Entri yang Diunggulkan

GENERASI PENDOBRAK JILID III

 Harian Rakyat Merdeka terbitan 20 April  2010,memuat artikel dengan judul “Bodoh Permanen” yang ditulis oleh Arif Gunawan. Tulisan tersebut...

Tampilkan postingan dengan label kepresidenan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label kepresidenan. Tampilkan semua postingan

Senin, 09 November 2020

Dibalik Nama-Nama Presiden RI

 

Tahun 2024 masih lama. Tetapi gaung Calon Presiden pengganti Jokowi sudah ramai dipergunjingkan. Ada yang mengusulkan Prabowo-Puan Maharani, Prabowo-Sandi lagi dan ada yang menyandingkan Anies-Sandi. Bahkan massa Nasdem mencalonkan Surya Paloh, tetapi yang bersangkutan menolak karena merasa terlambat. Yang menarik, justru Jokowi sempat menyebut Sandiaga yang layak sebagai penggantinya kelak. Segenap bangsa Indonesia memang seharusnya sudah mulai memilah-milah, siapa pemimpin yang layak dipilih nantinya.  Mata dan pikiran seharusnya sudah mulai dicurahkan untuk mengamati sepak terjang dan rekam jejak orang-orang yang berambisi menjadi Presiden dan Wakil Presiden. Sebaliknya, bagi yang berambisi, sudah harus mulai memperlihatkan kinerjanya dalam bidang yang ia geluti, berwatak jujur, pekerja keras, sederhana, dan tidak berulah yang macam-macam, apalagi menggunting dalam lipatan. Pemimpin mendatang harus berpola pikir dan pola tindak sebagai penerus apa yang dilakukan oleh pendahulu, bukan yang memporak-porandakan, karena itu sama dengan perilaku kudeta. Yang bagus diteruskan, yang salah harus dikoreksi dari sekarang  dan memberikan saran serta masukan dengan tata-krama yang santun sesuai adat ketimuran. Itulah hakekat berbangsa dan bernegara secara berkesinambungan di bumi Pancasila ini.

Nama Capres

Kembali kepada siapa Capres yang ideal pada tahun 2024? Ada fakta yang menarik untuk dianalisa yang menyangkut nama para Presiden RI sepanjang sejarah. Konon Jayabaya, Raja Kediri, pernah meramalkan: kelak ada  suatu negeri yang lama dijajah bengsa bule selama berabad-abad, lalu datang bangsa kate yang menguasai selama seumur jagung dan kemudian merdeka yang dipimpin oleh Notonegoro. Fakta bahwa pada tanggal 17 Agustus 1945, berdiri negara baru yang dipimpin oleh Soekarno-Hatta dengan pengalaman sebagai negeri seperti yang diramalkan oleh Jayabaya. Presiden pertamanya adalah Soekarno (-no-) dan wakilnya adalah Mohammad Hatta. Soekarno berkuasa hingga 1965 dengan mandat berdasarkan UUD 1945, UUDS RIS 1949, UUD Sementara 1950, dan kembali ke UUD 1945 lagi sejak tahun 1959.

Seharusnya suksesi  berikutnya idealnya kepada Mohammad Hatta (-ta/to-) karena termasuk ke dalam Dwi Tunggal Proklamator. Tetapi karena Hatta mundur sebagai Wapres pada akhir tahun 1956, dan ternyata terlahir sebagai Mohammad Attar, maka suksesi tidak singgah kepada Hatta. Muncullah Peristiwa G30S pada tahun 1965 yang kemudian mengantarkan Soeharto (-to-) sebagai Presiden kedua yang secara defacto berkuasa sejak 11 Maret 1966. Pergantian kekuasaan itu diwarnai dengan hiruk-pikuk yang menyeramkan dan menegangkan serta penuh rekayasa. Seharusnya, sesudah Soeharto itu kembali ke “-No-“,yang sebenarnya sudah ada calon yang sudah sempat menjadi wapres, yaitu  Hamengkubuwono IX, Soedharmono, dan Try Sutrisno, tetapi semuanya meleset. Hamengkubuwono IX ,mungkin karena nama kecilnya Dorojatun maka kekuasaan tidak mampir ke tangannya. Begitu juga tidak mampir ke Soedharmono dan Try Sutrisno, karena Soeharto masih ingin tetap berkuasa dan menempatkan kedudukan Wapres hanya sebagai pelengkap tanpa peran yang berarti.

