Entri yang Diunggulkan

GENERASI PENDOBRAK JILID III

 Harian Rakyat Merdeka terbitan 20 April  2010,memuat artikel dengan judul “Bodoh Permanen” yang ditulis oleh Arif Gunawan. Tulisan tersebut...

Senin, 22 Februari 2021

MENCARI HARI SENI-BUDAYA NASIONAL

 

 

Beberapa tahun yang lalu, Agus Dermawan T, kritikus seni yang banyak menulis di media massa, mengusulkan gagasan agar Bangsa Indonesia mempunyai Hari Kesenian Nasional yang bisa diperingati setiap tahun sebagaimana hari-hari nasional yang lain.

Gagasan tersebut bagus sekali dan patut mendapat apresiasi. Bangsa yang besar ini patut memiliki Hari Kesenian Nasional atau tepatnya barangkali Hari Seni-Budaya Nasional. Disamping akan diperingati secara nasional, momentum tersebut akan dijadikan forum pengembangan segala bentuk kesenian dan kebudayaan nasional, dan forum pengingat agar kekayaan seni budaya nasional dapat dilestarikan dan tidak mudah dicuri bangsa lain sebagaimana yang dialami terhadap kekayaan alam kita. Wilayah negeri yang demikian luas dan terpisah oleh ribuan pulau yang dihuni oleh berbagai suku bangsa dengan beragam adat istiadat serta keyakinannya, sangat kaya akan seni budaya yang berbeda-beda dan perlu dilestarikan eksistensinya. Bangsa yang besar ini memang perlu dipersatukan melalui dunia seni dan budaya, karena dunia seni dan budaya dapat menembus batas permusuhan dan dapat membelah sekat-sekat perbedaan.

Dia mengusulkan, agar penetapan Hari Kesenian Nasional tersebut didasarkan atas pemilihan hari lahir tiga seniman lukis kenamaan Indonesia. Yang pertama adalah Raden Saleh yang dianggap sebagai perintis seni lukis di Indonesia dan pernah mengabadikan peristiwa penangkapan Pangeran Diponegoro oleh penjajah Belanda ke dalam lukisan. Kemudian yang kedua, Sudjojono yang banyak melukis peristiwa-peristiwa bersejarah selama masa revolusi mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Selain itu, dia juga mengajukan nama pelukis yang ketiga, yaitu Affandi yang sudah cukup terkenal di dunia Internasional. 

         Tanpa bermaksud mengecilkan ide, gagasan dan usulan tersebut, penulis berpandangan bahwa tanggal yang tepat untuk menetapkan Hari Seni-Budaya Nasional adalah dikaitkan dengan momentum bersejarah yang menyangkut kegiatan seni-budaya nasional. Atau dikaitkan dengan tokoh nasional yang sangat berhubungan dengan dunia seni-budaya bangsa. Oleh karena itu penulis  mengusulkan agar Hari Seni-Budaya Nasional ditetapkan tanggal 6 Juni, bertepatan dan bahkan mengambil hari lahir DR.Ir. Soekarno atau yang lebih dikenal dengan Bung Karno.

Dasar pertimbangan yang dapat penulis kemukakan adalah  seperti diuraikan berikut ini.

Pertama, Bung Karno adalah salah seorang Proklamator Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tokoh yang patut digali suri-tauladannya untuk dijadikan panutan bagi segenap bangsa Indonesia. Bukan bermaksud mengkultuskan, melainkan semata-mata hanya menempatkan sebagai sosok sumber inspirasi khususnya bagi generasi muda.

Kedua,Bung Karno merupakan salah seorang Bapak Bangsa dan pendiri negeri ini. Hanya pemimpin yang berjiwa seniman  yang mampu mendirikan, mempersatukan dan mempertahankan negeri yang luas dan sangat plural dalam berbagai hal ini.

