Entri yang Diunggulkan
GENERASI PENDOBRAK JILID III
Harian Rakyat Merdeka terbitan 20 April 2010,memuat artikel dengan judul “Bodoh Permanen” yang ditulis oleh Arif Gunawan. Tulisan tersebut...
Kamis, 27 September 2018
Kesiapan Penyelenggaraan Asian Games 2018 dan Sampah
(artikel ini pernah dikirim ke media massa cetak pada akhir Juli 2018, tetapi tidak ada yang memuat)
Sebentar lagi bangsa Indonesia menjadi tuan rumah perhelatan akbar Asian Games 2018 yang akan dibuka pada tanggal 18 Agustus 2018. Suatu angka yang menarik karena mengandung angka kembar 18-8-18, yang semoga membawa keberuntungan terutama terhadap prestasi olahraga (semoga bisa menyamai prestasi pada AG IV di Jakarta pada tahun 1962 yang lalu), serta bisa meningkatkan industri pariwisata di Indonesia. Oleh karena itu, pada acara pembukaan nanti di Stadion Utama Gelora Bung Karno (SU GBK) akan ditampilkan konsep keindahan alam dan keberagaman budaya asli Indonesia.
Konon, Gubernur DKI Jakarta dan Gubernur Sumatera Selatan menyatakan telah siap untuk menjadi tuan rumah yang baik karena semua prasarana/venue olahraga telah selesai/siap selesai pada waktunya untuk digunakan.. Mungkin ini semua ada benarnya, tetapi menurut pengamatan penulis, kota penyelenggaranya banyak yang belum siap, khususnya untuk DKI Jakarta. Trotoar di Pal Merah dekat komplek perkantoran Kompas misalnya, banyak yang masih berupa nahtu (tanah dan batu) yang didak nyaman bagi para pejalan kaki. Juga di Pejambon seberang Stasiun Gambir, Lapangan Banteng dan beberapa lokasi strategis banyak yang belum rampung dan belum rapi. Takutnya nanti dikerjakan asal jadi dan kurang bermutu karena hasil dari perilaku kejar tayang. Apa nanti kata dunia, pada hal DKI Jakarta dipimpin oleh Gubernur dan Wakil Gubernur yang kebetulan pernah belajar bertahun-tahun di Amerika Serikat. Sandainya benar-benar merupakan sosok yang ahli pembelajar, pasti dalam waktu yang singkat bisa menerapkan etos kerja dan mutu hasil kerja seperti di lingkungan tempat mereka menimba ilmu di masa lalu, ketika mereka masih pemuda-mahasiswa yang tentunya masih sangat enerjik dan penuh idealism.
Belum lagi masalah sampah. Walaupun Gubernur Anies Baswedan pernah memberikan contoh dengan blusukan memunguti sampah, tetapi nyatanya rakyat dan masyarakatnya sama sekali tidak peduli, dan tidak berhasil menciptakan budaya sadar sampah bagi masyarakatnya. Sampah ada di mana-mana, jorok dan tidak elok dipandang mata. Maka tidak heran, kalau di Jakarta kita jarang melihat turis asing berkeliaran di jalanan seperti yang kita lihat di Singapura atau Kualalumpur atau Bangkok sesuai pengalaman langsung penulis ketika berkunjung ke tiga kota tersebut beberapa waktu yang lalu.
Waktunya mungkin masih belum terlambat. Negeri gen kuning saja (Korea Selatan dan Tiongkok) mempersiapkan dalam waktu dua tahun untuk mendidik rakyatnya agar menjadi tuan rumah yang ramah dan sadar lingkungan bersih.
