Entri yang Diunggulkan

GENERASI PENDOBRAK JILID III

 Harian Rakyat Merdeka terbitan 20 April  2010,memuat artikel dengan judul “Bodoh Permanen” yang ditulis oleh Arif Gunawan. Tulisan tersebut...

Sabtu, 21 Juni 2014

MEMILIH PRESIDEN/WAKIL PRESIDEN DAN TELADAN RASULULLAH



         Pada hari Jum’at 20 Juni 2014 saya shalat Jum’at di Masjid Al Muhajirin Jatikramat Indah I – Bekasi. Yang menarik adalah isi khotbahnya yang membahas tentang meneladani Rasulullah SAW. Dijelaskan bahwa beriman kepada Allah adalah mencintai Allah. Bagi orang yang bertakwa, selain mencintai Allah adalah juga mencintai Rasulullah. Bentuk mencintai Rasulullah adalah mengerjakan  waktu. Rasulullah pernah bersabda, kerjakanlah sholat sebagaimana yang aku kerjakan. Tetapi ada teladan yang lepas dari perhatian kita dan kita jarang mengamalkannya. Yang pertama, sewaktu Ali bin Abi Thalib, khulafaurrasyidin, mengusulkan kepada Rasulullah agar membuat parit besar untuk menghambat gerak musuh dan ternyata beliau menyetujui.
Ketika membuat parit itu dikerjakan, Rasulullah ikut bekerja langsung bersama umat, terjun langsung bersama mereka, bukan cuma tahu beres. Contoh lain lagi, sewaktu masa Rasulullah, di Jazirah Arab banyak sekali kerajaan-kerajaan kecil bangsa Quraisy. Mereka punya kebiasaan, kalau keluarga kerajaan melanggar hukum selalu dilindungi dan ditutup-tutupi agar rakyat tidak mengetahui. Melihat gejala ini, Rasulullah mengeluarkan fatwa bahwa menegakkan hukum itu harus adil karena kelak akan dipertanggung jawabkan di hadapan Allah SWT. Sebagai contoh menegakkan hukum yang adil kata Rasulullah adalah, kalau saja Fatimah anakku melanggar hukum misalnya mencuri, niscaya akan kupotong tangannya.
Bagi saya, isi khotbah tersebut merupakan petunjuk yang menarik untuk pelajaran bagi bangsa Indonesia bagaimana memilih pemimpin pada Pilpres 9 Juli 2014 nanti. Ada dua pasang calon Presiden dan Wakil Presiden yang harus kita pilih. Jokowi yang pekerja keras dan selalu ikut terjun langsung di lapangan, atau pasangan yang mempunyai cacat hukum. Prabowo yang masih harus bertanggung jawab terhadap aksi penculikan aktivis pada tahun 1997/1998 tetapi tidak dihukum sesuai kesalahannya karena pertimbangan menantu Suharto. Ini sesuai pengakuan para anggota Dewan Kehormatan Militer yang mengadili Prabowo pada waktu itu (1998), yang tidak menjunjung tinggi UUD 1945 yang antara lain menyatakan bahwa setiap warga negara sama kedudukannya di    dalam hukum. Akibatnya, sampai sekarang masih menjadi masalah, karena yang bersangkutan tidak pernah merasa berdosa. Pada hal Islam mengajarkan bahwa membunuh sesama manusia adalah merupakan dosa besar yang tidak terampuni. Diantara aktivis yang diculik, 13 orang tidak diketahui rimbanya sampai sekarang yang dapat disimpulkan pasti sudah terbunuh. Begitu juga pasangannya, Hatta Rajasa, yang anaknya pada waktu itu berusia 21 tahun, mengantar pacarnya di pagi buta dengan mobil mewah Mercedez dan menabrak kendaraan lain, sehingga membuat orang meninggal dan luka-luka. Bagaimana proses hukum yang berlaku, tidak pernah terdengar kelanjutannya. Kabar burung menyebutkan, konon anak itu tidak pernah dihukum karena dianggap dibawah umur atau karena anak pejabat? Tidak bisa memimpin anak, alias tidak berhasil memimpin keluarga dan meremehkan hukum kok nyalonin wapres?
Maka, pandai-pandailah bangsa Indonesia menentukan pilihan agar tidak termasuk bangsa yang sesat dan tidak pandai berpikir serta tidak pandai meneladani Rasulullah SAW.*****

Senin, 10 Februari 2014

KENAPA JALAN RAYA MUDAH RUSAK? (edisi revisi februari 2014)

George Soraya, senior consultant Bank Dunia, pernah ngomel karena jalan yang dibangun dua tahun yang lalu telah rusak parah. Jalan tersebut terletak di kawasan  Kelurahan Sukaresmi ,Kecamatan Tanah Sareal, Kota  Bogor yang dibangun dari dana PNPM (Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat) yang berasal dari Bank Dunia. Atas pertanyaan George Soraya, Lurah Sukaresmi mengaku, bahwa jalan raya tersebut dibangun dengan dana PNPM yang diterima sebesar Rp 15 juta tetapi kenyataannya menghabiskan Rp. 19 juta dan pelaksanaan pengerjaannya dilakukan oleh masyarakat sendiri. Berita tersebut dimuat di Harian Republika edisi 28 April 2010 dengan judul :”Jalan Rusak, Bank Dunia Ngomel”. Terakhir, pemerintah menyatakan tanggap darurat untuk memprioritaskan perbaikan jalan yang rusak parah akibat bencana alam khususnya banjir yang disaksikan langsung oleh Presiden SBY bersama tim kabinetnya ketika kunjungan kerja ke Jawa Barat dan Jawa Tengah awal pekan Februari 2014 ini.

Kasus jalan  rusak sebenarnya banyak sekali terjadi. Tetapi seringkali tidak muncul ke  permukaan  karena masyarakat umumnya mendiamkan masalah pelayanan publik yang sebenarnya banyak yang  tidak memuaskan. Seharusnya seluruh masyarakat Indonesia mencontoh pejabat Bank Dunia tersebut. Yang selalu mengawasi dan mengontrol fasilitas umum yang dibiayai dari dana rakyat melalui pembayaran pajak, apalagi kalau berasal dari utang. Kesadaran bernegara sebagaimana dicontohkan oleh Senior Consultant Bank Dunia itu seharusnya menjadi budaya bagi seluruh masyarakat Indonesia , apapun statusnya . Tujuannya adalah agar pelaksanaan
pembangunan dapat berhasil dengan sangat memuaskan, bukan asal tambal sulam seperti apa yang dikesankan selama ini.

