baik dan menghina”, kata si Jantan Orang Utan menyadarkan. Tetapi si Burung Hantu buru-buru menjelaskan lebih lanjut :”Bahwa Presiden Jokowi itu seorang Sarjana Ilmu Kehutanan bertitel Insinyur atau Ir. Sehingga bisa kita  bilang orang hutan, orang yang tahu segala seluk-beluk tentang hutan. Gitu lho, maksud saya! Dan lagi, sewaktu menjadi Gubernur DKI Jakarta , pak Jokowi itu pernah melarang “Topeng Monyet” lho! Mencari makan kok menyiksa hewan, sungguh tidak berperi-kehewanan, begitu kira-kira pola pikir pak Jokowi”, jelas si Burung Hantu lebih lanjut bak seorang guru menerangkan kepada murid-muridnya. “Baik kawan-kawan, saya punya usul! Menyongsong ibu kota baru NKRI di wilayah kita ini, mari kita kirim surat kepada Presiden Jokowi. Mari kita bikin usul rame-rame!”, ujar si Jantan Orang Utan dengan  yakin seolah pandai menulis surat. “Hayo mari kita rumuskan bersama! Burung Hantu, cari ranting yang runcing untuk menulis! Kera, kau cari daun-daun lebar yang bisa dipakai untuk menulis!”, lanjut si Jantan Orang Utan, sepertinya tidak sabar lagi. “Ya, mari kita mulai!”, ujarnya sambil menerawang ke atas dan jari telunjuk yang kanan ditaruh di jidat bak pemikir yang sedang memeras otaknya. “Kepada Presiden Jokowi di Jakarta. Kami penghuni hutan pulau Kalimantan, mendengar, bahwa ibukota NKRI akan pindah dari Jakarta ke kawasan kami, ya Pak? Kalau ya, kami semua senang tetapi takut jika kami nanti tergusur dan punah, Pak! Lalu apa kata dunia? Oleh karena itu kami punya usul, agar kawasan kami ini tetap terjaga, hutan serta kehidupan kami yang unik ini! Mohon pak Presiden pikirkan agar dibuat jalanan semacam tembok Cina yang meliuk-liuk sepanjang hutan dan sungai, tetapi terlindung atas-bawah agar kawan-kawan saya yang besar maupun yang kecil-kecil tidak bisa masuk mengganggu manusia. Biarlah manusia dari segala penjuru dunia melalui jalanan itu bisa menyaksikan kami dengan kedamaian dan saling membutuhkan penghidupan serta hiburan. Perpindahan penduduk dan pertumbuhannya juga mestinya terkendali dengan baik, dan huniannya tertata dengan baik supaya bisa menarik para wisatawan karena lingkungan yang indah. Juga sungai-sungai sebaiknya ditata dengan bersungguh-sungguh sehingga bukan lagi sebagai tontonan banjir, tetapi sebagai sarana pariwisata alam untuk bercengkerama dengan kami. Sebagai kawasan ibukota, mestinya banyak anggota TNI dan POLRI yang menjaga, dan bersamaan dengan itu mohon ikut menjaga kelestarian hutan, dan mengamankan kami sebagai penghuninya. Terimakasih Bapak Presiden, mohon maaf kami tidak bermaksud menggurui, melainkan hanya sekedar sumbang saran. Hormat kami, atas nama penghuni hutan Kalimantan, tertanda “Orang Utan”.

          Ternyata semua tokoh penghuni hutan yang hadir ikut mencatat surat yang didiktekan oleh si Jantan Orang Utan. “Hee….., apa yang kalian tulis, Buaya dan lain-lain yang juga mengumpulkan naskah? Huruf apa yang kalian tulis?”, tanya si Jantan Orang Utan dengan bangga karena semua mendukung langkahnya. “Ini huruf-huruf  di lingkungan kami, Kanda! Biarlah kita kirim saja, siapa tahu di Pemerintahan ada yang paham tulisan kami ini”, jelas mereka saling mendukung. Dengan penuh suka-cita dan mengucap terimakasih kepada semua yang hadir, si Jantan Orang Utan menutup pertemuan yang sangat bersahabat tersebut. Tetapi sebelum bubar, tiba-tiba si Kera tarik suara dengan lantang :”Kanda, kebetulan saya menemukan bekas amplop-amplop besar dan koran-koran milik petugas atau pejabat pembabat hutan yang ditinggal di hutan. Kita bisa pilih huruf-hurufnya untuk dimanfaatkan berkirim surat agar bisa sampai ke tangan pak Jokowi dengan selamat!”.