Penulis mengusulkan, agar dalam waktu yang singkat ini diterapkan “Padat Karya Tunai Pasukan Oranye” seperti halnya “Padat Karya Tunai Pertanian ” yang sudah diterapkan dengan baik dan berhasil meningkatkan pendapatan petani di berbagai tempat di tanah air. Pasukan Oranye tersebut sebaiknya direkrut dari para pasukan oranye (petugas kebersihan) yang sudah ada ditambah dengan para pemulung dan diawasi oleh Satpol PP/Anggota TNI dan POLRI yang sudah mencanangkan dan bertekad siap menyukseskan serta mengamankan Asian Games 2018. Dalam hal ini Satpol PP/Anggota TNI/POLRI khusus bertugas mengawasi perorangan dan masyarakat pembuang sampah sembarangan, menangkap dan menghukum sesuai PERDA yang berlaku. Masak ada Peraturan Daerah kok seperti tidak ada manfaatnya, akibatnya ibukota negara kok jorok, kumuh dan memalukan. Sehingga benar kata putri penulis yang pernah mengikuti kursus Bahasa Inggris di LIA. Konon ada native speaker yang ketika ditanya apa kesannya tentang Indonesia. Dikiranya si cewek bule itu akan bicara tentang negeri yang indah dan ramah seperti yang selama ini sering kita gembar-gemborkan; tetapi ternyata dia bilang dengan nada mengejek, bahwa Indonesia adalah “negeri keranjang/tong sampah terbesar di dunia, karena semua orang membuang sampah seenaknya tanpa merasa bersalah apalagi berdosa”. Pada hal selalu terdengar dakwah yang menyatakan :”Kebersihan adalah merupakan setengah daripada iman”.
Agaknya, perlu pak Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta beserta jajarannya selalu rajin blusukan untuk membangun masyarakat yang beradab terutama dalam hal mengelola sampah. Dan metode penanggulangan sampah seperti yang penulis usulkan tersebut bisa diterapkan di seluruh Indonesia dalam rangka membangun mutu SDM yang dimulai dari sampah, yang sekaligus dalam rangka meningkatkan industri pariwisata karena lingkungan nan bersih dan nyaman. *****
Minggu, 22 Januari 2017
Dentuman Meriam di Lapangan Monas
Pada tahun 2006, saya pernah menulis surat
pembaca di berbagai media massa, mengusulkan agar dentuman meriam di Lapangan Monas
dihentikan, karena dikhawatirkan dapat merusak bangunan Monas dan bangunan
cagar budaya lain di sekitarnya. Seperti diketahui, setiap kali menyambut tamu
negara selalu diberikan tembakan Meriam
sebanyak 19 sampai 21 kali, dan untuk perayaan HUT Kemerdekaan RI diberikan
tembakan sebanyak 17 kali.
Usul saya tersebut diilhami oleh kebijakan
Pemerintah India yang pernah melarang konser music di kawasan Taj Mahal, karena
dikhawatirkan getarannya dapat merusak bangunan yang sangat mereka (dan dunia)
banggakan itu. Perlu saya sampaikan juga, bahwa sewaktu saya berkantor di Jalan
Medan Merdeka Timur, apabila ada tembakan Meriam di lapangan Monas, dnding dan
jendela kantor selalu bergetar. Maka dapat dibayangkan apa yang terjadi pada
bangunan Monas, Istana Kepresidenan dan lain-lain. Saya mengusulkan agar
peringatan detik-detik proklamasi cukup disambut dengan bunyi sirene dan bedug
di Masjid Istiqlal dan masjid di kawasan istana kepresidenan serta lonceng di
Gereja saja. Sedangkan ketika menyambut tamu negara, sebaiknya tembakan Meriam
diberikan ketika tamu tiba di Lapangan Terbang (Bandara) Halim Perdanakusuma
Dengan langkah tersebut, berarti kita
turut menjaga kelestarian bangunan peninggalan bersejarah oleh pendahulu kita
yang berguna bagi obyek pariwisata dan sebagai penanda zaman, prestasi kerja
serta karya arsitektur yang monumental.
Semoga usulan saya
ini dapat menjadi kajian dan pertimbangan pemerintah!.
Rabu, 04 Januari 2017
Mencari Sahabat Lama
Saya Muhammad Sadji, alumni SMPN I Gresik (1966) dan STM Kimia Industri YWSG
Gresik (1969). Kehilangan jejak teman baik saya yang bernama Hariyanto bin
Suratmo. Dulu pernah tinggal di Kompleks Pegadaian Gresik dan terakhir bekerja
di PT Sasa Probolinggo. Orang tuanya (Keluarga pak Suratmo pensiunan PT
Pegadaian) konon pindah ke Solo.