Jalan Rusak
Jalan rusak hampir dapat kita temui di semua ruas jalan dari Sabang sampai Merauke. Apabila kita membaca dengan seksama pemberitaan di media massa, hampir selalu ada berita mengenai jalan yang rusak, dari yang ringan sampai yang parah. Pada hal ,jalan raya adalah urat nadinya perekonomian  dan berbagai kegiatan lainnya bagi masyarakat. Tetapi kenyataannya ,di Ibukota Negara  Jakarta saja  masih sering terjadi kecelakaan lalulintas yang disebabkan oleh jalan yang rusak.
Ada beberapa sebab kenapa jalan mudah sekali rusak. Tetapi apabila dibuat pembuktian terbalik, ujung-ujungnya adalah disebabkan oleh ulah korupsi. Mengenai hal ini ada contoh menarik yang bisa dikemukakan untuk pembelajaran, yaitu ketika perbaikan ruas jalan utama Surabaya – Gresik  pada tahun 1973/1974 yang lalu. Jalan raya yang merupakan uratnadi perhubungan antar kota itu seringkali rusak parah sehingga sangat mengganggu kelancaran lalulintas. Ketika perbaikan, pelaksananya adalah kontraktor dari Korea Selatan yang terlihat karena  papan namanya denga huruf Korea serta bahasa Inggris terpampang dengan jelas di lokasi proyek. Pada waktu itu, mahasiswa Surabaya protes kepada  pemerintah karena dinilai tidak melibatkan perusahaan dalam negeri untuk perbaikan jalan tersebut. Oleh Pemda, para aktivis mendapat penjelasan ,bahwa perbaikan jalan tersebut dibiayai oleh Bank Dunia. Sebagai penyandang dana, Bank Dunia mempersyaratkan agar pelaksana proyek hanya boleh memilih perusahaan dari Jepang, Korea Selatan atau Taiwan. Kebetulan pemenangnya adalah kontraktor dari Korea Selatan. Dijelaskan juga kepada para mahasiswa bahwa bangsa Indonesia harus malu karena tidak dipercaya oleh Bank Dunia. Alasannya, karena kalau proyek tersebut dikerjakan oleh kontraktor Indonesia, dikhawatirkan bukan jalan-raya”nya yang bagus, tetapi para pemegang proyek dan pelaksanalah yang akan makmur karena dikorupsi. Dan kenyataannya, setelah proyek selesai, ruas jalan tersebut memang sangat bagus dan bisa bertahan lebih lama. Padahal sebelumnya, setiap 3 sampai 6 bulan sudah harus diperbaiki lagi. Bagi pengguna jalan yang melintasi proyek  pada waktu itu sering mengamati apa keistimewaan kontraktor Korsel dalam memperbaiki jalan tersebut. Yang  sangat menonjol dan sering menjadi pembicaraan, adalah karena orang Korselnya selalu terlibat langsung dan melakukan supervisi di lapangan dengan cermat. Pasir dan batunya .terlihat selalu dicuci dengan  disiram air sebelum digunakan.
Kasus di atas agaknya masih relevan dikemukakan sebagai bahan rujukan untuk mengevaluasi mutu jalan di tanah – air kita saat ini. Yang perlu diwaspadai adalah dugaan terkait perilaku korupsi yang dapat berakibat menggerogoti mutu jalan raya di sekitar kita dengan modus yang standar dan merata di seluruh tanah-air serta dilakukan berulang-ulang tanpa ada yang mengoreksi. Beberapa perilaku buruk itu dapat dikemukakan berikut ini.
      Pertama, seringkali jalan dibuat tanpa saluran air atau got sehingga cepat rusak karena genangan air yang terjadi sewaktu musim hujan. Kalau toh dibuat saluran got,biasanya dikerjakan tidak simultan atau tidak bersamaan ketika  pembangunan jalan. Tujuannya ,supaya proyek selalu ada terus. Proyek pembenahan sistem drainase ini sering dijadikan alasan para Pemda di mana-mana yang ujung-ujungnya bisa diduga karena kesengajaan atau kurangnya pemahaman terhadap pentingnya saluran air pada setiap ruas jalan.
       Kedua, mutu bahan yang sering dipalsu atau dikurangi porsinya. Jangan dikira,bahwa batu dan pasir juga sangat mudah dipalsu atau ditukar mutunya. Apalagi aspalnya, seringkali dipalsu atau dicampur dengan komponen Bahan Bakar Minyak khususnya jenis residu atau minyak bakar dengan dalih untuk pengenceran. Sebagai akibatnya, daya rekat aspal menjadi berkurang dan mudah lumer ketika musim kemarau. Porsi bahan yang dikurangi bisa berakibat kepada ketebalan yang tidak memenuhi syarat dan pasti berakibat mengurangi kekuatan jalan-raya. Pengurangan porsi bahan ini juga bisa terjadi pada jalan beton yang dibuat dengan perekat semen.
       Ketiga, mutu pengerjaan. Ini menyangkut teknologi, mutu SDM dan sistem pengerjaannya. Mutu SDM walaupun hebat , tetapi kalau jiwanya korup ,tahu beres dan tidak pernah mau mengawasi langsung di lapangan, maka teknologi dan sistem .yang baik  akan bisa dengan mudah dilanggar. Yang ideal adalah, teknologi dan sistem pembuatan jalan yang baik , dijalankan oleh SDM yang bermutu dan bertanggungjawab kepada diri sendiri, profesi, masyarakat, negara dan Tuhan.
        Keempat,karena lemahnya pengawasan sejak perencanaan hingga pelaksanaan selama proyek berjalan. Kelemahan ini bisa terjadi karena praktek kongkalikong atau bisa karena kurang profesional sehingga tidak tahu apa yang harus dikritisi dan tidak tahu bagaimana mengawasinya. Bahkan bisa dikesankan ,Pemda dan instansi yang terkait tidak pernah mengawasi proyek yang sedang berjalan sehingga hasil akhirnya umumnya sangat mengecewakan. Seringkali kita mempertanyakan , kenapa sih Gubernur, Bupati, Walikota dan jajarannya kok seolah-olah tidak pernah meninjau proyek pembuatan atau perbaikan jalan yang sedang dikerjakan. Sehingga sering kita rasakan, pembangunannya lamban, tidak beraturan, sepotong-sepotong dan terkesan tidak pernah ada yang menegur atau memperingatkan.
        Kelima, pembangunan jalan seringkali tidak terintegrasi  dengan baik bersama instansi lain. Jalan yang sudah baik tiba-tiba digali untuk pemasangan kabel listrik, telkom, saluran air dan keperluan lain tetapi kemudian tidak dipulihkan lagi seperti keadaan asalnya.
         Keenam, masyarakat hanya mendiamkan semua keadaan di atas, seolah semuanya itu sudah biasa dan wajar-wajar saja. Paling banter masyarakat hanya bisa ngedumel atau mengeluh tanpa tahu apa yang harus diperbuat. Berita di media massa pun hampir tidak pernah mendapat tanggapan dengan cepat ,cekatan dan benar oleh Pemerintah  Pusat maupun Pemerintah Daerah.

Itulah wajah tanah-air kita dari penggalan yang namanya jalan raya yang merupakan urat nadi perekonomian dan prasarana vital suatu bangsa. Pada hal ada petunjuk dan nasehat  yang sangat populer yang menyatakan bahwa mutu suatu bangsa itu antaralain ada di jalan-raya. Karena dari mutu jalan-raya dapat  mencerminkan seberapa jauh mutu kejujuran, keahlian, kesungguhan dan tanggungjawabnya  terhadap profesi oleh para pelaku dan pemangku kepentingan dari masa perencanaan sampai ke pelaksanaan proyek pembuatan jalan. Termasuk di dalamnya adalah yang menyangkut mutu trotoar, sistem drainase, rambu-rambu lalu-lintas, marka jalan dan berbagai perangkat jalan-raya lainnya.

Dan tentunya, semua ini adalah menjadi tanggung jawab Pemerintah dalam melayani rakyatnya yang dituntut lebih profesional agar tercipta kenyamanan,dan keamanan secara terus menerus dalam berbagai sektor, di mana saja dan kapan saja, termasuk di “jalan-raya”. *****.

(ditulis oleh Muhammad Sadji pada tahun 2012 di blog yang sama)

Minggu, 19 Januari 2014

Menghindari Banjir, Bukan Menanggulangi !