Sebagaimana pernah dimuat di majalah Tempo beberapa tahun yang lalu, bahwa Jenderal Besar AH.Nasution sangat mengagumi dua orang yang pernah dia tahu dan kenal. Yang pertama adalah seorang Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang telah menciptakan hegemoni wilayah Hindia Belanda. Dan yang kedua adalah Bung Karno, yang mewarisi wilayah Hindia Belanda yang luas ini, melalui Proklamasi Kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945 dan mampu mempertahankan serta mempersatukannya sebagai Indonesia dengan wilayah dari Sabang sampai Merauke.

Ketiga, Bung Karno adalah Presiden Pertama Republik Indonesia yang sangat menghargai seni. Ini terbukti antara lain banyaknya koleksi benda seni (lukisan, patung dan lain-lain) yang tersimpan di Istana Kepresidenan. Karena kekhawatiran raib oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab, koleksi ini pernah dibukukan. Namun sayang sekali dicetak sangat terbatas dan harganya cukup mahal sehingga tidak banyak yang memiliki. Padahal, semua koleksi ini sangat penting diketahui oleh segenap bangsa Indonesia, sekalipun hanya melalui buku.

Keempat, Bung karno terlahir pada angka serba enam, yaitu tanggal 6 bulan enam. Angka enam melambangkan sifat Astroid yang memiliki keutamaan perilaku rajin, pandai dan tanggap. Dalam pengertian talenta, angka 6 sebagaimana angka 3 dan 9, adalah termasuk dalam kelompok talenta seni (lihat buku Total Bung Karno, Roso Daras, Mei 2013). Terbukti bahwa sampai tahun 1950an  Bung Karno masih menekuni hobi melukis. Lukisan-lukisannya dinilai benar-benar apik, bercorak dekoratif dan berdaya magis bagi siapa saja yang melihatnya. Bung Karno juga sangat akrab dengan para pelukis Indonesia. Bahkan Bung Karno pernah menunjuk Henk Ngantung, seorang seniman pelukis, sebagai Gubernur DKI Jakarta karena berkeinginan terciptanya kota Jakarta yang indah dan berbudaya. Bung Karno juga memberdayakan para seniman pematung untuk mengekspresikan karyanya melalui pesanan beliau dalam rangka memperindah kota Jakarta. Maka terciptalah antara lain patung Selamat Datang di Bundaran Hotel Indonesia, patung Denok karya Trubus di kompleks Istana Bogor dan patung Pembebasan Irian Barat yang berdiri perkasa di lapangan Banteng Jakarta.

Kelima, Bung Karno sangat menyukai Tari Lenso asal Minahasa dan Maluku dengan iringan musik berirama tetap: cha-cha, yang dimainkan grup musik yang terdiri atas anggota DKP (Detasemen Kawal Pribadi). Kelompok tersebut selalu dibawa kemana-mana, termasuk apabila ke luar negeri karena merupakan anggota Pasukan Pengawal Presiden.

Keenam, karena perhatiannya yang besar terhadap dunia seni juga sangat dipahami oleh para pemimpin dunia. Hal ini terbukti antara lain adanya hadiah patung wanita telanjang dari Presiden Yugoslavia Josef Broz Tito yang tersimpan dan menjadi hiasan Istana Bogor sampai sekarang. Bung Karno dalam setiap kunjungannya ke luar negeri, hampir selalu menyempatkan bertemu dengan kelompok seniman. Sebagai contoh, Bung Karno menyempatkan mengunjungi Hollywood ketika kunjungan kenegaraan ke Amerika Serikat dan bertemu dengan para pegiat seni perfilman negara adidaya tersebut.

Ketujuh, ketika dibuang ke Ende (P. Flores) oleh Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1934-1938, Bung Karno juga menunjukkan bakat dan kemampuannya berkesenian dengan membentuk klub sandiwara (tonil) yang diberi nama Kelimutu Toneel Club. Selama kurun waktu tersebut telah dipentaskan 13 karya asli Bung Karno dengan dukungan pemain yang terdiri atas para nelayan, tukang jahit, petani dan masyarakat kalangan bawah.