Pak Haryanto/keluarga/ putra-putrinya
atau saudaranya, mohon hubungi saya (081330762727) untuk menyambung tali
silahturahmi. Terima kasih atas perhatiannya, termasuk kepada siapa saja yang
bisa memberikan informasi mengenai keberadaan pak Hariyanto beserta
keluarganya..Wassalam dari saya : Muhammad Sadji
Sabtu, 24 Desember 2016
Natal Bersama 1996 di Kupang
Pada tahun 1996 /1997 ,
tepatnya Juli 1996 sampai dengan September 1997 saya menjabat sebagai Kepala
Cabang sebuah BUMN di Kupang yang wilayah kerjanya meliputi seluruh wilayah NTT
(Nusa Tenggara Timur) dan Timor Timur.
Menjelang perayaan Natal
1996 datang beberapa orang pemuda – pemudi ke rumah dinas saya. Rupanya mereka
berasal dari Panitia Natal Provinsi NTT. Mereka menyampaikan undangan Natal
Bersama dengan menyodorkan kartu
undangan yang di bagian pojoknya ada bakal potongan dan terdapat tulisan nilai
nominal uang sebesar Rp 1.000.000,-(satu juta rupiah).
Setelah ngobrol sana –
sini dan sempat sejenak berpikir , lalu kepada mereka saya bertanya :” Maaf ,
barangkali diantara anda ada yang tahu
kalau saya keluarga muslim ? .”
Seseorang di antara mereka
menjawab :” Kami tahu Bapak muslim. Karena Bapak adalah pimpinan suatu instansi
maka Bapak kami undang. Mohon maaf bila
Bapak tidak berkenan. “
“ Kalau begitu , saya akan
sekedar menyumbang saja ,ya ! , “ kata
saya kemudian. “ Maaf pak , berapa Bapak akan menyumbang ?,” tanya seseorang
di antara mereka.
Setelah saya menyebut
sejumlah angka tertentu , mereka menyahut bahwa panitia tidak bermaksud meminta
– minta sumbangan.
“ Yang kami minta adalah pertisipasi
Bapak untuk kesuksesan Perayaan Natal Bersama
yang nilainya sudah kami tetapkan, yaitu sebesar Rp 1.000.000; . Kalau Bapak
tidak berkenan , kami mohon diri , pak.”
Saya kemudian sadar dan
malu bahwa dalam rangka toleransi kehidupan beragama, maka saling bantu membantu adalah merupakan budaya
yang harus dijunjung tinggi. Maka saya segera menyahut bahwa saya bermaksud
membantu tetapi uangnya boleh diambil besok sore.
Saya juga sadar bahwa saya
berada di suatu kota dan lingkungan wilayah yang waktu itu saya amati tidak
pernah ketemu atau melihat pengemis atau peminta – minta seperti yang banyak terdapat di Pulau Jawa, misalnya.
Suatu budaya yang lain dari pada yang lain dan saya harus hargai dan hormati.
Sebagai Kepala Instansi ,
saya menghadiri perayaan Natal dan menyambut tahun baru bersama tersebut ,
bersama Gubernur NTT dan jajaran pemerintah propinsi NTT serta para pimpinan
instansi lainnya. Saya mengikuti acara tersebut dengan seksama dari awal acara
hingga selesai, yang disuguhi juga dengan berbagai seni budaya lokal yang kaya
dan menarik. Kesan saya , alangkah indahnya hidup dalam kebersamaan , saling
gotong royong, dan saling menghargai satu sama lain.*** (artikel ini pernah dikirim ke Harian Kompas pada Desember 2011)
Selasa, 20 September 2016
Dicari : Kepala Daerah yang DJAKARTA !
Salah satu hasil reformasi yang gegap gempita di Indonesia adalah dipilihnya Kepala Daerah secara langsung oleh rakyat melalui Pemilukada. Maka berbondong-bondonglah orang yang merasa mampu dan merasa bisa (rumongso biso), mendaftar jadi calon Bupati, Walikota, Gubernur bahkan Presiden. Gambar mereka terpampang dimana-mana dengan berbagai pose dan kata-kata mutiaranya. Lucunya, rata-rata gambar mereka tampil dengan senyum menyeringai bak mempertontonkan taringnya. Anak saya yang masih mahasiswa menyindir, bahwa itu menunjukkan jangan-jangan mereka hanya siap menerkam mangsa atau barang jarahan, alias korupsi.