Salah satu masalah Ibukota Jakarta yang selalu muncul setiap tahun adalah banjir. Karena adanya sungai  besar yang melalui Ibukota, maka sudah dapat dipastikan bahwa banjir akan selalu datang manakala datang hujan lebat dalam waktu yang cukup lama. Apalagi dalam kondisi Ibukota seperti sekarang ini, banjir penduduk yang datang dari berbagai penjuru tanpa kendali. Dari mereka yang bermodal kuat dan maniak memupuk kekayaan, sampai orang-orang yang hanya bermodal dengkul.
Orang-orang kuat membanjiri Ibukota dengan gedung-gedung bertingkat, sementara orang-orang lemah menduduki lahan-lahan kosong seenaknya. Kedua-duanya dalam banyak hal sama-sama tidak memperhatikan aspek lingkungan dan mengabaikan kepentingan umum. Kalau demikian, layakkah Gubernur Jokowi ditimpakan kesalahan ketika terjadi banjir hebat seperti sekarang ini ?
        Apa yang sudah dilakukan oleh Gubernur Jokowi adalah merupakan penanggulangan terhadap masalah akut yang bukan mustahil ditimbulkan oleh penguasa sebelumnya yang dengan mudahnya memberikan perijinan kepada para pemodal, dan tidak tanngap  terhadap perubahan lingkungan permukiman di wilayah nya. Sudah barang tentu, menanggulangi akan jauh lebih sulit sebagaimana seorang dokter mendiagnose suatu penyakit akut yang diderita seseorang. Yang menjadi masalah sekarang adalah, bagaimana menghindari banjir  di samping berupaya menanggulangi segala sesuatu yang sudah terjadi. Langkah ini perlu kesadaran dan kemauan semua pihak, dari masyarakat kecil sampai para penguasanya. Langkah-langkah tersebut adalah meliputi, pertama : perlunya berpikiran pindah atau dipindahkan bagi masyarakat langganan banjir ke tempat yang lebih aman, jauh dari potensi kebanjiran. Kedua, mencegah urbanisasi melalui kerjasama dengan daerah-daerah lain di Indonesia. Ini perlu dirumuskan bentuknya, karena banjirnya urbanisasi merupakan salah satu penyebab banjir bah di Ibukota. Ketiga, penggalakan program Keluarga Berencana (KB) khususnya di kalangan kawasan kumuh dan di bantaran sungai. Beranak-pinak tanpa kendali dan tidak lagi terjangkau program KB adalah juga merupakan pemicu bahaya banjir. Keempat, adalah pemberian informasi secara terus menerus kepada seluruh masyarakat mengenai masalah dan bahaya banjir. Informasi yang intensif dan efektif mengenai masalah dan bahaya banjir ini sangat penting agar Pemerintah tidak selalu disalahkan manakala banjir kembali menimpa mereka. Kelima, dan inilah yang sangat penting yaitu, perlunya dicanangkan atau dibentuk "Polisi Sampah" yang bertugas mengawasi, menangkap dan menghukum para pembuang sampah, sekali pun sampah itu hanya berwujud puntung rokok.Polisi Sampah ini bisa terdiri dari anggota TNI/POLRI/Satpol PP yang tugasnya bukan memunguti sampah seperti yang selama ini pernah mereka lakukan, melainkan berada di seluruh kawasan Ibukota selama 24 jam untuk mengawasi para pembuang sampah. Gubernur DKI Jakarta perlu menggalang kerjasama ini dengan memanfaatkan TNI/POLRI di masa damai untuk berperang melawan sampah, sekaligus mengurai dan mengawasi kemacetan melalui program tertib berlalu-lintas. Program semacam ini apabila bisa terlaksana, bukannya diadakan hanya sebatas hangat-hangat tahi ayam, melainkan secara terus-menerus sekurang-kurangnya selama satu tahun tanpa berkedip. Dengan langkah demikian, diharapkan akan tercapai penampilan Ibukota Republik Indonesia yang tertib, bersih, bermartabat dan berwibawa, bukan seperti sekarang ini yang jorok, kusam dan tampak wajah bobroknya  ketika setiap kali banjir datang.
       Bravo pak Jokowi, ini usul dan saran saya ! Bangunlah etika masyarakat DKI dari sekarang untuk menghindari banjir dan menyongsong "Jakarta Baru" yang Betawi (bersih, bermartabat, manusiawi).*****




Minggu, 22 Desember 2013

politik dinasti

politik dinasti akhir-akhir ini menjadi sorotan tajam berbagai kalangan. gara-garanya karena kasus gubernur banten ratu atut chosiyah yang diduga terlibat korupsi dan penyuapan menyusul kasus adik kandungnya yang sudah terlebih dahulu menjadi tahanan kpk. karena kasus adiknya itulah, maka khalayak ramai jadi tahu bagaimana keluarga besar ratu atut menguasai provinsi banten. bukan saja dalam hal kekuasaan pemerintahan, tetapi meliputi hampir segala sendi kehidupan juga dikuasai dengan sangat sempurna. maka perdebatan pun menjadi hangat seputar bahaya dan segala kejelekan yang menyangkut politik dinasti. tetapi sebenarnya, apa yang salah dengan politik dinasti yang nyatanya sulit dihindari dalam kehidupan ini ? dalam kehidupan sosial setiap orang pasti terlebih dahulu merasa dekat dengan sanak-famili dan kerabatnya, baru kemudian sahabat karib dan sejawatnya. setelah itu baru seseorang akan merasa dekat dengan orang-orang yang seide dan sehaluan dalam kehidupannya. maka muncullah kemudian politik dinasti yang menurut pendapat saya terdapat 3 jenis dinasti, yaitu : dinasti keturunan, dinasti kelompok dan dinasti komplotan. dinasti keturunan, secara umum dianut oleh sistem monarkhi atau kerajaan yang secara beranak-pinak diharapkan tetap terjaga kualitas serta martabatnya. elit politik juga hampir semuanya menganut sistem ini karena pertimbangan faktor kemudahan dalam pola rekruitmen dan pembinaan serta faktor kedekatan yang sudah terbentuk sejak awal. mempengaruhi dan mengajak orang lain dalam berpolitik itu tidak mudah, maka terhadap sanak keluargalah  yang paling awal menjadi sasaran. baru kemudian berusaha mencari sahabat, teman dan sejawat untuk diajak dan saling membina diri menjadi   suatu kelompok yang seide, sehaluan dan secita-cita, maka terbentuklah dinasti kelompok yang diaharapkan luhur tujuannya karena membentuk kelompok untuk tujuan yang mulia mengabdi kepada sesama, bangsa dan negara. yang berbahaya adalah apabila terbentuk dinasti komplotan. karena ini terdiri dari gabungan dinasti keturunan dan dinasti kelompok yang kompak untuk merampok kekayaan  negara. mereka ini mampu dan mau menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan dan ambisinya, oleh karena itu dinasti ini amat kuat dan mampu bertahan lama. maka, waspadailah terhadap gejala kecenderungan dinasti di negeri ini agar kita tidak menjadi bangsa yang terpuruk karena korupsi politik, kekuasaan  dan  penjarahan kekayaan negara.*****

Minggu, 24 Februari 2013

SOEHARTO PAHLAWAN NASIONAL ?