Kedelapan, Bung Karno pernah menyampaikan visinya dalam mencapai kejayaan Indonesia yang terkenal dengan TRISAKTI, yaitu : berdaulat dalam politik, berdiri di atas kaki sendiri (BERDIKARI) dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan. Gagasan tersebut masih sangat relevan untuk direnungkan, dicamkan dan diusahakan pencapaiannya bagi generasi penerus yang mencintai negeri ini.

Kesembilan, makin lengkap jiwa seniman yang dimiliki Bung Karno apabila diperhatikan cara berpakaiannya dan kepiawaiannya dalam berpidato, dengan bahasa tubuh serta pilihan kata-kata dan iramanya yang sangat memukau banyak orang. Penampilannya yang selalu memesona bak seniman pentas yang multi bakat.

Kesepuluh, India punya Hari Guru Nasional yang diperingati secara resmi setiap tahun. Penetapan hari nasional tersebut ternyata diambil dari tanggal lahir seorang Presiden India yang mempunyai latar belakang profesi sebagai guru. Karena keuletan dan kehebatannya, dia berhasil mencapai puncak karir sebagai presiden.

Kesebelas, Bung Karno adalah penggali Pancasila dari sumber budaya dan tradisi di  bumi Nusantara yang kemudian merupakan dasar Negara dan way of life serta pemersatu bangsa yang sangat majemuk ini. Penggali butir-butir sila dari Pancasila yang dikemukakan secara memukau pada tanggal 1 Juni 1945 adalah membuktikan karya seorang budayawan sekaligus negarawan.

Keduabelas, Bung Karno adalah pemilik bulan Juni. Beliau lahir pada tanggal 6 Juni 1945 dan wafat pada tanggal 21 Juni 1970. Pada tanggal 1 Juni 1945 mengemukakan Pancasila dalam sidang BPUPKI dan pada tanggal 22 Juni 1945 bersama Panitia Sembilan merumuskan Piagam Jakarta yang kemudian dinyatakan menjiwai Pembukaan UUD 1945. Terbukti bahwa lahir, karya dan derita Bung Karno ditakdirkan oleh Tuhan Yang Mahakuasa menyatu dalam suatu bulan tertentu.

 

Dari beberapa fakta di atas, mungkin tidak berlebihan apabila hari lahir Bung Karno, tanggal 6 Juni, kita pilih sebagai Hari Seni-Budaya Nasional. Pada hari tersebut dan kelak selama bulan Juni diperingati setiap tahun oleh segenap Bangsa Indonesia dengan berbagai kegiatan kreativitas berkesenian yang merupakan hasil atau produk kebudayaan suatu bangsa yang besar ini.***** (Penulis adalah pemerhati masalah seni dan budaya, kolektor benda filateli dan numismatic/mata uang, lulusan S2 FISIPOL Universitas Indonesia)

Senin, 09 November 2020

Peranan Komisaris BUMN

 Pada tahun 1994 penulis pernah mengikuti Kursus Kader Pimpinan (Suspi) Migas selama tiga bulan. Ada materi kuliah yang sangat membekas bagi penulis karena penting dalam tata kelola perusahaan yang baik. Pertama, oleh Ir. Palgunadi. Dia pensiunan Pindad yang kemudian disalurkan ke PT Astra. Ketika ditempatkan di bagian pengembangan usaha, dia setiap tahun mencari 100 orang mahasiswa terbaik di seluruh Indonesia maupun yang ada di luar negeri. Seratus orang tersebut umumnya di rangking 10 terbaik dari berbagai jurusan sesuai rencana usaha yang akan dikembangkan ke depan. Maka tidak heran apabila PT Astra kemudian maju pesat seperti sekarang ini. Yang kedua, Ir. Kuntoro Mangkusubroto yang memberikan materi pengalaman restrukturisasi di PT Timah. Setelah melakukan riset dan penelitian, kenapa PT Timah waktu itu hancur, dia berkesimpulan bahwa karyawan terlalu banyak dan umumnya tidak profesional. Ketika presentasi di hadapan Presiden Soeharto, dia kemukakan bahwa karyawan PT Timah yang berjumlah 15.000 orang harus dipangkas menjadi 7.000 atau 8.000 orang saja. Nasihat Presiden, kita harus hati – hati karena dulu di PT Timah banyak ditempatkan ex ABRI untuk mengamankan dari unsur – unsur yang ditengarai terlibat G30S/PKI. Dan restrukturisasi PT Timah jalan terus dengan konskuensi penentangan yang luar biasa dari para karyawan yang tidak setuju.