Mereka berebut ingin dipilih rakyat
dengan berbagai cara, kiat dan tipu dayanya. Sementara rakyat yang umumnya
belum cerdas, bingung bagaimana menentukan pilihannya. Ada kelompok masyarakat yang
secara terang-terangan mengakui bahwa mereka hanya mau memilih calon yang mau
kenal mereka, dan wujud perkenalan itu adalah uang. Siapa yang mengirim utusan
dan mau bagi-bagi uang, berarti dia mau mengenal mereka dan itulah yang layak
dipilih. Sehingga jangan heran apabila ada politik uang di negeri ini selagi
masih ada kemiskinan dan kebodohan.
Terlepas dari sisi negatif tersebut,
kiranya kepada para pemilih perlu diberikan gambaran bagaimana siasat menentukan
pilihan Kepala Daerah yang mendekati kebenaran atau ketepatan, bukan asal pilih
apalagi salah pilih.
DJAKARTA
Beberapa waktu yang lalu, Todung Mulya Lubis menulis artikel di sebuah
harian ibukota yang mengungkap pendapat Lech Walesa (Mantan Presiden Polandia)
mengenai mutu pembangunan suatu bangsa. Pada waktu itu dia sehabis memberikan Presidential Lecture di hadapan Presiden
SBY dan jajaran Kabinet Indonesia Bersatu II. Menurut Lech Walesa, mutu pembagunan
suatu bangsa itu dapat dilihat bagaimana penataan ibukotanya.Sebab, Ibukota
suatu Negara adalah cerminan kondisi suatu bangsa apakah semrawut, jorok,
amburadul atau tertib dan rapih.
Oleh karena itu dalam diskursus ini
penulis ingin mengambil nama “ibukota Negara Kita” sebagai sumber inspirasi,
bagaimana memilih Kepala Daerah yang tepat sasaran. Secara kebetulan, ibukota
RI adalah DJAKARTA (dengan ejaan lama), maka cukup tepat apabila kata itu kita
jadikan istilah umum untuk pedoman mengikuti Pemilukada di Indonesia. DJAKARTA
disini adalah merupakan akronim dari kata kunci: (D)edikasi, (J)ujur, (A)presiatif,
(K)reatif, (A)sih dan (A)suh, (R)amah, (T)egas, (T)rengginas serta (T)eladan dan (A)njangsana.
Dedikasi dimaksudkan, bahwa seseorang
yang mencalonkan diri haruslah yang mempunyai dedikasi terhadap profesinya,
untuk apa dia mencalonkan diri. Layaknya, orang yang punya dedikasi adalah
orang yang profesional dan siap mengabdikan segala jiwa raga dan pikirannya
untuk kepentingan rakyat, daerah dan Negara. Gambaran profesional seorang
kepala daerah adalah tahu segala masalah yang mendesak dan mampu mencari jalan
keluarnya serta berkarakter dan berjiwa pembelajar. Sosok pembelajar adalah
manusia yang selalu mau belajar, bertanya, dan mengamati serta mengikuti dan
mencontoh karya orang lain yang lebih baik.
Jujur adalah tuntutan karakter untuk orang yang punya dedikasi. Dia tidak
akan melakukan kecurangan walaupun punya kesempatan yang seluas-luasnya. Apresiatif adalah gambaran bahwa ia
penganut paham demokratis yang mau mendengar segala pendapat dan ide yang
berkembang dalam rangka membangun daerah dan Negara. Bahwa setiap pemimpin yang
apresiatif harus mampu menggali potensi rakyatnya untuk dikembangkan demi
kemajuan bersama.
Kreatif, bahwa seorang
pemimpin harusnya selalu kreatif dalam mengembangkan daerah dan negaranya.
