Entri yang Diunggulkan

GENERASI PENDOBRAK JILID III

 Harian Rakyat Merdeka terbitan 20 April  2010,memuat artikel dengan judul “Bodoh Permanen” yang ditulis oleh Arif Gunawan. Tulisan tersebut...

Kamis, 01 April 2021

MINIATUR INDONESIA DI BUMI PAPUA

Terus terang, akhir-akhir ini saya merasa miris apabila mengikuti perkembangan di Papua. Masih saja ada pertumpahan darah yang sia-sia. Kenapa kita tidak hidup damai saja, bersama-sama merajut kesejahteraan dan membangun kemajuan.

Saya memimpikan harapan ini karena mempunyai beberapa memori yang patut dikenang mengenai Papua, bahkan merasa ada ikatan emosional dengan Papua. Beberapa catatan dapat saya kemukakan berikut ini.

Pertama, pada tahun 1958/1959, saya duduk di kelas dua SR (Sekolah Rakyat, sekarang SD) Negeri Benjeng. Sebuah desa di Kabupaten Gresik. Ketika sedang asyik belajar, tiba-tiba sekolah kedatangan tamu Bapak Tentara. Setelah ketamuan itu semua siswa dipulangkan, dengan pesan dari Ibu Guru Karsiyah agar nanti apabila mendengar bunyi bedug di masjid dan kentongan di Balai Desa dan Pos Ronda secara serentak, semua harus diam, berdiri mengheningkan cipta disertai berdoa dan mengucapkan kata-kata :”Irian Barat hak milik kita!”. Ibu Guru menyuruh agar lekas pulang dan meyampaikan pesan tersebut kepada orang-tua masing-masing dan semua sanak famili.

Kedua, pada waktu pidato Trikora (Tri Komando Rakyat) oleh Presiden Soekarno tanggal 19 Desember 1961 di Jogyakarta, saya sudah di kelas lima SR. Pak Guru Legimin, membawa kami sekelas ke rumah Pengusaha tetangga sekolah yang mempunyai radio untuk mendengarkan pidato yang sangat bersejarah tersebut. Setelah kembali ke kelas, Pak Guru menanyakan isi Trikora tersebut dan menerangkan selengkapnya yang isinya :”Gagalkan negara boneka Papua buatan Belanda, kibarkan bendera Sang Saka Merah Putih di daratan Irian Barat sebelum ayam berkokok 1 Mei 1963, dan laksanakan mobilisasi umum bagi seluruh rakyat Indonesia untuk membebaskan Irian Barat dari penjajah Belanda.

Ketiga, pada tahun 1963/1966 saya duduk di bangku SMP. Suatu pagi ketika berangkat ke sekolah, saya menemukan sobekan kertas pamflet Departemen Penerangan, ada gambar peta Irian Barat dan tulisan tangan Presiden Soekarno . Karena tertarik, sobekan kertas itu saya pungut dan terbaca tulisan yang seingat saya berbunyi :”Bantulah Pembangunan Irian Barat” dengan tandatangan Presiden Soekarno. Waktu itu, sebagai pelajar SMP sudah mulai memikirkan bagaimana membuat tandatangan yang bagus. Kita antar teman di kelas suka saling pamer tandatangan untuk diadu mana yang bagus dan menarik disertai ledekan dan ramalan-ramalannya. Dari tandatangan Presiden Soekarno yang terdapat di atas peta Irian Barat itulah saya kemudian terinspirasi meniru “S”-nya dan masih saya pakai sampai sekarang sebagai tandatangan resmi sejak menandatangani ijazah SMP tahun 1966.

Keempat, pada tahun 1987 saya berkesempatan mengunjungi Papua dalam rangka dinas dari kantor. Kota yang saya kunjungi antaralain Jayapura, Biak, Sorong, dan Merauke. Tepat ketika peringatan detik-detik Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1987, bersama tim dan pengantar rombongan sedang sarapan pagi di suatu rumah makan khas masakan Jawa di Merauke. Ketika dibacakan teks Proklamasi :”….Atas nama bangsa Indonesia, Soekarno-Hatta”, pengantar yang bernama Pak Amas spontan berteriak. “Sejarah tidak bisa dihapus, Soekarno tidak bisa dihapus”, katanya berulang-ulang. Karena kaget dan heran, saya lalu menanyakan , Pak Amas lahir di mana, kapan dan di mana dibesarkan, kok mengenal Bung Karno. Dengan bangga dia bercerita, bahwa dia orang Papua, lahir dan besar di Papua. Dulu, sewaktu jaman Belanda, orang-tuanya suka mendengarkan melalui radio kalau Bung Karno berpidato, dengan sembunyi-sembunyi karena takut ketahuan Belanda atau orang-orang yang pro Belanda.

Juga ada kisah menarik untuk saya kenang. Waktu dinas itu status saya masih bujangan dan bersama rombongan menginap di Hotel Matoa Jayapura. Ada karyawati resepsionis hotel yang cantik blasteran, bapaknya anggota TNI asli Papua dan ibunya berasal dari Cimahi – Jawa Barat. Di bagian cafetaria ada karyawati pramusaji yang hitam manis , cantik khas Papua bernama Margaretha yang tinggal di jalan Ampera Jayapura. Kawan-kawan selalu menjodoh-jodohkan setiap kali sarapan pagi, dan jujur, saya memang tertarik juga. Suatu malam Minggu, saya coba mertamu ke rumahnya dengan maksud mau pendekatan. Tetapi oleh abangnya dibilang Eta sedang istirahat dan saya tidak sempat ngobrol karena tidak dipersilahkan masuk barang sejenak. Patah hatilah jadinya, baru berkhayal dan membayangkan pendekatan, sudah putus di tengah jalan karena harus kembali ke Jakarta besoknya. Pengalaman ini membuat saya masih suka berilusi, seandainya bisa berhasil menggaet Margaretha, mungkin keadaan Papua sekarang bisa menjadi tenteram dan damai. Oleh karena itu saya ingin menyampaikan “Salam Sejahtera!” buat Margaretha di mana pun saat ini berada, yang pada Juli/Agustus 1987 menjadi karyawati Hotel Matoa Jayapura di bagian Cafetaria.

