Entri yang Diunggulkan

GENERASI PENDOBRAK JILID III

 Harian Rakyat Merdeka terbitan 20 April  2010,memuat artikel dengan judul “Bodoh Permanen” yang ditulis oleh Arif Gunawan. Tulisan tersebut...

Selasa, 20 September 2016

Dicari : Kepala Daerah yang DJAKARTA !


 
Salah satu hasil reformasi yang gegap gempita di Indonesia adalah dipilihnya Kepala Daerah secara langsung oleh rakyat melalui Pemilukada. Maka berbondong-bondonglah orang yang merasa mampu dan merasa bisa (rumongso biso), mendaftar jadi calon Bupati, Walikota, Gubernur bahkan Presiden. Gambar mereka terpampang dimana-mana dengan berbagai pose dan kata-kata mutiaranya. Lucunya, rata-rata gambar mereka tampil dengan senyum menyeringai bak mempertontonkan taringnya. Anak saya yang masih mahasiswa menyindir, bahwa itu menunjukkan jangan-jangan mereka hanya siap menerkam mangsa atau barang jarahan, alias korupsi.
            Mereka berebut ingin dipilih rakyat dengan berbagai cara, kiat dan tipu dayanya. Sementara rakyat yang umumnya belum cerdas, bingung bagaimana menentukan pilihannya. Ada kelompok masyarakat yang secara terang-terangan mengakui bahwa mereka hanya mau memilih calon yang mau kenal mereka, dan wujud perkenalan itu adalah uang. Siapa yang mengirim utusan dan mau bagi-bagi uang, berarti dia mau mengenal mereka dan itulah yang layak dipilih. Sehingga jangan heran apabila ada politik uang di negeri ini selagi masih ada kemiskinan dan kebodohan.
            Terlepas dari sisi negatif tersebut, kiranya kepada para pemilih perlu diberikan gambaran bagaimana siasat menentukan pilihan Kepala Daerah yang mendekati kebenaran atau ketepatan, bukan asal pilih apalagi salah pilih.

DJAKARTA
Beberapa waktu yang lalu, Todung Mulya Lubis menulis artikel di sebuah harian ibukota yang mengungkap pendapat Lech Walesa (Mantan Presiden Polandia) mengenai mutu pembangunan suatu bangsa. Pada waktu itu dia sehabis memberikan Presidential Lecture di hadapan Presiden SBY dan jajaran Kabinet Indonesia Bersatu II. Menurut Lech Walesa, mutu pembagunan suatu bangsa itu dapat dilihat bagaimana penataan ibukotanya.Sebab, Ibukota suatu Negara adalah cerminan kondisi suatu bangsa apakah semrawut, jorok, amburadul atau tertib dan rapih.
            Oleh karena itu dalam diskursus ini penulis ingin mengambil nama “ibukota Negara Kita” sebagai sumber inspirasi, bagaimana memilih Kepala Daerah yang tepat sasaran. Secara kebetulan, ibukota RI adalah DJAKARTA (dengan ejaan lama), maka cukup tepat apabila kata itu kita jadikan istilah umum untuk pedoman mengikuti Pemilukada di Indonesia. DJAKARTA disini adalah merupakan akronim dari kata kunci: (D)edikasi, (J)ujur, (A)presiatif, (K)reatif, (A)sih dan (A)suh, (R)amah, (T)egas,  (T)rengginas serta (T)eladan dan (A)njangsana. Dedikasi dimaksudkan, bahwa seseorang yang mencalonkan diri haruslah yang mempunyai dedikasi terhadap profesinya, untuk apa dia mencalonkan diri. Layaknya, orang yang punya dedikasi adalah orang yang profesional dan siap mengabdikan segala jiwa raga dan pikirannya untuk kepentingan rakyat, daerah dan Negara. Gambaran profesional seorang kepala daerah adalah tahu segala masalah yang mendesak dan mampu mencari jalan keluarnya serta berkarakter dan berjiwa pembelajar. Sosok pembelajar adalah manusia yang selalu mau belajar, bertanya, dan mengamati serta mengikuti dan mencontoh karya orang lain yang lebih baik. Jujur adalah tuntutan karakter untuk orang yang punya dedikasi. Dia tidak akan melakukan kecurangan walaupun punya kesempatan yang seluas-luasnya. Apresiatif adalah gambaran bahwa ia penganut paham demokratis yang mau mendengar segala pendapat dan ide yang berkembang dalam rangka membangun daerah dan Negara. Bahwa setiap pemimpin yang apresiatif harus mampu menggali potensi rakyatnya untuk dikembangkan demi kemajuan bersama.
Kreatif, bahwa seorang pemimpin harusnya selalu kreatif dalam mengembangkan daerah dan negaranya. Kreatifitas yang visioner sangat diperlukan, disertai kejujuran dan kecerdasan seorang pemimpin. Sebagai contoh, perlukah sebuah patung penanda jalan harus dibangun? Mengingat besarnya biaya dan permasalahan mendesak yang harus dihadapi dan ditanggulangi, mungkin lebih bijaksana apabila anggaran yang ada untuk perbaikan sekolah, prasarana, perumahan penduduk yang tidak layak, pengerukan kali, dan lain-lain. Untuk pengingat jalan, sebaiknya cukup diinstruksikan saja agar setiap kantor, instansi atau toko dan tempat/dunia usaha mencantumkan juga nama jalan dan nomor serta kode posnya, maka itu lebih bermakna dibanding membangun patung yang setiap orang mungkin tidak peduli.