Kreatifitas yang visioner sangat diperlukan, disertai kejujuran dan kecerdasan
seorang pemimpin. Sebagai contoh, perlukah sebuah patung penanda jalan harus
dibangun? Mengingat besarnya biaya dan permasalahan mendesak yang harus
dihadapi dan ditanggulangi, mungkin lebih bijaksana apabila anggaran yang ada
untuk perbaikan sekolah, prasarana, perumahan penduduk yang tidak layak,
pengerukan kali, dan lain-lain. Untuk pengingat jalan, sebaiknya cukup diinstruksikan
saja agar setiap kantor, instansi atau toko dan tempat/dunia usaha mencantumkan
juga nama jalan dan nomor serta kode posnya, maka itu lebih bermakna dibanding
membangun patung yang setiap orang mungkin tidak peduli.
Asih dan Asuh dimaksudkan
bahwa seorang pemimpin adalah yang mampu mengasihi dan membimbing rakyatnya, Mampu
mengatasi kemacetan, kesemrawutan, sampah, ledakan penduduk, ketertiban dan
keamanan adalah suatu bentuk profesionalisme yang asih dan asuh seorang Kepala
Daerah terhadap permasalahan rakyatnya. Sebaliknya, pembiaran terhadap masalah
kemacetan, banjir, kekumuhan dan polusi adalah salah satu bentuk sikap tidak
asih dan tidak asuh, kurang dedikasi dan tidak profesional.
Ramah, bahwa seorang pemimpin
haruslah selalu bersikap ramah terhadap seluruh rakyatnya tanpa dibuat-buat.
Sikap arogan dan angkuh adalah sifat yang harus dijauhi oleh seorang pemimpin
agar kepemimpinannya dapat berhasil dengan baik secara sinergis, efisien, dan
efektif.
Tegas, Trengginas, dan Teladan
(3T), adalah tiga sikap yang mutlak harus dimiliki oleh seorang pemimpin
agar pencapaian visi dan misinya dapat berhasil dengan baik. Penghargaan dan
penegakan hukum serta pemberian sanksi haruslah diterapkan secara tegas dan
konsisten melalui pengamatan dan evaluasi yang trengginas dalam arti dilakukan
secara terus menerus, menyeluruh, terukur, tepat dan cepat. Sebagai contoh,
penertiban PKL itu seharusnya dilakukan secara terus menerus dengan adil dan
bijaksana. Tidak boleh sampai meleng alias lengah dan sesudah itu
mengobrak-abrik lagi. Juga jangan sampai ada renovasi sekolah tidak bermutu
tetapi tidak terdeteksi sehingga ambruk dan membawa korban. Ada anak sekolah menyeberang
sungai tanpa jembatan, serta wilayah di pelupuk matanya banjir parah tanpa bisa
diketahui penyebabnya, padahal Gubernurnya mengantongi bejibun tanda
penghargaan dan Wagubnya pandai beriklan, adalah merupakan petunjuk bahwa
keduanya agaknya kurang blusukan dan kurang professional. Kepala Daerah
harusnya memberikan teladan bagi rakyatnya, bukan pecandu narkoba, jujur dan
tidak korup, disiplin serta kerja keras.
Dan yang terakhir adalah Anjangsana.
Bahwa seorang pemimpin yang profesional dan penuh dedikasi adalah seseorang
yang selalu rajin beranjangsana dan blusukan terhadap wilayah kerjanya. Dia
bukanlah orang yang gila hormat dan selalu duduk manis di belakang meja dengan
mengandalkan laporan ABS (Asal Bapak Senang). Rajin beranjangsana ke seluruh
pelosok wilayah kerjanya adalah ciri pemimpin yang berdedikasi tinggi sebagai administrator
pemerintahan. Melalui anjangsana langsung memungkinkan seorang pemimpin
mengetahui dengan pasti semua persoalan yang dihadapi rakyatnya. Jangan sampai
ada seorang Gubernur yang wilayahnya kecil, marah-marah gara-gara masjid yang
diresmikan, bentuknya atau pekerjaannya kurang rapi. Ini bukti bahwa Kepala
Daerah itu kurang profesional dan kurang blusukan, padahal Presiden Jokowi
sudah mengajarkan mengenai manajemen blusukan yang sangat terkenal sebagai alat
control dan pengawasan di lapangan. Bahkan pada waktu sekarang ini, masih ada
seorang Walikota tetangga Ibukota RI, membangun stadion mini yang super jelek
karena tanpa sentuhan arsitek dan oleh pelaksana yang terkesan asal-asalan.
