Entri yang Diunggulkan

GENERASI PENDOBRAK JILID III

 Harian Rakyat Merdeka terbitan 20 April  2010,memuat artikel dengan judul “Bodoh Permanen” yang ditulis oleh Arif Gunawan. Tulisan tersebut...

Senin, 09 November 2020

Dibalik Nama-Nama Presiden RI

 

Tahun 2024 masih lama. Tetapi gaung Calon Presiden pengganti Jokowi sudah ramai dipergunjingkan. Ada yang mengusulkan Prabowo-Puan Maharani, Prabowo-Sandi lagi dan ada yang menyandingkan Anies-Sandi. Bahkan massa Nasdem mencalonkan Surya Paloh, tetapi yang bersangkutan menolak karena merasa terlambat. Yang menarik, justru Jokowi sempat menyebut Sandiaga yang layak sebagai penggantinya kelak. Segenap bangsa Indonesia memang seharusnya sudah mulai memilah-milah, siapa pemimpin yang layak dipilih nantinya.  Mata dan pikiran seharusnya sudah mulai dicurahkan untuk mengamati sepak terjang dan rekam jejak orang-orang yang berambisi menjadi Presiden dan Wakil Presiden. Sebaliknya, bagi yang berambisi, sudah harus mulai memperlihatkan kinerjanya dalam bidang yang ia geluti, berwatak jujur, pekerja keras, sederhana, dan tidak berulah yang macam-macam, apalagi menggunting dalam lipatan. Pemimpin mendatang harus berpola pikir dan pola tindak sebagai penerus apa yang dilakukan oleh pendahulu, bukan yang memporak-porandakan, karena itu sama dengan perilaku kudeta. Yang bagus diteruskan, yang salah harus dikoreksi dari sekarang  dan memberikan saran serta masukan dengan tata-krama yang santun sesuai adat ketimuran. Itulah hakekat berbangsa dan bernegara secara berkesinambungan di bumi Pancasila ini.

Nama Capres

Kembali kepada siapa Capres yang ideal pada tahun 2024? Ada fakta yang menarik untuk dianalisa yang menyangkut nama para Presiden RI sepanjang sejarah. Konon Jayabaya, Raja Kediri, pernah meramalkan: kelak ada  suatu negeri yang lama dijajah bengsa bule selama berabad-abad, lalu datang bangsa kate yang menguasai selama seumur jagung dan kemudian merdeka yang dipimpin oleh Notonegoro. Fakta bahwa pada tanggal 17 Agustus 1945, berdiri negara baru yang dipimpin oleh Soekarno-Hatta dengan pengalaman sebagai negeri seperti yang diramalkan oleh Jayabaya. Presiden pertamanya adalah Soekarno (-no-) dan wakilnya adalah Mohammad Hatta. Soekarno berkuasa hingga 1965 dengan mandat berdasarkan UUD 1945, UUDS RIS 1949, UUD Sementara 1950, dan kembali ke UUD 1945 lagi sejak tahun 1959.

Seharusnya suksesi  berikutnya idealnya kepada Mohammad Hatta (-ta/to-) karena termasuk ke dalam Dwi Tunggal Proklamator. Tetapi karena Hatta mundur sebagai Wapres pada akhir tahun 1956, dan ternyata terlahir sebagai Mohammad Attar, maka suksesi tidak singgah kepada Hatta. Muncullah Peristiwa G30S pada tahun 1965 yang kemudian mengantarkan Soeharto (-to-) sebagai Presiden kedua yang secara defacto berkuasa sejak 11 Maret 1966. Pergantian kekuasaan itu diwarnai dengan hiruk-pikuk yang menyeramkan dan menegangkan serta penuh rekayasa. Seharusnya, sesudah Soeharto itu kembali ke “-No-“,yang sebenarnya sudah ada calon yang sudah sempat menjadi wapres, yaitu  Hamengkubuwono IX, Soedharmono, dan Try Sutrisno, tetapi semuanya meleset. Hamengkubuwono IX ,mungkin karena nama kecilnya Dorojatun maka kekuasaan tidak mampir ke tangannya. Begitu juga tidak mampir ke Soedharmono dan Try Sutrisno, karena Soeharto masih ingin tetap berkuasa dan menempatkan kedudukan Wapres hanya sebagai pelengkap tanpa peran yang berarti.