Maka terjadilah gonjang-ganjing, reformasi, yang membuat Soeharto mundur dari kekuasaannya dan digantikan oleh wakilnya BJ Habibie pada tanggal 21 Mei 1998. Karena bukan “-no-“ ,maka BJ Habibie memegang mandat hanya  sebentar. Kemudian lewat Pemilu 1999 terpilihlah Abdurahman Wachid (Gus Dur) sebagai Presiden dan wakilnya Megawati Soekarnoputri. Kembali lagi, karena bukan “-no-“ maka Gus Dur jatuh dan digantikan oleh Megawati untuk meneruskan yang  ternyata juga bukan “-no-“. Lalu lewat Pilpres langsung oleh rakyat pada tahun 2004 dapatlah Presiden “-no-“ yang sebenarnya, yaitu Susilo Bambang Yudhoyono yang terpilih sampai dua kali masa jabatan. Dan ketika Pilpres  tahun 2014 dan 2019, terpilih Joko Widodo (Jokowi) yang dijagokan oleh Megawati Soekarnoputri. Juga sangat mengejutkan banyak pihak, kenapa bisa terjadi, orang biasa terpilih sebagai Presiden sampai dua kali?.  Ternyata Jokowi nama kecilnya adalah Mulyono. Karena sering sakit-sakitan lalu oleh orangtuanya diganti namanya menjadi Joko Widodo yang kemudian terkenal sebagai Jokowi. Maka sebenarnya dia melanjutkan lagi “-no-“ atau mewakili “-go-“ karena dijagokan oleh Megawati yang nama panggilannya “Ega”?. Bisa saja kita menduga, Jokowi sebenarnya menyandang atau mengemban nama “no” sekaligus “go”. Wallahu a’lam. Oleh karena itu bisa juga kita berspekulasi, Presiden berikut layaknya mungkin sosok yang namanya mengandung kata “-ga” atau “-go”. Tetapi ini hanya sekedar ramalan dengan analisa sederhana untuk meramaikan alam demokrasi dan tidak harus dipercaya. Tetapi kalau juga mempercayai, maka siapa saja putra terbaik bangsa yang namanya mengandung “ga” atau “go” dan sanggup melanjutkan program yang telah digagas dan dirintis oleh Presiden Jokowi, bisa saja mulai unjuk muka dan unjuk peran serta prestasi.

 Atau jangan-jangan langsung saja kita menuju negeri yang sering digambarkan oleh Bung Karno: “Gemah ripah loh jinawi, subur kang sarwo tinandur, murah kang sarwo tinuku, Negeri yang tata tenteram kerta raharja”. Dan itu berarti memerlukan pasangan  Loh-Jinawi yang bisa saja merupakan perpaduan dwi tunggal baru Surya Paloh dan Muhammad Sadji?. Wallahu a’lam! Tetapi ini hanya sekedar bercanda, lho!.Untuk meramaikan alam demokrasi yang sudah semakin menunjukkan kematangan dan kedewasaan, walaupun banyak diwarnai hoax berseliweran di medsos. *****