Alhasil, pemimpin yang ideal adalah yang memiliki pribadi dan karakter
serta mutu yang DJAKARTA sebagaimana diuraikan secara garis besarnya di atas.
Semoga kita tidak salah memilih Kepala Daerah, sehingga seluruh daerah di
Indonesia bisa menjadi Singapura-Singapura yang indah, maju dan mandiri, tidak serba terbelakang seperti sekarang ini.
Sebab, pada dasarnya, Kota Administratif/Kabupaten dan Provinsi di negeri kita
ini adalah merupakan singapura-singapura yang banyak jumlahnya. Kalau saja para
Kepala Daerahnya bermutu “DJAKARTA” dan sekaliber pemimpin di Singapura, bukan
mustahil, seluruh Indonesia yang indah dan kaya raya akan tercapai. Tetapi
entah, sampai kapan ?!*****
Label:
basuki tjahja purnama,
cagub DKI,
gubernur jakarta,
indonesia,
jakarta,
kepala daerah,
Korupsi,
pemda DKI,
pemerintah,
pemimpin,
wakil rakyat
Kamis, 15 September 2016
Upaya Memajukan Persepakbolaan di Indonesia
Perhatian masyarakat dunia selama bulan Ramadhan 2016 kemarin tercurah ke
perhelatan Piala Amerika di
Amerika Serikat dan Piala Eropa di Perancis. Tidak tanggung–tanggung, dari
rakyat biasa sampai Presiden dan Raja serta Ratu menaruh perhatian yang besar
terhadap jenis olahraga yang paling populer di muka bumi ini. Suatu bangsa
boleh saja miskin atau saling bertikai,tetapi dengan sepak bola seolah semuanya
menjadi tidak ada masalah. Dengan jumlah pemain
sebanyak 11 orang dalam setiap laga,sepak bola memang dapat dianggap bisa mewakili atau merupakan
representasi suatu bangsa. Maka tidak heran apabila ada pimpinan negara sampai
turun tangan dalam mempersiapkan tim negaranya dan terus mengikuti perkembangan
sepak terjang timnya yang sedang berlaga. Gejala tersebut bisa jadi karena
dalam perkembangannya,olah raga sepak bola apalagi perhelatan setingkat Piala
Dunia mampu membangkitkan ekonomi kreatif bangsa – bangsa di seluruh dunia
walaupun negara tersebut tidak ikut berlaga di Piala Dunia.
Sebagai contoh, Pemerintah Afsel yang pernah sebagai penyelenggara Piala
Dunia 2010 yang lalu, mengaku mengalami pertumbuhan ekonomi yang cukup
menjanjikan. Ada sekitar 600 ribu lapangan pekerjaan tercipta selama event
berlangsung, dimana 200 ribu di antaranya menjadi permanen dan 100 ribu lainnya
merupakan kegiatan insidentil. Afsel juga kebanjiran 500 ribu wisatawan
penonton yang datang dari berbagai penjuru dunia (Media Indonesia,3 Juli 2010).
Bahkan Spanyol juga sempat berharap bisa mengalami pertumbuhan ekonomi yang
tinggi setelah berhasil menjadi juara Piala Dunia 2010. Spanyol berharap bisa
seperti Italia yang mengalami pertumbuhan yang cukup tinggi di bidang
pariwisata setelah berhasil menjadi juara Piala Dunia 2006 yang lalu.
Bagaimana dengan
masyarakat kita di Indonesia?. Ternyata,kita pun dilanda demam bola. Sebagai
contoh, anak – anak kecil di mana–mana terlihat banyak yang bermain bola. Apabila kita kilas balik menengok ke
belakang, perhelatan nonton bareng juga diadakan di berbagai tempat. Bali yang
terkenal dengan seni pahatnya, pada waktu Piala Dunia 2010 yang lalu berhasil menciptakan boneka yang menggambarkan
pemain – pemain favorit dunia dan
berhasil menarik perhatian para penonton dan penggemar bola di Afrika Selatan.