Maka terjadilah gonjang-ganjing, reformasi, yang membuat Soeharto mundur dari kekuasaannya dan digantikan oleh wakilnya BJ Habibie pada tanggal 21 Mei 1998. Karena bukan “-no-“ ,maka BJ Habibie memegang mandat hanya  sebentar. Kemudian lewat Pemilu 1999 terpilihlah Abdurahman Wachid (Gus Dur) sebagai Presiden dan wakilnya Megawati Soekarnoputri. Kembali lagi, karena bukan “-no-“ maka Gus Dur jatuh dan digantikan oleh Megawati untuk meneruskan yang  ternyata juga bukan “-no-“. Lalu lewat Pilpres langsung oleh rakyat pada tahun 2004 dapatlah Presiden “-no-“ yang sebenarnya, yaitu Susilo Bambang Yudhoyono yang terpilih sampai dua kali masa jabatan. Dan ketika Pilpres  tahun 2014 dan 2019, terpilih Joko Widodo (Jokowi) yang dijagokan oleh Megawati Soekarnoputri. Juga sangat mengejutkan banyak pihak, kenapa bisa terjadi, orang biasa terpilih sebagai Presiden sampai dua kali?.  Ternyata Jokowi nama kecilnya adalah Mulyono. Karena sering sakit-sakitan lalu oleh orangtuanya diganti namanya menjadi Joko Widodo yang kemudian terkenal sebagai Jokowi. Maka sebenarnya dia melanjutkan lagi “-no-“ atau mewakili “-go-“ karena dijagokan oleh Megawati yang nama panggilannya “Ega”?. Bisa saja kita menduga, Jokowi sebenarnya menyandang atau mengemban nama “no” sekaligus “go”. Wallahu a’lam. Oleh karena itu bisa juga kita berspekulasi, Presiden berikut layaknya mungkin sosok yang namanya mengandung kata “-ga” atau “-go”. Tetapi ini hanya sekedar ramalan dengan analisa sederhana untuk meramaikan alam demokrasi dan tidak harus dipercaya. Tetapi kalau juga mempercayai, maka siapa saja putra terbaik bangsa yang namanya mengandung “ga” atau “go” dan sanggup melanjutkan program yang telah digagas dan dirintis oleh Presiden Jokowi, bisa saja mulai unjuk muka dan unjuk peran serta prestasi.

 Atau jangan-jangan langsung saja kita menuju negeri yang sering digambarkan oleh Bung Karno: “Gemah ripah loh jinawi, subur kang sarwo tinandur, murah kang sarwo tinuku, Negeri yang tata tenteram kerta raharja”. Dan itu berarti memerlukan pasangan  Loh-Jinawi yang bisa saja merupakan perpaduan dwi tunggal baru Surya Paloh dan Muhammad Sadji?. Wallahu a’lam! Tetapi ini hanya sekedar bercanda, lho!.Untuk meramaikan alam demokrasi yang sudah semakin menunjukkan kematangan dan kedewasaan, walaupun banyak diwarnai hoax berseliweran di medsos. *****

Rabu, 14 Oktober 2020

BU INGGIT LAYAK PAHLAWAN NASIONAL

 

Bangsa Indonesia mengenal Ir.Soekarno sebagai Pahlawan Proklamator, Pahlawan Nasional dan sebagai Presiden pertama NKRI.

