Entri yang Diunggulkan

GENERASI PENDOBRAK JILID III

 Harian Rakyat Merdeka terbitan 20 April  2010,memuat artikel dengan judul “Bodoh Permanen” yang ditulis oleh Arif Gunawan. Tulisan tersebut...

Senin, 09 November 2020

FAKTA LAIN TENTANG PANCASILA

Pada waktu menjadi anggota BEM Fakultas Ekonomi Program Extension Universitas Indonesia, penulis pernah menghadiri undangan ceramah Menteri Agama Alamsyah Ratuperwiranegara di Aula Fakultas Kedokteran UI Salemba Jakarta. Acaranya, dalam rangka peringatan Maulid Nabi Muhammad s.a.w. yang diselenggarakan oleh Senat Mahasiswa FKUI.

Ceramah itu menarik untuk diungkap sekarang ini. Pertama, dia mengaku, bahwa dialah yang ingin mengisi ceramah di acara yang penting tersebut karena ingin menjelaskan seputar pengangkatannya sebagai Menteri Agama yang biasanya diberikan kepada Ulama Pesantren atau dari IAIN. Dia mengaku sempat mempertanyakan kepada Presiden Soeharto yang konon dijawab: “Saya memerlukan Menteri Agama yang berani bersuara dan berani bertindak, maka saya perlu seorang tentara”. Yang kedua, dia menceriterakan tentang gebrakan yang dilakukan pada awal mengemban jabatannya. Langkah pertama yang kemudian dilakukan adalah menemui Mr. Kasman Singodimedjo yang dikenal sebagai tokoh Muhammadiyah dan mengetahui seputar Proklamasi Kemerdekaan RI dan lahirnya Pancasila. Diperoleh penjelasan, bahwa sewaktu Piagam Jakarta mau dimasukkan sebagai Pembukaan UUD 1945, wakil dari Indonesia Timur menolak. Lebih baik tidak ikut RI apabila bunyinya : “….ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Maka berembuglah dengan sengit antara tokoh Islam dengan tokoh nasionalis, yang kemudian dicapai kompromi seperti bunyinya sekarang ini, yaitu:” …berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa”. Konon Kasman Singodimedjo sempat menuturkan, bahwa sebagai Shodancho, dialah yang bersenjata pada waktu itu. Seandainya mereka yang tidak setuju itu saya tembaki, habis perkara, tetapi Indonesia Merdeka mungkin tidak seutuh seperti sekarang ini. Itulah bukti, kata Alamsyah Ratuperwiranegara, bahwa Pancasila adalah merupakan hadiah terbesar umat Islam kepada bangsa Indonesia. Ucapan tersebut, waktu itu sedang bergulir untuk meredam pemikiran beberapa oknum yang ingin mengungkit kembali Piagam Jakarta. Tetapi sebaliknya, umat Nasrani sangat keberatan dengan dalil tersebut dan bereaksi. Rezim Orde Baru sebenarnya sudah sibuk menghadapi masalah ini. Bahkan berani bertindak tegas dan keras. Pada suatu masa, bahkan pernah para khatib/da’i diminta menyusun dulu naskah khutbah/ceramah untuk diperiksa oleh Laksus/Kopkamtib. Sayangnya, bersamaan itu rezim Orde Baru juga melakukan desoekarnoisasi secara sistematis, terstruktur dan massif. Antaralain, rezim Orba melarang peringatan Hari Lahir Pancasila 1 Juni. Pernah ada peristiwa tragis yang perlu diingat kembali sekarang ini. AM Fatwa dilarang tampil sebagai khatib di suatu tempat shalat Idul Fithri setelah bahan ceramahnya diteliti oleh Laksusda Jaya. Dia datang di tempat shalat itu dan berorasi di mimbar, bahwa dia dilarang menjadi khatib hari itu. Khatib pengganti yang tampil, KH Kosim Nurseha, dilempari sandal oleh para Jemaah. Ceramah tetap jalan, dan begitu selesai/bubaran, AM Fatwa langsung dicokok oleh aparat, dibawa dan digebugi lalu diturunkan/dibuang di suatu tempat.