Harian Pelita edisi 12 November 2012 memuat pandangan Wasekjen Partai  Demokrat Ramadhan Pohan yang berpendapat, bahwa Presiden RI kedua HM Soeharto tak layak diangkat menjadi pahlawan nasional. Alasannya, tidak pantas karena luka dan kerusakan negeri ini terlalu parah selama 32 tahun  kekuasaan Presiden Soeharto yang dianggapnya era fasis dan otoritarian.
Untuk menanggapi pendapat tersebut, ada baiknya kita mengutip nasihat orang bijak yang menyatakan, bahwa hidup adalah pilihan dan setiap individu tidak boleh menyesali atas setiap pilihannya. Oleh karena itu, seseorang  yang telah memilih bidang pekerjaan tertentu  harus menekuninya dengan penuh amanah  dan bertanggungjawab. Apabila seseorang  memilih jadi pencuri, maka jangan menyesal apabila suatu ketika tertangkap dan dihakimi  massa serta dipenjara. Atas dasar pilihan hidup, sikap, ucapan  dan tindakan itulah seseorang akan memperoleh imbalan di dunia hingga di akhirat kelak. Imbalan itu bisa berupa pujian, penghargaan dan mungkin kutukan.
Bangsa Indonesia misalnya, dalam kehidupan ketatanegaraannya antaralain memberikan penghargaan berupa gelar Pahlawan Nasional  kepada warganya yang  atas dasar pilihan hidupnya dianggap berjasa luar biasa terhadap bangsa dan negara dengan kriteria yang telah ditetapkan. Sekarang, sebagian  khalayak ramai mewacanakan  dan mengusulkan agar mantan  Presiden Soeharto ditetapkan sebagai  Pahlawan Nasional. Mereka berpendapat, bahwa Soeharto telah berjasa kepada bangsa dan negara, oleh karena itu layak menyandang gelar tersebut. Bahkan ada yang mewacanakan agar Soeharto  diberikan gelar Pahlawan Pembangunan. Sebaliknya, tidak sedikit yang menolak pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto dengan berbagai argumentasinya. Salah satunya adalah sebagaimana dikemukakan  oleh Ramadhan Pohan seperti dikutip  di atas. Dan perdebatan  pro dan kontra akan semakin panjang  manakala  masing-masing memaksakan kehendaknya.
Pertanyaannya adalah, perlukah seorang mantan presiden dipahlawankan ? Bukankah seorang Presiden dituntut melakukan dan menjalankan tugasnya dengan menjunjung tinggi nilai dan watak kepahlawanan,  dan oleh karena itu ia adalah otomatis seorang pahlawan bagi bangsanya ? Kecuali tentunya apabila terbukti  ia ternyata pengkhianat dan banyak merugikan bangsa dan negaranya.
Mengenai kasus Soeharto memang menarik untuk diperdebatkan. Ia mendapatkan tampuk pemerintahan  setelah terjadi  peristiwa berdarah  gugurnya para Pahlawan Revolusi  yang diculik dan dibunuh oleh Gerakan 30 September (G 30 S) pada tahun 1965. PKI dituduh sebagai pelakunya dan Presiden Soekarno dianggap ikut bertanggungjawab. Apakah masuk di akal, Presiden Soekarno yang sedang  mencanangkan Ganyang Malaysia dengan  memanfaatkan momentum dekolonisasi Inggris terhadap daerah jajahannya, tega menghabisi para Jendralnya ?   Lalu, melalui SP 11 Maret 1966 atau Supersemar , Soeharto yang telah diberi jabatan strategis untuk mengamankan jalannya pemerintahan  ternyata menikam dari belakang dengan cara yang berkedok seolah-olah konstitusional. Menarik untuk dikenang kembali, bahwa setelah peristiwa G 30 S meletus, terjadi pembunuhan  dan demonstrasi massa di mana-mana yang merongrong kewibawaan dan jalannya pemerintahan  Presiden Soekarno,  pada  hal  Soeharto ada di dalam struktur pemerintahan  sebagai Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) merangkap Menteri Panglima Angkatan Darat. Anehnya lagi, Surat Perintah itu tidak bernomor dan  dokumen aslinya raib sampai sekarang. Sehingga timbul pertanyaan,  kenapa orang-orang Orde Baru sekaliber Soeharto, Sudharmono, Murdiono, Sudomo dan lain-lain tidak cermat menyimpan dokumen sepenting itu atau memang sengaja beramai-ramai memusnahkan karena ada rahasia yang harus ditutupi rapat-rapat ? Ketika masalah hilangnya dokumen itu dipersoalkan pada tahun 90-an, pemerintah ORBA  tidak berusaha mencarinya, malahan memberikan jawaban yang diamini banyak orang, yaitu : dokumen itu tidak penting, karena yang terpenting perintah itu sudah dilaksanakan dengan baik. Dan kenyataannya, pengemban  SP 11 Maret itu memang mampu berkuasa selama 32 tahun  dengan strateginya yang jitu antaralain melalui desoekarnoisasi  di segala bidang dan mengecilkan arti Pembangunan Nasional Semesta Berencana 1 Januari 1961 s/d 31 Desember 1969 yang telah dirintis oleh Presiden Soekarno. Cuci otak yang ditanamkan kepada bangsa Indonesia melalui berbagai penataran dan penyuluhan  adalah, seolah-olah hanya Soeharto yang melaksanakan pembangunan. Pada hal kalau ditelaah lebih jauh, pembangunan yang telah dilaksanakan oleh ORBA patut dipertanyakan melalui beberapa parameter untuk mengujinya. Pertama, mengenai seberapa banyak sumbangan, hutang dan sumberdaya alam telah dikeruk dan dikorbankan selama 32 tahun Soeharto berkuasa.Yang jelas, tambang tembaga , nikel, emas, minyak  dan beberapa jenis komoditas lain  dikuasai  bangsa asing  semenjak ORBA berkuasa dengan menjungkirbalikkan  politik Berdikari yang telah dicanangkan oleh Bung Karno. Ketika Presiden Soekarno berhasil ditumbangkan, langkah awal yang dilakukan rezim ORBA adalah membuat UU Penanaman Modal Asing (PMA), yang merupakan pintu masuknya bangsa asing menjarah kekayaan alam bangsa Indonesia dan susah memintanya kembali sampai sekarang.
Yang kedua adalah  mengenai  proses  pelaksanaannya ketika memanfaatkan berbagai sumberdaya tadi. Dalam hal ini, seberapa lama waktu diperlukan (32 tahun), adakah demokrasi dan keterbukaan, serta sejauh mana HAM telah dilanggar  dalam rangka mempertahankan kekuasaannya dan sejauh mana kadar korupsinya. Sepertinya ada hubungan yang sistematis antara lamanya Soeharto berkuasa dengan kontrak karya penguasaan SDA  oleh bangsa asing yang rata-rata dibuat selama 30 tahun dan kemudian diperpanjang sebelum masanya berakhir. Sehingga bisa saja kita menuduh rezim Soeharto  sebagai  antek Asing yang juga sangat  didewakan dan dihormati oleh Lee Kuan Yew dan Mahathir Mohammad  karena Soeharto-lah yang  menghentikan konfrontasi dengan Malaysia. Di kemudian hari, Singapura dan Malaysia sangat diuntungkan  secara ekonomi dan geografis selama rezim  Soeharto berkuasa.
Setelah membicarakan input sebagai modal atau masukan pembangunan dan prosesnya, yang ketiga adalah kita membicarakan masalah  output atau hasil akhirnya. Sebagaimana faktanya, Presiden Soeharto mengundurkan diri setelah dilantik menjadi presiden untuk yang ketujuh kalinya karena desakan massa rakyat yang menggugat kegagalan pembangunan. Pada akhir kekuasaannya, ekonomi ambruk  sehingga semua penggantinya mengalami  kesulitan untuk membenahi. Daya saing bangsa juga  mengalami  kemunduran di berbagai bidang. Sebagai salah satu contoh nyata adalah, betapa banyak gedung sekolah yang dibangun pada tahun 70 – 80-an pada ambruk karena mutu pembangunannya yang rendah dan sarat dengan korupsi berjamaah. Belum lagi prasarana yang lain yang dibangun selama euforia pembangunan tersebut;  banyak yang tidak bermutu dan bahkan banyak bangunan kategori cagar budaya yang dirusak dan diambrukkan, pada hal penting untuk modal pengembangan pariwisata sejarah dan arsitektur.
Walhasil, Soeharto telah memilih jalan hidupnya sendiri yang tentunya dengan kesadarannya yang tinggi pula. Banyak pengikutnya dan tidak sedikit pula yang menentang, apalagi menapaknya dengan politik belah bambu, satu diangkat dan satunya lagi diinjak sampai tidak berkutik sama sekali selama bertahun-tahun. Soeharto telah menikmati pilihan hidupnya, sementara ada kalangan kritis yang memiliki catatan sejarah yang kelam mengenai sepakterjangnya. Lalu, masihkah ada pihak-pihak yang ingin memperjuangkan Soeharto agar ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional ?. Dan kira-kira masih perlukah gelar itu seandainya  bisa dipertanyakan  langsung kepada Soeharto ?. Mungkin ada baiknya kita merenungkan suatu khotbah yang pernah penulis dengar. Konon pada hari pembalasan ada seseorang yang protes karena direkomendasikan masuk neraka. Dia protes karena selama hidup  di dunia sebagai pejabat merasa telah berbuat banyak untuk orang lain dan taat beribadah. Karena protesnya sangat kencang dan keras, maka Tuhan memberikan penjelasan : bahwa memang benar menurut catatan yang ada, amalannya memang banyak, naik haji berkali-kali, zakatnya berlimpah, ibadah puasa dan  shalatnya tidak pernah bolong. Tetapi sayang sekali, semua kebaikan itu dia peroleh dengan cara yang tidak benar karena penuh intrik, tipu daya, memfitnah tanpa dasar dan membunuh  seenaknya. Oleh karena itu, amalan yang dia rasakan sangat banyak tadi tidak cukup untuk menutupi segala kejahatannya dan  sebagai ganjarannya harus masuk neraka. Mendengar penjelasan itu, sang mantan pejabat tadi baru menyadari  dosa-dosanya.  Tetapi sayangnya, pintu  tobat sudah tertutup dan dia harus masuk neraka.
Kisah di atas kiranya dapat membimbing kita untuk berpikir dan bertindak secara jernih, jujur, adil dan bijaksana dalam menghadapi berbagai masalah, termasuk apakah masih perlu  kita mengusulkan mantan Presiden Soeharto sebagai Pahlawan Nasional  kalau pada akhirnya banyak orang yang  mengungkit semua kekurangan, kejelekan dan kejahatannya.*****