Ternyata, di balik perjalanan hidup dan penapakan karir perjuangannya ditopang oleh sosok wanita yang bernama Inggit Garnasih. Beliau menjadi isteri Bung Karno sejak Bung Karno masih mahasiswa di THS Bandung pada tahun 1923. Beliau bersama orangtuanya mengikuti Bung Karno ketika diasingkan oleh penjajah Belanda ke Ende (P. Flores) pada tahun 1934-1938, kemudian dipindah ke Bengkulu (P. Sumatera) pada tahun 1938-1942. Pengorbanan yang ikhlas atas harta, tenaga, pikiran, do’a dan ibadah seorang isteri yang setia selama lebih-kurang dua-puluh tahun memungkinkan Bung Karno mampu berprestasi dalam hidupnya. Dan puncaknya adalah berhasil memproklamasikan kemerdekaan dan meletakkan dasar-dasar Indonesia merdeka bersama para perintis kemerdekaan yang lain.

Dari pengorbanannya yang besar, cukup lama dan tanpa pamrih itulah, kiranya Pemerintah Republik Indonesia layak memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada Ibu Inggit Garnasih. Apalagi selama dalam pengasingan tersebut Ibu Inggit kehilangan orangtuanya yang berpulang kerahmatullah ketika di Ende.

Semoga usulan saya ini bisa menjadi perhatian dan pertimbangan Pemerintah Republik Indonesia serta mengamankan semua situs yang menyangkut Ibu Inggit Garnasih.*****

(Tulisan ini sudah dimuat di Surat Kabar Jawapos tanggal 8 Oktober 2020 dan Kompas tanggal 14 Oktober 2020)

Selasa, 25 Agustus 2020

BAURAN ENERGI MENUJU KEMANDIRIAN ENERGI

Oleh: Muhammad Sadji

Harian Kompas edisi 31 Januari 2020 memberitakan tentang rencana dibangunnya Kilang Minyak di Bontang Kalimantan Timur. Kilang tersebut akan dibangun atas kerjasama antara PT. Pertamina (Persero) dengan saham 10 % dan OOG (Overseas Oil and Gas) perusahaan minyak asal Oman dan COI (Cosmo Oil Indonesia) yang merupakan unit usaha Cosmo Energy Group yang bergerak di bidang pengolahan minyak asal Jepang. Kilang tersebut direncanakan berkapasitas 300.000 barrel per hari dengan nilai investasi sebesar US $ 10 milyar setara Rp 130,5 trilyun dan ditargetkan bisa beroperasi mulai tahun 2025. Diperoleh kepastian, bahwa pasokan minyak mentah untuk kilang tersebut berasal dari pemerintah Oman.

Dulu, sewaktu Presiden Habibie, pemerintah Kuwait dikabarkan berencana menyewa P. Selayar untuk invest industri petrokimia dan membangun Istana Kerajaan. Alasannya, P. Selayar berada di tengah-tengah belahan dunia dan akan memudahkan untuk tempat mengungsi apabila terjadi sesuatu. Maklum, Kuwait waktu itu baru saja menjadi ajang peperangan dengan Iraq dan adanya campurtangan Amerika Serikat dan sekutunya yang mengatasnamakan pasukan perdamaian PBB. Waktu itu penulis sempat survei ke P. Selayar untuk penjajagan kemungkinan peran serta PT. Pertamina (Persero) dalam proyek tersebut, dan tertnyata tidak pernah terwujud alias batal. Termasuk, rencana pembangunan kilang minyak di Pare-pare Sulawesi Selatan juga tidak terdengar lagi kelanjutannya.

Juga terbetik berita mengenai rencana pembangunan pengembangan  kilang minyak di Cilacap dan Balikpapan yang merupakan kerjasama antara PT. Pertamina (Persero) dengan Saudi Aramco yang terancam batal. Kerjasama kedua perusahaan tersebut sudah digagas sejak 2014 tetapi belum terwujud karena terhambat perbedaan valuasi proyek dan skema kerjasamanya (Indopos 2 Desember 2019).