Kesan saya selama bertugas, Papua memang sangat indah. Sebelum mendarat di Bandara Sentani, danau Sentani nampak mempesona dari ketinggian, demikian juga semua kota dan daerah yang saya singgahi sangat menakjubkan.

Kelima, sekitar tahun 2002 saya mendapat kunjungan Johanes Aury yang mau pamitan karena dipindah-tugaskan ke Jayapura. Johanes Aury adalah pemain sepakbola nasional yang diterima sebagai karyawan PT Pertamina (Persero), beristerikan wanita NTT (Nusa Tenggara Timur). Ketika ngobrol dan berbincang-bincang, saya tanyakan kenapa kok beberapa oknum masyarakat Papua masih ada yang ingin merdeka. Dia bilang masyarakat Papua banyak yang kecewa. Dulu, sewaktu jaman Belanda, seseorang yang tamatan sekolah rendah saja bisa jadi Kepala Gudang dan hidup sejahtera. Sedangkan sekarang, harus sekolah yang cukup untuk bisa memegang jabatan yang sama. Fasilitas yang seharusnya untuk masyarakat Papua ternyata banyak dinikmati para pendatang, masyarakat Papua banyak terpinggirkan. Banyak pendatang yang sengaja datang untuk menikmati hak yang seharusnya hanya diberikan kepada masyarakat Papua. Dari situlah antara lain masyarakat Papua mengalami kekecewaan. Saya hanya menyampaikan pesan persaudaraan kepada Johanes Aury, mendoakan sukses dalam bertugas dan berkarir serta harapan saya kalau bisa mengembangkan persepakbolaan di Jayapura dan Papua secara keseluruhan.

Keenam, mengenai ibukota Provinsi Papua. Dulu, setelah kembali ke pangkuan NKRI, ibukota Irian Barat/Papua yang semula bernama Holandia (7 Maret 1910 – 1962), kemudian sempat berubah menjadi Kotabaru, dan oleh Presiden Soekarno diubah lagi menjadi Sukarnapura (1964) Tetapi oleh rezim Orde Baru Soeharto, Irian Barat diubah menjadi Irian Jaya, Sukarnapura diganti menjadi Jayapura (1968) dan Puncak Sukarno yang terdapat salju abadi di dunia, diubah menjadi Puncak Jayawijaya. Lalu, sewaktu saya masih di SMP antara 1963/1964 sampai 1965/1966, film di bioskop selalu didahului dengan pemutaran film penerangan dari Departemen Penerangan. Di antara film-film itu ada tentang kunjungan Presiden Soekarno ke Irian Barat dan ada adegan Presiden berangkulan mesra dengan para Kepala Suku di Papua. Lagi-lagi saya berilusi, kalau saja ibukota Papua masih Sukarnopura dan film Presiden Soekarno ke Papua ini selalu diputar kembali, mungkin kedamaian akan terwujud di tanah Papua yang indah dan mempesona itu. Bahkan, kalau saja Bung Karno tidak jatuh pasca peristiwa G30S tahun 1965, pasti pertambangan Freeport yang mengandung tembaga, emas dan uranium itu bukan dikuasai asing, melainkan kita kelola sendiri untuk kemakmuran bersama, khususnya dan terutama bagi masyarakat Papua.

Ketujuh, mengenai pembangunan di Papua. Saya mempertanyakan, kenapa pembangunan smelter PT Freeport kok di tanah kelahiran saya, Gresik Jawa-Timur. Kenapa tidak di Papua saja khususnya di pantai Selatan. Saya curiga jangan-jangan ada kesengajaan, ketika mengangkut bongkahan tanah tambang ada yang akan diselewengkan ke smelter awalnya di luar negeri ketika kita lalai dan lengah tidak mampu mengawasi perairan kita yang luas ini. Bongkahan itu mengandung  tembaga, emas dan uranium yang tidak ternilai. Seandainya smelter Freeport dan industri yang lain dibangun di Papua, lalu mengutamakan masyarakat Papua sebagai SDM melalui pembibitan dan pembinaan pemuda/pemudi yang berpotensi dan berkualitas, niscaya kedamaian akan tercapai karena terciptanya kesejahteraan bersama yang adil dan beradab.

Kedelapan, mengenai hobi koleksi benda filateli. Sejak di SMP, saya mempunyai hobi mengoleksi benda filateli yang terdiri atas prangko, sampul surat berikut cap posnya, kartu pos serta benda pos lainnya. Di antaranya, saya mengoleksi tematik mengenai Irian Barat/Papua. Dari benda filateli itu saya bisa mengetahui lebih banyak mengenai tanah Papua misalnya peta bumi, flora-fauna, seni-budaya, kekayaan alam, dan kota-kota melalui cap posnya serta Sampul Hari Pertama (SHP) penerbitan prangko bercap pos Sukarnapura yang sudah langka dikoleksi para pehobi filateli.

Kesembilan, ketika berkunjung ke Sorong pada tahun 2004 dalam rangka tugas ke Kilang Minyak Pertamina Sorong. Saya berkesimpulan, kilang minyak Sorong layak dikembangkan sekalian untuk membangun Kawasan Indonesia Timur dan tercapainya satu harga BBM yang seragam dari Sabang sampai Merauke. Bersamaan dengan itu, kita wajib mencari bibit-bibit anak terbaik asli Papua untuk dididik berbagai cabang ilmu yang terkait dengan teknologi dan tata kota. Mereka diperlukan untuk membangun Papua yang indah dan maju di masa depan. Pesona alam, kekayaan adat-istiadat, seni dan budaya seta flora dan fauna yang khas bisa merupakan modal pengembangan pariwisata yang akan mendatangkan kedamaian dan kemakmuran.

