Entri yang Diunggulkan
GENERASI PENDOBRAK JILID III
Harian Rakyat Merdeka terbitan 20 April 2010,memuat artikel dengan judul “Bodoh Permanen” yang ditulis oleh Arif Gunawan. Tulisan tersebut...
Minggu, 03 Maret 2019
Proxy War Sebagai Ancaman Bangsa Indonesia
Jenderal Gatot Nurmantyo sewaktu menjabat sebagai Panglima TNI, dalam berbagai kesempatan telah mengidentifikasi isu proxy war yang merupakan ancaman utama bagi bangsa Indonesia pada abad ke 21 ini. Proxy war adalah perang dimana pihak yang berkepentingan tidak ikut terlibat langsung pada saat perang tersebut terjadi, tahu-tahu mendapatkan keuntungan dan manfaat dari hasil peperangan itu. Pada hal, perang adalah upaya suatu bangsa atau negara untuk melumpuhkan bangsa atau negara lain. Tujuannya bermacam-macam, antara lain karena ingin menguasai bangsa lain untuk mengangkangi kekayaan alamnya atau akan mengangkangi pasar potensialnya. Juga, untuk menguasai geopolitik maupun geostrategisnya serta membuat suatu bangsa atau negara lain tetap dalam keadaan tak berdaya, merana, walau pun sebernarnya kaya raya. Dalam proxy war, negara yang berkepentingan, memanfaatkan potensi konflik di negara sasaran, misalnya isu sara, melumpuhkan otak dan raga melalui penyebaran narkoba, miras, dan pornografi serta maraknya perilaku KKN sehingga terciptanya ketidak adilan yang menyebabkan timbulnya kerawanan kesenjangan dan konflik sosial yang berkepanjangan. Apabila ditelaah lebih dalam dan jujur, agaknya tidak usah menunggu abad 21, sekarang pun, dan bahkan sebelumnya, sebenarnya bangsa Indonesia sudah merupakan korban proxy war. Perang dingin antara Blok Barat dan Blok Timur yang timbul setelah berakhirnya Perang Dunia II telah membuat Indonesia menjadi sasaran perebutan kedua kubu tersebut karena kekayaan alamnya yang beraneka ragam serta letak geografisnya yang sangat strategis. Berbagai pemberontakan yang terjadi setelah proklamasi kemerdekaan tanggal 17 agustus 1945, bukan mustahil merupakan ulah proxy war kedua kubu tersebut. Pemberontakan DI/TII di Jawa Barat/Aceh/Sulawesi Selatan, PKI Madiun, PRRI/ Permesta dan berbagai gerakan seperatisme telah berhasil diatasi dengan pengorbanan yang tidak sedikit. Tetapi puncaknya, pemberontakan G30S yang terjadi pada tahun 1965 telah merubah segala tatanan bernegara dan berbangsa. Menurut Presiden Soekarno sebagaimana yang disampaikan dalam pidato pertanggung jawaban kepada MPRS, bahwa peristiwa G30S bisa terjadi karena tiga sebab, yaitu keblingernya orang-orang PKI, adanya oknum yang tidak bertanggung jawab dan karena kelihaian neokolonialisme. Padahal pada waktu itu, Presiden Soekarno sedang mencanangkan Ganyang Malaysia dengan membantu kelompok di Kalimantan Utara yang ingin merdeka, tidak mau bergabung dengan Malaysia yang dibentuk Inggris ketika proses dekolonisasi. Boleh jadi, Presiden Soekarno ingin memanfaatkan momentum dekolonisasi itu untuk mencaplok Kalimantan Utara sehingga tercapai dan terwujudnya keutuhan pulau Kalimantan. Apalagi Presiden Soekarno pada tahun 1957 telah menggagas menetapkan Palangkaraya di pulau Kalimantan sebagai ibukota RI pengganti Jakarta.