Berdasarkan data di atas, tampak bahwa rencana pembangunan kilang minyak memang sudah digagas sejak lama. Ini bisa dimaklumi, karena dari kilang yang ada, yaitu di Dumai, Plaju, Cilacap, Balikpapan, Balongan dan Kasim, kapasitas terpasang hanya sebesar 1,05 juta barrel per hari, ternyata hanya mampu memproduksi BBM sebesar 800 – 950 ribu barrel per hari. Sementara itu, kebutuhan BBM di dalam negeri mencapai 72 juta kiloliter per tahun, sedangkan pasokan dari Kilang Pertamina hanya sekitar 39 juta kiloliter per tahun. Oleh karena itu, untuk memenuhi kebutuhan BBM di dalam negeri PT. Pertamina (Persero) harus mengimpor minyak mentah dan produk BBM dari luar negeri. Tetapi yang disayangkan, selama ini rencana pembangunan dan pengembangan kilang minyak hanya terpusat di Indonesia bagian Barat dan Tengah saja, belum mengarah ke pengembangan Kawasan Indonesia bagian Timur.

Sekedar Sumbang Saran

Beberapa waktu yang lalu, penulis mendapat undangan mengikuti seminar atau diskusi tentang kemandirian energi yang diselenggarakan oleh Ditjen Migas bersama BPH Migas di Jakarta. Pada kesempatan tersebut, penulis sempat menyampaikan usul berikut ini.

Pertama, pembangunan baru kilang minyak sebaiknya diprioritaskan ke Indonesia Timur, khususnya Papua bagian Selatan, di kawasan  yang dapat dipilih antara Kab. Nabire sampai Kab. Asmat. Alasannya antaralain, untuk tercapainya satu harga BBM dari Sabang sampai Merauke. Juga dalam rangka memajukan Kawasan Indonesia Timur lebih cepat dan lebih adil, dengan merekrut dan mendidik anak asli Papua yang berprestasi sebagai prioritas karyawan agar tidak timbul kecemburuan sosial, tercapainya pemerataan kesejahteraan dan untuk meredam intrik separatisme. Di samping itu, juga untuk meramaikan kawasan perairan Indotim melalui ramainya lalulintas tanker pengangkut minyak mentah dan BBM agar dapat memperkecil peluang pencurian ikan di laut dan pembalakan hutan secara liar (illegal logging) serta berbagai bentuk pencurian lain di laut kita yang luas ini. Adanya kilang minyak di Papua bagian Selatan, diharapkan akan memperbesar peluang ekspor produk minyak bumi ke Papua Nugini, negara-negara di kawasan Pasifik dan Timor Leste.

Kedua, pembangunan kilang minyak baru memang tetap diperlukan karena laju pembangunan dan pertambahan penduduk, sementara ketergantungan terhadap energi fosil masih tetap ada. Bauran energi sebagaimana ditargetkan Pemerintah Indonesia melalui PP. nomor 79 tahun 2014 tentang Kebijaksanaan Energi Nasional perlu segera terealisir. Target tahun 2025 dengan komposisi bauran energi terbarukan 23 persen, batubara 30 persen, minyak bumi 25 persen dan gas 22 persen, dan akan ditingkatkan pada tahun 2050 menjadi 31 persen untuk energi terbarukan, batubara 25 persen, minyak bumi 20 persen dan gas 24 persen, diharapkan bisa menjadi perhatian yang serius.

Ketiga, adalah karunia Tuhan yang Mahakuasa karena letak Indonesia berada di garis khatulistiwa. Dua pertiga wilayah berupa laut dan memiliki pantai terpanjang di dunia, bergunung-gunung dan merupakan negeri air karena banyak sungainya, memungkinkan banyaknya alternatif energi baru dan terbarukan yang bisa dikembangkan. Data pemerintah menggambarkan, bahwa kita memiliki potensi tenaga hidro sebesar 75.000 megawatt (MW), panas bumi 25.400 MW, tenaga angin (bayu) 60.600 MW, bioenergi 32.600 MW, tenaga surya bisa 207.800 MW, belum lagi tenaga gelombang atau arus laut dan bahkan sampah yang dihasilkan oleh penduduk yang banyak dan padat bisa diolah menjadi energi listrik per kawasan permukiman. Semua potensi itu perlu segera dikembangkan dan dimanfaatkan pada prioritas pertama.