Seorang teman pernah menyampaikan materi kuliah di S2 Magister Manajemen, ada teori yang menyatakan bahwa apabila suatu perusahaan salah dalam merekrut SDM, akan dirasakan dua puluh enam tahun kemudian, makin maju atau malah mundur. Ternyata, Indonesia memiliki setidaknya 140 perusahaan BUMN. Selama ini BUMN dikenal sebagai Badan Usaha Milik Negara atau perusahaan pelat merah. Dulu, BUMN sering dijargonkan atau diimpikan sebagai sokoguru perekonomian atau agen pembangunan di Indonesia. Kalau saja impian itu benar karena langkahnya yang benar, bukan main masa depan Indonesia. Seperti Korea Selatan, kemajuannya karena dimotori oleh BUMN-nya. Ketika Park Chung Hee mengambil alih kekuasaan pada tahun 1961dan berkuasa sampai 1979, yang dibenahi pertama kali adalah masalah pendidikan. Dia mencanangkan, bahwa pendidikan harus menghasilkan SDM yang bisa menjadi agen pembangunan, bukan menjadi beban pembangunan. Maka moto pendidikan adalah harus berhasil mencetak SDM yang jujur, kreatif, inovatif dan pekerja keras. Sistem dan prasarana pendidikan dia benahi secara besar – beasaran dan terarah. Pendidikan berdasarkan link and match dia terapkan sesuai kebutuhan perencanaan pembangunan. Karena terencana dengan baik, maka semua lulusan pasti akan terserap oleh lapangan kerja yang sudah dipersiapkan. Bukannya ngawur asal ada perguruan tinggi dengan prodi semau – maunya dan sesudah itu membludak para penganggur dimana – mana. Dari sistem pendidikan yang telah dibenahi itulah yang kemudian mengisi lapangan kerja di BUMN, maka majulah Korsel seperti sekarang ini dan akan semakin maju dalam segala bidang.

Lalu bagaimana dengan Indonesia? Suka atau tidak suka, kenyataan menunjukkan, bahwa BUMN di Indonesia berubah kepanjangannya menjadi Bancaan untuk Maling dan Nepotisme. Dari kasus PT Timah pada masa Orde Baru dan kasus mutakhir, misalnya Garuda Indonesia adalah suatu bukti nyata. BUMN adalah ajang nepotisme yang empuk dan menggiurkan dari pengisian pegawai rendah sampai tingkat pucaknya, tidak lepas dari cara – cara nepotisme dengan berbagai modus dan motivasinya. Padahal BUMN juga dilengkapi dengan tim Komisaris yang seharusnya berfungsi sebagai pembina dan penasihat perusahaan yang bersangkutan. Tetapi kenapa bisa sampai terjadi seperti PT Garuda Indonesiai itu dan beberapa BUMN yang lain. Lalu apa saja kerja para Komisaris di BUMN tersebut? Ada lagi contoh. Bagi yang sering menggunakan jasa angkutan KRL yang melintasi Stasiun KA Manggarai, mungkin tidak banyak yang tanggap kenapa banyak besi – besi konstruksi proyek yang sedang dibangun, kok banyak yang sudah kelihatan berkarat. Timbul pertanyaan, apakah para Dewan Komisaris BUMN itu tahu dan mengerti lalu mempertanyakan benarkah mutu dan spesifikasi besi yang digunakan. Disini bisa terjadi hubungan korelasi antara besi yang mudah berkarat atau korosif tadi, dengan watak – watak korupsi. Sebagai perbandingan, besi – besi yang pernah lama terpancang sewaktu Gurbenur Sutiyoso dulu, tidak ada yang berkarat walaupun terbuka telanjang selama bertahun – tahun.