Kesepuluh, pada tahun 2012 saya pernah menulis “Surat Pembaca” ke beberapa media massa cetak. Saya menyampaikan keprihatinan karena Monumen Pembebasan Irian Barat di Lapangan Banteng Jakarta kondisinya rusak parah, dikanibal dan ditempati para gelandangan. Monumen yang diresmikan oleh Presiden Soekarno pada tanggal 18 Agustus 1963 itu, pintu dan pagarnya yang terbuat dari logam stainless-steel banyak yang hilang dicopoti oleh orang-orang liar. Monumen itu tidak terjaga setelah Terminal Bus Kota Lapangan Banteng dihapus sehingga situasinya menjadi sepi dan lengang sepanjang hari. Kalau di kemudian hari Monumen itu direnovasi total oleh Pemda DKI Jakarta, saya “GR”, semoga itu karena “Surat Pembaca” yang juga sempat saya “google”-kan pada tanggal 24 Agustus 2012 itu telah dibaca dan diperhatikan oleh banyak orang. Sekarang, Monumen itu menjadi salah satu ikon dan destinasi pariwisata DKI Jakarta.

Kesebelas, adalah harapan kedamaian. Papua adalah bagian dari Bhinneka Tunggal Ika kita. Untuk membangun kesejahteraan dan kedamaian bersama dari Sabang sampai Merauke, antaralain perlu pendekatan pendidikan sesuai rencana pembangunan yang ingin dicapai dan dilaksanakan. Beasiswa di bidang teknologi dan kedokteran serta tata-kota perlu diperbanyak dan disebar ke seluruh wilayah tanah air untuk pembelajaran dan agar mereka saling kenal-mengenal sesama anak bangsa.

Keduabelas, perlunya membangun Papua dengan system gotong-royong sesuai anjuran Presiden Soekarno :” Bantulah Pembangunan Irian Barat !”. Konsepnya adalah dengan menciptakan miniatur Indonesia di bumi Papua. Dalam konsep ini, masing-masing provinsi di Indonesia, diundang dan diwajibkan membangun desa atau Kawasan Hunian bagi masyarakat Papua. Sehingga kelak ada kampung RW atau Kelurahan Daerah Istimewa Aceh, Sumatera Utara dan seterusnya yang dihuni oleh penduduk asli Papua lengkap dengan fasilitas sekolah, olahraga, sanggar seni-budaya untuk sarana pelestarian kekayaan seni-budaya local. Perkampungan itu diharapkan tertata rapi, bersih, menarik dan manusiawi, terbebas dari bencana banjir dan tanah longsor serta layak sebagai obyek pariwisata. Pembangunan perkampungan itu bisa juga oleh kelompok perorangan, BUMN dan lain-lain, sehingga kelak juga ada perkampungan Aburizal Bakri, Pegadaian dan lain-lain para penyumbang dalam rangka merekatkan persatuan dan kesatuan bangsa dari Sabang sampai Merauke.

Pangkal dari semua itu, kedamaian akan tercapai kalau saja pemikiran dan pelaksanaannya perlu dilakukan dengan amanah, integritas tinggi dan penuh kejujuran di semua lini pemerintahan. Satu yang perlu dicamkan oleh semua pihak, bahwa pertumpahan darah dan penghilangan nyawa orang lain adalah perbuatan percuma yang akan menambah dosa saja. Dan itu pasti dilarang oleh agama, apa pun agama itu!. *****

 

 

Rekaman Sejarah Reformasi 1998

     Pada tanggal 17 April 2019 yang lalu, bangsa Indonesia telah melaksanakan Pemilu serentak memilih Presiden/Wakil Presiden, Anggota Legislatif Pusat dan Daerah serta Anggota DPD. Masyarakat sangat antusias menyukseskan Pemilu tersebut,  terbukti dengan meningkatnya prosentase jumlah pemilih dibanding Pemilu-Pemilu sebelumnya.

Patut dicatat, bahwa di antara para pemilih tahun ini terdapat pemuda/di remaja yang lahir pada tahun 1997/1998. Mereka mungkin ada yang tidak paham kenapa ada Pemilu serentak yang semula diperkirakan cukup membingungkan, tetapi ternyata bisa berhasil dengan baik, aman, damai, dan menggembirakan.

Bagi generasi muda yang baru pertama kali menggunakan hak pilihnya, perlu membaca buku “Kita Hari Ini 20 Tahun Yang Lalu”. Demikian juga para orang dewasa dan akademisi perlu membaca buku ini untuk menyegarkan kembali ingatan peristiwa bersejarah yang terjadi pada tahun 1998 yang melahirkan Orde Reformasi dan model demokrasi seperti sekarang ini yang sedang menuju kedewasaan. Harian Kompas yang mempunyai motto mengemban ‘Amanat Hati Nurani Rakyat” telah menyajikan sebagian laporan utamanya dalam bentuk kliping yang disusun untuk menggambarkan serba peristiwa yang terkait Reformasi 1998.

Dalam buku ini diketengahkan empat tema utama, yaitu: Rezim Orde Baru beserta secuil kekonyolannya, gambaran krisis ekonomi yang melanda sejak medio 1997 hingga Mei 1998, hari-hari menjelang lengsernya Soeharto, serta hari-hari menuju Pemilihan Umum 1999.

Buku ini dibuka dengan menampilkan komik bergambar Soeharto di penutup bagian belakang sebuah mobil truk. Dalam gambar itu ada kata-kata yang seolah diucapkan oleh Soeharto dengan nada mengejek rezim Reformasi yang berbunyi:“Piye kabare? Penak zamanku toh?”, dengan tangan kanannya terangkat  melambai seolah menyapa setiap orang sambil ber “da- dah!”. Seorang anak muda digambarkan terpengaruh membacanya dan bertekad untuk mengingat kembali masa-masa perjuangan menegakkan Reformasi pada tahun 1998 yang lalu.

Menjelang Pemilu 2014 memang sudah marak spanduk, stiker, dan gambar di angkutan umum, kemunculan gaung Soeharto dengan tema “Piye kabare?. Kalangan Soehartois dan pendukung Soeharto agaknya ingin membangkitkan kembali nostalgia era Soeharto. Mereka menganggap mungkin rakyat Indonesia  sudah lupa dan ini diulangi lagi menjelang Pemilu 2019 dengan tambahan strategi baru, antara lain  membentuk partai politik baru.