Masalah ini muncul lagi menjelang peringatan Hari Lahir Pancasila 1 Juni 2020. Cuitan di medsos berseliweran. Ada yang mempertanyakan keabsahan kelahiran  Pancasila 1 Juni 1945. Ada yang berargumen, belum ada negara kok sudah ada dasar negara. NKRI itu diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 dan UUD 1945 ditetapkan berlaku terhitung mulai tanggal 18 Agustus 1945. Pancasila termaktub dalam Pembukaan UUD 1945 itu, maka mereka beranggapan bahwa harlah Pancasila yang benar adalah 18 Agustus 1945. Pada masa Presiden SBY, tanggal 18 Agustus ini telah ditetapkan sebagai Hari Konstitusi yang diperingati setiap tahun.  Agaknya, ada yang ingin menentang dan melakukan pembangkangan terhadap Keputusan Presiden Joko Widodo yang menetapkan 1 Juni sebagai Hari Lahir Pancasila. Acara peringatan dilaksanakan di Gedung Pancasila Pejambon Jakarta yang dipimpin langsung oleh Presiden. Pada hal, menurut sejarawan Anhar Gonggong, peringatan Harlah Pancasila ini sudah dilakukan sejak jaman Presiden Soekarno, ketika para Perintis Kemerdekaan masih ada dan tidak timbul masalah. Rezim Orde Baru melalui sejarawan Nugroho Notosusanto yang mulai dengan gencar melakukan desoekarnoisasi dan menyebarkan tesis yang ingin menganulir peran Bung Karno. Pada hal, apabila ditelusuri secara mendalam dengan berprasangka, pikiran dan niat yang baik, maka akan tampak jelas alur faktanya.

BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) yang dipimpin oleh dr. Radjiman Wedyodiningrat mengundang sidang, mempertanyakan kepada para anggota, apa dasar negara yang akan kita bentuk. Maka berbicaralah para tokoh menyampaikan konsepsi dan pendapatnya. Bung Karno yang berpidato pada tanggal 1 Juni 1945 menyampaikan Pancasila yang bisa diamalkan dengan konsep Trisila dan Ekasila yang bermakna gotong-royong. Oleh Ketua BPUPKI kemudian dibentuk Panitia Sembilan untuk merumuskan lebih matang dan kemudian lahirlah Piagam Jakarta yang antaralain menyebutkan bahwa Indonesia merdeka dibentuk berdasarkan ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Piagam Jakarta itu lahir pada tanggal 22 Juni 1945 atas pemikiran Panitia Sembilan yang terdiri atas golongan nasionalis Islam yaitu, Ir. Soekarno, Drs. Mohammad Hatta, Mr. Muhammad Yamin, Mr. Achmad Soebardjo, nasionalis Nasrani Mr. A.A.Maramis, dan golongan Islam yaitu KH. Wachid Hasjim, H.Agus Salim, Abikusno Tjokrosuyoso dan Abdul Kahar Muzakir. Kemudian oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang dipimpin oleh Ir. Soekarno dan wakilnya Drs. Mohammad Hatta, Piagam Jakarta tersebut dijadikan Pembukaan UUD 1945 dengan perubahan sesuai permufakatan bersama seperti diuraikan di atas.