Keempat, berdasarkan data Kementerian ESDM, kebutuhan BBM Solar nasional mencapai 31,19 juta kiloliter per tahun, tetapi produksi dalam negeri hanya sebesar 20,8 juta kiloliter. Sehingga Indonesia harus impor sebesar 10,89 juta kiloliter. Oleh karena itu program biodiesel B20 yang ingin ditingkatkan menjadi B30 segera bisa terwujud dengan baik dan mendapatkan dukungan dari para pengguna dan yang berkepentingan melalui penyesuaian sarana dan prasarana serta modifikasi permesinan yang sesuai dengan segera.

Kelima, upaya pengembangan energi terbarukan juga dilakukan oleh Kementerian Pertanian. Bahan bakar nabati biodiesel 100 persen (B100) telah dilakukan penelitian selama dua tahun oleh Badan Penelitian Kementan (Balitbangtan). Hasilnya, pada tanggal 15 April 2019 telah dilakukan uji coba perdana produk B100 di kantor pusat Kementan terhadap 50 kendaraan bermotor dan diklaim berhasil dengan baik. Uji coba tersebut dipimpin langsung oleh Menteri Pertanian pada waktu itu, Andi Amran Sulaiman, dan dinyatakan bahwa pengembangan B100 bisa menghemat nilai impor BBM Solar sebesar 16 juta kiloliter atau setara Rp 150 trilyun. Upaya inovatif tersebut perlu mendapat dukungan semua pihak dengan melakukan penelitian bersama antara Kementerian Pertanian, Industri Migas terutama PT. Pertamina (Persero), Lemigas, industri otomotif dan permesinan, perguruan tinggi serta pemangku kepentingan (stake holder) lainnya yang terkait dengan pengembangan B100.

Keenam, produksi crude palm oil (CPO) nasional saat ini mencapai 41,6 juta ton per tahun dan sebanyak 34 juta ton diekspor ke luar negeri. Apabila program biodiesel B20, lalu meningkat menjadi B30 dan kemudian B100 berhasil dengan baik, maka dihadapkan pada pilihan meningkatkan produksi CPO, mengurangi ekspor CPO untuk dialihkan ke biodiesel dan berarti akan berakibat mengurangi impor BBM Solar. Tetapi yang menarik lagi, bahwa dari kelapa sawit selain menghasilkan CPO yang bisa diolah antaralain menjadi biodiesel, cangkang kelapa sawit dari perkebunan di Provinsi Bangka Belitung ternyata berhasil diekspor ke Jepang. Cangkang kelapa sawit tersebut bisa diolah sebagai energi alternatif pengganti BBM untuk bahan bakar pada Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Kelak kita sebaiknya bisa juga meniru langkah tersebut sebagai salah satu  bauran energi yang lain. Di samping itu, lidi dari daun kelapa sawit asal Sumatera Utara berhasil diekspor ke Pakistan, Malaysia, Nepal dan Thailand. Lidi tersebut digunakan untuk peralatan kebersihan rumah tangga dan juga dimanfaatkan sebagai penyapu gandum. Pada semester pertama 2020 saja sebagaimana dikabarkan harian Rakyat Merdeka baru-baru ini, kita berhasil mengekspor sebanyak 8,5 ribu ton dengan frekuensi 119 kali pengiriman. Ini artinya, kalau program biodiesel berhasil dengan baik, maka disamping akan mengurangi polusi udara, juga akan meningkatkan  peluang pekerja padat karya dan meningkatkan perolehan devisa negara.