(tulisan ini pernah dikirim ke redaksi Harian Pelita)

Sabtu, 01 September 2012

Salah Kaprah Gelar Pahlawan


SALAH satu kehebatan kita sebagai bangsa adalah karena kita memiliki Hari Pahlawan yang diperingati secara khidmat setiap tahun pada tanggal 10 November.
Suatu hari nasional yang mengabadikan peristiwa kepahlawanan mempertahankan kemerdekaan oleh arek-arek Surabaya itu mengandung pesan yang sangat luhur yang patut dicamkan oleh generasi sekarang dan yang akan datang.
Pertama, karena perang besar itu melibatkan berbagai elemen masyarakat yang terpanggil secara sukarela dan bersenjatakan apa adanya demi mempertahankan kemerdekaan yang baru saja diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945.
Kedua, TNI yang baru dibentuk pada tanggal 5 Oktober 1945 , boleh jadi belum terbentuk secara formal di Jawa Timur/Surabaya. Oleh karena itu, pengorbanan nyawa dan harta benda masyarakat yang terlibat pada waktu itu adalah benar-benar mempunyai nilai kepahlawanan karena dilakukan tanpa pamrih dan penuh pengorbanan, karena semata-mata ingin menunjukkan agar kemerdekaan tidak direbut kembali oleh para penjajah.
Belajar dari peristiwa Surabaya tersebut, maka pahlawan sebenarnya adalah orang yang memiliki kriteria rela berkorban untuk orang lain dan bangsanya. Berkorban harta dan jiwa raganya, tidak terpikir dan tidak mengharapkan imbalan dari pengorbanannya, pantang menyerah dan yang dikerjakan melampaui batas kewenangannya.
Dalam hal ini, seseorang yang melakukan sesuatu pekerjaan karena memang tugasnya dan mendapatkan imbalan langsung dari pekerjaannya, sebenarnya tidak layak dikategorikan sebagai pahlawan. Oleh karana itu gelar pahlawan seharusnya mengikuti uji kriteria kepantasan, kelogisan dan kebenaran.
Ketiga kriteria itu sebenarnya saling terkait dan tidak terpisah satu sama lain. Sebagai contoh, seseorang menggagas tentang sesuatu yang dinilai mempunyai dampak luas terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara. Penggagas itu mungkin pantas mendapat gelar pahlawan, tetapi menjadi tidak logis apabila terbukti sebelumnya sudah ada yang pernah menggagas dan bahkan mempraktekkan penerapannya. Karena tidak benar dia sebagai penggagas yang pertama, maka tidak layak orang yang bersangkutan mendapat gelar pahlawan.
Apabila diamati secara cermat, dalam perkembangannya, peringatan Hari Pahlawan ternyata menjadi salah kaprah. Salah kaprah pertama, karena setiap tahun sepertinya dituntut harus ada seseorang yang ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional. Maka ditetapkanlah tata cara pengusulan dan ditunjuklah team penilai yang bekerja untuk pemerintah. Maka setiap tahun pula berbondong-bondonglah perorangan, kelompok dan daerah beramai-ramai mengusulkan tokoh-tokohnya untuk diangkat atau ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional.
Salah kaprah kedua, karena adanya indikasi bahwa seseorang yang pernah melawan penjajah khususnya Belanda, selalu dengan mudah diangkat menjadi Pahlawan Nasional. Padahal kalau ditelaah lebih jauh, menjadi tidak logis dan tidak benar. Sebagai contoh, Pangeran Diponegoro, Imam Bonjol dan lain-lain yang pernah memberontak pada masa Hindia Belanda, dianggap sebagai Pahlawan Nasional. Bahkan sering kali ketokohan mereka disebut-sebut sebagai hasil politik devide et impera (politik pecah belah) Belanda, sehingga membuat perjuangan kemerdekaan selalu gagal dan tidak memperoleh hasil. Padahal kenyataannya, karena politik devide et impera itulah, maka timbulnya hegemoni Hindia Belanda yang kemudian kita warisi wilayahnya sebagai Indonesia merdeka.
Oleh karena itu mungkin tidak logis, tidak pantas dan tidak benar apabila tokoh pemberontakan dalam suatu kerajaan pada masa Hindia Belanda mendapat gelar pahlawan. Sebab seandainya pada waktu itu mereka berhasil, mungkin tidak ada Hindia Belanda seperti yang kita warisi seluas sekarang ini.
Salah kaprah ketiga, adalah fakta bahwa setiap tokoh yang melawan suatu rezim, dianggap pahlawan oleh rezim yang sealiran atau seideologi, apalagi kalau penetapannya menyangkut atau terkait dengan tujuan politik kekuasaan.
Salah kaprah keempat adalah, adanya kecenderungan mempahlawankan Presiden yang jatuh dari kekuasaannya. Sebagai contoh, Presiden Soekarno yang dijatuhkan oleh rezim Orde Baru dan termasuk kategori teraniaya pada akhir hayatnya karena politik, mendapat gelar Pahlawan Ploklamator. Gelar itu diberikan oleh rezim yang menjatuhkan atas desakan para pendukung Bung Karno yang tidak rela perintis kemerdekaan diperlakukan tidak santun dan cenderung dihapus segala jasa dan nama baiknya.
Presiden Soeharto yang jatuh karena tekanan rakyat yang tidak puas atas hasil pemerintahannya, sejak meninggal pada tahun 2008 para pendukung setianya serta keluarganya secara bertubi-tubi mengusulkan agar Soeharto ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional. Agaknya mereka ingin agar Presiden Soeharto yang mundur dari kekuasaannya, namanya terangkat kembali apabila mendapat gelar Pahlawan Nasional. Dalil yang mereka gunakan antara lain karena memperoleh gelar Bapak Pembangunan, berperan dalam Serangan Umum 1 Maret 1949, memimpin penumpasan PKI dan dipandang banyak jasanya ketika berkuasa selama 32 tahun.
Padahal kalau diteliti, semua peran tersebut banyak kelemahannya. Penetapan Presiden Soeharto sebagai Bapak Pembangunan adalah salah kaprah yang diperbuat oleh suatu rezim, karena seolah-olah hanya dia yang melaksanakan pembangunan. Mereka mengabaikan dan mengecilkan peran Presiden sebelumnya dan cenderung telah melakukan kebohongan publik.
Di mana pun, peran seorang Presiden dan Kepala Pemerintahan setiap negara adalah melaksanakan pembangunan bagi bangsa dan negaranya berdasarkan visi dan misi pemerintahannya serta tantangan pada zamannya
Sebagai Bapak Pembangunan, yang gelarnya diberikan selama dia berkuasa, menjadi tidak pantas, tidak logis dan tidak benar apabila diteliti berdasarkan kaidah-kaidah pembangunan.
Kaidah pembangunan mengandung parameter berapa utang dan sumber daya alam (tambang dan hutan) dikuras dan dibabat, berapa lama waktu diperlukan untuk berkuasa menghabiskan sumber daya tersebut, berapa pengorbanan rakyat dan harta benda sebagai akibat dari konsep stabilitas yang diterapkan sebagai dalih pelaksanaan pembangunan, lalu bagaimana hasil akhirnya. Belum lagi kalau melihat, betapa banyak kekayaan alam ditambang oleh perusahaan asing semasa Orba berkuasa.
Seperti kita ketahui, Presiden Soeharto memerlukan kurun waktu lebih dari tiga dekade tetapi dia jatuh setelah hasil pembangunannya tidak cukup kuat menghadapi terpaan krisis ekonomi global. Bahkan pewarisnya juga mengalami kesulitan membenahi sampai sekarang. Sebagai contoh kecil, betapa banyaknya sekolah negeri dari Sabang sampai Merauke yang dibangun semasa Orde Baru, sudah tidak layak pakai sehingga harus direnovasi dengan biaya yang tidak sedikit.
Bandingkan dengan sekolah peninggalan Hindia Belanda yang tetap gagah dan nyaman sampai puluhan tahun lamanya.
Mengenai Serangan Umum 1 Maret 1949, di samping masih simpang siur siapa penggagas dan pemimpinnya, tetapi yang jelas bangsa Indonesia pada waktu itu sudah memiliki tentara yang terorganisasi. Yang menjadi pertanyaan dan perlu pertanggung jawaban adalah, mengapa Belanda sampai bisa menyerang Ibukota Negara Yogyakarta dan sampai bisa menangkap Presiden dan Wapres beserta beberapa menterinya.
Oleh karena itu wajar apabila TNI pula yang merebut kembali setelah konsolidasi bersama segenap kekuatan yang ada. Justru yang berhak mendapat gelar pahlawan adalah masyarakat non militer yang secara sukarela mau ikut berjuang, bertaruh harta benda dan nyawanya.
Lalu, ada juga yang mengusulkan agar mantan Presiden Abdurrachman Wahid ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional. Alasannya, karena Gus Dur dianggap sebagai tokoh atau Bapak Penganjur Pluralisme. Padahal kalau diteliti lebih jauh gagasan pluralisme bukan barang baru di Indonesia karena sudah muncul dan diterapkan oleh para founding fathers negeri ini dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika.
Pengusulan agar Gus Dur ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional mungkin karena ada yang masih tidak rela ketika dia dijatuhkan karena suatu masalah kenegaraan. Padahal, bagaimanapun seseorang yang pernah menjadi Presiden RI, pasti tetap tercatat dengan tinta emas dalam sejarah perjalanan Republik Indonesia. Bahkan Presiden suatu negara pasti secara otomatis merupakan pahlawan bagi bangsanya.
Terlepas dari bagaimana proses kejatuhannya, perlu diakui bahwa seorang Presiden mempunyai kiat dan perilakunya masing-masing dengan segala kelebihan dan kekurangannya yang tidak boleh ditutup-tutupi sebagai pelajaran berharga dalam berbangsa dan bernegara.
Oleh karena itu penetapan mantan Presiden sebagai Pahlawan Nasional adalah pekerjaan yang mengada-ada karena tidak pantas, tidak logis, tidak benar dan menjadi salah kaprah.
Sebentar lagi kita akan kembali memperingati Hari Pahlawan tahun 2010. Departemen Sosial dan Team yang dibentuk Pemerintah pasti sangat sibuk dalam mempersiapkan peringatan hari yang bersejarah tersebut. Harapan kita, peri kepahlawanan yang pantas, logis dan benar, hendaknya didasarkan atas azas adil dan beradab yang didukung dengan penelitian dan bukti sejarah yang benar oleh para ahlinya. Sebab kalau tidak, azas kelatahan, balas dendam, pertemanan, balas budi dan KKN menjadi salah kaprah yang terus menerus di negeri ini.
Satu hal yang pasti, hingga saat ini bangsa Indonesia masih mempunyai pekerjaan besar, yaitu meneliti kembali kenapa Surat Perintah 11 Maret 1966 tanpa nomor dan dokumen aslinya hilang sampai sekarang?
Administrasi suatu rezim yang amburadul atau sengaja dihilangkan? Kalau ya, kenapa ini mereka lakukan? Barangkali masalah ini juga bisa menjadi bahan pertimbangan, apakah seseorang bisa disebut sebagai pahlawan atau pembangkang. Wallahu alam bis sawab.***