Asih dan Asuh dimaksudkan bahwa seorang pemimpin adalah yang mampu mengasihi dan membimbing rakyatnya, Mampu mengatasi kemacetan, kesemrawutan, sampah, ledakan penduduk, ketertiban dan keamanan adalah suatu bentuk profesionalisme yang asih dan asuh seorang Kepala Daerah terhadap permasalahan rakyatnya. Sebaliknya, pembiaran terhadap masalah kemacetan, banjir, kekumuhan dan polusi adalah salah satu bentuk sikap tidak asih dan tidak asuh, kurang dedikasi dan tidak profesional.
Ramah, bahwa seorang pemimpin haruslah selalu bersikap ramah terhadap seluruh rakyatnya tanpa dibuat-buat. Sikap arogan dan angkuh adalah sifat yang harus dijauhi oleh seorang pemimpin agar kepemimpinannya dapat berhasil dengan baik secara sinergis, efisien, dan efektif.
Tegas, Trengginas, dan Teladan (3T), adalah tiga sikap yang mutlak harus dimiliki oleh seorang pemimpin agar pencapaian visi dan misinya dapat berhasil dengan baik. Penghargaan dan penegakan hukum serta pemberian sanksi haruslah diterapkan secara tegas dan konsisten melalui pengamatan dan evaluasi yang trengginas dalam arti dilakukan secara terus menerus, menyeluruh, terukur, tepat dan cepat. Sebagai contoh, penertiban PKL itu seharusnya dilakukan secara terus menerus dengan adil dan bijaksana. Tidak boleh sampai meleng alias lengah dan sesudah itu mengobrak-abrik lagi. Juga jangan sampai ada renovasi sekolah tidak bermutu tetapi tidak terdeteksi sehingga ambruk dan membawa korban. Ada anak sekolah menyeberang sungai tanpa jembatan, serta wilayah di pelupuk matanya banjir parah tanpa bisa diketahui penyebabnya, padahal Gubernurnya mengantongi bejibun tanda penghargaan dan Wagubnya pandai beriklan, adalah merupakan petunjuk bahwa keduanya agaknya kurang blusukan dan kurang professional. Kepala Daerah harusnya memberikan teladan bagi rakyatnya, bukan pecandu narkoba, jujur dan tidak korup, disiplin serta kerja keras.
Dan yang terakhir adalah Anjangsana. Bahwa seorang pemimpin yang profesional dan penuh dedikasi adalah seseorang yang selalu rajin beranjangsana dan blusukan terhadap wilayah kerjanya. Dia bukanlah orang yang gila hormat dan selalu duduk manis di belakang meja dengan mengandalkan laporan ABS (Asal Bapak Senang). Rajin beranjangsana ke seluruh pelosok wilayah kerjanya adalah ciri pemimpin yang berdedikasi tinggi sebagai administrator pemerintahan. Melalui anjangsana langsung memungkinkan seorang pemimpin mengetahui dengan pasti semua persoalan yang dihadapi rakyatnya. Jangan sampai ada seorang Gubernur yang wilayahnya kecil, marah-marah gara-gara masjid yang diresmikan, bentuknya atau pekerjaannya kurang rapi. Ini bukti bahwa Kepala Daerah itu kurang profesional dan kurang blusukan, padahal Presiden Jokowi sudah mengajarkan mengenai manajemen blusukan yang sangat terkenal sebagai alat control dan pengawasan di lapangan. Bahkan pada waktu sekarang ini, masih ada seorang Walikota tetangga Ibukota RI, membangun stadion mini yang super jelek karena tanpa sentuhan arsitek dan oleh pelaksana yang terkesan asal-asalan.
Alhasil, pemimpin yang ideal adalah yang memiliki pribadi dan karakter serta mutu yang DJAKARTA sebagaimana diuraikan secara garis besarnya di atas. Semoga kita tidak salah memilih Kepala Daerah, sehingga seluruh daerah di Indonesia bisa menjadi Singapura-Singapura yang indah, maju dan mandiri,  tidak serba terbelakang seperti sekarang ini. Sebab, pada dasarnya, Kota Administratif/Kabupaten dan Provinsi di negeri kita ini adalah merupakan singapura-singapura yang banyak jumlahnya. Kalau saja para Kepala Daerahnya bermutu “DJAKARTA” dan sekaliber pemimpin di Singapura, bukan mustahil, seluruh Indonesia yang indah dan kaya raya akan tercapai. Tetapi entah, sampai kapan ?!*****