Senin, 20 Agustus 2012

Masjid Baiturrahim di Komplek Istana Kepresidenan dalam Kenangan


Ketika hari Ulang Tahun Kemerdekaan Repubik Indonesia bertepatan dengan hari Jumat,saya pernah shalat di masjid Baiturrahim yang terletak di lingkungan Istana Kepresidenan.
Kesempatan ini saya peroleh setelah melihat langsung acara detik – detik Proklamasi di Istana Merdeka. Pada waktu itu Presiden Soeharto,KSAD Rudini dan Pangdam Jaya Try Sutrisno juga shalat di masjid tersebut sehingga saya bisa melihat ketiga tokoh itu dalam jarak yang sangat dekat.
  Karena suasananya agak leluasa,selesai shalat saya sempatkan melihat – lihat keberadaan masjid dan lingkungan sekelilingnya. Pada saat itu saya sangat mengagumi masjid tersebut. Pertama,karena masjid tersebut dibangun pada masa Presiden Soekarno dan beliau mengawasi langsung pembangunannya. Bukti itu nampak karena ada prasasti kecil yang berbunyi kira – kira: “ Di bangun di bawah pengawasan Ir.Soekarno”,yang ditempel pada salah satu tembok luar masjid dan letaknya nyaris tidak di ketahui banyak orang.
Kedua,arsitekturnya sangat menarik dan indah,seimbang dengan arsitektur istana peninggalan Pemerintah Hindia Belanda yang anggun,gagah dan tidak tertelan jaman. Menurut pengamatan saya,masjid mungil yang indah itu merupakan perpaduan arsitektur Timur- Tengah,Barat dan Bali. Arsitektur yang mencerminkan dedikasi sang penggagas yang memiliki ilmu dasar sebagai seorang insinyur teknik sipil serta asal keturunannya yang berdarah Jawa – Bali. Disamping juga mencerminkan kadar keimanannya serta konsistensi perjuangannya yang antara lain ikut menyusun dan menandatangani Piagam Jakarta yang merupakan jiwa Pembukaan UUD 1945.
Ketiga,fakta itu menunjukkan bahwa pahlawan Proklamator/Presiden I RI itu sangat memperhatikan keperluan tempat ibadah untuk mengamalkan agamanya sesuai sila pertama falsafah dan dasar negara Pancasila yang ia gagas pada tanggal 1 Juni 1945 di hadapan sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).
***