(pernah dimuat dalam Media Indonesia, Citizen Journalism pada tanggal 26 Oktober 2010) 

Jumat, 24 Agustus 2012

nasib monumen pembebasan irian barat

Salah satu peninggalan Presiden I RI Soekarno adalah Monumen Pembebasan Irian Barat yang terdapat di Lapangan Banteng dan diresmikan pada tanggal 18 Agustus 1963.  Monumen itu dibangun dalam rangka memperingati kembalinya Irian Barat kepangkuan Ibu Pertiwi setelah melalui perjuangan yang panjang.
Wartawan kawakan Rosihan Anwar (alm), menyebut bahwa kembalinya Irian Barat ke pangkuan Ibu Pertiwi adalah berkat perjuangan Bung Karno yang konsisten dari awal sampai berhasil dengan mencanangkan Tri Komando Rakyat (Trikora) yang dikomandokan di Jogjakarta pada tanggal 19 desember 1961.
Ketika Irian Barat resmi diserahkan ke pangkuan RI oleh PBB pada tanggal 1 Mei 1963, banyak perubahan yang dilakukan oleh  Pemerintah RI yang sah pada waktu itu. Sebagai contoh,         ibu kota Irian Barat yang pada masa kekuasaan Belanda bernama Hollandia,sempat diubah menjadi Kota Baru, lalu diubah lagi menjadi Sukarnapura sebagai penghormatan atas perjuangan Bung Karno mengutuhkan wilayah Republik Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Demikian juga puncak tertinggi di Irian Barat dinamakan Puncak Sukarno.
Tetapi ketika Suharto berkuasa,semua itu diganti; mungkin dalam rangka desukarnoisasi yang dilakukan secara sistematis selama rezim ORBA tersebut. Sukarnapura kemudian diubah menjadi Jayapura, sementara Puncak Sukarno juga diubah menjadi Puncak Jaya Wijaya. Bukan itu saja, kekayaan alam (pertambangan dan hutan)  yang terdapat di Irian Barat hanya menjadi jarahan PMA (Penanaman Modal  Asing) selama rezim ORBA berkuasa sampai sekarang, sementara rakyat Papua sebagian besar masih terbelakang hingga saat ini.
Yang memprihatinkan lagi, monumen pembebasan Irian Barat yang dulu tentunya dibuat dengan bahan yang mahal dan mutunya patut mendapat pujian, sekarang rusak parah. Monumen yang  dulunya  penuh dengan pagar dan pintu dari bahan stainless steel, sudah banyak yang  hilang. Lampu – lampunya di setiap sudut sudah hilang semua dan tidak  terawat. Menurut hemat penulis yang telah masuk Jakarta pada tahun 1976, kerusakan terjadi setelah kepindahan Terminal Lapangan Banteng dan setelah kawasan itu diubah menjadi tempat pameran tetap tahunan flora dan fauna. Lalu,siapa yang harus bertanggung jawab terhadap monumen yang seharusnya bisa menjadi salah satu ikon ibukota RI selain Monas itu?. Gubernur DKI Jakarta,  Menteri Pariwisata & Ekonomi Kreatif, Menteri Pendidikan & Kebudayaan, Sekretariat Negara atau siapa yang harus menjaga kekayaan seni , budaya, dan karya intelektual  yang bernilai sejarah itu?.
Oleh karena itu jangan heran apabila saat ini Papua terus bergejolak. Salah satu sebabnya barangkali   mungkin karena generasi penerus telah lalai dan menyalahgunakan kekuasaan yang sudah disandangnya. Wahai bangsa  Indonesia  terutama yang menjadi pemimpin, sadar dan amanahlah sebagai generasi penerus yang mewarisi pusaka dari para pendahulu, jangan sampai kita mendapat predikat hanya pandai merusaknya!. ****          