Untung ada pengingat. Sebagaimana slogan dalam buku ini yang berbunyi: “Verba Volant Scripta Manen, yang terucap akan lenyap, yang tertulis akan abadi”, maka penting membaca buku ini agar tragedi yang sama tidak terulang kembali.

Soeharto yang menakhodai Orde Baru, berkuasa sejak 11 Maret 1966 sampai dengan 20 Mei 1998. Pada awalnya mereka mencanangkan melaksanakan UUD 1945 dan Pancasila secara murni dan konsekuen. Tetapi kemudian berkembang menjadi otoriter dan militeristik melalui dwifungsi ABRI dengan mengatasnamakan  menjaga stabilitas nasional.

Pembangunan ekonomi memang digenjot melalui penanaman modal asing dan utang luar negeri serta bantuan asing. Tetapi karena fondasi ekonominya ternyata keropos dan sarat KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme) maka ketika diterpa gejolak moneter yang menyerang Asia Tenggara pada medio 1997, menghempaskan kita kembali ke titik awal dan rezim ORBA jatuh.

Kompas minggu  13 Maret 1994, mengutip wejangan Presiden Soeharto di hadapan anggota KNPI di Bina Graha Jakarta. Dia bilang, tidak berambisi jadi Presiden seumur hidup, oleh karena itu tidak perlu ribut-ribut. Kaum muda diminta jangan khawatir tidak punya waktu giliran menghadapi suksesi. Mungkin karena sinyal yang demikian itulah, maka dia bertindak otoriter dalam mempertahankan kekuasaannya.

Rezim ini juga pernah membatalkan SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers) media cetak serta  pelarangan beredarnya  buku dalam kurun waktu 1991-1995 dengan alasan yang berbeda-beda, dari tuduhan mengandung unsur SARA, pornografi, aliran kiri, sampai yang dituduh memutarbalikkan sejarah serta merendahkan pemerintah ORBA.

Setelah berkuasa lebih dari 30 tahun melalui cara-cara siasat dan kecurangan yang terencana, terstruktur, sistematis, masif, dan brutal dalam segala segi, tiba-tiba krisis ekonomi menerpa secara bergelombang. Semula di Thailand pada tanggal 2 Juli 1997, gejolak moneter merembet ke Indonesia dan berujung pengambangan nilai tukar rupiah terhadap US$ yang berlaku sejak 14 Agustus 1997. Dampaknya, nilai kurs anjlok dan kita tidak mampu lagi membayar utang. Banyak perusahaan bangkrut, enambelas bank dilikuidasi, berbagai proyek besar dihentikan dan jutaan orang di PHK.

Menanggapi kemelut ekonomi saat itu,  Sumitro Djojohadikusumo yang sempat memperkuat Kabinet Soeharto pada awal-awal ORBA menilai bahwa permasalahan yang terjadi bukan lagi menyangkut moneter dan ekonomi masyarakat semata-mata, tetapi lebih luas lagi karena menyangkut krisis kepercayaan yang menghinggapi seluruh kehidupan masyarakat politik terutama yang terkait good governance.

 Puncaknya, krisis ekonomi menjalar menjadi kemelut politik karena pemerintah mengalami krisis kepercayaan dari masyarakat. Monopoli cengkeh yang dilakukan oleh salah seorang anak Soeharto dan fasilitas bea dan pajak mobil Timor jalan terus serta ketidakmampuan pemerintah mengatasi krisis, memancing unjuk rasa masyarakat sejak awal 1998 hampir di seluruh kota di Indonesia.

Sejak Februari 1998 demonstrasi semakin gencar dan berani menuntut Presiden Soeharto mundur. Respon yang diberikan sejak Februari, Maret sampai Mei 1998 terjadi penculikan dan pengamanan para aktivis. Aksi keprihatinan semakin keras ketika Soeharto membentuk Kabinet Pembangunan pada periode kekuasaannya yang ketujuh pada tanggal 16 Maret dan usaha menaikkan harga BBM per 4 Mei 1998. Hingga saat ini ada 13 Aktivis yang tidak diketahui nasib dan keberadaannya.

 Puncak tekanan gerakan reformasi yang dimotori mahasiswa dan didukung oleh masyarakat luas yang berhasil menduduki Gedung MPR/DPR pada tanggal 18-20 Mei 1998, adalah peristiwa yang  berhasil memaksa Soeharto mundur dari kekuasaannya pada tanggal 21 Mei 1998.

Seluruh rangkaian kisah nyata yang menegangkan dan memilukan selama perjuangan reformasi dan tercapainya alam demokrasi seperti sekarang ini, tertuang secara beruntun dan sistematis  dalam buku ini. Pencapaian kemajuan setelah 20 tahun reformasi juga dituangkan dalam buku ini.

Ada enam tuntutan reformasi yang  menjadi pekerjaan besar kita bersama untuk dituntaskan, yaitu: penegakan supremasi hukum; mengadili Soeharto dan kroninya; amandemen konstitusi; pencabutan dwifungsi TNI/POLRI; dan pemberian otonomi daerah seluas-luasnya.

Oleh karena itu, kalau ada yang mempertanyakan kenapa Seoharto tidak bisa ditetapkan sebagai pahlawan nasional, barangkali karena evaluasi dan pertimbangannya terjawab dalam buku ini. Belum lagi kalau dihubungkan dengan hilangnya dokumen penting Surat Perintah 11 Maret 1966 (anehnya tanpa nomor)  yang telah mengantarkan Soeharto bisa berkuasa selama 32 tahun, serta kasus pelanggaran HAM berat 1965/1966 dan selama periode kekuasaannya, semestinya juga patut menjadi bahan pertimbangan oleh rezim manapun.. *****  Penulis adalah pemerhati masalah sosial, ekonomi dan politik, lulusan S2 FISIP Universitas Indonesia.