Kamis, 15 September 2016

Upaya Memajukan Persepakbolaan di Indonesia



Perhatian masyarakat dunia selama bulan Ramadhan 2016 kemarin tercurah ke perhelatan Piala Amerika di Amerika Serikat dan Piala Eropa di Perancis. Tidak tanggung–tanggung, dari rakyat biasa sampai Presiden dan Raja serta Ratu menaruh perhatian yang besar terhadap jenis olahraga yang paling populer di muka bumi ini. Suatu bangsa boleh saja miskin atau saling bertikai,tetapi dengan sepak bola seolah semuanya menjadi tidak ada masalah. Dengan jumlah pemain  sebanyak 11 orang dalam setiap laga,sepak bola memang dapat dianggap bisa mewakili atau merupakan representasi suatu bangsa. Maka tidak heran apabila ada pimpinan negara sampai turun tangan dalam mempersiapkan tim negaranya dan terus mengikuti perkembangan sepak terjang timnya yang sedang berlaga. Gejala tersebut bisa jadi karena dalam perkembangannya,olah raga sepak bola apalagi perhelatan setingkat Piala Dunia mampu membangkitkan ekonomi kreatif bangsa – bangsa di seluruh dunia walaupun negara tersebut tidak ikut berlaga di Piala Dunia.
Sebagai contoh, Pemerintah Afsel yang pernah sebagai penyelenggara Piala Dunia 2010 yang lalu, mengaku mengalami pertumbuhan ekonomi yang cukup menjanjikan. Ada sekitar 600 ribu lapangan pekerjaan tercipta selama event berlangsung, dimana 200 ribu di antaranya menjadi permanen dan 100 ribu lainnya merupakan kegiatan insidentil. Afsel juga kebanjiran 500 ribu wisatawan penonton yang datang dari berbagai penjuru dunia (Media Indonesia,3 Juli 2010). Bahkan Spanyol juga sempat berharap bisa mengalami pertumbuhan ekonomi yang tinggi setelah berhasil menjadi juara Piala Dunia 2010. Spanyol berharap bisa seperti Italia yang mengalami pertumbuhan yang cukup tinggi di bidang pariwisata setelah berhasil menjadi juara Piala Dunia 2006 yang lalu.
Bagaimana dengan masyarakat kita di Indonesia?. Ternyata,kita pun dilanda demam bola. Sebagai contoh, anak – anak kecil di mana–mana terlihat banyak yang bermain bola. Apabila kita kilas balik menengok ke belakang, perhelatan nonton bareng juga diadakan di berbagai tempat. Bali yang terkenal dengan seni pahatnya, pada waktu Piala Dunia 2010 yang lalu  berhasil menciptakan boneka yang menggambarkan pemain – pemain favorit  dunia dan berhasil menarik perhatian para penonton dan penggemar bola di Afrika Selatan. Indomaret dan Alfamaret,sebagai contoh, juga ikut – ikutan menjual pernak –  pernik Piala Dunia yang berupa bola,kaos,gelas,dan lain – lain. Bahkan Presidan SBY pada waktu itu  bersama beberapa Menteri KIB II menyempatkan nonton bareng di Ballroom Puri Kencana Hotel Intercontinental – Bali pada laga pembukaan pada tanggal 11 Juni 2010 dan juga nonton bareng di kediaman Puri Cikeas. Yang menarik,Presiden SBY juga  sempat mempertanyakan dua hal kepada Menteri Negara Pemuda & Olah Raga pada masa itu, Andi Mallarangeng. Yang pertama,kapan PSSI bisa tampil di arena final Piala Dunia. Dan yang kedua,Presiden sempat mendiskusikan goal Meksiko atas Afrika Selatan yang dianulir wasit.
Pertanyaan Presiden SBY tersebut semestinya perlu mendapat  jawaban dalam rangka memajukan persepak bolaan di Indonesia. Sekaligus menindaklanjuti cita – cita Presiden yang pernah di sampaikan dalam kongres Sepak Bola Indonesia di Malang beberapa waktu yang lalu,yang menginginkan agar PSSI bisa berjaya kembali seperti yang pernah diraih pada masa lalu.
Jawaban itu sebenarnya antara lain sudah tersirat dalam percakapan antara Presiden dan Menegpora bahwa pesepak – bolaan Indonesia masih pada tahap kategori kelas ngambek manakala wasit dianggap keliru dalam mengambil keputusan (kata Menegpora). Lalu,wasit diburu dan disantet kalau tidak berhasil ditangkap (komentar Presiden).  Dan jawaban kedua,agaknya ada pada iklan Bodrex yang seolah,meledek mutu persepabolaan di Indonesia karena pada waktu itu  mengetengahkan pesepakbola Bambang Pamungkas,pemain utama PSSI,yang dilukiskan sedang sakit kepala. Iklan tersebut tampilkan dalam sela acara tayang Piala Dunia Afrika Selatan oleh RCTI,sehingga dapat diasosiasikan bahwa sepak bola di Indonesia sedang bermasalah.
Jawaban ketiga,karena faktanya memang persepakbolaan di Indonesia sedang mengalami kemunduran, bahkan hingga sekarang ini. Banyak yang tidak peduli lagi dengan olah raga rakyat ini. Sebagai contoh,kalau pada tahun 60 – an di daerah saya di Gresik ada lapangan bola di desa Benjeng dekat SD Negeri yang  menjadi tempat latihan rutin PSB (Persatuan Sepak Bola Benjeng),sekarang sudah tidak ada lagi. Dan demikian juga lapangan bola di Alun – alun kota Gresik,sekarang lapangan tersebut sudah tidak ada lagi,padahal dulu tempat  latihan rutin PSHW,PS Gapura, PS Sidolig, Persegres dan lain-lain.. Di Jalan Ratna,Jatiasih – Bekasi dekat tempat tinggal saya sekarang,sekitar beberapa tahun yang lalu masih ada lapangan bola yang justru letaknya dekat dengan SDN setempat. Tetapi sekarang,tanah lapang tersebut sudah berubah menjadi ruko. Konon Kepala Desa setempat terlibat dalam alih fungsi lahan ini. Di Jakarta sendiri,Lapangan Bola (Stadion) Menteng yang bersejarah telah diubah oleh Gubernurnya menjadi taman, dan hampir tidak ada yang berusaha menghalangi kebijakan alih fungsi stadion tersebut..Hal ini tidak mengherankan karena mantan Gubernur yang mengambil kebijakan pembongkaran ternyata lebih menyempatkan diri main wayang orang justru pada saat orang ramai nonton dan memperbincangkan final Piala Dunia di mana – mana.
Dan mungkin banyak lagi kasus seperti ini di seluruh Indonesia. Oleh karena itu jangan heran kalau anak – anak sekarang hanya bisa main bola di Futsal atau di jalan – jalan dan pekarangan kosong karena makin langkanya lapangan bola di sekitar kita. Mungkin sudah saatnya ada kebijakan resmi pemerintah yang menganjurkan agar setiap pengembang perumahan di wajibkan menyediakan lapangan bola yang representative.
Yang keempat,perlu pencanangan agar “Indonesia melamar menjadi tuan rumah Piala Dunia” walaupun untuk penyelenggaraan pada masa yang jauh  mendatang. Dan bersamaan pencanangan itu perlu ada gerakan massal yang menunjang pembinaan persepakbolaan oleh Pemerintah Pusat dan Daerah,sekolah,pengusaha,BUMN,Parpol,dan Ormas serta seluruh masyarakat luas. Juga perlunya cita – cita membangun stadion bertaraf internasional seperti Gelora Bung Karno sebanyak – banyaknya di seluruh Indonesia. Momentum penyelenggaraan PON (Pekan Olah Raga Nasional) bisa dimanfaatkan untuk membangun stadion ini,tetapi bukan asal jadi apalagi kalau besar korupsinya.
Jadikan gerakan demam sepak bola yang fair dan sportif kapan saja dan di mana saja dalam rangka mencapai cita – cita pertumbuhan ekonomi melalui sektor olah raga khususnya sepak-bola  dan pariwisata, dan dalam rangka mengubah citra negara yang dewasa ini hanya mampu sebagai pengekspor TKI murahan,menjadi negara pengekspor pemain bola yang handal.
Ada fakta sejarah yang perlu disadari oleh generasi sekarang maupun generasi yang akan datang bahwa Indonesia antara lain pernah dijajah Portugis dan Belanda dalam jangka waktu yang cukup lama. Dua negara itu termasuk kampiunnya sepak bola di muka bumi ini. Sehingga sepantasnya, apabila kita semua berharap agar bangsa Indonesia bisa mewarisi bakat sepak bola ini sebagaimana Brasil,Argentina,Ghana,dan lain – lain yang sanggup berprestasi menyusul negeri penjajahnya. Dan apabila dihubungkan dengan kesamaan kultur dan emosional, bisa saja kita melakukan pembibitan dan pembinaan yang seksama di kawasan Tapanuli, Sulawesi Utara, Maluku, Nusa Tenggara Timur dan Papua. 
Sebagai jawaban terakhir, mantan Presiden Bill Clinton saja mau menyempatkan diri hadir ke Afrika Selatan dalam rangka ikut kampanye Amerika Serikat melamar menjadi tuan rumah Piala Dunia lagi. Lalu,kapan para pemimpin Indonesia mau melibatk an diri ikut kampanye membudayakan sepak bola sebagai gerakan olah raga rakyat?. Itulah yang kita tunggu,dari sekarang,dalam rangka merevitalisasi persepak bolaan di Indonesia. Dalam hal ini kita perlu memberikan penghargaan kepada Kompas – Gramedia yang mau menyisakan sebagian keuntungannya untuk pembinaan sepak bola dengan menggulirkan Liga Kompas Indonesia U – 14. Semoga langkah ini diikuti juga oleh pengusaha – pengusaha besar lainnya di seluruh Indonesia. Demikian juga, upaya pada masa Presiden Jokowi yang sudah mulai mengadakan berbagai turnamen sepakbola dapat terus berlanjut, berkesinambungan dan semakin bermutu. Jangan sampai kita yang berpenduduk lebih dari 250 juta jiwa, kalah dengan Islandia yang penduduknya tidak sampai 350 ribu jiwa tetapi mampu eksis di Piala Eropa 2016.
Dengan  merevitalisasi persepakbolaan  di Indonesia dari sekarang secara bersungguh-sungguh dan dengan melibatkan berbagai komponen bangsa,semoga Indonesia memang bisa hebat ”dalam segala hal”, termasuk dalam dunia sepak-bola!. ****  