Mengenai peran Komisaris perusahaan, penulis pernah mengalami langsung. Bagian atau biro tempat penulis suatu ketika mengajukan impor produk pada hal perusahaan juga mampu memproduksi dengan mutu dan fungsi yang sama. Penulis dipanggil dan ditanya apakah produk yang diajukan impor ada padanannya dengan produksi perusahaan. Penulis jawab ada, dan jelaskan bahwa konsumennya minta yang produk impor. Setelah mengetahui bahwa pabrik masih under capacity (kapasitas tidak penuh), maka Dewan Komisaris menyurati Direksi agar meningkatkan promosi disertai kampanye yang bersungguh-sungguh dalam rangka berusaha  meningkatkan kapasitas produksi pabrik.

Disinilah letak pentingnya peran Komisaris BUMN yang dituntut profesional dan tanggap terhadap jatuh – bangun dan tumbuh – kembang perusahaan. Bukan cuma mahir berhura – hura bersama para direksi yang mungkin juga belum tentu profesional apalagi kalau pengangkatannya berbau nepotisme. Yang fatal lagi, kalau penunjukan para komisaris juga berbau ada indikasi nepotisme karena hanya atas dasar berbagi – bagi kekuasaan atau balas jasa, atau karena ada kedekatan secara pribadi dengan yang mengangkat atau yang menunjuk. Sudah saatnya perlunya dihindari pengangkatan SDM di BUMN (apalagi sekelas pimpinan dan komisarisnya) hanya bermutu sebagai pendompleng, ada tetapi sebenarnya tidak ada karena tidak berfungsi sesuai harapan.  Tahun 2045 adalah merupakan tahun keseratus NKRI. Impian sebagai negara besar bisa terwujud, antaralain ditentukan oleh sejauh mana mutu BUMN-nya. Dalam hal ini, mutu SDM di semua BUMN dari tingkat bawah sampai tingkat puncak dan apalagi para komisarisnya dituntut untuk bermutu, profesional dan berdedikasi tinggi serta penuh integritas.*****

FAKTA LAIN TENTANG PANCASILA

Pada waktu menjadi anggota BEM Fakultas Ekonomi Program Extension Universitas Indonesia, penulis pernah menghadiri undangan ceramah Menteri Agama Alamsyah Ratuperwiranegara di Aula Fakultas Kedokteran UI Salemba Jakarta. Acaranya, dalam rangka peringatan Maulid Nabi Muhammad s.a.w. yang diselenggarakan oleh Senat Mahasiswa FKUI.