Pasca peristiwa G30S, keadaan dan situasi Indonesia berubah demikian cepat. Kehidupan perekonomian demikian sulit dan bunuh-membunuh sesama anak bangsa di berbagai tempat menjadi biasa dan tidak tersentuh hukum. Kesulitan ekonomi ini boleh jadi karena pergulatan yang panjang dalam rangka mengatasi berbagai pemberontakan di dalam negeri dan perjuangan merebut Irian Barat (Irian Jaya) serta bukan mustahil merupakan rangkaian sabotase nasional oleh sindikat yang bermaksud merebut kekuasaan secara merangkak. Demonstrasi massa terjadi dimana-mana disertai pengrusakan. Dalam keadaan terpaksa atau dipaksa, Presiden Soekarno mengeluarkan Surat Perintah tanggal 11 Maret 1966 (tetapi tidak bernomor) yang memerintahkan Jenderal Suharto untuk memulihkan keadaan dan ketertiban serta kewibawaan pemerintah. Ironisnya, dengan SP 11 Maret lah pemerintahan Presiden Soekarno terguling dan semuanya kemudian berubah dengan drastis. Munculah rezim baru yang menyebut dirinya sebagai Orde Baru. Mereka menyebut rezim sebelumnya (Presiden Soekarno) sebagai rezim Orde Lama, padahal mereka juga ada dalam struktur pemerintahan sehingga dalam kasus ini bisa dikatagorikan sebagai menggunting dalam lipatan alias berkhianat. Rezim baru ini dimotori oleh militer dan kelompok ekonom yang sering disebut sebagai mafia Berkeley. Diantara kelompok ini ada Prof.Dr.Ali Wardhana yang telah meninggal dunia beberapa waktu lalu. Di tangan mereka inilah Indonesia memasuki zaman neoliberal dan neokapitalisme sebagai antitesa berdikarinya Bung Karno dan Pembangunan Nasional Semesta Berencana tahap I yang sedang berjalan dari tanggal 1 Januari 1961 sampai dengan 31 Desember 1969. Puja-puji disampaikan dari berbagai kalangan untuk Prof. Ali Wardhana bahkan Mari Pangestu dalam tulisan abituarinya yang dimuat sebuah harian ibukota melontarkan kata-kata: “..... apa jadinya Indonesia tanpa dia”.
Agaknya banyak orang mendustakan keadaan yang sebenarnya. Padahal buah karya mereka sudah jelas, butuh waktu lebih dari tiga dekade dengan kekayaan alam terkuras oleh bangsa asing, KKN merajalela di berbagai sektor, hutang dan besarnya dana yang dikorbankan serta ribuan gedung sekolah yang dibangun mutunya tidak memenuhi syarat dari segi mutu bangunan dan bahan bangunan, luas lahan serta tata ruangnya, dan mudah rusak yang terkadang mencelakai anak murid yang sedang belajar. Ironisnya lagi, dalam kurun waktu selama itu Indonesia masih berada di landasan (bukan tinggal landas seperti yang selalu dikhayalkan), ekspor TKI/TKW yang sering dilecehkan bangsa lain, dan ekspor asap yang terjadi secara rutin sejak tahun 1997 sampai sekarang. Asap itu sebagai akibat kebakaran hutan yang telah dibabat secara membabi buta karena pembangunan yang indah dalam konsep tetapi ngawur dalam pelaksanaannya. Asap itu meracuni anak bangsa kita yang akan berpengaruh terhadap kesehatan serta kemampuan berpikirnya. Alhasil, itulah nasib suatu bangsa korban proxy war melalui kaki tangannya yang ada di dalam negeri yang secara tidak sadar justru sering kita puja-puji setinggi langit.. Kondisi bangsa Indonesia saat ini sebagaimana dinyatakan oleh Menteri Koordiantor Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (MENKO PMK) baru-baru ini bahwa penduduk Indonesia diperkirakan mencapai 255 juta orang tetapi menghadapi masalah yang sangat memprihatinkan dalam berbagai hal. Kesenjangan sosial adalah merupakan masalah yang utama karena 20% kelas atas menguasai hampir 50% konsumsi perekonomian Indonesia, sedangkan penduduk kelas terbawah yang jumlahnya mencapai 40% hanya menguasai 20% konsumsi perekonomian. Pada saat ini 45% penduduk Indonesia memiliki kemampuan pengeluaran hanya Rp 500.000 per bulan. Menko Puan juga menyebutkan, jumlah penduduk yang menganggur atau sama sekali tidak bekerja saat ini diperkirakan berjumalah 7,2 juta jiwa dan lebih kurang 40 juta lainnya masih harus berjuang untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih layak. Apalagi laju pertumbuhan penduduk Indonesia masih sulit dikendalikan dengan angka kelahiran bayi mencapai 4,5 juta bayi per tahun (Rakyat Merdeka 22/09/2015).
Sementara itu Wakil Preiden Yusuf Kalla dalam penutupan Rakernas dan konsolidasi pemenangan pilkada partai Nasdem di Jakarta pada tanggal 22 September 2015 mengingatkan bahwa berpolitik, termasuk mengikuti pemilihan kepala daerah adalah bertujuan untuk membayar utang kepada masyarakat dengan melayani rakyat apabila memenangi pemilihan. Bagi seseorang yang merasa sudah banyak menerima dari Indonesia, maka berpolitik adalah untuk membayar utang kepada masyarakat, berpolitik dan memimpin itu untuk memajukan rakyat, bukan menggunakan perhitungan untung rugi. Menurut Wapres, bangsa Indonesia terlalu besar untuk tidak mengalami kemajuan. Berpartai dan berpolitiklah dengan kesadaran tidak untuk diri pribadi. Berpolitiklah untuk mengurus daerah, generasi muda dan masyarakat kita di kampung-kampung. Berpolitik untuk mendapatkan rahmat Tuhan (Kompas, 23/09/2015). Dalam hal ini berpolitik tidak dalam rangka berbuat penyelewengan dan berbuat dosa karena seluruh bangsa yang juga terkena azab, bencana, dan kutukan.