          Surat dari dedaunan itu segera dilipat rapi dan kepada Kera yang lincah, bersama Anjing sebagai pengawal, diminta untuk mengirim atau menaruh surat itu ke Kantor Pos. Atau meletakkan di Kantor Pemerintahan, atau markas TNI/ POLRI dan mana saja yang terdekat, dengan harapan bisa disampaikan kepada Presiden Joko Widodo.*****

Senin, 21 Juni 2021

Cerpen Para Sastrawan Baru


Pepatah Inggris mengatakan: “Birds of the same feather flock together”, yang artinya, burung yang sama bulunya akan hinggap bersama.

Harian Kompas telah berhasil mengumpulkan orang-orang yang mempunyai hobi yang sama dan minat yang sama, yaitu menulis cerpen. Setiap tahun, Kompas menyelenggarakan Kelas Cerpen Kompas. Kali ini Kelas Cerpen Kompas 2018 berhasil mengumpulkan sebanyak kurang lebih 100 orang, 21 orang dari kelas itu telah melahirkan karya pilihannya yang terhimpun dalam tema urban, yang berjudul “Urban (is) Me”. Dengan cover buku yang dibuat menarik karya Adi Putra Febrian yang tidak lain adalah salah seorang cerpenis dalam buku ini. Berlatar belakang pendidikan Seni Rupa dan Desain yang mulai menekuni dunia tulis menulis, berhasil menciptakan desain grafis yang menggambarkan semua tema cerpen yang ada dalam buku. Cerpennya sendiri yang berjudul Aji Mantra, berkisah menarik tentang kecemburuan sosial dan asmara, percaya pada perdukunan yang berakhir tragis sebagai penyesalan menebus dosa.

Tujuan seseorang menulis memang bermacam-macam. Ada yang karena ideologis, misalnya mengenai agama. Tujuan akademis karena tugas sekolah atau kuliah. Tujuan ekonomis, sebagai mata pencaharian. Karena faktor psikologis misalnya menyalurkan perasaan kebahagiaan atau kesedihan. Tujuan politis yang terkait dengan politik praktis juga ada. Karena tujuan pedagogis atau pendidikan. Atau  bertujuan menjaga kesehatan melalui menulis agar tidak mudah pikun. Dan yang paling umum yaitu tujuan praktis, misalnya karena ingin populer.

Agaknya, semua tujuan penulis sudah terangkum dalam kumpulan cerpen ini. Dengan ukuran 14x20 cm dan dicetak ukuran huruf besar dalam format spasi renggang, buku ini enak dibaca oleh segala usia. Apalagi rata-rata penulis hanya bercerita dalam 10 sampai 16 halaman sehingga tidak perlu bertele-tele dan sampai bosan untuk baca satu cerita saja.

Umumnya para cerpenis menyoroti kondisi masyarakat kita yang berkembang akhir-akhir ini. Tentang sulitnya berurusan dengan rumah sakit melalui BPJS sebagaimana yang dikisahkan oleh Sion Pinem yang memang menapaki profesi sebagai penulis. Juga masih ada yang percaya perdukunan dan membuat anak kandungnya sendiri tewas ditangan Ibunya. Kisah memilukan ini bisa dibaca dalam cerpen Sayang Ujang karya Januarsyah Sutan yang berlatar belakang sebagai pengajar Bahasa Inggris. Tentang lelaki bergajul dan yang lupa diri karena nikah siri dan keluarganya menjadi terlantar sebagaimana dikisahkan oleh Renny DJ. Dan ternyata, lelaki Korea pun ada yang tega meninggalkan keluarganya seperti dikisahkan oleh penulis yang berlatar belakang pendidikan Sastra Inggris. Muhamad Aditya berkisah tentang keluarga Korea itu dengan judul cerpen Myung Hee.

