Entri yang Diunggulkan

GENERASI PENDOBRAK JILID III

 Harian Rakyat Merdeka terbitan 20 April  2010,memuat artikel dengan judul “Bodoh Permanen” yang ditulis oleh Arif Gunawan. Tulisan tersebut...

Tampilkan postingan dengan label cerpen untuk anak-anak. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label cerpen untuk anak-anak. Tampilkan semua postingan

Minggu, 25 Mei 2025

Lia dan Si Gembul

Lia, seorang gadis kecil yang baru masuk Sekolah Dasar, sangat menyayangi kucing. Kalau dia main di mana saja, kucing yang dijumpai pasti disapanya, dibelai-belai bahkan ada yang sampai digendong-gendong. Karena suka menyediakan makanan di teras rumahnya, membuat banyak kucing singgah di rumahnya yang terkadang saling berkelahi karena berebut makanan. Suatu hari ada jenis kucing Himalaya singgah dan menyerang semua kucing yang ada di teras rumah Lia. Kucing cantik berbulu tebal itu sangat menarik bagi Lia dan meminta orang tuanya untuk memelihara. Kucing itu diam saja sewaktu dibelai dan digendong Lia lalu dibawanya masuk ke dalam rumah. “Eh, jangan dibawa masuk, itu kan kucing milik orang!”, kata Bapaknya. “Biar Pak, kita pelihara saja, kan mungkin tidak betah di rumahnya dan kemudian lari kemari! Lihat ini Pak, dia senang sekali saya gendong”, tangkis Lia meyakinkan Bapaknya. Berbulan-bulan lamanya kucing yang diberi nama Gembul itu tinggal di rumah Lia dan sangat disayang bagai sahabatnya. Diberinya makan dan minum, juga diajak bercanda-ria setiap hari. “Kamu sayang kucing boleh, tetapi jangan lupa belajar, ya Lia!”, tegur Ibunya suatu ketika. Oleh karena itu, sewaktu bercanda-ria dengan Gembul, tidak lupa Lia membawa buku untuk sambil belajar. Sudah selama lima bulan, Gembul sebagai sahabat Lia di rumah. Sangat akrab dan agaknya saling merindukan. Lia rindu akan kelucuannya dan Gembul juga terlihat sangat menikmati ketika digendong dan dielus-elus dibelai manja. Suatu hari, Bapaknya Lia kedatangan tiga orang tamu. Pintu ruang tamu dibuka lebar-lebar sehingga kesempatan bagi Gembul untuk keluar dan lari entah kemana. Lia dan Ibunya yang terbangun dari tidur siang, kaget karena Gembul tidak berada di tempatnya. Dicari ke segala sudut rumah, Gembul tidak kunjung ditemukan. Menangislah Lia, dan selalu memanggil-manggil Gembul. Beberapa hari kemudian,,sesudah makan siang, Lia tiduran di sofa panjang di ruang tamu, tempat biasanya bersama Gembul bercanda-ria. Saking sangat rindunya bersama Gembul, Lia tertidur pulas dan bermimpi ketemu Gembul yang dicari-cari. “Meeoong, apa kabar Lia?”, sapa Gembul. “Hai Gembul, kemana saja kamu selama ini?”, sahut Lia dengan suka cita. “Aku mau ke Himalaya, ke kampung halaman nenek-moyangku, ayo Lia ikut ya!”, ajak Gembul dengan semangat. “Ayo, nanti kenalkan ya sama saudara dan teman-temanmu!”, jawab Lia dengan sangat gembira. Perjalanan ternyata terasa sangat jauh dan terus mendaki, lalu sampailah ke suatu rumah yang bagus dan indah ukirannya. “Hai teman-teman, ini kenalkan teman mainku yang baik hati, selalu memberi makan dan minum serta dibelai-belainya aku dengan penuh kasih-sayang”, seru Gembul kepada para kucing yang banyak sekali, dan sangat lucu. Karena terasa lama sekali di rumah itu, tiba-tiba Lia ingin mengajak Gembul pulang. “Ayo Gembul kita pulang ke rumah, kita main di rumah saja”, bujuk Lia. Tetapi Gembul yang sudah digendongan Lia tiba-tiba meloncat dan lari kencang. Lia kaget lalu terbangun dan seketika menangis lagi sejadi-jadinya sambil teriak, Gembul, Gembul. “Kamu mimpi ya Lia. Diam sayang, jangan ditangisi, mungkin Gembul ingin pulang ke rumah asalnya lagi. Kamu berdoa saja, semoga Si Gembul pulang ke sini lagi!”, hibur Ibunya menenangkan Lia dengan penuh kasih sayang dan bujuk rayu.*****Bekasi, Mei 2025

Senin, 13 Juni 2022

Hobi Surat Menyurat

 

Suatu hari, Uci bongkar-bongkar koleksi hobi Bapaknya. Selama pandemi Covid-19 ini, dia banyak berdiam diri saja di rumah. Setelah belajar via medsos mengenai pelajaran di sekolah, biasanya kemudian nonton TV, lalu banyak main gawai sambil bermalas-malasan.