Sementara itu, anggota majelis tinggi partai Nasdem Lestari Moerdijat mengatakan, bahwa Nasdem tetap berpegang pada komitmen sejak didirikan, yaitu sebagai gerakan perubahan, restorasi Indonesia, yang menjunjung tinggi molaritas, integritas, dan kejujuran serta mewujudkan tegaknya hukum di Indonesia. Sikap partai Nasdem yang terbuka, transparan, dan konsisten dalam setiap menegakkan hukum (Jawa Pos, 26/09/215).
Agaknya, pesan Wapres Jusuf Kalla, data yang pernah disampaikan oleh Menko Puan Maharani, serta sikap tokoh partai Nasdem di atas, bisa diadopsi oleh semua Parpol dan Ormas yang hidup di Indonesia dan diterapkan secara konsisten serta bertanggungjawab dalam rangka kewaspadaan dan menangkal ancaman proxy war yang terus mengintai dan membayangi bangsa Indonesia.*****
.
.
tulisan ini dimuat di Koran Sindo tanggal 9 Januari 2019.
Rabu, 13 Februari 2019
Indonesia Juga Darurat Sampah
Sugih Arto yang menjabat Jaksa Agung pada masa awal rezim Orde Baru, pernah menulis surat pembaca di sebuah harian ibukota. Dia mengungkap bahwa suatu ketika dipanggil Presiden Sukarno yang memberi tahu bahwa dia akan diangkat sebagai Gubernur DKI tetapi dengan tugas utama mengatasi sampah yang sudah mulai memprihatinkan kondisi ibukota saat itu. Sugih Arto menggerutu, masak seorang gurbenur kok tugasnya mengurusi sampah. Di kemudian hari, yang diangkat sebagai Gubernur DKI Jakarta ternyata Ali Sadikin. Disini terbukti bahwa hanya Sukarno dan Jokowi, Presiden RI yang sangat tanggap terhadap masalah sampah. Presiden Jokowi bahkan pernah menyampaikan masalah ini dalam suatu sidang kabinet. Juga di Festival Khatulistiwa di Pontianak, Presiden Jokowi baru-baru ini menyatakan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang mempunyai tradisi air, oleh karena itu jangan kotori sungai-sungai kita.
Indonesia memang benar-benar mengalami darurat sampah, di samping darurat korupsi dan darurat narkoba sebagaimana yang sudah terlebih dahulu dinyatakan oleh Presiden Jokowi. Cobalah mari kita perhatikan, sampah ada dimana-mana. Di darat, di laut dan sungai, bahkan di udara pun banyak sampah. Bangkai layang-layang yang nyangkut dikabel listrik dan kabel telpon adalah merupakan sampah udara yang hanya terdapat di negeri yang kurang beradab dan kurang mengerti tentang pentingnya hidup bersih dan rapi. Bahkan terkesan banyak orang yang kurang kerjaan di negeri ini, diperkotaan kok main layang-layang.
Berbagai cara telah dilakukan untuk menanggulangi sampah. Peraturan Daerah (Perda) dimana-mana telah dibuat dengan berbagai ancaman sanksinya, tetapi tidak membawa hasil karena tidak jelas siapa yang harus mengawasi dan siapa yang berhak mewasiti para pelanggar Perda itu. Beberapa elemen masyarakat termasuk unsur TNI/POLRI secara dramatik sering show bergotong-royong membersihkan sampah di sungai dan ditempat umum. Tetapi sesudah itu sampah menumpuk lagi diberbagai sudut. Kalau begini, mana ada turis asing yang mau datang kemari. Pada hal kita ingin meningkatkan jumlah wisman itu ke tanah air kita. Kecuali barangkali hanya orang-orang yang ingin menikmati kejorokan suatu bangsa saja yang mau datang kemari.
Anak saya yang mengikuti les bahasa Inggris di LIA pernah bercerita. Ada seorang native speaker yang ketika diminta kesan-kesannya tentang Indonesia, secara mengejutkan dia menyebut Indonesia sebagai tempat/tong sampah terbesar di dunia karena semua penduduknya membuang sampah sembarangan dan seenaknya. Tentunya kita semua patut malu mendengar kesan negatif orang asing itu. Lalu bagaimanakah cara kita mengatasi darurat sampah yang sudah kronis ini?