Data Buku

Judul:

Kita Hari Ini 20 Tahun Yang Lalu

Penulis dan Penyunting:

KPG. Redaksi dan Litbang Kompas

Penerbit:

KPG (Kepusatakaan Populer Gramedia)

Halaman:

Viii+256 halaman

Tahun Terbit:

2018

 

Rabu, 31 Maret 2021

PESAN LAGU “BELAIAN SAYANG”

     Sewaktu masih duduk di Sekolah Menengah dulu, penulis senang mendengarkan lagu Belaian Sayang ciptaan Bing Slamet. Pada waktu itu penulis tidak pernah peduli dengan bunyi syairnya karena hanya menirukan dengan bersiul.  Beberapa hari yang lalu kebetulan penulis menyaksikan acara musik keroncong di siaran televisi. Salah satu lagu yang ditampilkan adalah Belaian Sayang yang dibawakan oleh penyanyi cantik berkebaya, pakaian ciri khas artis keroncong wanita. Penulis menyimak dan menulis syairnya. Ternyata lagu itu mempunyai pesan yang luhur untuk membangun bangsa. Coba kita perhatikan syair lagu itu secara lengkap berikut ini.

       Waktu hujan turun/ Rintik perlahan/ Anginpun berhembus/ Awan  menebal.

       Kutimang si buyung/ Belaian sayang/ Anakku seorang/ Tidurlah, tidur.

       Ibu berdoa/ Ayah menjaga/ Agar kelak kau/ Jujur melangkah.

       Jangan engkau lupa/ Tanah pusaka/ Tanah air kita/ Indonesia.

 

Multi tafsir untuk memahami pesan dari lagu keroncong yang iramanya merdu itu. Bait pertama misalnya, bisa ditafsirkan bahwa sang penggubah lagu ingin menekankan bahwa kita berada di negeri yang mengalami dua musim, yaitu musim kemarau dan musim penghujan. Musim di negeri tropis, yang terkadang mengalami penyimpangan. Ketika kemarau panjang, di mana-mana mengalami kekeringan dan kesulitan mendapatkan air bersih. Ketika hujan berlimpah, di mana-mana banjir menimpa yang sering sangat  menimbulkan penderitaan.

Bait kedua mengandung pesan, bahwa setiap keluarga harus sayang anak sebagai amanah titipan Tuhan. Anak harus disayang semenjak di kandungan, lahir, sampai mengantar dan membimbing menjelang usia dewasa. Dalam hubungan ini, menarik untuk dikemukakan nasihat Jenderal Widjojo Sujono pada sarasehan HMI/KAHMI beberapa tahun yang lalu. Dia mengutip falsafah hidup orang Barat yang menyatakan :” Kalau anak tidak bisa melebihi bapaknya, kedua-duanya gagal sebagai manusia “. Ini berarti bahwa setiap orangtua dituntut untuk memperhatikan pertumbuhan  dan perkembangan anaknya agar bisa mengangkat derajat orangtuanya. Bukan sebaliknya, banyak anak yang justru menjerumuskan dan menjatuhkan nama baik orangtuanya karena salah asuhan.

Semakin jelas kemudian di bait ketiga, Bahwa sang ayah wajib memikirkan dan menjaga tumbuh kembang si anak. Sementara sang ibu mendoakan agar seorang anak mempunyai masa depan yang baik dan luhur karena perilaku jujur dalam melangkah mengarungi kehidupan. Perilaku kejujuran  diperlukan semenjak berpikir, berucap dan bertindak dalam segala hal. Kejujuran yang hakiki adalah yang didasari atas ketaatan terhadap hukum dan aturan yang berlaku serta tuntunan agama yang dianut oleh setiap orang yang bersangkutan. Perilaku kejujuran ini diperlukan dalam rangka menapaki hidup di bumi Indonesia. Bahwa setiap anak manusia Indonesia diingatkan untuk tidak melupakan tanah pusaka, tanah air kita, Indonesia. Di sinilah puncak pesan itu. Tanah pusaka itu harus dijaga dan dipertahankan untuk keabadian sampai akhir zaman tentunya.

Tahun 2045 adalah merupakan HUT yang keseratus NKRI. Banyak yang berharap, pada tahun tersebut bangsa Indonesia bisa mencapai kejayaan sebagai negara maju dalam segala hal. Untuk itu, ada peringatan menarik yang pernah disampaikan oleh negarawan Amerika Serikat John F. Kennedy yang menyatakan :” Hari esok anda ditentukan oleh pekerjaan anda hari ini ”. Atau peringatan pemikir Perancis yang menyatakan :” Bukan karena kelangkaan uang, tetapi karena kelangkaan manusia berbakatlah yang membuat suatu bangsa menjadi merana “. Peringatan penting yang bisa berlaku umum bagi semua bangsa di dunia tersebut mengandung makna, bahwa untuk mencapai kemajuan diperlukan Sumber Daya Manusia yang bermutu, Dan itu sangat tergantung terhadap langkah-langkah kita pada saat ini dan seterusnya. Untuk mempersiapkan dan membangun bangsa yang jujur, cerdas, inovatif, toleran dan pekerja keras, harus dimulai dari individu-individu dan keluarga setiap warga bangsa. Bing Slamet sudah mengingatkan pentingnya langkah tersebut sejak lama melalui  lagu “Belaian Sayang”. Penting untuk menjadi perhatian semua pihak, terutama para orangtua yang mempunyai anak remaja. Betapa sulitnya membendung para remaja yang tergila-gila musik Korea Selatan. Yang mencengangkan, Korsel ternyata di samping maju dalam ekonomi dan teknologi, juga maju dalam industri musik. Semua ini berkat langkah Park Chung Hee yang mengambil kebijakan strategis yang tepat pada tahun 60-an. Pendidikan disesuaikan dengan kebutuhan pembangunan, sehingga tertampung semua oleh lapangan kerja ketika lulus dan terhindar dari pengangguran. Pendidikan dibenahi dengan prinsip, produk pendidikan  harus bisa menjadi subyek pembangunan, bukan menjadi obyek pembangunan. Sebagai subyek pembangunan, mereka dididik untuk menjadi SDM yang jujur, cerdas, inovatif, disiplin dan pekerja keras.