Rabu, 22 Agustus 2012

Pelajaran berharga dari Liberia

http://id.berita.yahoo.com/berantas-korupsi-presiden-liberia-pecat-45-pejabat-031342338.html

 Liberia adalah sebuah negara di benua Afrika yang didirikan oleh ex para budak yang telah sukses di Amerika Serikat. Oleh karena itu, ibukota negara baru ini dinamakan Monrovia sebagai bukti kekagumannya terhadap Doktrin Monro yang telah mengilhami alam pikiran mereka. Bahkan bendera nasional Liberia juga diciptakan meniru bendera Amerika Serikat. Namun sayangnya, nasib negeri ini belum seperti Amerika Serikat, bahkan sangat jauh panggang dari api. Maklum, negeri ini baru berbenah memberantas korupsi yang merupakan penghambat terbesar pembangunan bangsa. Langkah berani yang telah diambil oleh Presiden Liberia baru-baru ini  adalah memberhentikan sejumlah pejabat tinggi negara termasuk a
naknya sendiri karena dianggap menghambat upaya pemberantasan korupsi.
      Apa yang telah dilakukan oleh Presiden Liberia tersebut patut menjadi pelajaran berharga bagi para pemimpin negara lain khususnya negara-negara berkembang yang menghadapi masalah kronis yang sama yaitu korupsi. Lalu, bagaimana dengan Indonesia? Sama saja yang dihadapi yaitu korupsi yang oleh Bung Hatta bahkan disebut sebagai suatu budaya bangsa. Sebagai budaya,  mengandung  pengertian bahwa korupsi sangat sulit diberantas karena sudah mengakar sedemikian rupa.
      Namun bangsa Indonesia tidak perlu berkecil hati. Segenap komponen bangsa wajib mengawal upaya pemberantasan korupsi ini. Harapan besar kita tumpukan kepada KPK yang telah mulai melakukan langkah-langkah besar dan berani, yang mudah-mudahan bukan hanya sekedar pepesan kosong. Kita juga berharap kepada Pemerintah agar bersungguh-sungguh melaksanakan janjinya selama kampanye  Pilpres dalam hal pemberantasan KKN di bumi Indonesia tercinta ini. Apabila punya visi  bahwa Indonesia akan menjadi negara besar pada tahun 2045 nanti, maka satu syarat utamanya yaitu memberantas KKN sekarang juga, tanpa pandang bulu dan tidak tebang pilih. Pemberantasan KKN yang tebang pilih adalah sama saja dengan tindakan terorisme dan korupsi di bidang penegakan hukum dan keadilan. Montesque bilang, bahwa kejahatan terbesar suatu pemerintahan adalah apabila ia mempermainkan hukum dan keadilan atas nama hukum yang ternyata hanya menguntungkan dirinya sendiri dan golongannya.
      Ada catatan menarik yang bisa kita ungkap kembali disini, bahwa rezim Orde Baru pernah dipuji oleh Presiden Ronald Reagen (Amerika Serikat) dan Raja Juan Carlos (Spanyol) dan meramalkan Indonesia dalam waktu akan menjadi negara maju. Nyatanya, setelah ORBA berkuasa selama 32 tahun kondisinya menjadi kebalikannya, kemerosotan terjadi dalam segi kehidupan. Dan jujur patut kita akui bahwa semua itu bisa terjadi karena korupsi yang merasuki segala sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Manipulasi sejarah, kecurangan dan teror pelaksanaan pemilu dan  pelanggaran HAM adalah beberapa jenis bentuk korupsi di samping pnyimpangan dan penyalahgunaan jabatan yang merajalela dan berjamaah pada masa itu. Oleh karena itu, impian menjadi negara maju hanya berupa pepesan kosong.  Atau barangkali mereka telah memberikan  pujian bohong-bohongan  karena ingin memanfaatkan geostrategis, geoekonomis dan geopolitik negara kita yang kaya sumberdaya alam melalui rezim yang mereka bisa setir.
      Kita tidak ingin mengulangi sejarah kegagalan yang keduakalinya. Oleh karena itu sekali lagi, pemberantasan KKN sekarang juga harus secara konsisten dilaksanakan tanpa pandang bulu dan tanpa tebang pilih. Presiden Liberia telah memberikan pelajaran berharga kepada dunia, lalu kapan kita mengikuti jejaknya ?.Mari kita tunggu gebrakan Pemerintah dan KPK lebih hebat lagi !!!.*****
      

gresik kota tua bersejarah

kompas edisi rabu 22 agustus 2012 memuat artikel dengan judul "pintu gerbang gresik". selain sebagai  pintu masuknya agama islam di pulau jawa, sebagai kota pantai atau kota pelabuhan, gresik juga pernah menjadi persinggahan penjelajah eropa sekelas marcopolo. bahkan penjajah portugis dan belanda pernah menjadikan gresik sebagai pusat pemerintahan daerah yang penting, yang bisa dilihat dari gedung-gedung dan benteng peninggalan mereka. hingga tahun 70-an gedung-gedung berarsitektur eropa masih banyak kita jumpai bertebaran di kota gresik. tetapi sayang sekali, ketika gresik dimekarkan menjadi kota kabupaten pada tahun 1975/1976, gresik mengalami pengrusakan massal yang sangat dahsyat. bupati pertama yang baru ditunjuk secara membabibuta merenovasi masjid jami gresik yang indah bergaya gabungan eropa, islam dan jawa menjadi jelek dan tidak jelas bentuknya. sampai sekarang renovasi itu belum tuntas sebagai imbas dari kelakuan bupati I tersebut. demikian juga komplek bangunan rumah sakit yang mirip bangunan istana kepresidenan dirobohkan dan diganti bangunan seperti sekarang ini yang tidak jelas arsitekturnya. dulu, bangunan sekitar aloon-aloon gresik sangat indah dan menarik dan berubah total setelah menjadi kota kabupaten. nampaknya, euforia pembangunan melanda juga kota gresik yang sebenarnya malah banyak merusak. membangun memang bisa berujung merusak apabila alam pikirannya mencari obyekan dan korupsi, dan itulah yang dialami kota gresik. demikian juga jalan samanhudi, dulu bernama jalan niaga dan hampir semua bangunan rumah /toko berarsitektur eropa dan tiongkok. dengan alasan pelebaran jalan karena pembangunan, semua bangunan sepanjang jalan itu  terpaksa harus dipapras sehingga menjadi kurang menarik lagi. tiang listrik dan telpon di dalam kota gresik yang terbuat dari besi yang indah bentuknya dan tidak berkarat, telah lenyap semuanya karena pelebaran jalan dan diganti dengan tiang-tiang baru yang tidak tegak lurus alias miring-miring dan umumnya mudah berkarat. sewaktu sekolah di sd negeri bedilan I gresik, saya bersama teman-teman sering main ke bekas benteng di dekat pelabuhan gresik. benteng yang konon peninggalan portugis itu sudah lenyap dan sudah berubah menjadi bangunan pabrik yang menjamur selama rezim orde baru. sayang sekali, pada hal bangunan arsitektur eropa dan tiongkok tersebut sangat potensial bagi pengembangan pariwisata sejarah  yang selaras dengan pariwisata religi yang selama ini sudah berkembang pesat di gresik.*****