Ketujuh, perlunya dikembangkan energi nuklir untuk pembangkit listrik khususnya di wilayah Kalimantan yang kelak menjadi pusat ibukota baru NKRI. Untuk pemerataan pembangunan yang sejak Presiden Soekarno sudah sering dipermasalahkan, maka pemindahan ibukota ke Kalimantan Timur adalah jawaban yang sangat tepat dan berwawasan ke depan. Oleh karena itu, seluruh wilayah Kalimantan harus dipersiapkan maju bersama di segala bidang. Indah dan tidak kumuh sebagai pintu gerbang NKRI, tidak terganggu oleh byar-pet aliran listrik, maka Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) adalah salah satu jawabannya.

Wal hasil, dalam rangka pencapaian kemandirian energi di tanah air, semoga pandangan di atas bisa menjadi masukan yang berharga dan bermanfaat.*****

 

Kamis, 13 Agustus 2020

TEMBAKAN MERIAM DI LAPANGAN MONAS

Dua kali dalam tahun yang berbeda, saya pernah mengusulkan, agar dentuman meriam di Lapangan
Monas ditiadakan. Baik sewaktu peringatan HUT Detik-detik Proklamasi Kemerdekaan RI, maupun
waktu penyambutan tamu negara. Tujuannya adalah, menyelamatkan bangunan Tugu Monas dan
bangunan bersejarah lainnya di sekitar Istana Kepresidenan/Masjid Istiqlal dari getaran yang dapat
merusak konstruksi dalam jangka panjang.
Sewaktu berkantor di gedung PT Pertamina Pusat, saya selalu merasakan getaran itu apabila ada
tembakan meriam di Lapangan Monas. Oleh karena itu, semoga pada peringatan 17 Agustus 2020
dan seterusnya, tembakan meriam ini ditiadakan, disamping karena suasana pandemi Covid-19,
juga karena sewaktu Proklamasi 1945 dulu tidak ada tembak-menembak dan suasana hening karena
bulan suci Ramadhan. Sekarang sebaiknya cukup dengan membunyikan sirine, tabuh bedug di
masjid-masjid dan membunyikan lonceng gereja saja sebagai tanda kita bersyukur disertai berdoa
menurut agama dan kepercayaan masing-masing. Usul saya ini diilhami oleh kasus Pemerintah India
yang pernah melarang konser musik tahun baru di Kawasan Taj Mahal, karena dikhawatirkan
getarannya bisa merusak konstruksi bangunan peninggalan bersejarah tersebut dalam jangka
panjang.*****

(tulisan ini saya kirimkan sebagai surat pembaca ke beberapa media massa di Ibukota)

Kamis, 06 Agustus 2020

SEKTOR PERTANIAN UNTUK MASA DEPAN INDONESIA

Oleh : Muhammad Sadji

 

     Sebuah lagu diciptakan pasti ada tujuannya. Ada motif dan kesan tertentu waktu digubah oleh penciptanya. Ada motif gembira, sedih, patah hati, bersyukur dan penyemangat. Ada banyak latar belakang kenapa sebuah lagu dibuat.

     Ada lagu anak yang diciptakan oleh Ibu Sud yang berjudul “Menanam Jagung” dan  lagu anak berirama keroncong ciptaan Poniman yang berjudul  “Waktu Potong Padi”

Makna kedua lagu merdu dan ceria tersebut adalah mengingatkan kita untuk bertani dan bekerja bergotong-royong saling bantu-membantu dan tolong-menolong antar tetangga sesama petani. Ajakan bertani sudah ditanamkan sejak kanak-kanak melalui kedua lagu tersebut, yang sekarang ini jarang terdengar lagi di sekolah-sekolah. Pelajaran dari Jepang, lain lagi. Seorang teman yang anaknya bertugas di Jepang bercerita, bahwa cucunya yang sekolah TK di sana, pernah diajarkan praktek langsung bertanam dan memanen ubi jalar di kebun sekolah.

