Tahun 2024 masih lama. Tetapi gaung Calon Presiden pengganti Jokowi sudah ramai dipergunjingkan. Ada yang mengusulkan Prabowo-Puan Maharani, Prabowo-Sandi lagi dan ada yang menyandingkan Anies-Sandi. Bahkan massa Nasdem mencalonkan Surya Paloh, tetapi yang bersangkutan menolak karena merasa terlambat. Yang menarik, justru Jokowi sempat menyebut Sandiaga yang layak sebagai penggantinya kelak. Segenap bangsa Indonesia memang seharusnya sudah mulai memilah-milah, siapa pemimpin yang layak dipilih nantinya. Mata dan pikiran seharusnya sudah mulai dicurahkan untuk mengamati sepak terjang dan rekam jejak orang-orang yang berambisi menjadi Presiden dan Wakil Presiden. Sebaliknya, bagi yang berambisi, sudah harus mulai memperlihatkan kinerjanya dalam bidang yang ia geluti, berwatak jujur, pekerja keras, sederhana, dan tidak berulah yang macam-macam, apalagi menggunting dalam lipatan. Pemimpin mendatang harus berpola pikir dan pola tindak sebagai penerus apa yang dilakukan oleh pendahulu, bukan yang memporak-porandakan, karena itu sama dengan perilaku kudeta. Yang bagus diteruskan, yang salah harus dikoreksi dari sekarang dan memberikan saran serta masukan dengan tata-krama yang santun sesuai adat ketimuran. Itulah hakekat berbangsa dan bernegara secara berkesinambungan di bumi Pancasila ini.
Nama Capres
Kembali kepada siapa Capres yang ideal pada tahun 2024? Ada fakta yang menarik untuk dianalisa yang menyangkut nama para Presiden RI sepanjang sejarah. Konon Jayabaya, Raja Kediri, pernah meramalkan: kelak ada suatu negeri yang lama dijajah bengsa bule selama berabad-abad, lalu datang bangsa kate yang menguasai selama seumur jagung dan kemudian merdeka yang dipimpin oleh Notonegoro. Fakta bahwa pada tanggal 17 Agustus 1945, berdiri negara baru yang dipimpin oleh Soekarno-Hatta dengan pengalaman sebagai negeri seperti yang diramalkan oleh Jayabaya. Presiden pertamanya adalah Soekarno (-no-) dan wakilnya adalah Mohammad Hatta. Soekarno berkuasa hingga 1965 dengan mandat berdasarkan UUD 1945, UUDS RIS 1949, UUD Sementara 1950, dan kembali ke UUD 1945 lagi sejak tahun 1959.
Seharusnya suksesi berikutnya idealnya kepada Mohammad Hatta (-ta/to-) karena termasuk ke dalam Dwi Tunggal Proklamator. Tetapi karena Hatta mundur sebagai Wapres pada akhir tahun 1956, dan ternyata terlahir sebagai Mohammad Attar, maka suksesi tidak singgah kepada Hatta. Muncullah Peristiwa G30S pada tahun 1965 yang kemudian mengantarkan Soeharto (-to-) sebagai Presiden kedua yang secara defacto berkuasa sejak 11 Maret 1966. Pergantian kekuasaan itu diwarnai dengan hiruk-pikuk yang menyeramkan dan menegangkan serta penuh rekayasa. Seharusnya, sesudah Soeharto itu kembali ke “-No-“,yang sebenarnya sudah ada calon yang sudah sempat menjadi wapres, yaitu Hamengkubuwono IX, Soedharmono, dan Try Sutrisno, tetapi semuanya meleset. Hamengkubuwono IX ,mungkin karena nama kecilnya Dorojatun maka kekuasaan tidak mampir ke tangannya. Begitu juga tidak mampir ke Soedharmono dan Try Sutrisno, karena Soeharto masih ingin tetap berkuasa dan menempatkan kedudukan Wapres hanya sebagai pelengkap tanpa peran yang berarti.
Maka terjadilah gonjang-ganjing, reformasi, yang membuat Soeharto mundur dari kekuasaannya dan digantikan oleh wakilnya BJ Habibie pada tanggal 21 Mei 1998. Karena bukan “-no-“ ,maka BJ Habibie memegang mandat hanya sebentar. Kemudian lewat Pemilu 1999 terpilihlah Abdurahman Wachid (Gus Dur) sebagai Presiden dan wakilnya Megawati Soekarnoputri. Kembali lagi, karena bukan “-no-“ maka Gus Dur jatuh dan digantikan oleh Megawati untuk meneruskan yang ternyata juga bukan “-no-“. Lalu lewat Pilpres langsung oleh rakyat pada tahun 2004 dapatlah Presiden “-no-“ yang sebenarnya, yaitu Susilo Bambang Yudhoyono yang terpilih sampai dua kali masa jabatan. Dan ketika Pilpres tahun 2014 dan 2019, terpilih Joko Widodo (Jokowi) yang dijagokan oleh Megawati Soekarnoputri. Juga sangat mengejutkan banyak pihak, kenapa bisa terjadi, orang biasa terpilih sebagai Presiden sampai dua kali?. Ternyata Jokowi nama kecilnya adalah Mulyono. Karena sering sakit-sakitan lalu oleh orangtuanya diganti namanya menjadi Joko Widodo yang kemudian terkenal sebagai Jokowi. Maka sebenarnya dia melanjutkan lagi “-no-“ atau mewakili “-go-“ karena dijagokan oleh Megawati yang nama panggilannya “Ega”?. Bisa saja kita menduga, Jokowi sebenarnya menyandang atau mengemban nama “no” sekaligus “go”. Wallahu a’lam. Oleh karena itu bisa juga kita berspekulasi, Presiden berikut layaknya mungkin sosok yang namanya mengandung kata “-ga” atau “-go”. Tetapi ini hanya sekedar ramalan dengan analisa sederhana untuk meramaikan alam demokrasi dan tidak harus dipercaya. Tetapi kalau juga mempercayai, maka siapa saja putra terbaik bangsa yang namanya mengandung “ga” atau “go” dan sanggup melanjutkan program yang telah digagas dan dirintis oleh Presiden Jokowi, bisa saja mulai unjuk muka dan unjuk peran serta prestasi.
Atau jangan-jangan langsung saja kita menuju negeri yang sering digambarkan oleh Bung Karno: “Gemah ripah loh jinawi, subur kang sarwo tinandur, murah kang sarwo tinuku, Negeri yang tata tenteram kerta raharja”. Dan itu berarti memerlukan pasangan Loh-Jinawi yang bisa saja merupakan perpaduan dwi tunggal baru Surya Paloh dan Muhammad Sadji?. Wallahu a’lam! Tetapi ini hanya sekedar bercanda, lho!.Untuk meramaikan alam demokrasi yang sudah semakin menunjukkan kematangan dan kedewasaan, walaupun banyak diwarnai hoax berseliweran di medsos. *****