Lalu, bagaimana dengan Hari Lahir Pancasila? Faktanya, bahwa Ir. Soekarno adalah penggagas yang mengaku sebagai penggali Pancasila dalam pidato yang memukau di dalam sidang BPUPKI pada tanggal 1 Juni 1945. Dia kemudian terlibat langsung merumuskan Piagam Jakarta dalam Panitia Sembilan, dan sebagai Ketua PPKI, dia terlibat menyusun, merumuskan dan mensahkan UUD 1945. Nah, kalau begitu kapankah si jabang bayi Pancasila itu lahir yang sebenarnya? Bisa diibaratkan seperti si Polan yang lahir pada tanggal 1 April 1945, kemudian disunat (dikhitan) pada tanggal 5 Agustus 1957. Jadi sarjana tahun 1970 dan namanya berubah menjadi Polan SH, lalu kerja dan menikah pada tanggal 20  Januari 1974. Kemudian berhasil menjadi pejabat tinggi pada tahun 1985, apakah tanggal lahirnya si Polan ikut berubah atau tetap 1 April? Sebagai bagian dari ulah desoekarnoisasi secara terpola dan brutal, harlah Pancasila kemudian diotak-atik. Bahkan di kemudian hari, ada yang gusar ketika  ada pemikiran pembuatan UU Haluan Ideologi Pancasila (UU HIP) yang dimaksudkan sebagai penguatan pedoman berbangsa dan bernegara. Tuduhan yang menyeramkan adalah karena dibilang ingin menghidupkan kembali PKI, hanya karena tidak mencantumkan sebagai konsideran, Ketetapan MPRS mengenai pembubaran PKI dan larangan ajaran Komunisme, Marxisme dan Leninisme di bumi NKRI. Samasekali mereka tidak ada yang mempertanyakan kenapa dalam Tap MPRS itu tidak menyebut larangan terhadap ajaran Komunis Cina Maoisme? Pada hal katanya G30S/PKI tahun 1965 itu disokong oleh Cina Komunis yang penganutnya sudah milyaran jiwa, dan keterlibatan ini ada dalam narasi film Pengkhianatan G30S/PKI yang dibuat oleh rezim Soeharto/Orba. Pertanyaannya, ada apa pada tahun 1966 itu, dan apa pula yang mempengaruhi Sidang MPRS waktu itu?

Semenjak usai Perang Dunia II, para negara besar terutama negara kapitalis dan imperialis mengembangkan perang proxy. Mereka mengincar kekayaan alam semua negara bekas jajahan dengan mengadu-domba potensi konflik di suatu negara. Mereka membantu dan menyokong untuk kemudian menguasai kekayaan alam negara itu melalui rezim baru yang mereka bantu ketika merebut kekuasaan. Dan, perang proxy itu masih mengancam kita. Masalahnya, maukah kita menjadi seperti Kawasan Timur Tengah yang hancur lebur bertikai sesama agama dan suku bangsa karena mudah diadu-domba? Sejarah perkembangan bangsa Indonesia telah membuktikan dan kelompok-kelompok aneh masih selalu lahir dan gentayangan serta menggoreng terus. Inilah yang perlu kewaspadaan seluruh komponen bangsa yang cinta damai! *****

 

Dibalik Nama-Nama Presiden RI

 

Tahun 2024 masih lama. Tetapi gaung Calon Presiden pengganti Jokowi sudah ramai dipergunjingkan. Ada yang mengusulkan Prabowo-Puan Maharani, Prabowo-Sandi lagi dan ada yang menyandingkan Anies-Sandi. Bahkan massa Nasdem mencalonkan Surya Paloh, tetapi yang bersangkutan menolak karena merasa terlambat. Yang menarik, justru Jokowi sempat menyebut Sandiaga yang layak sebagai penggantinya kelak. Segenap bangsa Indonesia memang seharusnya sudah mulai memilah-milah, siapa pemimpin yang layak dipilih nantinya.  Mata dan pikiran seharusnya sudah mulai dicurahkan untuk mengamati sepak terjang dan rekam jejak orang-orang yang berambisi menjadi Presiden dan Wakil Presiden. Sebaliknya, bagi yang berambisi, sudah harus mulai memperlihatkan kinerjanya dalam bidang yang ia geluti, berwatak jujur, pekerja keras, sederhana, dan tidak berulah yang macam-macam, apalagi menggunting dalam lipatan. Pemimpin mendatang harus berpola pikir dan pola tindak sebagai penerus apa yang dilakukan oleh pendahulu, bukan yang memporak-porandakan, karena itu sama dengan perilaku kudeta. Yang bagus diteruskan, yang salah harus dikoreksi dari sekarang  dan memberikan saran serta masukan dengan tata-krama yang santun sesuai adat ketimuran. Itulah hakekat berbangsa dan bernegara secara berkesinambungan di bumi Pancasila ini.