Ceramah itu menarik untuk diungkap sekarang ini. Pertama, dia mengaku, bahwa dialah yang ingin mengisi ceramah di acara yang penting tersebut karena ingin menjelaskan seputar pengangkatannya sebagai Menteri Agama yang biasanya diberikan kepada Ulama Pesantren atau dari IAIN. Dia mengaku sempat mempertanyakan kepada Presiden Soeharto yang konon dijawab: “Saya memerlukan Menteri Agama yang berani bersuara dan berani bertindak, maka saya perlu seorang tentara”. Yang kedua, dia menceriterakan tentang gebrakan yang dilakukan pada awal mengemban jabatannya. Langkah pertama yang kemudian dilakukan adalah menemui Mr. Kasman Singodimedjo yang dikenal sebagai tokoh Muhammadiyah dan mengetahui seputar Proklamasi Kemerdekaan RI dan lahirnya Pancasila. Diperoleh penjelasan, bahwa sewaktu Piagam Jakarta mau dimasukkan sebagai Pembukaan UUD 1945, wakil dari Indonesia Timur menolak. Lebih baik tidak ikut RI apabila bunyinya : “….ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Maka berembuglah dengan sengit antara tokoh Islam dengan tokoh nasionalis, yang kemudian dicapai kompromi seperti bunyinya sekarang ini, yaitu:” …berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa”. Konon Kasman Singodimedjo sempat menuturkan, bahwa sebagai Shodancho, dialah yang bersenjata pada waktu itu. Seandainya mereka yang tidak setuju itu saya tembaki, habis perkara, tetapi Indonesia Merdeka mungkin tidak seutuh seperti sekarang ini. Itulah bukti, kata Alamsyah Ratuperwiranegara, bahwa Pancasila adalah merupakan hadiah terbesar umat Islam kepada bangsa Indonesia. Ucapan tersebut, waktu itu sedang bergulir untuk meredam pemikiran beberapa oknum yang ingin mengungkit kembali Piagam Jakarta. Tetapi sebaliknya, umat Nasrani sangat keberatan dengan dalil tersebut dan bereaksi. Rezim Orde Baru sebenarnya sudah sibuk menghadapi masalah ini. Bahkan berani bertindak tegas dan keras. Pada suatu masa, bahkan pernah para khatib/da’i diminta menyusun dulu naskah khutbah/ceramah untuk diperiksa oleh Laksus/Kopkamtib. Sayangnya, bersamaan itu rezim Orde Baru juga melakukan desoekarnoisasi secara sistematis, terstruktur dan massif. Antaralain, rezim Orba melarang peringatan Hari Lahir Pancasila 1 Juni. Pernah ada peristiwa tragis yang perlu diingat kembali sekarang ini. AM Fatwa dilarang tampil sebagai khatib di suatu tempat shalat Idul Fithri setelah bahan ceramahnya diteliti oleh Laksusda Jaya. Dia datang di tempat shalat itu dan berorasi di mimbar, bahwa dia dilarang menjadi khatib hari itu. Khatib pengganti yang tampil, KH Kosim Nurseha, dilempari sandal oleh para Jemaah. Ceramah tetap jalan, dan begitu selesai/bubaran, AM Fatwa langsung dicokok oleh aparat, dibawa dan digebugi lalu diturunkan/dibuang di suatu tempat.

Masalah ini muncul lagi menjelang peringatan Hari Lahir Pancasila 1 Juni 2020. Cuitan di medsos berseliweran. Ada yang mempertanyakan keabsahan kelahiran  Pancasila 1 Juni 1945. Ada yang berargumen, belum ada negara kok sudah ada dasar negara. NKRI itu diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 dan UUD 1945 ditetapkan berlaku terhitung mulai tanggal 18 Agustus 1945. Pancasila termaktub dalam Pembukaan UUD 1945 itu, maka mereka beranggapan bahwa harlah Pancasila yang benar adalah 18 Agustus 1945. Pada masa Presiden SBY, tanggal 18 Agustus ini telah ditetapkan sebagai Hari Konstitusi yang diperingati setiap tahun.  Agaknya, ada yang ingin menentang dan melakukan pembangkangan terhadap Keputusan Presiden Joko Widodo yang menetapkan 1 Juni sebagai Hari Lahir Pancasila. Acara peringatan dilaksanakan di Gedung Pancasila Pejambon Jakarta yang dipimpin langsung oleh Presiden. Pada hal, menurut sejarawan Anhar Gonggong, peringatan Harlah Pancasila ini sudah dilakukan sejak jaman Presiden Soekarno, ketika para Perintis Kemerdekaan masih ada dan tidak timbul masalah. Rezim Orde Baru melalui sejarawan Nugroho Notosusanto yang mulai dengan gencar melakukan desoekarnoisasi dan menyebarkan tesis yang ingin menganulir peran Bung Karno. Pada hal, apabila ditelusuri secara mendalam dengan berprasangka, pikiran dan niat yang baik, maka akan tampak jelas alur faktanya.

BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) yang dipimpin oleh dr. Radjiman Wedyodiningrat mengundang sidang, mempertanyakan kepada para anggota, apa dasar negara yang akan kita bentuk. Maka berbicaralah para tokoh menyampaikan konsepsi dan pendapatnya. Bung Karno yang berpidato pada tanggal 1 Juni 1945 menyampaikan Pancasila yang bisa diamalkan dengan konsep Trisila dan Ekasila yang bermakna gotong-royong. Oleh Ketua BPUPKI kemudian dibentuk Panitia Sembilan untuk merumuskan lebih matang dan kemudian lahirlah Piagam Jakarta yang antaralain menyebutkan bahwa Indonesia merdeka dibentuk berdasarkan ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Piagam Jakarta itu lahir pada tanggal 22 Juni 1945 atas pemikiran Panitia Sembilan yang terdiri atas golongan nasionalis Islam yaitu, Ir. Soekarno, Drs. Mohammad Hatta, Mr. Muhammad Yamin, Mr. Achmad Soebardjo, nasionalis Nasrani Mr. A.A.Maramis, dan golongan Islam yaitu KH. Wachid Hasjim, H.Agus Salim, Abikusno Tjokrosuyoso dan Abdul Kahar Muzakir. Kemudian oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang dipimpin oleh Ir. Soekarno dan wakilnya Drs. Mohammad Hatta, Piagam Jakarta tersebut dijadikan Pembukaan UUD 1945 dengan perubahan sesuai permufakatan bersama seperti diuraikan di atas.

Lalu, bagaimana dengan Hari Lahir Pancasila? Faktanya, bahwa Ir. Soekarno adalah penggagas yang mengaku sebagai penggali Pancasila dalam pidato yang memukau di dalam sidang BPUPKI pada tanggal 1 Juni 1945. Dia kemudian terlibat langsung merumuskan Piagam Jakarta dalam Panitia Sembilan, dan sebagai Ketua PPKI, dia terlibat menyusun, merumuskan dan mensahkan UUD 1945. Nah, kalau begitu kapankah si jabang bayi Pancasila itu lahir yang sebenarnya? Bisa diibaratkan seperti si Polan yang lahir pada tanggal 1 April 1945, kemudian disunat (dikhitan) pada tanggal 5 Agustus 1957. Jadi sarjana tahun 1970 dan namanya berubah menjadi Polan SH, lalu kerja dan menikah pada tanggal 20  Januari 1974. Kemudian berhasil menjadi pejabat tinggi pada tahun 1985, apakah tanggal lahirnya si Polan ikut berubah atau tetap 1 April? Sebagai bagian dari ulah desoekarnoisasi secara terpola dan brutal, harlah Pancasila kemudian diotak-atik. Bahkan di kemudian hari, ada yang gusar ketika  ada pemikiran pembuatan UU Haluan Ideologi Pancasila (UU HIP) yang dimaksudkan sebagai penguatan pedoman berbangsa dan bernegara. Tuduhan yang menyeramkan adalah karena dibilang ingin menghidupkan kembali PKI, hanya karena tidak mencantumkan sebagai konsideran, Ketetapan MPRS mengenai pembubaran PKI dan larangan ajaran Komunisme, Marxisme dan Leninisme di bumi NKRI. Samasekali mereka tidak ada yang mempertanyakan kenapa dalam Tap MPRS itu tidak menyebut larangan terhadap ajaran Komunis Cina Maoisme? Pada hal katanya G30S/PKI tahun 1965 itu disokong oleh Cina Komunis yang penganutnya sudah milyaran jiwa, dan keterlibatan ini ada dalam narasi film Pengkhianatan G30S/PKI yang dibuat oleh rezim Soeharto/Orba. Pertanyaannya, ada apa pada tahun 1966 itu, dan apa pula yang mempengaruhi Sidang MPRS waktu itu?

Semenjak usai Perang Dunia II, para negara besar terutama negara kapitalis dan imperialis mengembangkan perang proxy. Mereka mengincar kekayaan alam semua negara bekas jajahan dengan mengadu-domba potensi konflik di suatu negara. Mereka membantu dan menyokong untuk kemudian menguasai kekayaan alam negara itu melalui rezim baru yang mereka bantu ketika merebut kekuasaan. Dan, perang proxy itu masih mengancam kita. Masalahnya, maukah kita menjadi seperti Kawasan Timur Tengah yang hancur lebur bertikai sesama agama dan suku bangsa karena mudah diadu-domba? Sejarah perkembangan bangsa Indonesia telah membuktikan dan kelompok-kelompok aneh masih selalu lahir dan gentayangan serta menggoreng terus. Inilah yang perlu kewaspadaan seluruh komponen bangsa yang cinta damai! *****