Agaknya lagu “Belaian Sayang karya Bing Slamet” tersebut perlu ditetapkan sebagai lagu wajib di sekolah-sekolah dalam rangka membangun bangsa yang mampu bersaing di masa depan dengan kepribadian dan ciri khas Indonesia. Karena dari lagu itu diharapkan bisa mengingatkan kita untuk ikut bertanggung jawab membangun generasi penerus yang bermutu dan berwatak mulia. Jujur dalam segala hal dan mampu menjaga tanah air sebagai tanah pusaka. Yaitu, menjaga kelestarian lingkungannya, mengelola kekayaan alamnya dengan adil dan bijaksana. Berilmu yang tinggi dalam mengabdi kepada bangsa dan negara, dan yang sangat penting adalah, tidak melakukan korupsi, apa pun bentuknya.*****

Senin, 22 Februari 2021

MENCARI HARI SENI-BUDAYA NASIONAL

 

 

Beberapa tahun yang lalu, Agus Dermawan T, kritikus seni yang banyak menulis di media massa, mengusulkan gagasan agar Bangsa Indonesia mempunyai Hari Kesenian Nasional yang bisa diperingati setiap tahun sebagaimana hari-hari nasional yang lain.

Gagasan tersebut bagus sekali dan patut mendapat apresiasi. Bangsa yang besar ini patut memiliki Hari Kesenian Nasional atau tepatnya barangkali Hari Seni-Budaya Nasional. Disamping akan diperingati secara nasional, momentum tersebut akan dijadikan forum pengembangan segala bentuk kesenian dan kebudayaan nasional, dan forum pengingat agar kekayaan seni budaya nasional dapat dilestarikan dan tidak mudah dicuri bangsa lain sebagaimana yang dialami terhadap kekayaan alam kita. Wilayah negeri yang demikian luas dan terpisah oleh ribuan pulau yang dihuni oleh berbagai suku bangsa dengan beragam adat istiadat serta keyakinannya, sangat kaya akan seni budaya yang berbeda-beda dan perlu dilestarikan eksistensinya. Bangsa yang besar ini memang perlu dipersatukan melalui dunia seni dan budaya, karena dunia seni dan budaya dapat menembus batas permusuhan dan dapat membelah sekat-sekat perbedaan.

Dia mengusulkan, agar penetapan Hari Kesenian Nasional tersebut didasarkan atas pemilihan hari lahir tiga seniman lukis kenamaan Indonesia. Yang pertama adalah Raden Saleh yang dianggap sebagai perintis seni lukis di Indonesia dan pernah mengabadikan peristiwa penangkapan Pangeran Diponegoro oleh penjajah Belanda ke dalam lukisan. Kemudian yang kedua, Sudjojono yang banyak melukis peristiwa-peristiwa bersejarah selama masa revolusi mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Selain itu, dia juga mengajukan nama pelukis yang ketiga, yaitu Affandi yang sudah cukup terkenal di dunia Internasional. 

         Tanpa bermaksud mengecilkan ide, gagasan dan usulan tersebut, penulis berpandangan bahwa tanggal yang tepat untuk menetapkan Hari Seni-Budaya Nasional adalah dikaitkan dengan momentum bersejarah yang menyangkut kegiatan seni-budaya nasional. Atau dikaitkan dengan tokoh nasional yang sangat berhubungan dengan dunia seni-budaya bangsa. Oleh karena itu penulis  mengusulkan agar Hari Seni-Budaya Nasional ditetapkan tanggal 6 Juni, bertepatan dan bahkan mengambil hari lahir DR.Ir. Soekarno atau yang lebih dikenal dengan Bung Karno.

Dasar pertimbangan yang dapat penulis kemukakan adalah  seperti diuraikan berikut ini.

Pertama, Bung Karno adalah salah seorang Proklamator Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tokoh yang patut digali suri-tauladannya untuk dijadikan panutan bagi segenap bangsa Indonesia. Bukan bermaksud mengkultuskan, melainkan semata-mata hanya menempatkan sebagai sosok sumber inspirasi khususnya bagi generasi muda.

Kedua,Bung Karno merupakan salah seorang Bapak Bangsa dan pendiri negeri ini. Hanya pemimpin yang berjiwa seniman  yang mampu mendirikan, mempersatukan dan mempertahankan negeri yang luas dan sangat plural dalam berbagai hal ini.

Sebagaimana pernah dimuat di majalah Tempo beberapa tahun yang lalu, bahwa Jenderal Besar AH.Nasution sangat mengagumi dua orang yang pernah dia tahu dan kenal. Yang pertama adalah seorang Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang telah menciptakan hegemoni wilayah Hindia Belanda. Dan yang kedua adalah Bung Karno, yang mewarisi wilayah Hindia Belanda yang luas ini, melalui Proklamasi Kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945 dan mampu mempertahankan serta mempersatukannya sebagai Indonesia dengan wilayah dari Sabang sampai Merauke.

Ketiga, Bung Karno adalah Presiden Pertama Republik Indonesia yang sangat menghargai seni. Ini terbukti antara lain banyaknya koleksi benda seni (lukisan, patung dan lain-lain) yang tersimpan di Istana Kepresidenan. Karena kekhawatiran raib oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab, koleksi ini pernah dibukukan. Namun sayang sekali dicetak sangat terbatas dan harganya cukup mahal sehingga tidak banyak yang memiliki. Padahal, semua koleksi ini sangat penting diketahui oleh segenap bangsa Indonesia, sekalipun hanya melalui buku.

Keempat, Bung karno terlahir pada angka serba enam, yaitu tanggal 6 bulan enam. Angka enam melambangkan sifat Astroid yang memiliki keutamaan perilaku rajin, pandai dan tanggap. Dalam pengertian talenta, angka 6 sebagaimana angka 3 dan 9, adalah termasuk dalam kelompok talenta seni (lihat buku Total Bung Karno, Roso Daras, Mei 2013). Terbukti bahwa sampai tahun 1950an  Bung Karno masih menekuni hobi melukis. Lukisan-lukisannya dinilai benar-benar apik, bercorak dekoratif dan berdaya magis bagi siapa saja yang melihatnya. Bung Karno juga sangat akrab dengan para pelukis Indonesia. Bahkan Bung Karno pernah menunjuk Henk Ngantung, seorang seniman pelukis, sebagai Gubernur DKI Jakarta karena berkeinginan terciptanya kota Jakarta yang indah dan berbudaya. Bung Karno juga memberdayakan para seniman pematung untuk mengekspresikan karyanya melalui pesanan beliau dalam rangka memperindah kota Jakarta. Maka terciptalah antara lain patung Selamat Datang di Bundaran Hotel Indonesia, patung Denok karya Trubus di kompleks Istana Bogor dan patung Pembebasan Irian Barat yang berdiri perkasa di lapangan Banteng Jakarta.