Selasa, 21 Agustus 2012

GENERASI PENDOBRAK JILID III

 Harian Rakyat Merdeka terbitan 20 April  2010,memuat artikel dengan judul “Bodoh Permanen” yang ditulis oleh Arif Gunawan. Tulisan tersebut antara lain mengutip pendapat cendekiawan muslim,Ibnu Chaldun,yang membagi setiap zaman atas tiga kelompok generasi. Yang pertama,setiap zaman akan muncul generasi pendobrak. Kemudian muncul generasi yang kedua,generasi pembangun. Dan yang ketiga,generasi penikmat. Arief Gunawan mencoba membagi kondisi Indonesia ke dalam konsep Ibnu Khaldun tersebut. Generasi pendobrak di representasikan oleh kaum muda terpelajar angkatan 1928 dan kemudian angkatan 1945. Generasi pembangun disimbolkan dengan sosok Soeharto sedangkan generasi yang berlangsung saat ini di representasikan ke dalam generasi penikmat.
Agaknya pendapat tersebut perlu diperdebatkan lebih lanjut. Benarkah generasi 1928 dan 1945 sebagai generasi pendobrak?. Lalu,benarkah era Soeharto sebagai generasi pembangun,dan generasi sekarang sebagai generasi penikmat?. Angkatan 1928 dan 1945 sebagai generasi pendobrak,barangkali tidak seorang pun yang mengingkari. Tetapi zaman Soeharto diklaim sebagai generasi pembangun perlu di telaah lebih cermat tetapi tetap dengan kepala dingin. Seolah – olah hanya zaman Soeharto ada pembangunan. Padahal kenyataannya,sejak Presiden Soekarno,bangsa Indonesia sudah melaksanakan pembangunan dengan konsep “pembangunan nasional semesta berencana” yang di mulai pada tahun 1961. Karena terjadi peristiwa G 30 S pada tahun 1965, Presiden Soekarno menyatakan pembangunan mengalami kemunduran selama 13 tahun. Peristiwa G 30 S adalah titik balik masa pembangunan yang dirintis oleh generasi pendobrak dengan politik berdikarinya. Hasil generasi pendobrak,barangkali bisa kita saksikan antara lain keutuhan NKRI dari Sabang – Merauke seperti wujudnya sekarang ini. Penyelesaian terhadap pemberontakan bersenjata dan pembebasan Irian Barat ke pangkuan NKRI,pendirian perguruan tinggi di setiap ibukota provinsi,pembangunan Istora Bung Karno,Monas (Monumen Nasional),Masjid Istiqlal,dan beberapa lagi adalah contoh hasil pembangunan yang dilaksanakan oleh generasi pendobrak. Keberhasilan menyelenggarakan Konferensi Asia Afrika di Bandung (1955),Asian Games ke IV di Jakarta (1962),GANEFO I (1963),Konferensi Islam Asia Afrika di Bandung (1965) adalah juga prestasi lain dari generasi ini,Generasi Pendobrak. Pembangunan obyek – obyek vital dan bersejarah tersebut sebenarnya mempunyai multiplier effect terhadap perekonomian baik selama pembangunan maupun sesudahnya.  Memerlukan waktu dua puluh tahun untuk menuntaskan perjuangannya,tetapi kemudian terputus secara kontroversial setelah munculnya rezim Orde Baru yang di representasikan sebagai kekuasaan Soeharto. Selama zaman Soeharto memang ada RENCANA PEMBANGUNAN LIMA TAHUNAN yang disusun secara sistematis sesuai teori yang umum berlaku. Tetapi bagaimana hasilnya setelah menghabiskan waktu lebih dari 30 tahun melalui kekuasaan secara terus – menerus dan tan tanpa terputus yang di peroleh dengan berbagai trik dan tipu daya ?. Semua faktanya dapat dievaluasi melalui berbagai parameter yang terukur secara kuantitatif maupun kualitatif .
  Ukuran Pembangunan
Ukuran pembangunan sebenarnya bisa dilihat dari berbagai aspek. Antara lain,berapa lama waktu yang telah dihabiskan,berapa banyak aset dan  kekayaan alam yang telah dikorbankan,berapa utang dan bantuan asing telah dihabiskan,lalu bagaimana hasil akhirnya. Hasil akhir inilah yang merupakan tolok ukur apakah benar suatu rezim telah melakukan pembangunan. Atau barangkali sebaliknya,terjadinya pembangkrutan dan ketergantungan secara sistematis kepada pihak asing. Pertumbuhan ekonomi yang sering didengung – dengungkan sebesar 7% pertahun ternyata hasil akhirnya hanya berupa krisis ekonomi dan dekadensi di berbagai bidang. Sebagai akibatnya,rezim Soeharto dipaksa mundur oleh aksi massa yang merebak di berbagai pelosok tanah air yang menginginkan perubahan secepatnya.
Sekiranya selama tiga dekade  kemarin itu benar – benar terjadi pembangunan yang hakiki,mungkin generasi yang seharusnya sebagai penikmat tidak ada lagi yang mengalami kelaparan,pengangguran,kurang gizi,dan lain – lain yang serba tuna seperti  dialami sekarang ini. Malah dalam kenyataannya telah terjadi lagi generasi pendobrak yang bisa dikategoriksn  jilid tiga karena harus menumbangkan rezim otoriter dan korup. Perilaku korupsi ini tidak tanggung – tanggung .Korupsi kekuasaan,korupsi politik,apalagi korupsi uang adalah makanan sehari – hari bagi yang berkuasa dan punya kedudukan. Saking meratanya perilaku korup ini,sehingga hampir tidak pernah ada pelaku yang ditindak secara moral apalagi secara hukum. Sebab sekitar lembaga hukum itu sendiri juga gudangnya peluang korupsi. Oleh karena itu,generasi ini lebih tepat disebut sebagai generasi korup sekaligus generasi penikmat ,karena menikmati hasil korupsinya tersebut. Sebagai akibatnya,timbullah kesenjangan, yang kaya semakin kaya,yang miskin tetap tertinggal jauh. Fakta ini terbukti ketika rezim ini jatuh pada 1998,disertai dengan tindak kekerasan,pengrusakan,penggarongan,dan penjarahan oleh massayang terjadi di mana – mana. Seolah – olah Tuhan menunjukkan,itulah hasil pembangunan selama tiga dekade yang sebenarnya.
Kesimpulan
  Sesuatu memang nampak berbeda tergantung dari sudut mana melihatnya. Tetapi,perbedaan itu tidak boleh mengada – ada,apalagi merekayasa dan menutup – nutupi. Sebab apabila ini di lakukan,berarti terjadi penipuan dan pembohongan publik yang bisa menjurus ke arah korupsi informasi dan korupsi kekuasaan sekiranya hal ini dilakukan oleh penguasa. Tetapi cara pandang juga tidak boleh untuk tujuan memfitnah,karena fitnah lebih kejam dari pembunuhan. Seyogyanya,apabila pelaksanaan pembangunan berhasil,maka generasi penikmat hanya tinggal menikmati,meneruskan,dan lebih bisa meningkatkan lagi. Bukan sebaliknya,karena kondisi seperti yang kita alami sekarang ini adalah merupakan hasil sebuah proses dari generasi sebelumnya.
Ketika generasi pendobrak dijatuhkan oleh rezim Orde Baru pada tahun 1965/1966,kekayaan alam bangsa Indonesia masih melimpah karena politik BERDIKARI. Setelah Orde Baru berkuasa,dibuatlah UU Penanaman Modal Asing dan tereksploitirlah kekayaan alam itu (emas,tembaga,nikel,minyak dan gas bumi,hutan,dan lain – lain) secara membabi buta.Tetapi herannya,pemerintahan yang sangat kuat itu telah membuat negara menjadi miskin,daya saing rendah,dan timbulnya separatis Organisasi Papua Merdeka (1974) dan Gerakan Aceh Merdeka (1976). Sehingga, gelar Bapak Pembangunan yang pernah diberikan kepada Soeharto juga perlu dipertanyakan keabsahannya apabila mempelajari kenyataan di atas. Jadi sebenarnya,generasi setelah 1998 ini adalah juga masih generasi pendobrak jilid ketiga setelah generasi 1928 dan 1945. Semoga bangsa Indonesia tidak salah jalan lagi dan berhasil dalam menapaki jalan mencapai masyarakat adil dan makmur secepatnya sebagaimana diamanatkan oleh Pancasila dan cita – cita Proklamasi 17 Agustus 1945 !.