     Tujuh tahun setelah Proklamasi Kemerdekaan, tepatnya pada tahun 1952, Presiden Soekarno  meresmikan  kampus Fakultas Pertanian Universitas Indonesia di Bogor yang di kemudian hari menjadi Institut Pertanian Bogor (sekarang IPB University). Dalam pidato peresmian tersebut, beliau antaralain menyatakan, bahwa pertanian adalah soal hidup matinya sebuah bangsa

Perkembangannya, banyak Universitas membentuk Fakultas Pertanian dan ada juga Sekolah Menengah Pertanian di beberapa daerah. Lalu bagaimana hasilnya? Nyatanya, kita masih jauh dari swa sembada pangan. Karena swa sembada yang sebenarnya, seharusnya berhasil secara terus-menerus karena keunggulan rekayasa teknologi dan pembenahan prasarana sektor pertanian. Pembenahan sungai sehingga tetap menjadi sahabat di waktu musim hujan maupun musim kemarau adalah salah satu bentuk upaya memajukan sektor pertanian yang sesungguhnya. Karena belum adanya upaya yang maksimal dan bersungguh-sungguh, maka yang selalu terjadi setiap tahun adalah dialaminya kasus gagal panen karena air yang meluap ketika musim hujan dan kekeringan ketika kemarau panjang serta masih adanya serangan hama.

Banyaknya TKI lari ke luar negeri, adalah salah satu bukti belum berhasilnya sektor pertanian memancing kemajuan alam pikiran mereka. Pertanian masih dipandang identik dengan kemiskinan. Untuk mengubah alam pikiran bahwa pertanian bisa mendatangkan kesejahteraan, adalah dengan penyediaan dan pembenahan prasarana yang memadai sesuai kebutuhan pertanian sepanjang tahun.

Harta Karun Komoditas Ekspor

Terlepas dari ketersediaan sarana dan prasarana pertanian yang memadai, sebenarnya kita memiliki berbagai jenis komoditas pertanian yang sudah berhasil diekspor. Kemampuan ini harus tetap dipertahankan, dikembangkan mutu produksi dan pemasarannya sehingga semakin luas cakupannya. Sebagaimana diberitakan oleh harian Rakyat Merdeka dalam rubrik harta karun, dapat dikemukakan beberapa fakta berikut ini.

Aceh, mampu mengekspor bambu batangan ke Turki untuk bahan pembuatan perabot rumah-tangga dan dekorasi rumah. Juga serat batang pisang dari Aceh Timur, diekspor ke Filipina dan Australia sebagai bahan campuran material sintetis dalam pembuatan papan komposit dan lapisan rompi anti peluru.

Dari Sumatera Utara, kita sudah berhasil mengekspor cengkeh ke sejumlah negara dari Pelabuhan Belawan. Juga bunga kecombrang untuk penyedap masakan, dan gula kelapa yang diekspor ke Brasil dan Yunani. Bahkan paha kodok Sumut juga laris di pasar Belgia, Singapura dan Tiongkok. Di samping itu ada produk lidi kelapa sawit untuk peralatan kebersihan rumah-tangga dan penyapu gandum yang diekspor ke Pakistan, Malaysia, Nepal dan Thailand.

Riau menyumbang babi ternak asal masyarakat Tanjungpinang yang diekspor ke Singapura dan Taiwan. Juga ikan kerapu Anambas Riau Kepulauan, mampu menembus pasar Tiongkok dan Hong Kong

Bengkulu, yang memiliki dataran tinggi antara Rimbo Penghadang dan Tapus yang berhawa sejuk, menghasilkan jeruk Gerga Lebong yang diekspor ke Malaysia.

Lampung, menghasilkan ikan asin jenis teri yang diekspor ke Malaysia dan Jepang yang merupakan hasil olahan masyarakat Pulau Pasaran Bandar Lampung secara turun-temurun. Bahkan  Lampung juga mampu mengekspor kotoran kelelawar ke Tiongkok dan Amerika Serikat yang merupakan pengganti pupuk kimia seperti urea dan NPK. Selain itu juga mengekspor ampas kulit nanas ke Jepang sebagai bahan campuran pakan ternak dan sebagai bahan untuk obat luka karena ampas kulit nanas ini mengandung zat aktif  yang dapat mempercepat penyembuhan luka. 