Kamis, 10 Maret 2016

Celoteh Prof. Yusril Ihza Mahendra


Pada tanggal 15 Februari 2016 di TVOne, entah dalam rangka pra kampanye karena ingin jadi Gubernur DKI Jakarta atau ada motif lain. Prof.Yusril Ihza Mahendra tiba-tiba memuji Soeharto, yang menurutnya hebat, karena mau mundur ketika mendapat perlawanan dari rakyat. Hal  ini berbeda dengan yang terjadi di Timur Tengah yang terus  bertahan memerintah ketika menghadapi protes rakyatnya,  sehingga sampai sekarang di kawasan itu masih kacau balau entah sampai kapan. Sebenarnya sih, bukan masalah mau mundur atau tidak mau mundur, tetapi yang harus dipahami adalah latar belakangnya kenapa ia/seorang pemimpin dipaksa mundur. Itulah yang perlu diingat dan jangan dikaburkan seolah-olah hebat. Sebab, kenyataan sejarah menunjukkan, bahwa sebenarnya Soeharto sudah beberapa kali diminta mundur atau tidak dicalonkan lagi sebagai presiden. Ingat peristiwa Malari 1974, aksi mahasiswa 1978/1979  dan 1984/1985, tetapi tetap bertahan dengan selalu menjadi Capres calon tunggal karena Panggabean, Benny Moerdani, Soedomo pandai mengawal dengan ganas dan mematikan. Rupanya tahun 1997/1998 sudah titi mangsane, Allah sudah tidak meridhoi sehingga terjadilah peristiwa yang seolah-olah konstitusional dan seakan-akan berjiwa besar. Padahal, mundurnya Soeharto dan tanpa gejolak di Indonesia, itu karena fakta sebagai berikut:
·         ABRI sudah tidak represif  lagi seperti masa-masa yang lalu.
·         Demokrasi yang sudah lama kita idamkan memang sudah bergulir dan tidak terbendung.
·         Kegiatan demonstrasi murni menuntut perubahan, bukan kudeta, sehingga tidak ada tokoh yang dielu-elukan yang kemudian mengambil- alih kekuasaan seperti yang terjadi pada tahun 1966 dari Presiden Soekarno kepada Jenderal Soeharto.
·         Bangsa Indonesia bukan bangsa Arab yang sepanjang sejarahnya memang suka bertengkar. Oleh karena itu para Nabi dan Rasul selalu diturunkan oleh Allah di tanah Arab. Sehingga jangan heran, ketika Soeharto mau mundur semua tenang-tenang saja, tidak ada kegaduhan.
·         Yang hebat sebenarnya para tokoh reformasi, yang berhasil menurunkan seorang diktator dengan cara-cara damai. Belum lagi bicara tentang keberhasilan pembangunan yang selalu mereka dengung-dengungkan, pertumbuhan 7% per tahun terutama selama PJPT I dan katanya menuju saat tinggal landas. Nyatanya, masih tinggal di landasan, padahal  kekayaan alam habis dikuras bangsa asing (emas, tembaga, nikel, minyak bumi, batubara) dan hutan digunduli dalam waktu 32 tahun. Belum lagi hutang dan bantuan asing yang dihambur-hamburkan, pada hal hasil akhirnya, ekonomi ringsek dan marak KKN sehingga ia dituntut mundur oleh masyarakat yang memahami keadaan yang sebenarnya.
·         Pada dasarnya bangsa Indonesia itu cinta damai,.hanya para elite dan para cecunguknyalah yang membuat gaduh. Sebagai contoh, Soeharto mungkin sudah tenang di alam baka sana, tetapi kenapa sejak menjelang Pemilu 2014 beredar gambar/ stiker sosok Soeharto yang seolah-olah berkata,”piye kabare, enak jamanku to?” atau ada yang berdalil, seolah Soeharto berjiwa besar karena mau mundur secara ksatria, walaupun kenyataannya tidak ksatria karena ketika mau diadili pura-pura sakit dengan berbagai rekayasanya. Padahal, dia mundur dengan terpaksa karena sebenarnya masih berambisi untuk terus berkuasa. Sebagai buktinya, ketika ketua KNPI dipegang oleh Aulia Rachman, dia dipanggil ke Cendana bersama pengurus KNPI yang lain. Sesudah itu dia (Aulia) memberikan konferensi pers yang menyatakan antara lain: “Bapak Presiden menyatakan, bahwa yang mengusulkan jabatan presiden harus dibatasi, itu mengebiri UUD 1945”. Nampaknya Soeharto bereaksi ketika ada wacana yang bergulir ingin adanya UU yang membatasi jabatan presiden.
·         Apabila kita ingin jujur sebagai bangsa, pernyataan yang benar seharusnya berbunyi: “piye kabare, kowe goleki Supersemar sing asli, to? Coba goleki sampek kiamat, mesti kowe ora bisa nemokke, hore!” atau “piye kabare, enak jamanku to? Kekayaan alam (Emas, tembaga, nikel, minyak bumi) lan hutan wis tak gunduli sampek entek, mulo aku biso awet kuoso to? He he, he,kowe saiki podo manyun mergo ngadepi putus kontrak opo ora, lan kowe ngalami kebakaran hutan di mana-mana saben taun to?.”
·         Ada lagi mengenai swa sembada beras yang terjadi sekali pada tahun 80-an. Melimpah panen karena kemurahan Tuhan yang memberikan iklim yang baik dan tidak ada bencana, itu yang berhak kita puja-puji ya Allah SWT. Kalau usaha swa sembada itu benar karena hasil rekayasa teknologi, maka swa sembada akan terjadi terus menerus tanpa tergantung cuaca, alias bukan cuma sekali dan selalu dibangga-banggakan, padahal itu terjadi karena kemurahan Tuhan.
·         Bahkan usaha mengagungkan Soeharto masih saja terus diupayakan. Kabar terakhir, ada yang mengusulkan agar Soeharto diangkat/dikukuhkan sebagai Pahlawan Nasional. Agaknya para pendukung Soeharto tidak rela ketika ia diturunkan dari singgasana, sehingga untuk memutihkan, mereka mengusulkannya sebagai Pahlawan Nasional. Pertanyaannya adalah, kok Presiden di pahlawankan lagi? Padahal, presiden dimana pun pastinya sudah seorang pahlawan, apalagi kalau memperoleh kekuasaannya dengan  cara yang baik dan benar, bekerja dengan benar, dan mengabdi kepada rakyat/bangsa/negara secara utuh, adil, dan bijaksana, bukan mengembangkan politik belah bambu, satu kelompok diangkat, kelompok lainnya diinjak demi kelangsungan kekuasaannya. Seyogyanya, setiap orang pasti tahu bahwa yang layak disebut pahlawan adalah  seseorang yang telah berjuang dengan jiwa, raga, pikiran, dan harta benda yang melebihi kapasitasnya. Sebagai contoh, seorang perempuan pergi ke luar negeri dengan modal seadanya, kemudian dia kirimkan penghasilannya untuk keluarganya dan buka usaha  yang membuka lapangan kerja bagi orang banyak, maka dia layak disebut pahlawan. Sebaliknya, seorang guru yang menerima gaji dengan layak, kemudian mendidik ribuan anak sehingga menjadi orang yang berguna dan bermartabat, bukanlah seorang pahlawan karena dia bekerja dan menerima gaji yang selayaknya dituntut harus selalu bekerja dengan baik dan bersungguh-sungguh.   
·         Dalam suatu acara diskusi beberapa tahun yang lalu, Prof.Yusril mengingatkan agar setiap rezim harus melanjutkan program rezim sebelumnya dan tidak berbuat seolah-olah dari nol lagi. Dicontohkan, bahwa rezim ORBA (Soeharto) pernah tidak mau membayar hutang rezim Soekarno kepada suatu negara tertentu, yang sebenarnya hal ini tidak boleh terjadi karena pada hakekatnya pemerintahan itu harus berkesinambungan. Bahkan Soeharto melancarkan tindakan desoekarnoisasi secara massif sejak awal kekuasaannya. Sebagai contoh, kota Soekarnopura ibukota Irian Barat (Irian Jaya) diganti dengan Jayapura. Jembatan Bung Karno di Palembang diganti dengan Jembatan Ampera dan Istana Olah Raga Gelora Bung Karno sempat diubah menjadi Gelora Senayan. Rezim Soeharto menamakan diri ORDE BARU dan menyebut rezim Soekarno sebagai ORDE LAMA, pada hal dia sendiri ada di dalamnya karena diangkat Presiden Soekarno sebagai Panglima Kostrad, kemudian Men/Pangad/Pangkopkamtib/Wakil Perdana Menteri tetapi  terbukti kemudian menggunting dalam lipatan.
Tulisan ini dibuat untuk berbagi pendapat,bahwa yang benar itu harus dikatakan dengan benar, dan para elit yang merasa punya pengaruh janganlah mengeluarkan pendapat yang berlebihan yang justru bisa mengobarkan kembali kebencian dan permusuhan sesama anak bangsa. Semoga bangsa Indonesia mendapat keridhoan Allah s.w.t. karena mengedepankan kejujuran dan kebenaran. Amien…..yaa robbal’alamin !