Sebenarnya, ada teladan dari Korea Selatan yang dapat kita adopsi. Ini pernah diterapkan ketika Korsel akan menjadi tuan rumah Olympiade pada tahun 1988 yang lalu. Dua tahun menjelang pelaksanaan pesta olahraga internasional itu, pemerintah Korsel mengerahkan militer untuk mengawasi para pembuang sampah terutama yang mengotori sungai besar di Seoul. Sungai itu kelak dijadikan arena pembukaan Olympiade dengan mengetengahkan arak-arakan tentara kerajaan Korsel masa lampau yang menyusuri sungai besar di Seoul. Hukuman yang keras dan denda yang diterapkan secara konsisten selama 2 tahun berturut-turut tanpa berkedip dan melibatkan tentara, akhirnya budaya bersih bisa terwujud seperti sekarang ini. Nah, akankah Indonesia meniru jejak Korsel itu dengan memanfaatkan anggota TNI/POLRI pada masa damai ini bertugas memerangi pembuang sampah dan sekaligus menjaga ketertiban di jalan raya? Peran anggota TNI/POLRI atau termasuk SATPOL PP bukannya memunguti sampah seperti dalam acara seremonial yang sering kali kita lihat, melainkan harus bisa mengawasi, menangkap dan menindak para pembuang sampah di manapun, kapanpun dan sekecil apapun termasuk puntung rokok, dan tentu saja termasuk pengawasan terhadap dirinya sendiri. Apalagi Gubernur DKI Jakarta pernah mengusulkan akan memberikan tunjangan tambahan kepada anggota TNI/POLRI yang bertugas di DKI dengan harapan dapat membantu penertiban di Ibukota agar bisa menjadi kota yang bersih, aman, rapi, teratur dan beradab.
Dan sejalan dengan usulan Pemda DKI Jakarta tersebut, penulis ingin mengusulkan penerapan Padat Karya Tunai Penanggulangan Sampah (PKTPS) seperti yang sudah dijalankan di sektor pertanian di beberapa daerah. Pelaksana padat karya tersebut adalah para pasukan pembersih sampah (pasukan Oranye) dan para pemulung yang tersebar luas di seluruh tanah-air. Mereka dengan dibantu unsur TNI/POLRI dan Satpol PP mengawasi serta menertibkan para pembuang sampah dan bekerja selama 24 jam secara terus menerus, serta mengajari masyarakat tertib sampah sejak dari rumah dengan memilah jenis sampah berdasarkan warna plastik yang berbeda-beda (empat warna seperti di Singapura dan Jepang). Adanya tata kerja yang sinergi antara Petugas Kebersihan/Pemulung dan unsur TNI/POLRI serta Satpol PP yang mendapatkan tunjangan tambahan, diharapkan akan tertanggulangi masalah darurat sampah yang sudah pada tahap sangat memalukan ini; akan meningkatkatkan daya tarik pariwisata mancanegara karena kondisi lingkungan yang indah, bersih, rapi dan teratur; mengurangi bahaya banjir karena sampah; serta memungkinkan timbulnya kepastian dan peningkatan penghasilan bagi para aktivis penanggulangan sampah (Pasukan Oranye dan Pemulung). Dan memang, inilah yang sangat penting untuk menjadi perhatian para penguasa sebagai Administrator Pemerintahan.*****(Penulis adalah pemerhati masalah sosial dan lingkungan hidup, lulusan S-2 FISIP Universitas Indonesia)
-
-
tulisan ini dimuat di koran Sindo tanggal 26 Desember 2018 dengan judul yang sama.
Kamis, 27 September 2018
Kesiapan Penyelenggaraan Asian Games 2018 dan Sampah
(artikel ini pernah dikirim ke media massa cetak pada akhir Juli 2018, tetapi tidak ada yang memuat)
Sebentar lagi bangsa Indonesia menjadi tuan rumah perhelatan akbar Asian Games 2018 yang akan dibuka pada tanggal 18 Agustus 2018. Suatu angka yang menarik karena mengandung angka kembar 18-8-18, yang semoga membawa keberuntungan terutama terhadap prestasi olahraga (semoga bisa menyamai prestasi pada AG IV di Jakarta pada tahun 1962 yang lalu), serta bisa meningkatkan industri pariwisata di Indonesia. Oleh karena itu, pada acara pembukaan nanti di Stadion Utama Gelora Bung Karno (SU GBK) akan ditampilkan konsep keindahan alam dan keberagaman budaya asli Indonesia.
Konon, Gubernur DKI Jakarta dan Gubernur Sumatera Selatan menyatakan telah siap untuk menjadi tuan rumah yang baik karena semua prasarana/venue olahraga telah selesai/siap selesai pada waktunya untuk digunakan.. Mungkin ini semua ada benarnya, tetapi menurut pengamatan penulis, kota penyelenggaranya banyak yang belum siap, khususnya untuk DKI Jakarta. Trotoar di Pal Merah dekat komplek perkantoran Kompas misalnya, banyak yang masih berupa nahtu (tanah dan batu) yang didak nyaman bagi para pejalan kaki. Juga di Pejambon seberang Stasiun Gambir, Lapangan Banteng dan beberapa lokasi strategis banyak yang belum rampung dan belum rapi. Takutnya nanti dikerjakan asal jadi dan kurang bermutu karena hasil dari perilaku kejar tayang. Apa nanti kata dunia, pada hal DKI Jakarta dipimpin oleh Gubernur dan Wakil Gubernur yang kebetulan pernah belajar bertahun-tahun di Amerika Serikat. Sandainya benar-benar merupakan sosok yang ahli pembelajar, pasti dalam waktu yang singkat bisa menerapkan etos kerja dan mutu hasil kerja seperti di lingkungan tempat mereka menimba ilmu di masa lalu, ketika mereka masih pemuda-mahasiswa yang tentunya masih sangat enerjik dan penuh idealism.