Kelima, Bung Karno sangat menyukai Tari Lenso asal Minahasa dan Maluku dengan iringan musik berirama tetap: cha-cha, yang dimainkan grup musik yang terdiri atas anggota DKP (Detasemen Kawal Pribadi). Kelompok tersebut selalu dibawa kemana-mana, termasuk apabila ke luar negeri karena merupakan anggota Pasukan Pengawal Presiden.

Keenam, karena perhatiannya yang besar terhadap dunia seni juga sangat dipahami oleh para pemimpin dunia. Hal ini terbukti antara lain adanya hadiah patung wanita telanjang dari Presiden Yugoslavia Josef Broz Tito yang tersimpan dan menjadi hiasan Istana Bogor sampai sekarang. Bung Karno dalam setiap kunjungannya ke luar negeri, hampir selalu menyempatkan bertemu dengan kelompok seniman. Sebagai contoh, Bung Karno menyempatkan mengunjungi Hollywood ketika kunjungan kenegaraan ke Amerika Serikat dan bertemu dengan para pegiat seni perfilman negara adidaya tersebut.

Ketujuh, ketika dibuang ke Ende (P. Flores) oleh Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1934-1938, Bung Karno juga menunjukkan bakat dan kemampuannya berkesenian dengan membentuk klub sandiwara (tonil) yang diberi nama Kelimutu Toneel Club. Selama kurun waktu tersebut telah dipentaskan 13 karya asli Bung Karno dengan dukungan pemain yang terdiri atas para nelayan, tukang jahit, petani dan masyarakat kalangan bawah.

Kedelapan, Bung Karno pernah menyampaikan visinya dalam mencapai kejayaan Indonesia yang terkenal dengan TRISAKTI, yaitu : berdaulat dalam politik, berdiri di atas kaki sendiri (BERDIKARI) dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan. Gagasan tersebut masih sangat relevan untuk direnungkan, dicamkan dan diusahakan pencapaiannya bagi generasi penerus yang mencintai negeri ini.

Kesembilan, makin lengkap jiwa seniman yang dimiliki Bung Karno apabila diperhatikan cara berpakaiannya dan kepiawaiannya dalam berpidato, dengan bahasa tubuh serta pilihan kata-kata dan iramanya yang sangat memukau banyak orang. Penampilannya yang selalu memesona bak seniman pentas yang multi bakat.

Kesepuluh, India punya Hari Guru Nasional yang diperingati secara resmi setiap tahun. Penetapan hari nasional tersebut ternyata diambil dari tanggal lahir seorang Presiden India yang mempunyai latar belakang profesi sebagai guru. Karena keuletan dan kehebatannya, dia berhasil mencapai puncak karir sebagai presiden.

Kesebelas, Bung Karno adalah penggali Pancasila dari sumber budaya dan tradisi di  bumi Nusantara yang kemudian merupakan dasar Negara dan way of life serta pemersatu bangsa yang sangat majemuk ini. Penggali butir-butir sila dari Pancasila yang dikemukakan secara memukau pada tanggal 1 Juni 1945 adalah membuktikan karya seorang budayawan sekaligus negarawan.

Keduabelas, Bung Karno adalah pemilik bulan Juni. Beliau lahir pada tanggal 6 Juni 1945 dan wafat pada tanggal 21 Juni 1970. Pada tanggal 1 Juni 1945 mengemukakan Pancasila dalam sidang BPUPKI dan pada tanggal 22 Juni 1945 bersama Panitia Sembilan merumuskan Piagam Jakarta yang kemudian dinyatakan menjiwai Pembukaan UUD 1945. Terbukti bahwa lahir, karya dan derita Bung Karno ditakdirkan oleh Tuhan Yang Mahakuasa menyatu dalam suatu bulan tertentu.

 

Dari beberapa fakta di atas, mungkin tidak berlebihan apabila hari lahir Bung Karno, tanggal 6 Juni, kita pilih sebagai Hari Seni-Budaya Nasional. Pada hari tersebut dan kelak selama bulan Juni diperingati setiap tahun oleh segenap Bangsa Indonesia dengan berbagai kegiatan kreativitas berkesenian yang merupakan hasil atau produk kebudayaan suatu bangsa yang besar ini.***** (Penulis adalah pemerhati masalah seni dan budaya, kolektor benda filateli dan numismatic/mata uang, lulusan S2 FISIPOL Universitas Indonesia)

Senin, 09 November 2020

Peranan Komisaris BUMN

 Pada tahun 1994 penulis pernah mengikuti Kursus Kader Pimpinan (Suspi) Migas selama tiga bulan. Ada materi kuliah yang sangat membekas bagi penulis karena penting dalam tata kelola perusahaan yang baik. Pertama, oleh Ir. Palgunadi. Dia pensiunan Pindad yang kemudian disalurkan ke PT Astra. Ketika ditempatkan di bagian pengembangan usaha, dia setiap tahun mencari 100 orang mahasiswa terbaik di seluruh Indonesia maupun yang ada di luar negeri. Seratus orang tersebut umumnya di rangking 10 terbaik dari berbagai jurusan sesuai rencana usaha yang akan dikembangkan ke depan. Maka tidak heran apabila PT Astra kemudian maju pesat seperti sekarang ini. Yang kedua, Ir. Kuntoro Mangkusubroto yang memberikan materi pengalaman restrukturisasi di PT Timah. Setelah melakukan riset dan penelitian, kenapa PT Timah waktu itu hancur, dia berkesimpulan bahwa karyawan terlalu banyak dan umumnya tidak profesional. Ketika presentasi di hadapan Presiden Soeharto, dia kemukakan bahwa karyawan PT Timah yang berjumlah 15.000 orang harus dipangkas menjadi 7.000 atau 8.000 orang saja. Nasihat Presiden, kita harus hati – hati karena dulu di PT Timah banyak ditempatkan ex ABRI untuk mengamankan dari unsur – unsur yang ditengarai terlibat G30S/PKI. Dan restrukturisasi PT Timah jalan terus dengan konskuensi penentangan yang luar biasa dari para karyawan yang tidak setuju.