Minggu, 05 Juli 2015

Piye Kabare le, Kowe Goleki SUPERSEMAR , to...?

                                                        Oleh : Muhammad Sadji
     Menjelang Pemilu Legislatif dan Pemilihan Presiden/Wapres pada tahun 2014 sampai sekarang ini, marak beredar sticker dan kaos bergambar mantan presiden Soeharto mengangkat salah satu tangannya dengan seolah-olah  berucap :” Piye kabare, enak jamanku, toh?”. Atau ada lagi :” Jamanku harga bensin Rp 700,-, jamanmu piro le?”. Sepertinya keluarga  Soeharto dan para pendukungnya  yang banyak dananya  ingin menghidupkan kembali  nostalgia Soeharto yang pernah berkuasa selama 32 tahun dan masih tidak rela ketika dijatuhkan oleh massa rakyat pada tahun 1998  yang lalu. Pada hal, sejatinya Soeharto tidak pernah mengatakan kalimat seperti itu semasa hidupnya. Sehingga, kalimat itu sebenarnya hanya berhasil mempermalukan dua hal. Yang pertama, rezim setelah reformasi yang tidak kunjung berhasil membuat Indonesia menjadi lebih baik. Pada hal keterpurukan Indonesia seperti sekarang ini adalah merupakan sebab – akibat dari peninggalan rezim Soeharto (ORDE BARU) yang tumbang pada tahun 1998. Yang kedua, mempermalukan almarhum Soeharto sendiri karena dibuat seolah-olah arwahnya masih gentayangan dan mengeluarkan kalimat-kalimat seperti itu karena masih tidak rela sewaktu dijatuhkan massa rakyat  pada tahun 1998 itu. Kalau memang ingin mengangkat nama Soeharto ,sebaiknya carilah kata-kata bijaknya yang pernah dia ucapkan semasa hidupnya. Kata-kata bijak itulah yang  diharapkan bisa  menjadi pedoman bagi generasi berikutnya, bukan kata-kata ledekan atau sindiran yang sebenarnya  sama sekali tidak pernah ia ucapkan.
      Pada hal kalau ditelaah lebih dalam dan jujur, pembangunan ORBA selama 32 tahun sebenarnya tidak berhasil. Bukti yang membenarkan adalah ketika terjadi krisis ekonomi pada tahun 1997/1998 dan rakyat menuntut tanggung-jawab secara jalanan karena saluran resminya mampet. Pertumbuhan ekonomi  sebesar 7 % pertahun yang sering dibangga-banggakan ternyata tidak cukup tangguh untuk menanggulangi masa krisis dan hanya berhasil mengantarkan bangsa Indonesia tetap tinggal di landasan, bukannya berhasil memasuki tahap tinggal landas. Apalagi  kalau dihubungkan dengan teori  pembangunan berdasarkan rumusan input, proses, output (input + proses = output), maka dapat diungkit kembali berapa  input dihabiskan yang meliputi kekayaan alam  tambang dan hutan, , pinjaman, dan bantuan asing, prosesnya yang memerlukan waktu selama 32 tahun dengan penuh represif dan otoriter , mau menang sendiri, sementara outputnya setelah 32 tahun menghasilkan Indonesia yang hanya kocar-kacir setelah dilanda krisis ekonomi. Itu semua fakta yang seharusnya  tidak boleh kita lupakan sebagai pengetahuan sejarah. Sebab, sewaktu rezim ORBA berkuasa pada tahun 1967, mewarisi kekayaan alam yang masih tersimpan dengan baik. Kekayaan alam itu kemudian terkapling-kapling oleh negara asing setelah kebijakan PMA (Penanaman Modal Asing) oleh rezim ORBA. Kekayaan alam itu masih dikangkangi pihak asing sampai sekarang dan kita dibuatnya tidak berkutik karena terbelenggu dalam ketergantungan dari  segala segi  kehidupan berbangsa dan bernegara.
Supersemar
      Ada hal menarik setiap kali kita memasuki  bulan Maret. Bagi yang masih Soehartois, selalu kembali mengungkit peristiwa berdarah G 30 S dan sumpah serapah terhadap PKI serta menyanjung Soeharto dengan segala propagandanya. Mereka membuat garis pemisah antara yang dianggap pro PKI dan yang anti PKI. Mereka menganggap bahwa semua yang anti atau kritis terhadap Soeharto  diidentikkan  dengan PKI atau dicap berusaha hendak membangkitksn  kembali PKI dengan berbagai kedoknya (Anton Tabah, Republika, 10 Maret 2015). Mereka sangat mengagungkan Supersemar tetapi sama sekali mengabaikan kemisteriannya yang masih menghantui  bangsa Indonesia sampai sekarang. Surat Perintah itu sendiri sangat misterius karena tidak bernomor, dan yang diserahkan ke Arsip Nasional semuanya dinyatakan palsu. Lucunya, semuanya berbeda dan diserahkan oleh pihak atau lembaga yang berbeda-beda. Pada tahun 1990-an pernah dipertanyakan keberadaan Supersemar itu yang aslinya oleh berbagai pihak. Anehnya, jawaban yang diberikan berbeda-beda oleh penggede ORDE BARU yang berbeda-beda dan selalu menunjuk seseorang yang diduga menyimpan, tetapi juga berbeda-beda dan khalayak dibiarkan supaya menebak-nebak sendiri-sendiri. Bahkan ada jawaban yang dikembangkan pada waktu itu :” Supersemar asli itu tidak penting, yang terpenting bahwa surat perintah itu sudah dilaksanakan dengan baik oleh pengembannya, Jenderal Soeharto”. Lebih misterius lagi karena Soeharto sendiri tidak pernah mengeluarkan pernyataan, sementara  AH Nasution, Sudharmono, Moerdiono, Sudomo, Amir Machmud dan banyak lagi mengeluarkan pernyataan yang berbeda-beda mengenai keberadaan Supersemar aslinya. Sayangnya, Basuki Rachmat meninggal mendadak terlalu cepat di usianya yang relatif masih muda dan buku biografi M.Jusuf sudah diedit kembali sebelum terbit oleh sebuah tim yang antaralain ada Jusuf Kalla-nya sehingga besar kemungkinan ada bagian sangat penting yang dihilangkan.
      Sehingga timbul pertanyaan, kenapa dimisteriuskan dan tidak ada yang berusaha untuk mencarinya, terlebih sewaktu Soeharto masih hidup dan masih menjabat sebagai presiden. Inilah suatu bukti begitu kuat, betapa seram dan misteriusnya Soeharto sampa-sampai tidak ada seorangpun yang berani mempertanyakan kepadanya. Bahkan SBY pun sempat mengagungkan tanggal 11 Maret yang mungkin dianggapnya keramat dan bukan suatu kebetulan belaka. Bukti itu antaralain, ketika dia mengundurkan diri dari Kabinet Megawati karena mau mencalonkan diri sebagai Capres pada tahun 2004. Peristiwa lain, ketika dia meresmikan Universitas Pertahanan  beberapa tahun yang lalu juga memilih tanggal 11 Maret.
       Oleh karena itu yang benar sekarang ini bukan pernyataan :” Piye kabare, enak jamanku tho ?”, tetapi yang tepat adalah :” Piye kabare le, kowe goleki Supersemar to...?”. Yang artinya :” Apa kabarnya, kalian semua mencari Supersemar to...?”. Dan jawabnya, entahlah sampai kapan, barangkali sampai lebaran monyet pun tidak akan ketemu karena mungkin adanya unsur persekongkolan kebohongan, keculasan, kecurangan, kejahatan  dan kudeta dibalik itu yang terpaksa harus ditutup-tutupi terus entah sampai kapan dan oleh siapa.