Nama Capres

Kembali kepada siapa Capres yang ideal pada tahun 2024? Ada fakta yang menarik untuk dianalisa yang menyangkut nama para Presiden RI sepanjang sejarah. Konon Jayabaya, Raja Kediri, pernah meramalkan: kelak ada  suatu negeri yang lama dijajah bengsa bule selama berabad-abad, lalu datang bangsa kate yang menguasai selama seumur jagung dan kemudian merdeka yang dipimpin oleh Notonegoro. Fakta bahwa pada tanggal 17 Agustus 1945, berdiri negara baru yang dipimpin oleh Soekarno-Hatta dengan pengalaman sebagai negeri seperti yang diramalkan oleh Jayabaya. Presiden pertamanya adalah Soekarno (-no-) dan wakilnya adalah Mohammad Hatta. Soekarno berkuasa hingga 1965 dengan mandat berdasarkan UUD 1945, UUDS RIS 1949, UUD Sementara 1950, dan kembali ke UUD 1945 lagi sejak tahun 1959.

Seharusnya suksesi  berikutnya idealnya kepada Mohammad Hatta (-ta/to-) karena termasuk ke dalam Dwi Tunggal Proklamator. Tetapi karena Hatta mundur sebagai Wapres pada akhir tahun 1956, dan ternyata terlahir sebagai Mohammad Attar, maka suksesi tidak singgah kepada Hatta. Muncullah Peristiwa G30S pada tahun 1965 yang kemudian mengantarkan Soeharto (-to-) sebagai Presiden kedua yang secara defacto berkuasa sejak 11 Maret 1966. Pergantian kekuasaan itu diwarnai dengan hiruk-pikuk yang menyeramkan dan menegangkan serta penuh rekayasa. Seharusnya, sesudah Soeharto itu kembali ke “-No-“,yang sebenarnya sudah ada calon yang sudah sempat menjadi wapres, yaitu  Hamengkubuwono IX, Soedharmono, dan Try Sutrisno, tetapi semuanya meleset. Hamengkubuwono IX ,mungkin karena nama kecilnya Dorojatun maka kekuasaan tidak mampir ke tangannya. Begitu juga tidak mampir ke Soedharmono dan Try Sutrisno, karena Soeharto masih ingin tetap berkuasa dan menempatkan kedudukan Wapres hanya sebagai pelengkap tanpa peran yang berarti.