Belum lagi masalah sampah. Walaupun Gubernur Anies Baswedan pernah memberikan contoh dengan blusukan memunguti sampah, tetapi nyatanya rakyat dan masyarakatnya sama sekali tidak peduli, dan tidak berhasil menciptakan budaya sadar sampah bagi masyarakatnya. Sampah ada di mana-mana, jorok dan tidak elok dipandang mata. Maka tidak heran, kalau di Jakarta kita jarang melihat turis asing berkeliaran di jalanan seperti yang kita lihat di Singapura atau Kualalumpur atau Bangkok sesuai pengalaman langsung penulis ketika berkunjung ke tiga kota tersebut beberapa waktu yang lalu.
Waktunya mungkin masih belum terlambat. Negeri gen kuning saja (Korea Selatan dan Tiongkok) mempersiapkan dalam waktu dua tahun untuk mendidik rakyatnya agar menjadi tuan rumah yang ramah dan sadar lingkungan bersih.
Penulis mengusulkan, agar dalam waktu yang singkat ini diterapkan “Padat Karya Tunai Pasukan Oranye” seperti halnya “Padat Karya Tunai Pertanian ” yang sudah diterapkan dengan baik dan berhasil meningkatkan pendapatan petani di berbagai tempat di tanah air. Pasukan Oranye tersebut sebaiknya direkrut dari para pasukan oranye (petugas kebersihan) yang sudah ada ditambah dengan para pemulung dan diawasi oleh Satpol PP/Anggota TNI dan POLRI yang sudah mencanangkan dan bertekad siap menyukseskan serta mengamankan Asian Games 2018. Dalam hal ini Satpol PP/Anggota TNI/POLRI khusus bertugas mengawasi perorangan dan masyarakat pembuang sampah sembarangan, menangkap dan menghukum sesuai PERDA yang berlaku. Masak ada Peraturan Daerah kok seperti tidak ada manfaatnya, akibatnya ibukota negara kok jorok, kumuh dan memalukan. Sehingga benar kata putri penulis yang pernah mengikuti kursus Bahasa Inggris di LIA. Konon ada native speaker yang ketika ditanya apa kesannya tentang Indonesia. Dikiranya si cewek bule itu akan bicara tentang negeri yang indah dan ramah seperti yang selama ini sering kita gembar-gemborkan; tetapi ternyata dia bilang dengan nada mengejek, bahwa Indonesia adalah “negeri keranjang/tong sampah terbesar di dunia, karena semua orang membuang sampah seenaknya tanpa merasa bersalah apalagi berdosa”. Pada hal selalu terdengar dakwah yang menyatakan :”Kebersihan adalah merupakan setengah daripada iman”.
Agaknya, perlu pak Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta beserta jajarannya selalu rajin blusukan untuk membangun masyarakat yang beradab terutama dalam hal mengelola sampah. Dan metode penanggulangan sampah seperti yang penulis usulkan tersebut bisa diterapkan di seluruh Indonesia dalam rangka membangun mutu SDM yang dimulai dari sampah, yang sekaligus dalam rangka meningkatkan industri pariwisata karena lingkungan nan bersih dan nyaman. *****
Minggu, 22 Januari 2017
Dentuman Meriam di Lapangan Monas
Pada tahun 2006, saya pernah menulis surat
pembaca di berbagai media massa, mengusulkan agar dentuman meriam di Lapangan Monas
dihentikan, karena dikhawatirkan dapat merusak bangunan Monas dan bangunan
cagar budaya lain di sekitarnya. Seperti diketahui, setiap kali menyambut tamu
negara selalu diberikan tembakan Meriam
sebanyak 19 sampai 21 kali, dan untuk perayaan HUT Kemerdekaan RI diberikan
tembakan sebanyak 17 kali.
Usul saya tersebut diilhami oleh kebijakan
Pemerintah India yang pernah melarang konser music di kawasan Taj Mahal, karena
dikhawatirkan getarannya dapat merusak bangunan yang sangat mereka (dan dunia)
banggakan itu. Perlu saya sampaikan juga, bahwa sewaktu saya berkantor di Jalan
Medan Merdeka Timur, apabila ada tembakan Meriam di lapangan Monas, dnding dan
jendela kantor selalu bergetar. Maka dapat dibayangkan apa yang terjadi pada
bangunan Monas, Istana Kepresidenan dan lain-lain. Saya mengusulkan agar
peringatan detik-detik proklamasi cukup disambut dengan bunyi sirene dan bedug
di Masjid Istiqlal dan masjid di kawasan istana kepresidenan serta lonceng di
Gereja saja. Sedangkan ketika menyambut tamu negara, sebaiknya tembakan Meriam
diberikan ketika tamu tiba di Lapangan Terbang (Bandara) Halim Perdanakusuma
Dengan langkah tersebut, berarti kita
turut menjaga kelestarian bangunan peninggalan bersejarah oleh pendahulu kita
yang berguna bagi obyek pariwisata dan sebagai penanda zaman, prestasi kerja
serta karya arsitektur yang monumental.