Sumatera Selatan, mampu mengolah pohon akasia menjadi bubur kertas yang diekspor ke Tiongkok, Korea Selatan, India, Bangladesh dan Jepang.

Bangka Belitung, ekspor cangkang kelapa sawit ke Jepang dalam jumlah cukup besar untuk diolah sebagai energi alternatf pengganti fosil pada Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU).

Banten, antaralain menyumbang ekspor dedak gandum asal Cilegon sebagai bahan baku pakan ternak, rutin diekspor ke Tiongkok, Vietnam, Filipina dan Papua Nugini.

Jakarta yang terkenal dengan dodol Betawi-nya, juga mampu mengekspor ke pasar Arab Saudi.

Jawa Barat, ternyata banyak menghasilkan harta karun pertanian yang beragam untuk diekspor. Jambu biji merah dari Kabupaten Bandung diekspor ke Singapura dan Uni Emirat Arab. Manggis Purwakarta masuk pasar ekspor ke negara-negara Asean, Eropa dan Timur Tengah. Telur asin Karawang yang  diekspor ke Hong Kong, Brunei Darusalam dan Singapura. Lalu, sale pisang organik dari Kabupaten Ciamis diekspor ke Malaysia. Bahkan Bogor mengekspor larva kering jenis black soldiers flies (BSF) ke Inggris sebagai campuran pakan hewan.

Jawa Tengah, juga kaya dengan harta karun pertanian untuk ekspor. Sawo asal Blora masuk pasar Amerika Serikat, dan ubijalar asal Tawangmangu yang diolah menjadi kripik diekspor ke Korea Selatan. Sisik ikan dari limbah buangan penjualan ikan atau perusahaan pengolahan ikan di Jateng, diekspor ke Jepang sebagai bahan pembuatan kolagen untuk industri obat dan kosmetik. Rotan Sukoharjo berupa kerajinan, mampu tembus pasar Perancis, Italia dan Eropa Timur. Nanas madu Pemalang, mampu menembus pasar Arab Saudi dalam bentuk jelly nanas, cocktail nanas, kripik dan dodol nanas.

Kayu mahoni Wonosari-Yogyakarta untuk bahan baku mebel, berhasil diekspor ke Canada.

Jawa Timur, dari Banyuwangi saja bisa mengekspor serangga kaki enam dan belalang stik warna hijau terang ke Jepang, Taiwan, Korea Selatan, Malaysia, Thailand, Perancis, Inggris, Spanyol dan beberapa negara Eropa lainnya  untuk bahan pembuatan souvenir. Labu kuning Banyuwangi juga sudah berhasil diekspor ke Belanda. Kunyit kering Ponorogo masuk pasar India untuk bahan suplemen makanan. Sementara itu, tembakau asal Bojonegoro, Jember, Madura, juga dari Deli Sumut diekspor ke Amerika Serikat, Rusia, Belgia dan Jerman antaralain sebagai bahan baku obat flu maupun parfum jenis tertentu. Makanan ringan rempeyek kacang asal Malang mampu masuk pasar Korea Selatan dan Hong Kong.

Bali, selain mengekspor seni ukir Bali ke beberapa negara maju, juga mengekspor produk cokelat Tabanan ke Singapura dan Malaysia.

Itu adalah sekedar contoh, betapa banyak harta karun sektor pertanian yang berhasil kita ekspor. Jenis produk itu umumnya rutin dibutuhkan, maka perlu dijaga kesinambungannya, ditingkatkan mutu dan sebaran pemasarannya, serta perlindungan agar tidak sekedar diperas oleh para tengkulak, pengepul dan para eksportir. Semangat membangun bersama dengan kejujuran, diperlukan untuk memajukan sektor pertanian di Indonesia.*****