Ada beberapa cerpen mengenai jatuh cinta tetapi kemudian kecewa dan menyesal. Sebagai contoh, Ranang Aji SP yang memang seorang pengarang, berkisah tentang lelaki yang jatuh cinta lewat face book, saling merayu dan puja-puji. Tetapi betapa kecewanya, karena begitu bertemu langsung di tempat dan waktu yang disepakati, ternyata mendapatkan sesama lelaki yang kemayu. Cerpen yang agak menggelikan ini ditulis dengan judul yang cukup panjang, Aku Mencintaimu Seperti Khalil Gibran Pada May Zaidah. Insan Budi Maulana yang berlatar belakang sebagai Guru Besar di beberapa Universitas dan  advokat bercerita tentang dialog dua sahabat, seorang pengarang dengan seorang dai yang berhasil berdakwah di daerah terpencil melalui pendekatan pertanian dan peternakan serta toleransi beragama. Tetapi ada juga yang bercerita mengenai sosok pemuda yang sok alim dan tidak toleran yang ditemui di bus umum angkutan kota. Kisah ini diolah oleh Nur Husna Annisa yang menekuni profesi kepenulisan dalam cerpennya yang berjudul “Dismenore di Bus Trans Jakarta”.Mengenai kearifan lokal yang masih berlaku dan dipercayai banyak orang juga mengilhami beberapa cerpenis. Misalnya anak yang lahir sama hari dengan orang tuanya maka ia harus dipisah dengan kedua orangtuanya, ditulis oleh Indah Ariani yang berprofesi di bidang komunikasi dan publikasi dalam cerpennya yang berjudul Ara. Tentang budaya sedekah laut di daerah Tegal, diceritakan dengan menarik dengan judul “Isteri Lelaki Garam” oleh Hajar Intan Pertiwi yang agaknya mewarisi bakat sastra turun menurun dari bapaknya. Kearifan lokal Tampu Sissi yang merupakan legenda tentang ular raksasa yang pernah membuat perjanjian dengan nenek moyang masyarakat Sulawesi yang bernama Lasupu, barangkali cukup menarik apabila dikembangkan menjadi film. Cerita ini menarik karena melibatkan negara adi daya yang dieksplor dengan cukup dramatis. Cerpen ini dikhayalkan oleh Edy Abdullah yang bekerja sebagai Aparat Sipil Negara (ASN) dan Widyaiswara pada Lembaga Administrasi Negara RI sehingga punya tradisi atau budaya literatur yang mumpuni.

Tidak ada satu pun cerpen yang bercerita tentang kelucuan atau humor. Semuanya serius dan bak merekam permasalahan bangsa dan masyarakat yang berkembang akhir-akhir ini. Cerpen memang dituntut menyampaikan cerita yang serba ringkas tetapi mampu mengemukakan secara lebih banyak dari yang sekadar apa yang diceritakan. Latar cerita para tokohnya dan alur masing-masing cerpen mudah dipahami dan dicerna untuk dihayati. Dalam hal ini, pemilihan tema dan kepaduannya sangat mengena dalam penerbitan antologi cerpen oleh para Alumnus Kelas Cerpen Kompas 2018 ini.

Walhasil, cerpen sebagai karya sastra juga bisa merupakan sumber sejarah apabila mengambil setting peristiwa penting dalam suatu waktu dan kawasan. Oleh karena itu, buku ini layak dibaca oleh siapa saja, kapan saja dan di mana saja. Disamping untuk hiburan, juga untuk penambah pengetahuan*****.

 

Data Buku

Judul Buku:

Urban (Is) Me

Sekumpulan Cerita Pendek

Penulis:

Alumni Kelas Cerpen Kompas 2018

Penerbit:

Binsar Hiras Publishing

Cipujung, Sukaraja - Bogor

Cetakan:

I, Februari 2020

Jumlah Halaman:

285 + ix halaman

Harga:

Rp 70.000,-