Semoga usulan saya
ini dapat menjadi kajian dan pertimbangan pemerintah!.
Rabu, 04 Januari 2017
Mencari Sahabat Lama
Saya Muhammad Sadji, alumni SMPN I Gresik (1966) dan STM Kimia Industri YWSG
Gresik (1969). Kehilangan jejak teman baik saya yang bernama Hariyanto bin
Suratmo. Dulu pernah tinggal di Kompleks Pegadaian Gresik dan terakhir bekerja
di PT Sasa Probolinggo. Orang tuanya (Keluarga pak Suratmo pensiunan PT
Pegadaian) konon pindah ke Solo.
Pak Haryanto/keluarga/ putra-putrinya
atau saudaranya, mohon hubungi saya (081330762727) untuk menyambung tali
silahturahmi. Terima kasih atas perhatiannya, termasuk kepada siapa saja yang
bisa memberikan informasi mengenai keberadaan pak Hariyanto beserta
keluarganya..Wassalam dari saya : Muhammad Sadji
Sabtu, 24 Desember 2016
Natal Bersama 1996 di Kupang
Pada tahun 1996 /1997 ,
tepatnya Juli 1996 sampai dengan September 1997 saya menjabat sebagai Kepala
Cabang sebuah BUMN di Kupang yang wilayah kerjanya meliputi seluruh wilayah NTT
(Nusa Tenggara Timur) dan Timor Timur.
Menjelang perayaan Natal
1996 datang beberapa orang pemuda – pemudi ke rumah dinas saya. Rupanya mereka
berasal dari Panitia Natal Provinsi NTT. Mereka menyampaikan undangan Natal
Bersama dengan menyodorkan kartu
undangan yang di bagian pojoknya ada bakal potongan dan terdapat tulisan nilai
nominal uang sebesar Rp 1.000.000,-(satu juta rupiah).
Setelah ngobrol sana –
sini dan sempat sejenak berpikir , lalu kepada mereka saya bertanya :” Maaf ,
barangkali diantara anda ada yang tahu
kalau saya keluarga muslim ? .”
Seseorang di antara mereka
menjawab :” Kami tahu Bapak muslim. Karena Bapak adalah pimpinan suatu instansi
maka Bapak kami undang. Mohon maaf bila
Bapak tidak berkenan. “
“ Kalau begitu , saya akan
sekedar menyumbang saja ,ya ! , “ kata
saya kemudian. “ Maaf pak , berapa Bapak akan menyumbang ?,” tanya seseorang
di antara mereka.
Setelah saya menyebut
sejumlah angka tertentu , mereka menyahut bahwa panitia tidak bermaksud meminta
– minta sumbangan.
“ Yang kami minta adalah pertisipasi
Bapak untuk kesuksesan Perayaan Natal Bersama
yang nilainya sudah kami tetapkan, yaitu sebesar Rp 1.000.000; . Kalau Bapak
tidak berkenan , kami mohon diri , pak.”
Saya kemudian sadar dan
malu bahwa dalam rangka toleransi kehidupan beragama, maka saling bantu membantu adalah merupakan budaya
yang harus dijunjung tinggi. Maka saya segera menyahut bahwa saya bermaksud
membantu tetapi uangnya boleh diambil besok sore.
Saya juga sadar bahwa saya
berada di suatu kota dan lingkungan wilayah yang waktu itu saya amati tidak
pernah ketemu atau melihat pengemis atau peminta – minta seperti yang banyak terdapat di Pulau Jawa, misalnya.
Suatu budaya yang lain dari pada yang lain dan saya harus hargai dan hormati.
Sebagai Kepala Instansi ,
saya menghadiri perayaan Natal dan menyambut tahun baru bersama tersebut ,
bersama Gubernur NTT dan jajaran pemerintah propinsi NTT serta para pimpinan
instansi lainnya. Saya mengikuti acara tersebut dengan seksama dari awal acara
hingga selesai, yang disuguhi juga dengan berbagai seni budaya lokal yang kaya
dan menarik. Kesan saya , alangkah indahnya hidup dalam kebersamaan , saling
gotong royong, dan saling menghargai satu sama lain.*** (artikel ini pernah dikirim ke Harian Kompas pada Desember 2011)
Selasa, 20 September 2016
Dicari : Kepala Daerah yang DJAKARTA !