Indomaret dan Alfamaret,sebagai contoh, juga ikut – ikutan menjual pernak
– pernik Piala Dunia yang berupa
bola,kaos,gelas,dan lain – lain. Bahkan Presidan SBY pada waktu itu bersama beberapa Menteri KIB II menyempatkan
nonton bareng di Ballroom Puri Kencana Hotel Intercontinental – Bali pada laga
pembukaan pada tanggal 11 Juni 2010 dan juga nonton bareng di kediaman Puri
Cikeas. Yang menarik,Presiden SBY juga sempat
mempertanyakan dua hal kepada Menteri Negara Pemuda & Olah Raga pada masa
itu, Andi Mallarangeng. Yang pertama,kapan PSSI bisa tampil di arena final
Piala Dunia. Dan yang kedua,Presiden sempat mendiskusikan goal Meksiko atas
Afrika Selatan yang dianulir wasit.
Pertanyaan Presiden SBY tersebut semestinya perlu mendapat jawaban dalam rangka memajukan persepak
bolaan di Indonesia. Sekaligus menindaklanjuti cita – cita Presiden yang pernah
di sampaikan dalam kongres Sepak Bola Indonesia di Malang beberapa waktu yang
lalu,yang menginginkan agar PSSI bisa berjaya kembali seperti yang pernah
diraih pada masa lalu.
Jawaban itu sebenarnya antara lain sudah tersirat dalam percakapan antara
Presiden dan Menegpora bahwa pesepak – bolaan Indonesia masih pada tahap
kategori kelas ngambek manakala wasit dianggap keliru dalam mengambil keputusan
(kata Menegpora). Lalu,wasit diburu dan disantet kalau tidak berhasil ditangkap
(komentar Presiden). Dan jawaban kedua,agaknya ada pada iklan
Bodrex yang seolah,meledek mutu persepabolaan di Indonesia karena pada waktu
itu mengetengahkan pesepakbola Bambang
Pamungkas,pemain utama PSSI,yang dilukiskan sedang sakit kepala. Iklan
tersebut tampilkan dalam sela acara tayang Piala Dunia Afrika Selatan oleh
RCTI,sehingga dapat diasosiasikan bahwa sepak bola di Indonesia sedang
bermasalah.
Jawaban ketiga,karena faktanya memang persepakbolaan di Indonesia sedang
mengalami kemunduran, bahkan hingga sekarang ini. Banyak yang tidak peduli lagi
dengan olah raga rakyat ini. Sebagai contoh,kalau pada tahun 60 – an di daerah
saya di Gresik ada lapangan bola di desa Benjeng dekat SD Negeri yang menjadi tempat latihan rutin PSB (Persatuan
Sepak Bola Benjeng),sekarang sudah tidak ada lagi. Dan demikian juga lapangan
bola di Alun – alun kota Gresik,sekarang lapangan tersebut sudah tidak ada lagi,padahal
dulu tempat latihan rutin PSHW,PS
Gapura, PS Sidolig, Persegres dan lain-lain.. Di Jalan Ratna,Jatiasih – Bekasi
dekat tempat tinggal saya sekarang,sekitar beberapa tahun yang lalu masih ada
lapangan bola yang justru letaknya dekat dengan SDN setempat. Tetapi
sekarang,tanah lapang tersebut sudah berubah menjadi ruko. Konon Kepala Desa
setempat terlibat dalam alih fungsi lahan ini. Di Jakarta sendiri,Lapangan Bola
(Stadion) Menteng yang bersejarah telah diubah oleh Gubernurnya menjadi taman,
dan hampir tidak ada yang berusaha menghalangi kebijakan alih fungsi stadion tersebut..Hal ini tidak
mengherankan karena mantan Gubernur yang mengambil kebijakan pembongkaran ternyata lebih menyempatkan diri
main wayang orang justru pada saat orang ramai nonton dan memperbincangkan
final Piala Dunia di mana – mana.