“Wei, ini apa Pak kok banyak sekali?”, teriak si Uci ketika menemukan tumpukan post card atau kartu pos yang diperoleh Bapaknya sewaktu masih sekolah dulu. “Oh, itu kartu pos koleksi Bapak waktu masih sekolah di SMP dan STM. Bapak dulu suka berkirim surat!”, jelas Bapaknya. “Kamu suka?”, tanyanya kemudian. “Iya Pak, untuk Uci ya? Gambarnya bagus-bagus, Uci senang dan suka sekali untuk menyimpannya!”, jawabnya.

“Nah, kalau begitu, kamu harus mulai cari sendiri. Punya Bapak boleh kamu simpan, jangan sampai rusak apalagi hilang, karena itu kenang-kenangan Bapak!”, pesan Bapak si Uci. “Cari atau beli di mana, Pak?”, tanyanya. “Caranya, kamu harus menulis surat untuk meminta post card, buku atau majalah. Kebetulan, radio luar negeri siaran Bahasa Indonesia mungkin alamatnya masih tetap sama!”, jelas Bapaknya.

“Bagaimana caranya menulis surat, Pak, saya belum tahu, belum pernah diajarkan di sekolah”, jelasnya menghiba. “Coba, kamu kan sudah kelas lima, buat surat minta dikirim post card mengenai Australia ke Radio Australia. Nanti juga ke Radio Asing lainnya!”, kata Bapaknya memberi semangat. Uci lalu mencari buku tulis sisa kelas empat yang belum habis terpakai. Dicobanya membuat surat lalu disodorkan kepada Bapaknya. “Ya, bagus! Tetapi harusnya singkat saja, kenalkan kamu kelas berapa, ingin mendapatkan post card dan apa saja, lalu berikan alamatmu sekolah atau rumah dan ucapan terimakasih! Coba ulang lagi membuat suratnya!”, kata Bapaknya sambil memuji.

Setelah dianggap cukup baik dan dicoba ditulis rapi di kartu pos, diajaklah si Uci ke Kantor Pos. Mereka membeli sejumlah kartu pos dan prangko, sehingga tahulah Uci seluk beluk Kantor Pos. Diajarilah Uci menulis surat di kartu pos dengan tulis tangan dan menempelkan prangkonya sesuai tarip yang berlaku. Tahap awal dikirim ke Radio Australia, Suara Amerika, BBC Inggris, Radio Beijing dan Radio Nederland. Sambil menunggu dan berdoa, diterimalah balasan dari semuanya secara beruntun beberapa lama kemudian. Ada yang memberikan post card, majalah, dan jadwal acara siaran radio. Bukan main senangnya si Uci karena mendapat mainan baru, hobi menulis surat. Semua kiriman dari siaran radio luar negeri tersebut, setelah serius belajar, dibolak-balik untuk dibaca dan dinikmati keindahan gambar-gambarnya. “Sekarang kamu boleh mencoba menulis surat kepada siapa saja! Cobalah buat surat kepada sanak-saudara kita di kampung. Berceritalah mengenai apa saja, kabar tentang kesehatan, perkembangan sekolahmu dan lain-lain. Dengan belajar menulis surat, kelak kamu bisa jadi penulis. Juga bisa jadi pegawai yang baik dan kelak akan mudah ketika membuat skripsi sewaktu menjadi mahasiswa. Oleh karena itu mulailah mencari sahabat pena untuk saling menulis surat”, nasihat Bapaknya, dan Uci menyimak sambil memeluk kiriman pos yang baru diterimanya. Hobi surat-menyurat menjadi hiburan si Uci. Bekal atau uang saku yang diterima dari orang-tuanya selalu sebagian disisihkan untuk membeli kartu pos, amplop, kertas surat, serta prangko guna memenuhi hobi barunya yang ditekuni dengan rajin. Uci sangat menyimak kata-kata Bapaknya yang mengutip nasihat orang Barat :”Tekunilah hobi agar menjadi sahabat yang karib bagimu!”.*****