Salah satu hasil reformasi yang gegap gempita di Indonesia adalah dipilihnya Kepala Daerah secara langsung oleh rakyat melalui Pemilukada. Maka berbondong-bondonglah orang yang merasa mampu dan merasa bisa (rumongso biso), mendaftar jadi calon Bupati, Walikota, Gubernur bahkan Presiden. Gambar mereka terpampang dimana-mana dengan berbagai pose dan kata-kata mutiaranya. Lucunya, rata-rata gambar mereka tampil dengan senyum menyeringai bak mempertontonkan taringnya. Anak saya yang masih mahasiswa menyindir, bahwa itu menunjukkan jangan-jangan mereka hanya siap menerkam mangsa atau barang jarahan, alias korupsi.
Mereka berebut ingin dipilih rakyat
dengan berbagai cara, kiat dan tipu dayanya. Sementara rakyat yang umumnya
belum cerdas, bingung bagaimana menentukan pilihannya. Ada kelompok masyarakat yang
secara terang-terangan mengakui bahwa mereka hanya mau memilih calon yang mau
kenal mereka, dan wujud perkenalan itu adalah uang. Siapa yang mengirim utusan
dan mau bagi-bagi uang, berarti dia mau mengenal mereka dan itulah yang layak
dipilih. Sehingga jangan heran apabila ada politik uang di negeri ini selagi
masih ada kemiskinan dan kebodohan.
Terlepas dari sisi negatif tersebut,
kiranya kepada para pemilih perlu diberikan gambaran bagaimana siasat menentukan
pilihan Kepala Daerah yang mendekati kebenaran atau ketepatan, bukan asal pilih
apalagi salah pilih.
DJAKARTA
Beberapa waktu yang lalu, Todung Mulya Lubis menulis artikel di sebuah
harian ibukota yang mengungkap pendapat Lech Walesa (Mantan Presiden Polandia)
mengenai mutu pembangunan suatu bangsa. Pada waktu itu dia sehabis memberikan Presidential Lecture di hadapan Presiden
SBY dan jajaran Kabinet Indonesia Bersatu II. Menurut Lech Walesa, mutu pembagunan
suatu bangsa itu dapat dilihat bagaimana penataan ibukotanya.Sebab, Ibukota
suatu Negara adalah cerminan kondisi suatu bangsa apakah semrawut, jorok,
amburadul atau tertib dan rapih.
Oleh karena itu dalam diskursus ini
penulis ingin mengambil nama “ibukota Negara Kita” sebagai sumber inspirasi,
bagaimana memilih Kepala Daerah yang tepat sasaran. Secara kebetulan, ibukota
RI adalah DJAKARTA (dengan ejaan lama), maka cukup tepat apabila kata itu kita
jadikan istilah umum untuk pedoman mengikuti Pemilukada di Indonesia. DJAKARTA
disini adalah merupakan akronim dari kata kunci: (D)edikasi, (J)ujur, (A)presiatif,
(K)reatif, (A)sih dan (A)suh, (R)amah, (T)egas, (T)rengginas serta (T)eladan dan (A)njangsana.
Dedikasi dimaksudkan, bahwa seseorang
yang mencalonkan diri haruslah yang mempunyai dedikasi terhadap profesinya,
untuk apa dia mencalonkan diri. Layaknya, orang yang punya dedikasi adalah
orang yang profesional dan siap mengabdikan segala jiwa raga dan pikirannya
untuk kepentingan rakyat, daerah dan Negara. Gambaran profesional seorang
kepala daerah adalah tahu segala masalah yang mendesak dan mampu mencari jalan
keluarnya serta berkarakter dan berjiwa pembelajar. Sosok pembelajar adalah
manusia yang selalu mau belajar, bertanya, dan mengamati serta mengikuti dan
mencontoh karya orang lain yang lebih baik.
Jujur adalah tuntutan karakter untuk orang yang punya dedikasi. Dia tidak
akan melakukan kecurangan walaupun punya kesempatan yang seluas-luasnya. Apresiatif adalah gambaran bahwa ia
penganut paham demokratis yang mau mendengar segala pendapat dan ide yang
berkembang dalam rangka membangun daerah dan Negara. Bahwa setiap pemimpin yang
apresiatif harus mampu menggali potensi rakyatnya untuk dikembangkan demi
kemajuan bersama.
Kreatif, bahwa seorang
pemimpin harusnya selalu kreatif dalam mengembangkan daerah dan negaranya.
Kreatifitas yang visioner sangat diperlukan, disertai kejujuran dan kecerdasan
seorang pemimpin. Sebagai contoh, perlukah sebuah patung penanda jalan harus
dibangun? Mengingat besarnya biaya dan permasalahan mendesak yang harus
dihadapi dan ditanggulangi, mungkin lebih bijaksana apabila anggaran yang ada
untuk perbaikan sekolah, prasarana, perumahan penduduk yang tidak layak,
pengerukan kali, dan lain-lain. Untuk pengingat jalan, sebaiknya cukup diinstruksikan
saja agar setiap kantor, instansi atau toko dan tempat/dunia usaha mencantumkan
juga nama jalan dan nomor serta kode posnya, maka itu lebih bermakna dibanding
membangun patung yang setiap orang mungkin tidak peduli.