Awal Oktober 2010,saya agak terkejut ketika membaca berita bahwa Presiden SBY meresmikan masjid Baiturrahim yang telah dipugar. Saya kaget karena masjid itu sangat bagus,kokoh, dan merupakan karya Proklamator,kenapa mesti dipugar?. Lebih kaget lagi karena pemugaran itu hanya disebabkan masalah yang sebenarnya sangat sepele,karena konon arah kiblatnya dinyatakan kurang tepat.
Karena kekagetan itulah maka pada tanggal 8 Oktober 2010,bersama teman,saya berniat shalat di Masjid Baiturrahim. Tujuannya antara lain ingin melihat masjid itu setelah dipugar,yang dikabarkan menelan biaya senilai Rp 9,8 miliar.
Karena jalanan macet,kami sampai agak terlambat. Kalau dulu saya masuk ke masjid melalui Jalan Merdeka Utara(depan sebelah kanan istana),kali ini melewati jalan samping kanan istana dan harus melewati rumah jaga Paspampres.
***
Khotbah Jumat sudah mulai dan terdengar sampai rumah jaga. Pada pertengahan jarak antara rumah jaga sampai masjid ada kran air  yang kemungkinan untuk keperluan menyiram tanaman. Di sekitar kran tersebut kelihatan jorok karena banyak sampah plastik dan kertas yang berserakan. Untuk pemandangan kawasan istana kepresidenan,keberadaan sampah – sampah tersebut sangat disayangkan.
Kami mengambil air wudhu di kran tersebut secara bergantian. Sambil mengambil air wudhu,saya menyimak khotnah Jumat yang sangat jelas kedengaran. Khatib mengulas berbagai bencana alam yang terjadi di tanah air kita akhir – akhir ini. Khatib menengarai ada perbuatan salah yang kita lakukan selama ini sehingga Allah memberikan hukuman. Tetapi khatib juga memberikan gambaran,mungkin karena  perbuatan di antara kita yang suka mencari – cari kesalahan dan saling menjatuhkan,membuat Allah marah kepada bangsa kita. Penggalan isi khotbah tersebut patut menjadi renungan kita bersama.
***
Sambil duduk mendengarkan khotbah,saya memperhatikan kondisi masjid yang sudah sangat berubah dibanding yang saya lihat pada tahun 1980 – an. Selesai shalat,saya juga mencoba berkeliling sambil melihat – lihat dan mencari prasasti yang menyatakan Ir. Soekarno sebagai pengawas pembangunan Masjid Baiturrahim tersebut.  Dan ternyata saya tidak menemukan prasasti asli yang bersejarah itu. Melainkan ada prasasti baru di pintu masuk masjid yang ditandatangani Presiden SBY bertanggal 1 Oktober  2010. Baru pada kesempatan shalat berikutnya setelah beberapa bulan kemudian, saya menemukan prasasti yang dibuat baru dan dipasang di bagian dalam masjid yang berbunyi mirip dengan prasasti awalnya.
  Kesimpulan saya,langkah memugar masjid tersebut sangat disayangkan,terkesan gegabah dan kurang menghormati karya pendahulu apalagi yang bersangkutan adalah salah seorang Proklamator NKRI. Biasanya,pendiri bangsa atau pendiri suatu negara sangat dihormati dan setiap karya atau peninggalan yang menyangkut perjalanan kehidupan dan perjuangannya dijaga dan dilestarikan dengan bersungguh – sungguh. Negara – negara maju umumnya mempunyai tradisi yang luhur dan beradab tersebut.
Kalau penyebabnya antara lain karena arah kiblatnya salah,atau kurang tepat,mestinya bisa dimaklumi  karena ketika dibangun mungkin belum ada metode yang canggih pada waktu itu untuk menentukan arah kiblat, atau barangkali karena memang menyesuaikan dengan estetika atau tata letak dari lahan yang ada. Mestinya kita bisa meniru Masjid Cut Mutiah di Menteng, Jakarta Pusat yang bekas rumah tinggal dan kantor. Atau meniru Masjid Agung Al Irsyad di Surabaya,yang arah kiblatnya cukup disesuaikan saja dengan membuat tanda – tanda yang jelas dan tidak perlu memugar,apalagi secara membabi buta. Kalau sekiranya dianggap kurang luas juga kurang tepat karena dapat diduga berapa jumlah jemaah rata – rata yang shalat di masjid di lingkungan yang agung dan bermartabat tersebut.
Sungguh pekerjaan yang kurang nalar,menghamburkan dana anggaran yang seharusnya bisa untuk memprioritaskan kebutuhan rakyat yang lebih penting dan mendesak misalnya perbaikan sekolah, jalan raya, dan lain – lain.
Dalam hal ini Menteri Hatta Radjasa dan Menteri Sudi Silalahi yang pada saat peresmian disebut – sebut Presiden SBY  sebagai yang berjasa dalam pemugaran tersebut sangat bertanggung jawab. Bukannya berusaha mengukuhkan sebagai bangunan cagar budaya dan harus dilindungi oleh rezim siapapun dan sampai kapanpun,malah tindakannya dapat dikatagorikan merusak kalau hasil akhirnya ternyata tidak lebih indah dari awalnya. Apalagi kalau di kaitkan dengan  kondisi sarana pendidikan dan prasarana perekonomian yang rusak parah pada waktu terakhir ini, tindakan pemugaran tersebut bisa dianggap sebagai pemborosan dan selintas terkesan mengabaikan skala prioritas pembangunan.
***
Tetapi nasi telah menjadi bubur,mau diapakan lagi!. Untuk menghindari dugaan bahwa Masjid Baiturrahim juga menjadi korban pencitraan atau korban arogansi kekuasaan yang cenderung tendensius , ambisius , dan kurang rendah hati,sebaiknya perlu segera dibuat prasasti sejarah yang menjelaskan keberadaan masjid tersebut dari mulai siapa pencetus ide,proses pembangunan,waktu pembangunan,kapan peresmian,dan seterusnya dan di buat bukunya lengkap dengan gambar awalnya. Langkah luhur tersebut perlu segera di mulai dari sekarang ,mumpung masih banyak dokumen serta narasumber yang bisa dikorek keterangannya. Sebab kalau tidak,kasus ini bisa merupakan sebuah ironi,sebagaimana dinyatakan oleh khatib dalam khotbahnya tersebut di atas.*****