      Pada hal, setiap pemimpin sejati itu harus mampu menularkan kebaikan dan kejujuran kepada rakyatnya. Yang mampu membangun persatuan dan kesatuan serta melindungi seluruh rakyatnya. Bukannya yang mampu menebarkan kebohongan, teror, adu domba dan mengembangkan politik  belah bambu satu diangkat tetapi satunya lagi diinjak, apalagi meninggalkan teka-teki yang tak bertepi  kepada rakyatnya. Dari kasus misteriusnya Supersemar, dokumen negara yang sangat penting ini, barangkali tidak berlebihan apabila dijadikan tolok-ukur  pertimbangan apakah seseorang layak disebut pahlawan atau hanya sebagai pecundang.*****

Sabtu, 21 Juni 2014

MEMILIH PRESIDEN/WAKIL PRESIDEN DAN TELADAN RASULULLAH



         Pada hari Jum’at 20 Juni 2014 saya shalat Jum’at di Masjid Al Muhajirin Jatikramat Indah I – Bekasi. Yang menarik adalah isi khotbahnya yang membahas tentang meneladani Rasulullah SAW. Dijelaskan bahwa beriman kepada Allah adalah mencintai Allah. Bagi orang yang bertakwa, selain mencintai Allah adalah juga mencintai Rasulullah. Bentuk mencintai Rasulullah adalah mengerjakan  waktu. Rasulullah pernah bersabda, kerjakanlah sholat sebagaimana yang aku kerjakan. Tetapi ada teladan yang lepas dari perhatian kita dan kita jarang mengamalkannya. Yang pertama, sewaktu Ali bin Abi Thalib, khulafaurrasyidin, mengusulkan kepada Rasulullah agar membuat parit besar untuk menghambat gerak musuh dan ternyata beliau menyetujui.
Ketika membuat parit itu dikerjakan, Rasulullah ikut bekerja langsung bersama umat, terjun langsung bersama mereka, bukan cuma tahu beres. Contoh lain lagi, sewaktu masa Rasulullah, di Jazirah Arab banyak sekali kerajaan-kerajaan kecil bangsa Quraisy. Mereka punya kebiasaan, kalau keluarga kerajaan melanggar hukum selalu dilindungi dan ditutup-tutupi agar rakyat tidak mengetahui. Melihat gejala ini, Rasulullah mengeluarkan fatwa bahwa menegakkan hukum itu harus adil karena kelak akan dipertanggung jawabkan di hadapan Allah SWT. Sebagai contoh menegakkan hukum yang adil kata Rasulullah adalah, kalau saja Fatimah anakku melanggar hukum misalnya mencuri, niscaya akan kupotong tangannya.
Bagi saya, isi khotbah tersebut merupakan petunjuk yang menarik untuk pelajaran bagi bangsa Indonesia bagaimana memilih pemimpin pada Pilpres 9 Juli 2014 nanti. Ada dua pasang calon Presiden dan Wakil Presiden yang harus kita pilih. Jokowi yang pekerja keras dan selalu ikut terjun langsung di lapangan, atau pasangan yang mempunyai cacat hukum. Prabowo yang masih harus bertanggung jawab terhadap aksi penculikan aktivis pada tahun 1997/1998 tetapi tidak dihukum sesuai kesalahannya karena pertimbangan menantu Suharto. Ini sesuai pengakuan para anggota Dewan Kehormatan Militer yang mengadili Prabowo pada waktu itu (1998), yang tidak menjunjung tinggi UUD 1945 yang antara lain menyatakan bahwa setiap warga negara sama kedudukannya di    dalam hukum. Akibatnya, sampai sekarang masih menjadi masalah, karena yang bersangkutan tidak pernah merasa berdosa. Pada hal Islam mengajarkan bahwa membunuh sesama manusia adalah merupakan dosa besar yang tidak terampuni. Diantara aktivis yang diculik, 13 orang tidak diketahui rimbanya sampai sekarang yang dapat disimpulkan pasti sudah terbunuh. Begitu juga pasangannya, Hatta Rajasa, yang anaknya pada waktu itu berusia 21 tahun, mengantar pacarnya di pagi buta dengan mobil mewah Mercedez dan menabrak kendaraan lain, sehingga membuat orang meninggal dan luka-luka. Bagaimana proses hukum yang berlaku, tidak pernah terdengar kelanjutannya. Kabar burung menyebutkan, konon anak itu tidak pernah dihukum karena dianggap dibawah umur atau karena anak pejabat? Tidak bisa memimpin anak, alias tidak berhasil memimpin keluarga dan meremehkan hukum kok nyalonin wapres?
Maka, pandai-pandailah bangsa Indonesia menentukan pilihan agar tidak termasuk bangsa yang sesat dan tidak pandai berpikir serta tidak pandai meneladani Rasulullah SAW.*****

Senin, 10 Februari 2014

KENAPA JALAN RAYA MUDAH RUSAK? (edisi revisi februari 2014)

George Soraya, senior consultant Bank Dunia, pernah ngomel karena jalan yang dibangun dua tahun yang lalu telah rusak parah. Jalan tersebut terletak di kawasan  Kelurahan Sukaresmi ,Kecamatan Tanah Sareal, Kota  Bogor yang dibangun dari dana PNPM (Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat) yang berasal dari Bank Dunia. Atas pertanyaan George Soraya, Lurah Sukaresmi mengaku, bahwa jalan raya tersebut dibangun dengan dana PNPM yang diterima sebesar Rp 15 juta tetapi kenyataannya menghabiskan Rp. 19 juta dan pelaksanaan pengerjaannya dilakukan oleh masyarakat sendiri. Berita tersebut dimuat di Harian Republika edisi 28 April 2010 dengan judul :”Jalan Rusak, Bank Dunia Ngomel”. Terakhir, pemerintah menyatakan tanggap darurat untuk memprioritaskan perbaikan jalan yang rusak parah akibat bencana alam khususnya banjir yang disaksikan langsung oleh Presiden SBY bersama tim kabinetnya ketika kunjungan kerja ke Jawa Barat dan Jawa Tengah awal pekan Februari 2014 ini.