Asih dan Asuh dimaksudkan
bahwa seorang pemimpin adalah yang mampu mengasihi dan membimbing rakyatnya, Mampu
mengatasi kemacetan, kesemrawutan, sampah, ledakan penduduk, ketertiban dan
keamanan adalah suatu bentuk profesionalisme yang asih dan asuh seorang Kepala
Daerah terhadap permasalahan rakyatnya. Sebaliknya, pembiaran terhadap masalah
kemacetan, banjir, kekumuhan dan polusi adalah salah satu bentuk sikap tidak
asih dan tidak asuh, kurang dedikasi dan tidak profesional.
Ramah, bahwa seorang pemimpin
haruslah selalu bersikap ramah terhadap seluruh rakyatnya tanpa dibuat-buat.
Sikap arogan dan angkuh adalah sifat yang harus dijauhi oleh seorang pemimpin
agar kepemimpinannya dapat berhasil dengan baik secara sinergis, efisien, dan
efektif.
Tegas, Trengginas, dan Teladan
(3T), adalah tiga sikap yang mutlak harus dimiliki oleh seorang pemimpin
agar pencapaian visi dan misinya dapat berhasil dengan baik. Penghargaan dan
penegakan hukum serta pemberian sanksi haruslah diterapkan secara tegas dan
konsisten melalui pengamatan dan evaluasi yang trengginas dalam arti dilakukan
secara terus menerus, menyeluruh, terukur, tepat dan cepat. Sebagai contoh,
penertiban PKL itu seharusnya dilakukan secara terus menerus dengan adil dan
bijaksana. Tidak boleh sampai meleng alias lengah dan sesudah itu
mengobrak-abrik lagi. Juga jangan sampai ada renovasi sekolah tidak bermutu
tetapi tidak terdeteksi sehingga ambruk dan membawa korban. Ada anak sekolah menyeberang
sungai tanpa jembatan, serta wilayah di pelupuk matanya banjir parah tanpa bisa
diketahui penyebabnya, padahal Gubernurnya mengantongi bejibun tanda
penghargaan dan Wagubnya pandai beriklan, adalah merupakan petunjuk bahwa
keduanya agaknya kurang blusukan dan kurang professional. Kepala Daerah
harusnya memberikan teladan bagi rakyatnya, bukan pecandu narkoba, jujur dan
tidak korup, disiplin serta kerja keras.
Dan yang terakhir adalah Anjangsana.
Bahwa seorang pemimpin yang profesional dan penuh dedikasi adalah seseorang
yang selalu rajin beranjangsana dan blusukan terhadap wilayah kerjanya. Dia
bukanlah orang yang gila hormat dan selalu duduk manis di belakang meja dengan
mengandalkan laporan ABS (Asal Bapak Senang). Rajin beranjangsana ke seluruh
pelosok wilayah kerjanya adalah ciri pemimpin yang berdedikasi tinggi sebagai administrator
pemerintahan. Melalui anjangsana langsung memungkinkan seorang pemimpin
mengetahui dengan pasti semua persoalan yang dihadapi rakyatnya. Jangan sampai
ada seorang Gubernur yang wilayahnya kecil, marah-marah gara-gara masjid yang
diresmikan, bentuknya atau pekerjaannya kurang rapi. Ini bukti bahwa Kepala
Daerah itu kurang profesional dan kurang blusukan, padahal Presiden Jokowi
sudah mengajarkan mengenai manajemen blusukan yang sangat terkenal sebagai alat
control dan pengawasan di lapangan. Bahkan pada waktu sekarang ini, masih ada
seorang Walikota tetangga Ibukota RI, membangun stadion mini yang super jelek
karena tanpa sentuhan arsitek dan oleh pelaksana yang terkesan asal-asalan.
Alhasil, pemimpin yang ideal adalah yang memiliki pribadi dan karakter
serta mutu yang DJAKARTA sebagaimana diuraikan secara garis besarnya di atas.
Semoga kita tidak salah memilih Kepala Daerah, sehingga seluruh daerah di
Indonesia bisa menjadi Singapura-Singapura yang indah, maju dan mandiri, tidak serba terbelakang seperti sekarang ini.
Sebab, pada dasarnya, Kota Administratif/Kabupaten dan Provinsi di negeri kita
ini adalah merupakan singapura-singapura yang banyak jumlahnya. Kalau saja para
Kepala Daerahnya bermutu “DJAKARTA” dan sekaliber pemimpin di Singapura, bukan
mustahil, seluruh Indonesia yang indah dan kaya raya akan tercapai. Tetapi
entah, sampai kapan ?!*****
Label:
basuki tjahja purnama,
cagub DKI,
gubernur jakarta,
indonesia,
jakarta,
kepala daerah,
Korupsi,
pemda DKI,
pemerintah,
pemimpin,
wakil rakyat
Langganan:
Komentar (Atom)