Dan mungkin banyak lagi kasus seperti ini di seluruh Indonesia. Oleh
karena itu jangan heran kalau anak – anak sekarang hanya bisa main bola di
Futsal atau di jalan – jalan dan pekarangan kosong karena makin langkanya
lapangan bola di sekitar kita. Mungkin sudah saatnya ada kebijakan resmi
pemerintah yang menganjurkan agar setiap pengembang perumahan di wajibkan
menyediakan lapangan bola yang representative.
Yang keempat,perlu pencanangan agar “Indonesia melamar menjadi tuan rumah
Piala Dunia” walaupun untuk penyelenggaraan pada masa yang jauh mendatang. Dan
bersamaan pencanangan itu perlu ada gerakan massal yang menunjang pembinaan
persepakbolaan oleh Pemerintah Pusat dan Daerah,sekolah,pengusaha,BUMN,Parpol,dan
Ormas serta seluruh masyarakat luas. Juga perlunya cita – cita membangun stadion bertaraf
internasional seperti Gelora Bung Karno sebanyak – banyaknya di seluruh
Indonesia. Momentum penyelenggaraan PON (Pekan Olah Raga Nasional) bisa
dimanfaatkan untuk membangun stadion ini,tetapi bukan asal jadi apalagi kalau
besar korupsinya.
Jadikan gerakan demam sepak bola yang fair
dan sportif kapan saja dan di mana saja dalam rangka mencapai cita – cita
pertumbuhan ekonomi melalui sektor olah raga khususnya sepak-bola dan pariwisata, dan dalam rangka mengubah
citra negara yang dewasa ini hanya mampu sebagai pengekspor TKI murahan,menjadi
negara pengekspor pemain bola yang handal.
Ada fakta sejarah yang perlu disadari oleh generasi sekarang maupun
generasi yang akan datang bahwa Indonesia antara lain pernah dijajah Portugis
dan Belanda dalam jangka waktu yang cukup lama. Dua negara itu termasuk
kampiunnya sepak bola di muka bumi ini. Sehingga sepantasnya, apabila kita semua berharap agar bangsa Indonesia bisa mewarisi bakat sepak
bola ini sebagaimana Brasil,Argentina,Ghana,dan lain – lain yang sanggup
berprestasi menyusul negeri penjajahnya. Dan apabila dihubungkan dengan kesamaan kultur dan emosional, bisa saja
kita melakukan pembibitan dan pembinaan yang seksama di kawasan Tapanuli,
Sulawesi Utara, Maluku, Nusa Tenggara Timur dan Papua.
Sebagai jawaban terakhir, mantan Presiden Bill Clinton saja
mau menyempatkan diri hadir ke Afrika Selatan dalam rangka ikut kampanye
Amerika Serikat melamar menjadi tuan rumah Piala Dunia lagi. Lalu,kapan para
pemimpin Indonesia mau melibatk an
diri ikut kampanye membudayakan sepak bola sebagai gerakan olah raga rakyat?.
Itulah yang kita tunggu,dari sekarang,dalam rangka merevitalisasi persepak
bolaan di Indonesia. Dalam hal ini kita perlu memberikan penghargaan kepada
Kompas – Gramedia yang mau menyisakan sebagian keuntungannya untuk pembinaan
sepak bola dengan menggulirkan Liga Kompas Indonesia U – 14. Semoga langkah ini
diikuti juga oleh pengusaha – pengusaha besar lainnya di seluruh Indonesia. Demikian juga, upaya pada masa Presiden
Jokowi yang sudah mulai mengadakan berbagai turnamen sepakbola dapat terus
berlanjut, berkesinambungan dan semakin bermutu. Jangan sampai kita yang
berpenduduk lebih dari 250 juta jiwa, kalah dengan Islandia yang penduduknya
tidak sampai 350 ribu jiwa tetapi mampu eksis di Piala Eropa 2016.
Dengan merevitalisasi persepakbolaan
di Indonesia dari sekarang secara bersungguh-sungguh dan
dengan melibatkan berbagai komponen bangsa,semoga Indonesia memang bisa hebat ”dalam
segala hal”, termasuk dalam
dunia sepak-bola!. ****
Langganan:
Komentar (Atom)