Seorang teman pernah menyampaikan materi kuliah di S2 Magister Manajemen, ada teori yang menyatakan bahwa apabila suatu perusahaan salah dalam merekrut SDM, akan dirasakan dua puluh enam tahun kemudian, makin maju atau malah mundur. Ternyata, Indonesia memiliki setidaknya 140 perusahaan BUMN. Selama ini BUMN dikenal sebagai Badan Usaha Milik Negara atau perusahaan pelat merah. Dulu, BUMN sering dijargonkan atau diimpikan sebagai sokoguru perekonomian atau agen pembangunan di Indonesia. Kalau saja impian itu benar karena langkahnya yang benar, bukan main masa depan Indonesia. Seperti Korea Selatan, kemajuannya karena dimotori oleh BUMN-nya. Ketika Park Chung Hee mengambil alih kekuasaan pada tahun 1961dan berkuasa sampai 1979, yang dibenahi pertama kali adalah masalah pendidikan. Dia mencanangkan, bahwa pendidikan harus menghasilkan SDM yang bisa menjadi agen pembangunan, bukan menjadi beban pembangunan. Maka moto pendidikan adalah harus berhasil mencetak SDM yang jujur, kreatif, inovatif dan pekerja keras. Sistem dan prasarana pendidikan dia benahi secara besar – beasaran dan terarah. Pendidikan berdasarkan link and match dia terapkan sesuai kebutuhan perencanaan pembangunan. Karena terencana dengan baik, maka semua lulusan pasti akan terserap oleh lapangan kerja yang sudah dipersiapkan. Bukannya ngawur asal ada perguruan tinggi dengan prodi semau – maunya dan sesudah itu membludak para penganggur dimana – mana. Dari sistem pendidikan yang telah dibenahi itulah yang kemudian mengisi lapangan kerja di BUMN, maka majulah Korsel seperti sekarang ini dan akan semakin maju dalam segala bidang.

Lalu bagaimana dengan Indonesia? Suka atau tidak suka, kenyataan menunjukkan, bahwa BUMN di Indonesia berubah kepanjangannya menjadi Bancaan untuk Maling dan Nepotisme. Dari kasus PT Timah pada masa Orde Baru dan kasus mutakhir, misalnya Garuda Indonesia adalah suatu bukti nyata. BUMN adalah ajang nepotisme yang empuk dan menggiurkan dari pengisian pegawai rendah sampai tingkat pucaknya, tidak lepas dari cara – cara nepotisme dengan berbagai modus dan motivasinya. Padahal BUMN juga dilengkapi dengan tim Komisaris yang seharusnya berfungsi sebagai pembina dan penasihat perusahaan yang bersangkutan. Tetapi kenapa bisa sampai terjadi seperti PT Garuda Indonesiai itu dan beberapa BUMN yang lain. Lalu apa saja kerja para Komisaris di BUMN tersebut? Ada lagi contoh. Bagi yang sering menggunakan jasa angkutan KRL yang melintasi Stasiun KA Manggarai, mungkin tidak banyak yang tanggap kenapa banyak besi – besi konstruksi proyek yang sedang dibangun, kok banyak yang sudah kelihatan berkarat. Timbul pertanyaan, apakah para Dewan Komisaris BUMN itu tahu dan mengerti lalu mempertanyakan benarkah mutu dan spesifikasi besi yang digunakan. Disini bisa terjadi hubungan korelasi antara besi yang mudah berkarat atau korosif tadi, dengan watak – watak korupsi. Sebagai perbandingan, besi – besi yang pernah lama terpancang sewaktu Gurbenur Sutiyoso dulu, tidak ada yang berkarat walaupun terbuka telanjang selama bertahun – tahun.

Mengenai peran Komisaris perusahaan, penulis pernah mengalami langsung. Bagian atau biro tempat penulis suatu ketika mengajukan impor produk pada hal perusahaan juga mampu memproduksi dengan mutu dan fungsi yang sama. Penulis dipanggil dan ditanya apakah produk yang diajukan impor ada padanannya dengan produksi perusahaan. Penulis jawab ada, dan jelaskan bahwa konsumennya minta yang produk impor. Setelah mengetahui bahwa pabrik masih under capacity (kapasitas tidak penuh), maka Dewan Komisaris menyurati Direksi agar meningkatkan promosi disertai kampanye yang bersungguh-sungguh dalam rangka berusaha  meningkatkan kapasitas produksi pabrik.

Disinilah letak pentingnya peran Komisaris BUMN yang dituntut profesional dan tanggap terhadap jatuh – bangun dan tumbuh – kembang perusahaan. Bukan cuma mahir berhura – hura bersama para direksi yang mungkin juga belum tentu profesional apalagi kalau pengangkatannya berbau nepotisme. Yang fatal lagi, kalau penunjukan para komisaris juga berbau ada indikasi nepotisme karena hanya atas dasar berbagi – bagi kekuasaan atau balas jasa, atau karena ada kedekatan secara pribadi dengan yang mengangkat atau yang menunjuk. Sudah saatnya perlunya dihindari pengangkatan SDM di BUMN (apalagi sekelas pimpinan dan komisarisnya) hanya bermutu sebagai pendompleng, ada tetapi sebenarnya tidak ada karena tidak berfungsi sesuai harapan.  Tahun 2045 adalah merupakan tahun keseratus NKRI. Impian sebagai negara besar bisa terwujud, antaralain ditentukan oleh sejauh mana mutu BUMN-nya. Dalam hal ini, mutu SDM di semua BUMN dari tingkat bawah sampai tingkat puncak dan apalagi para komisarisnya dituntut untuk bermutu, profesional dan berdedikasi tinggi serta penuh integritas.*****