Kasus jalan  rusak sebenarnya banyak sekali terjadi. Tetapi seringkali tidak muncul ke  permukaan  karena masyarakat umumnya mendiamkan masalah pelayanan publik yang sebenarnya banyak yang  tidak memuaskan. Seharusnya seluruh masyarakat Indonesia mencontoh pejabat Bank Dunia tersebut. Yang selalu mengawasi dan mengontrol fasilitas umum yang dibiayai dari dana rakyat melalui pembayaran pajak, apalagi kalau berasal dari utang. Kesadaran bernegara sebagaimana dicontohkan oleh Senior Consultant Bank Dunia itu seharusnya menjadi budaya bagi seluruh masyarakat Indonesia , apapun statusnya . Tujuannya adalah agar pelaksanaan
pembangunan dapat berhasil dengan sangat memuaskan, bukan asal tambal sulam seperti apa yang dikesankan selama ini.

Jalan Rusak
Jalan rusak hampir dapat kita temui di semua ruas jalan dari Sabang sampai Merauke. Apabila kita membaca dengan seksama pemberitaan di media massa, hampir selalu ada berita mengenai jalan yang rusak, dari yang ringan sampai yang parah. Pada hal ,jalan raya adalah urat nadinya perekonomian  dan berbagai kegiatan lainnya bagi masyarakat. Tetapi kenyataannya ,di Ibukota Negara  Jakarta saja  masih sering terjadi kecelakaan lalulintas yang disebabkan oleh jalan yang rusak.
Ada beberapa sebab kenapa jalan mudah sekali rusak. Tetapi apabila dibuat pembuktian terbalik, ujung-ujungnya adalah disebabkan oleh ulah korupsi. Mengenai hal ini ada contoh menarik yang bisa dikemukakan untuk pembelajaran, yaitu ketika perbaikan ruas jalan utama Surabaya – Gresik  pada tahun 1973/1974 yang lalu. Jalan raya yang merupakan uratnadi perhubungan antar kota itu seringkali rusak parah sehingga sangat mengganggu kelancaran lalulintas. Ketika perbaikan, pelaksananya adalah kontraktor dari Korea Selatan yang terlihat karena  papan namanya denga huruf Korea serta bahasa Inggris terpampang dengan jelas di lokasi proyek. Pada waktu itu, mahasiswa Surabaya protes kepada  pemerintah karena dinilai tidak melibatkan perusahaan dalam negeri untuk perbaikan jalan tersebut. Oleh Pemda, para aktivis mendapat penjelasan ,bahwa perbaikan jalan tersebut dibiayai oleh Bank Dunia. Sebagai penyandang dana, Bank Dunia mempersyaratkan agar pelaksana proyek hanya boleh memilih perusahaan dari Jepang, Korea Selatan atau Taiwan. Kebetulan pemenangnya adalah kontraktor dari Korea Selatan. Dijelaskan juga kepada para mahasiswa bahwa bangsa Indonesia harus malu karena tidak dipercaya oleh Bank Dunia. Alasannya, karena kalau proyek tersebut dikerjakan oleh kontraktor Indonesia, dikhawatirkan bukan jalan-raya”nya yang bagus, tetapi para pemegang proyek dan pelaksanalah yang akan makmur karena dikorupsi. Dan kenyataannya, setelah proyek selesai, ruas jalan tersebut memang sangat bagus dan bisa bertahan lebih lama. Padahal sebelumnya, setiap 3 sampai 6 bulan sudah harus diperbaiki lagi. Bagi pengguna jalan yang melintasi proyek  pada waktu itu sering mengamati apa keistimewaan kontraktor Korsel dalam memperbaiki jalan tersebut. Yang  sangat menonjol dan sering menjadi pembicaraan, adalah karena orang Korselnya selalu terlibat langsung dan melakukan supervisi di lapangan dengan cermat. Pasir dan batunya .terlihat selalu dicuci dengan  disiram air sebelum digunakan.
Kasus di atas agaknya masih relevan dikemukakan sebagai bahan rujukan untuk mengevaluasi mutu jalan di tanah – air kita saat ini. Yang perlu diwaspadai adalah dugaan terkait perilaku korupsi yang dapat berakibat menggerogoti mutu jalan raya di sekitar kita dengan modus yang standar dan merata di seluruh tanah-air serta dilakukan berulang-ulang tanpa ada yang mengoreksi. Beberapa perilaku buruk itu dapat dikemukakan berikut ini.
      Pertama, seringkali jalan dibuat tanpa saluran air atau got sehingga cepat rusak karena genangan air yang terjadi sewaktu musim hujan. Kalau toh dibuat saluran got,biasanya dikerjakan tidak simultan atau tidak bersamaan ketika  pembangunan jalan. Tujuannya ,supaya proyek selalu ada terus. Proyek pembenahan sistem drainase ini sering dijadikan alasan para Pemda di mana-mana yang ujung-ujungnya bisa diduga karena kesengajaan atau kurangnya pemahaman terhadap pentingnya saluran air pada setiap ruas jalan.
       Kedua, mutu bahan yang sering dipalsu atau dikurangi porsinya. Jangan dikira,bahwa batu dan pasir juga sangat mudah dipalsu atau ditukar mutunya. Apalagi aspalnya, seringkali dipalsu atau dicampur dengan komponen Bahan Bakar Minyak khususnya jenis residu atau minyak bakar dengan dalih untuk pengenceran. Sebagai akibatnya, daya rekat aspal menjadi berkurang dan mudah lumer ketika musim kemarau. Porsi bahan yang dikurangi bisa berakibat kepada ketebalan yang tidak memenuhi syarat dan pasti berakibat mengurangi kekuatan jalan-raya. Pengurangan porsi bahan ini juga bisa terjadi pada jalan beton yang dibuat dengan perekat semen.
       Ketiga, mutu pengerjaan. Ini menyangkut teknologi, mutu SDM dan sistem pengerjaannya. Mutu SDM walaupun hebat , tetapi kalau jiwanya korup ,tahu beres dan tidak pernah mau mengawasi langsung di lapangan, maka teknologi dan sistem .yang baik  akan bisa dengan mudah dilanggar. Yang ideal adalah, teknologi dan sistem pembuatan jalan yang baik , dijalankan oleh SDM yang bermutu dan bertanggungjawab kepada diri sendiri, profesi, masyarakat, negara dan Tuhan.
        Keempat,karena lemahnya pengawasan sejak perencanaan hingga pelaksanaan selama proyek berjalan. Kelemahan ini bisa terjadi karena praktek kongkalikong atau bisa karena kurang profesional sehingga tidak tahu apa yang harus dikritisi dan tidak tahu bagaimana mengawasinya. Bahkan bisa dikesankan ,Pemda dan instansi yang terkait tidak pernah mengawasi proyek yang sedang berjalan sehingga hasil akhirnya umumnya sangat mengecewakan. Seringkali kita mempertanyakan , kenapa sih Gubernur, Bupati, Walikota dan jajarannya kok seolah-olah tidak pernah meninjau proyek pembuatan atau perbaikan jalan yang sedang dikerjakan. Sehingga sering kita rasakan, pembangunannya lamban, tidak beraturan, sepotong-sepotong dan terkesan tidak pernah ada yang menegur atau memperingatkan.
        Kelima, pembangunan jalan seringkali tidak terintegrasi  dengan baik bersama instansi lain. Jalan yang sudah baik tiba-tiba digali untuk pemasangan kabel listrik, telkom, saluran air dan keperluan lain tetapi kemudian tidak dipulihkan lagi seperti keadaan asalnya.
         Keenam, masyarakat hanya mendiamkan semua keadaan di atas, seolah semuanya itu sudah biasa dan wajar-wajar saja. Paling banter masyarakat hanya bisa ngedumel atau mengeluh tanpa tahu apa yang harus diperbuat. Berita di media massa pun hampir tidak pernah mendapat tanggapan dengan cepat ,cekatan dan benar oleh Pemerintah  Pusat maupun Pemerintah Daerah.