Maka terjadilah gonjang-ganjing, reformasi, yang membuat Soeharto mundur dari kekuasaannya dan digantikan oleh wakilnya BJ Habibie pada tanggal 21 Mei 1998. Karena bukan “-no-“ ,maka BJ Habibie memegang mandat hanya  sebentar. Kemudian lewat Pemilu 1999 terpilihlah Abdurahman Wachid (Gus Dur) sebagai Presiden dan wakilnya Megawati Soekarnoputri. Kembali lagi, karena bukan “-no-“ maka Gus Dur jatuh dan digantikan oleh Megawati untuk meneruskan yang  ternyata juga bukan “-no-“. Lalu lewat Pilpres langsung oleh rakyat pada tahun 2004 dapatlah Presiden “-no-“ yang sebenarnya, yaitu Susilo Bambang Yudhoyono yang terpilih sampai dua kali masa jabatan. Dan ketika Pilpres  tahun 2014 dan 2019, terpilih Joko Widodo (Jokowi) yang dijagokan oleh Megawati Soekarnoputri. Juga sangat mengejutkan banyak pihak, kenapa bisa terjadi, orang biasa terpilih sebagai Presiden sampai dua kali?.  Ternyata Jokowi nama kecilnya adalah Mulyono. Karena sering sakit-sakitan lalu oleh orangtuanya diganti namanya menjadi Joko Widodo yang kemudian terkenal sebagai Jokowi. Maka sebenarnya dia melanjutkan lagi “-no-“ atau mewakili “-go-“ karena dijagokan oleh Megawati yang nama panggilannya “Ega”?. Bisa saja kita menduga, Jokowi sebenarnya menyandang atau mengemban nama “no” sekaligus “go”. Wallahu a’lam. Oleh karena itu bisa juga kita berspekulasi, Presiden berikut layaknya mungkin sosok yang namanya mengandung kata “-ga” atau “-go”. Tetapi ini hanya sekedar ramalan dengan analisa sederhana untuk meramaikan alam demokrasi dan tidak harus dipercaya. Tetapi kalau juga mempercayai, maka siapa saja putra terbaik bangsa yang namanya mengandung “ga” atau “go” dan sanggup melanjutkan program yang telah digagas dan dirintis oleh Presiden Jokowi, bisa saja mulai unjuk muka dan unjuk peran serta prestasi.

 Atau jangan-jangan langsung saja kita menuju negeri yang sering digambarkan oleh Bung Karno: “Gemah ripah loh jinawi, subur kang sarwo tinandur, murah kang sarwo tinuku, Negeri yang tata tenteram kerta raharja”. Dan itu berarti memerlukan pasangan  Loh-Jinawi yang bisa saja merupakan perpaduan dwi tunggal baru Surya Paloh dan Muhammad Sadji?. Wallahu a’lam! Tetapi ini hanya sekedar bercanda, lho!.Untuk meramaikan alam demokrasi yang sudah semakin menunjukkan kematangan dan kedewasaan, walaupun banyak diwarnai hoax berseliweran di medsos. *****

Rabu, 14 Oktober 2020

BU INGGIT LAYAK PAHLAWAN NASIONAL

 

Bangsa Indonesia mengenal Ir.Soekarno sebagai Pahlawan Proklamator, Pahlawan Nasional dan sebagai Presiden pertama NKRI.

Ternyata, di balik perjalanan hidup dan penapakan karir perjuangannya ditopang oleh sosok wanita yang bernama Inggit Garnasih. Beliau menjadi isteri Bung Karno sejak Bung Karno masih mahasiswa di THS Bandung pada tahun 1923. Beliau bersama orangtuanya mengikuti Bung Karno ketika diasingkan oleh penjajah Belanda ke Ende (P. Flores) pada tahun 1934-1938, kemudian dipindah ke Bengkulu (P. Sumatera) pada tahun 1938-1942. Pengorbanan yang ikhlas atas harta, tenaga, pikiran, do’a dan ibadah seorang isteri yang setia selama lebih-kurang dua-puluh tahun memungkinkan Bung Karno mampu berprestasi dalam hidupnya. Dan puncaknya adalah berhasil memproklamasikan kemerdekaan dan meletakkan dasar-dasar Indonesia merdeka bersama para perintis kemerdekaan yang lain.

Dari pengorbanannya yang besar, cukup lama dan tanpa pamrih itulah, kiranya Pemerintah Republik Indonesia layak memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada Ibu Inggit Garnasih. Apalagi selama dalam pengasingan tersebut Ibu Inggit kehilangan orangtuanya yang berpulang kerahmatullah ketika di Ende.

Semoga usulan saya ini bisa menjadi perhatian dan pertimbangan Pemerintah Republik Indonesia serta mengamankan semua situs yang menyangkut Ibu Inggit Garnasih.*****

(Tulisan ini sudah dimuat di Surat Kabar Jawapos tanggal 8 Oktober 2020 dan Kompas tanggal 14 Oktober 2020)