Itulah wajah tanah-air kita dari penggalan yang namanya jalan raya yang merupakan urat nadi perekonomian dan prasarana vital suatu bangsa. Pada hal ada petunjuk dan nasehat  yang sangat populer yang menyatakan bahwa mutu suatu bangsa itu antaralain ada di jalan-raya. Karena dari mutu jalan-raya dapat  mencerminkan seberapa jauh mutu kejujuran, keahlian, kesungguhan dan tanggungjawabnya  terhadap profesi oleh para pelaku dan pemangku kepentingan dari masa perencanaan sampai ke pelaksanaan proyek pembuatan jalan. Termasuk di dalamnya adalah yang menyangkut mutu trotoar, sistem drainase, rambu-rambu lalu-lintas, marka jalan dan berbagai perangkat jalan-raya lainnya.

Dan tentunya, semua ini adalah menjadi tanggung jawab Pemerintah dalam melayani rakyatnya yang dituntut lebih profesional agar tercipta kenyamanan,dan keamanan secara terus menerus dalam berbagai sektor, di mana saja dan kapan saja, termasuk di “jalan-raya”. *****.

(ditulis oleh Muhammad Sadji pada tahun 2012 di blog yang sama)

Minggu, 19 Januari 2014

Menghindari Banjir, Bukan Menanggulangi !

Salah satu masalah Ibukota Jakarta yang selalu muncul setiap tahun adalah banjir. Karena adanya sungai  besar yang melalui Ibukota, maka sudah dapat dipastikan bahwa banjir akan selalu datang manakala datang hujan lebat dalam waktu yang cukup lama. Apalagi dalam kondisi Ibukota seperti sekarang ini, banjir penduduk yang datang dari berbagai penjuru tanpa kendali. Dari mereka yang bermodal kuat dan maniak memupuk kekayaan, sampai orang-orang yang hanya bermodal dengkul.
Orang-orang kuat membanjiri Ibukota dengan gedung-gedung bertingkat, sementara orang-orang lemah menduduki lahan-lahan kosong seenaknya. Kedua-duanya dalam banyak hal sama-sama tidak memperhatikan aspek lingkungan dan mengabaikan kepentingan umum. Kalau demikian, layakkah Gubernur Jokowi ditimpakan kesalahan ketika terjadi banjir hebat seperti sekarang ini ?
        Apa yang sudah dilakukan oleh Gubernur Jokowi adalah merupakan penanggulangan terhadap masalah akut yang bukan mustahil ditimbulkan oleh penguasa sebelumnya yang dengan mudahnya memberikan perijinan kepada para pemodal, dan tidak tanngap  terhadap perubahan lingkungan permukiman di wilayah nya. Sudah barang tentu, menanggulangi akan jauh lebih sulit sebagaimana seorang dokter mendiagnose suatu penyakit akut yang diderita seseorang. Yang menjadi masalah sekarang adalah, bagaimana menghindari banjir  di samping berupaya menanggulangi segala sesuatu yang sudah terjadi. Langkah ini perlu kesadaran dan kemauan semua pihak, dari masyarakat kecil sampai para penguasanya. Langkah-langkah tersebut adalah meliputi, pertama : perlunya berpikiran pindah atau dipindahkan bagi masyarakat langganan banjir ke tempat yang lebih aman, jauh dari potensi kebanjiran. Kedua, mencegah urbanisasi melalui kerjasama dengan daerah-daerah lain di Indonesia. Ini perlu dirumuskan bentuknya, karena banjirnya urbanisasi merupakan salah satu penyebab banjir bah di Ibukota. Ketiga, penggalakan program Keluarga Berencana (KB) khususnya di kalangan kawasan kumuh dan di bantaran sungai. Beranak-pinak tanpa kendali dan tidak lagi terjangkau program KB adalah juga merupakan pemicu bahaya banjir. Keempat, adalah pemberian informasi secara terus menerus kepada seluruh masyarakat mengenai masalah dan bahaya banjir. Informasi yang intensif dan efektif mengenai masalah dan bahaya banjir ini sangat penting agar Pemerintah tidak selalu disalahkan manakala banjir kembali menimpa mereka. Kelima, dan inilah yang sangat penting yaitu, perlunya dicanangkan atau dibentuk "Polisi Sampah" yang bertugas mengawasi, menangkap dan menghukum para pembuang sampah, sekali pun sampah itu hanya berwujud puntung rokok.Polisi Sampah ini bisa terdiri dari anggota TNI/POLRI/Satpol PP yang tugasnya bukan memunguti sampah seperti yang selama ini pernah mereka lakukan, melainkan berada di seluruh kawasan Ibukota selama 24 jam untuk mengawasi para pembuang sampah. Gubernur DKI Jakarta perlu menggalang kerjasama ini dengan memanfaatkan TNI/POLRI di masa damai untuk berperang melawan sampah, sekaligus mengurai dan mengawasi kemacetan melalui program tertib berlalu-lintas. Program semacam ini apabila bisa terlaksana, bukannya diadakan hanya sebatas hangat-hangat tahi ayam, melainkan secara terus-menerus sekurang-kurangnya selama satu tahun tanpa berkedip. Dengan langkah demikian, diharapkan akan tercapai penampilan Ibukota Republik Indonesia yang tertib, bersih, bermartabat dan berwibawa, bukan seperti sekarang ini yang jorok, kusam dan tampak wajah bobroknya  ketika setiap kali banjir datang.
       Bravo pak Jokowi, ini usul dan saran saya ! Bangunlah etika masyarakat DKI dari sekarang untuk menghindari banjir dan menyongsong "Jakarta Baru" yang Betawi (bersih, bermartabat, manusiawi).*****